Al-Ghazali
Allah Swt. telah berfirman: ”Dan sedikit sekali dan hamba-hamba-Ku yang
berterima kasih.” (Q.s. Saba’: 13), “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Q.s. Ibrahim: 7).
Ketika bertahajjud Rasulullah Saw. menangis, lalu Aisyah r.a. bertanya,
“Apa yang menyebabkan Rasulullah menangis, bukankah Allah telah
mengampuni dosa-dosa Anda yang terdahulu dan yang akan datang?”
Rasulullah Saw. Menjawab, ”Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah Saw juga bersabda, ”Pada hari Kiamat diserukan kepada
orang-orang yang suka memuja Allah, agar bangun. Maka bangkitlah
segolongan manusia, lalu ditegakkan sebuah panji bagi mereka, kemudian
mereka masuk surga.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang
yang suka memuji itu?” Beliau menjawab, “Mereka yang selalu bersyukur
kepada Allah setiap saat.”
Sabdanya, “Pujian itu merupakan pakaian Yang Maha Pengasih.”
Maqam Syukur
Syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari
sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disinyalir
sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri
sendiri, tapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk
menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang
yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap
melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah
Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, ia
tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tobat,
khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah
terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, ia abadi di
dalam surga. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:
“Dan penutup doa
mereka (penghuni surga) ialah, ‘Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin (Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’.” (Q.s. Yunus: 10).
Anda
akan mengetahui hal tersebut, jika Anda telah mengerti tentang hakikat
syukur itu sendiri yang terdiri dari tiga rukun: Ilmu, tingkah laku dan
amal.
Rukun pertama: Ilmu
Ilmu dalam konteks ini berarti
mengetahui dan mengerti tentang nikmat dari Dzat Pemberi nikmat. Seluruh
nikmat berasal dari Allah Swt, Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh
perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan
pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dari tauhid. Keduanya
masuk dalam kategori syukur; bahkan tahap pertama dalam pengertian atau
pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).
Jika telah mengenal Dzat
Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah
Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid.
Kemudian, jika Anda
telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan hal
yang diciptakan dan bersumber dari Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya
merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-hamdu).
Dengan struktur sedemikian rupa, diisyaratkan dalam sabda Rasulullah
Saw: “Barangsiapa mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah), baginya
sepuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah (tiada
Tuhan selain Allah), baginya duapuluh kebaikan, dan barangsiapa
mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka baginya
tigapuluh kebaikan.”
Yang demikian itu, karena penyucian dan
pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah Swt.
Derajat-derajat itu dikriteriakan dengan pengetahuan tentang struktur
tersebut. Sementara keutamaan gerak ucapan, bergantung pada titik tolak
peluncurannya dan pengetahuan atau bergantung sejauhmana ucapan itu
mampu memperbaharui akidah dalam kalbu. Sebab, mulut merupakan sarana
untuk menafIkan kelalaian agar pengaruh kealpaan itu bisa musnah.
Jika Anda berkeyakinan, bahwa ada pihak lain selain Allah mempunyai
peran dalam nikmat yang tercurah kepada Anda, maka pujian Anda tidak sah
dan tidak benar, sehingga ma’rifat dan syukur Anda tidak sempurna.
Anda serupa dengan orang yang memperoleh hadiah dari raja. Orang itu
melihat bahwa dalam pemberian hadiah tersebut terdapat campur tangan
seorang menteri. Karena turut mempermudah dan mempercepat pemberian
hadiah tersebut. Semua itu merupakan dualisme dalam nikmat. Ketika
menerima nikmat itu, rasa gembira anda mendua; kepada si perantara dan
kepada Sang Maha Pemberi.
Benar, jika Anda misalnya, melihat
bahwa anugerah hadiah kepada Anda karena penandatanganan sang raja
dengan penanya, maka pena itu jangan sampai mengurangi kadar syukur
Anda. Sebab, Anda tahu bahwa pena tersebut tunduk dan ditundukkan
oleh-Nya.
Jadi, pena tersebut tidak ikut campur tangan dan melakukan
intervensi apa pun dalam nikmat. Sebab itu, janganlah kalbu Anda
mendua, mengarahkan rasa gembira pada pena dan mengarahkan rasa syukur
kepada sang raja. Karena itu pula, kadang-kadang tidak menoleh kepada
bendahara dan wakilnya, yang dia tahu bahwa mereka berdua tunduk dan
terpaksa memberi setelah adanya perintah. Keduanya tertundukkan atau
tertaklukkan. Namun keduanya tidak berperan serta (turut campur tangan)
dalam penganugerahan nikmat atau hadiah.
Begitu pula bila
matahati seseorang telah terbuka. Ia tahu bahwa matahari, bulan dan
bintang-bintang ditundukkan dengan perintah Allah Swt, seperti halnya
pena, kertas dan tinta ketika dibuat penandatanganan. Hati manusia
adalah perbendaharaan ilmu Allah, kunci-kuncinya ada di tangan Allah
Swt. Lalu Allah membuka perbendaharaan tersebut dengan menundukkan
beberapa perantara yang pasti, hingga yakin bahwa kebaikan
perbendaharaan itu terdapat dalam penyerahan, misalnya. Ketika demikian,
penyerahan itu tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, ia terdesak dan
perlu memilih faktor-faktor ikhtiar tersebut, sebab tidak seorang pun
memberi sesuatu kepada Anda, kecuali untuk tujuan pribadi, yaitu untuk
suatu keuntungan tertentu di masa yang akan datang dan untuk mendapatkan
pujian pada saat itu pula, atau tujuan-tujuan lainnya. Dan andaikata
dia tidak tahu, bahwa keuntungan dirinya tiada bermanfaat bagi diri
Anda, dia tidak akan memberi sesuatu kepada Anda. Jadi, dia itu bukanlah
pemberi nikmat atau anugerah kepada Anda, sebab dengan pemberian itu ia
mempunyai rencana dan usaha tersendiri bagi kepentingan dirinya.
Pemberi nikmat yang sebenarnya kepada Anda itu adalah, yang mampu
menundukkan seluruh faktor atau sebab kepadanya. Dia juga menyatakan
pada dirinya, bahwa tujuannya bergantung pada penunaian dan pemberian
nikmat.
Jika Anda telah paham dan mengerti tentang persoalan di
atas, Andalah seorang yang bertauhid dan bersyukur, bahkan pemahaman
dan pengertian semacam ini merupakan inti syukur.
Nabi Musa as.
dalam munajat beliau pernah berkata, “Tuhanku, Engkau menciptakan Adam
dengan tangan-Mu sendiri, kemudian Engkau kerjakan, Engkau kerjakan
sendiri. Lalu jika demikian, bagaimana mensyukuri-Mu?”
Allah Swt. menjawab, “Dia cukup tahu bahwa hal itu berasal dari Ku, pengertiannya merupakan syukur (kepada-Ku).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar