Kata melihat disebut dengan berbagai versi dalam bahasa Arab, dan
Al-Qur'an. Melihat berarti dengan mata kita. Sedangkan mata kita ada
tiga. Mata kepala, mata analisa fikiran, mata hati.
Dalam
konteks hubungan dengan "Melihat Allah" dan "Seakan-akan melihat Allah",
maka ada sejumlah ayat, misalnya ketika Nabi Musa as, berhasrat ingin
melihat Allah. "Musa as berkata: Ya Tuhan, tampakkan diriMu padaKu, aku ingin memandangMu." Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu." (al-A'raf 143).
Ayat lain menyebutkan: "Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka lepaskanlah
sandalmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci." (Thaha 12)
Dan dia berkata, "Sesungguhnya aku akan menyaksikan Allah, dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya Aku bebas dari kemusyrikan kamu padaKu,
melalui selain Dia."
Ayat lain menyebutkan, "Kemana pun engkau menghadap, disanalah Wajah Allah."(Al-Baqarah 115)
"Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepatuhan." (Al-An'aam 79)
Nabi Musa as, gagal ketika hasratnya menggebu ingin melihat Allah, lalu
Allah menjawab, "Kamu tidak bisa melihatKu.". Dengan kata lain "Kamumu"
atau "Akumu" tidak bisa melihatKu. Karena itu Abu Bakr ash-Shiddiq ra
berkata, "Aku melihat Tuhanku dengan Mata Tuhanku." yang berarti bahwa
hanya dengan Mata Ilahi saja kita bisa MelihatNya.
Dimaksud
dengan "Mata Ilahi" adalah Mata Hati kita yang diberi hidayah dan
'inayah oleh Allah SWT untuk terbuka, dan senantiasa di sana hanya Wajah
Allah yang tampak, sebagaimana dalam Al-Qur'an. Ibnu Athaillah
menggambarkan secara bijak:
"Alam semesta ini gelap, dan
sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu
siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya,
atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah
dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh
mendung-mendung duniawi semesta."
Karena itu soal "Menyaksikan
Allah" hubungannya erat dengan tersingkapnya tirai hijab, yang
menghalangi diri hamba dengan Allah, walaupun Allah sesungguhnya tidak
bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi
Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.
Oleh sebab itu, dalam menggambarkan Musyahadah (penyaksian Ilahi) ini,
Rasulullah menggunakan kata, "Seakan-akan", karena mata kepala kita dan
mata nafsu kita, keakuan kita pasti tak mampu. Kata-kata "Seakan-akan"
lebih dekat sebagai
bentuk kata untuk sebuah kesadaran jiwa dan
kedekatan hati.Tetapi ketika Rasulullah bersabda, "Jika kamu tidak
melihatNya, kamu harus yakin bahwa Dia melihatmu.". Rasul SAW tidak
menyabdakan, "Seakan-akan melihatmu.".
Hal ini menunjukkan
bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan
melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat
kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus,
menimbulkan
pantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.
Kesadaran Memandang Allah, kemudian mengekspresikan sebuah pengalaman
demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat
haliyah ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing. Ada yang menyadari
dalam pandangan
tingkat Asma Allah, ada pula sampai ke Sifat Allah,
bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali
melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat semesta
makhlukNya.
Lalu kita perlu mengoreksi diri sendiri lewat
perkataan Abu Yazid al-Bisthamy, "Apa pun yang engkau bayangkan tentang
Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bertempat, bergerak, diam,
itu semua pasti bukan Allah SWT. Karena
sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."
Kontemplasi demi kontemplasi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid
yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai kebuntuan jalan dalam praktek
Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka digambarkan oleh Ibnu Athaillah dalam al-Hikam:
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan
matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan
tempat tinggal dan bukan tempat
ketentraman. Namun ia jiwanya
bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di
dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada
Allah.
Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya
berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan
kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah,
Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."
Ibnu Athaillah
menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan
Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan
membedakan satu dengan yang lain. Bukan dengan fikiran:
Mufatahah: artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam
dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat
dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala
yang ada bersamaNya.
Muwajahah, artinya saling berhadapan,
adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak
pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui
dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama
sekali tidak ada peluang untuk
melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
Mujalasah, artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus
berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa
tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan
kemesraan agung, lalu disanalah Allah
swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."
Muhadatsah, maknanya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia batin)
dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan
Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya
bertumpuan. Inilah yang
disabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat
terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan
Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."
Musyahadah, adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan
penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu
dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
Muthala'ah, adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan,
ketaatan dan batin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya
kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul
rahasiaNya karena keparipurnaanNya. Wallahu A'lam.
Maka Hadrat
Ilahi, telah menjadi kehidupan hatinya, dimana mereka tenteram dan
tinggal. Renungkan semua ini dengan hati yang suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar