Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari, siapapun yang merenung secara
mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan
Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan
mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis
(kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia
nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di
bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula)
bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari (QS 13:15).
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai
dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang
telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut
Syeikh
mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa
orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman
hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan
kelembutan alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan
dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam
lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan
kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib.
Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia
cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asmaasma dan
Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya
waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan
kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari [8] membagi tauhid dalam konteks
makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk
setiap tahapan ma’rifat tauhid dengan intepretasi pribadi, yaitu :
·
Tauhid Af’al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam
perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala
sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
· Tauhid
al-Asma adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang
mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada
Allah SWT. Allah sebagai Isim A’dham yang Mahaagung adalah asal dari
semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang
Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
· Tauhid As
Sifat, adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini
maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang
dan memusyadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala
sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah
(Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama (mendengar), Basar
(Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah.
Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat
yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan
bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
· Tauhid
az-Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid Az- Dzat
menurut Syekh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi
terminal terakhir dari memandangan dan musyahadah kaum arifin. Dalam
konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan
memandang dengan matakepala dan matahati bahwasanya tiada
yang
maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata. Tauhid Af’al pada
pengertian Syeikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak
Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu
takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau
buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan
kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan
memilih, dengan
pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah
melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu
kontinuum ruang-waktu relatif. Tauhid Af’al adalah
Samudera
Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus
mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya,
menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan
meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat
kepada-Nya untuk
menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya
proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai
tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af’al inilah seorang salik
harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs
ammarah, menuju lawammah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan
dengan nafs muthmainnah.
Dalam Samudera Asma-asma, maka
hijab-hijab tersingkap dengan masingmasing derajat dan keadaannya. Ia
yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan
dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh
ilahiah-nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera
Asma-asma adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah
SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang aik (al-Asma al-Husna)
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu (QS 7:180).”
Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja, keikhlasan,
keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.
Di tepian Samudera Asma-asma adalah lautan kerinduan yang berkilauan
karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan
Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar
kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang
menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia
terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera
Kerahasiaan.
Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau
Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan
untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat
dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada
makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya
semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan
Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk
adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan,
sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan
kepada-Nya. Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah
ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang
didominasi merahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh
cahaya kemurnian yang
menyemburat dari kemilau yang membutakan dari
samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari
Tauhid Az-Dzat.
Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera
Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan
ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa
nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada.
Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya
dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah
maqam Nabi Muhammad SAW, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungankebingunan
Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang
hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat
dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan,
termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya.
Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan
didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata.
Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang
terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar),
Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diriMu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh DiaMu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh EngkauMu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera PemurnianMu,
biarkan aku memandangMu dengan cintaMu,
menjadi sekedar hambaMu dengan ridhaMu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah KekasihMu.
Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syekh al-Banjari memang didasarkan
pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena,
pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam
setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma-asma, Sifat-sifat dan
Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang
lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera
Tauhid tersebut. Hasil akhirnya , kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya
yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan
Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih
mantap sebagai hamba Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar