Ma'rifat, Fana, dan Mahabbah
من عرف الحق شهده في كل شيئ, و من فني به غاب عن كل شيئ, ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا
Artinya : " Barang siapa yang ma'rifat kepada Al Haq (Allah), maka ia
akan menyaksikanNya disetiap sesuatu, barang siapa yang fana' denganNya
maka ia akan merasa hilang dari setiap sesuatu dan barang siapa yang
mahabbah (cinta) kepadaNya maka tidak akan mendahulukan sesuatu dariNya
(Allah) ".
Setiap hamba yang beriman kepada Allah wajib baginya
mempunyai tiga unsur sifat yang meliputi, ma'rifat, fana' dan mahabbah
kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karena, bagaimana mungkin seorang
hamba dikatakan beriman kalau ia tidak tahu akan Allah? bagaimana bisa
dikatakan beriman kalau ia masih bersama selain Allah (belum bisa fana'
denganNya) dan bagaimana mungkin dikatakan beriman kalau semua cintanya
hanya kepada selain Allah ? jika ketiga sifat tadi bisa dipraktekkan
maka seorang mukmin akan naik kederajat muqorobah sesuai dengan kwalitas
ketiga sifat tadi.
Kalau hikmah diatas kita tela'ah, dari
dlohirnya memberikan pemahaman bahwa ketiga sifat tadi terkadang satu
dengan yang lainnya bisa terpisah, dengan arti kadang seorang mukmin
bisa menerapkan sifat ma'rifat yang sempurna tanpa disertai fana',
terkadang bisa fana denganNya tanpa dengan ma'rifat yang sempurna dan
juga terkadang timbul mahabbah yang tanpa ma'rifat dan fana.
Namun pemahaman ini bukanlah maksud yang termaktub dalam hikmah diatas
karena diantara ketiga sifat tersebut mempunyai ketalazuman (saling
berkaitan) yang tidak bisa lepas satu dengan lainnya
Dari ketiga
sifat tersebut yang menjadi pokok dan yang paling penting adalah
ma'rifat. ma'rifatullah tidaklah seperti halnya manusia tahu makhluq
lainnya secara kasat mata dan ini sangatlah mustahil karena bagaimana
bisa akal makhluq bisa menemukan Dzat al kholiq, oleh karena itu
dikatakan :
كل ما خطر ببالك فالله بخلاق ذلك
Artinya : " Apapun yang terlintas dihatimu, maka Allah adalah selainnya "
Ma'rifat kepada Allah bisa diap;ikasikan dengan mengetahui
sifat-sifatNya, sifat Wujud, Esa, Qudroh, 'Ilmu, Hikmah, Rohmah, Lembut,
Keagungan, memaksa, menciptakan menghidupkan, mematikan dan sifat-sifat
lainnya.
Kemudian seorang hamba didalam ma'rifatnya kepada Allah
dengan tahu akan sifat-sifatNya berbeda-beda kwalitasnya, ada yang
sebatas tahu sifat-sifatNya dengan akalnya dan hafal nama-namaNya. Ada
yang bisa ma'rifat sampai meresap pada perasaannya. Dan ada juga yang
tahu atau ma'rifat akan sifat-sifatNya, sedang ia dalam keadaan
disibukkan/mu'amalah dengan dunia namun hatinya masih teguh memegang
prinsip dan menggantungkan semua urusan atas fadlol, sifat murah, dan
qhodo qhodarnya Allah. Ia tetap memandang kehendak dan pengaturanNya
serta hanya mengharapkan rahmat dan takut akan siksaanNya.
Dan
sebagian yang lain ada yang lebih dari itu, ia makrifat/tahu akan
sifat-sifatNya dan merasakannya sehingga tidak bisa melihat alam ini di
setiap tingkahnya kecuali ia melihat jelasnya sifat-sifat Allah, ketika
ia melihat sesuatu yang indah ia tidak melihat kecuali melihat sifat
jamalnya Allah, ketika melihat ajaibnya pengaturan Allah pada alam ini
ia tidak melihat kecuali hikmah dan pengaturanNya, jika ia dikagetkan
dengan musibah dan mara bahaya yang menimpanya ia tidak melihat kecuali
sifat tajalli dan sifat memaksaNya serta menganggap ujian itu adalah
tarbiyah dari Allah kepada hambaNya.
Ia tidak menoleh, memandang
dan tidak menemukan sesuatu didepannya kecuali jelasnya sifat ketuhanan
Allah dalam ajaibnya makhluqNya, sekiranya dalil (sesuatu yang
menunjukan) menjadi hancur dan hilang karena jelasnya madlulnya (yang
ditunjukan), perasaan hadir dan ma'rifatnya sang arif kepada madlulnya
dalil lebih dominan, bukan kepada dalil yang tugasnya sudah selesai
didalam menunjukkan madlulnya.
قال سيدي الشيخ احمد زروق :
والمعرفة تحقق العارف بما يقتضيه جلال معروفه حتى يصير ذلك التحقق كأنه صفة
له لا يتحول ولا يتزحزح ولا تجري أحواله الا على مقتضاها
Derajat/maqom makrifat inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Attho Illah :
من عرف الحق شهده في كل شيئ
Kemudian, termasuk suatu keharusan/kelaziman dari makrifat ini adalah
tingkah/haliyah yang disebut Fana' Juz'i, karena tidak mungkin seorang
‘arif yang menyaksikan Allah didalam setiap sesuatu kecuali ketika
wujudnya mahluk di depannya hancur atau rusak (menurut pandangan mata
batin / basirohnya) serta ia masih yakin akan wujudnya makhluk dan masih
muamalah/bisa berhubungan dengannya. Inilah yang disebut الفناء الجزئيّ
الفناء الجزئيّ هو أن ترى من المكونات أشباحها أن تغيب عنك ما قد يتوهم من فاعليتها
Akan tetapi ada sebagian orang yang ‘arif billah, yang bisa atau mampu
pindah dari haliyah fana' juz'i ke fana' kulli, maka ia merasa hilang
dari makhluk atau alam ini secara keseluruhan, dan tidak bisa lagi
mu'amalah dengannya. Barang kali Ibnu 'Attoillah menghendaki makna fana'
dengan fana' kulli ini, yang mana beliau memberikan devinisi orang yang
fana' dengan ‘ibarot :
و من فني به غاب عن كل شيئ
Hanya
saja haliyah fana' kulli ini sangatlah langka, karena orang yang sudah
merasa hilang dengan ma'rifat billah dari setiap sesuatu, tidak bisa
mu'amalah dengan manusia, ia tidak bisa bangkit untuk
menuntun/membimbing manusia dan tidak bisa melakukan dakwah, tapi ia
tetap dalam keadaan menyaksikan Allah dengan hatinya.
Akan
tetapi, haliyah fana' kulli ini, kebanyakan hanyalah dirasakan oleh
orang yang ‘arif disebagian haliyahnya saja. Kemudian ia akan kembali
pada haliyah baqo' namun masih ma'rifat billah, sebagaimana ta'bir:
من عرف الحق شهده في كل شيئ
Dan inilah yang dimaksud dengan fana' juz'i, haliyah yang sering
dijalani oleh sahabat - sahabat Nabi dan orang-orang shiddiqiin atau
robbaniyyiin setelah mereka.
Seorang hamba yang sudah masuk pada
fana' kulli ia dikatakan seorang yang majdzub (مجذوب) yang tidak bisa
lagi mu'amalah dengan makhluk lainnya karena ia sedang terpana
musyahadah kepada Allah, bahkan haliyahnya kadang berlawanan arus dengan
syari'at, namun pada haliyah ini ia termasuk dalam keadaan 'udzur.
Bagi orang lain yang sedang menyaksikan/melihatnya diharapkan tidak
langsung berprasangka buruk (سوء الظن) dan berbuat tidak sopan (سوء
الأدب) kepadanya serta tidak segera menghinanya karena ia dalam keadaan
udzur.
Beliau Ibnu 'Athoillah rahimahullah dalam hikmah diatas
tidaklah membicarakan tentang fana' kulli yang pada sampai tingkah
majdzub, namun beliau sedang membahas tentang fana juz'i yang mana hamba
yang sudah sampai haliyah ini masih bisa menjalankan syari'at dan
mu'amalah dengan lainnya, inilah makna yang tersirat dalam qoulnya : و
من فني به غاب عن كل شيئ
Kemudian termasuk kelaziman dari ma'rifat
adalah mahabbahnya sang 'arif kepada Allah ta'ala. Karena pokoknya iman
tidak bisa istiqomah dan terwujud kecuali dengan mahabbah ini, cinta
yang ditimbulkan dari ma'rifat tersebut.
Karena hamba yang 'arif
tidak melihat alam ini kecuali ia hanya memandang sifat-sifatNya yang
Maha Indah, agung dan ia mampu melihat sifat Ihsannya Allah.
Jika
mahabbah ini terwujud dan bisa dilaksanakan, maka sang muhib tidak akan
mendahulukan / mementingkan sesuatu kecuali hanya ridhonya orang yang
dicintainya yang tidak lain hanyalah ridhonya Allah subhanahu wa ta'ala.
Beliau rahimahullah berkata :
ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا
Kesenangan-kesenangan nafsu dan tabi'at kemanusiaan menjadi lenyap dan
hancur karena wujudnya Mahabbatullah ini.
Akan tetapi adanya
tabi'at kemanusiaan, kekuatan hamba yang maha lemah dan terbatas, yang
mana Allah menggambarkan dalam firmanNya :
وخلق االإنسان ضعيفا (النساء : ٢٨)
Artinya : "Dan manusia dijadikan bersifat lemah" (al nisa' : 28), dan juga firmanNya yang berbunyi :
لقد خلقنا الإنسان فى كبد ( البلد : ٤)
Artinya : "Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah" (al balad : 4).
apakah dengan keadaaan seorang hamba yang lemah tersebut mampu mewujudkan mahabbah ini ?
Oleh karena itu, seorang yang muhib lillah harus mampu berusaha keras
melawan hawa nafsunya walaupun memang diciptakan dalam keadaan yang
dhoif. Atas dasar mahabbah seharusnya terus memperlihatkan hina dan
lemahnya dirinya dihadapan Allah, dan ketidak mampuannya dalam
merealisasikan cintanya serta ia harus selalu bersabar dalam
merealisasikan istiqomah dalam jalan 'ubudiyyah.
Jadi, seorang
yang 'arif dan muhib lillah, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu
'Athoillah, tidak akan mendahulukan dan mementingkan sesuatu urusan
kecuali hanya urusan Mahbubnya (Allah Subhanahu wa ta'ala).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar