Syekh Abdul Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu, memberi nasihat
kepada kita agar berserahdiri kepada Allah secara total dan menguatkan
keyakinan tauhid. Pengukuhan pada keesaan Allah harus menjadi gairah
ruhani para salik. Beliau mengatakan, “Orang yang mengukuhkan keesaan
Tuhan akan mengalami penyatuan (man wahhada tawahhada). Orang yang
mencari (menuntut ilmu) dan berjuang sungguh-sungguh maka akan mendapatkan (man thalaba wa jadda wajada).
Jika seseorang menyerahkan dirinya dan tunduk serta patuh kepada-Nya,
maka orang itu akan aman dan selamat (man aslama wa taslama, salima).
Jika seseorang menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya, dia akan dibantu untuk berhasil (man wafaqa wuffiqa).
Namun, jika seseorang “bertengkar” dengan takdir (qadar), dia akan
dipukul hingga binasa. Ketika Firʽaun bertengkar dengan takdir dan
menginginkan agar ilmu Allah diubah, maka Allah lalu membinasakannya dan
menenggelamkannya di laut, dan menjadikan Mûsâ dan Harun tetap hidup.
Ketika ibu Mûsâ merasa takut kepada algojo-algojo yang disuruh Firʽaun
menyembelih setiap bayi yang baru lahir, maka Allah lalu memberinya
ilham agar dia melemparkannya ke laut. Tetapi dia mengkhawatirkan
keselamatan Mûsâ a.s. maka kepadanya dikatakan:
الْمُرْسَلِينَ [القصص :٧] وَلَا تَحْزَنِي ۖ إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ
“Janganlah engkau takut dan jangan bersedih, sebab Kami akan membawa
dia kembali kepadamu,dan Kami akan menjadikannya salah seorang rasul,”
(QS Al-Qashash (28):7).
(Dengan perkataan lain:) “Janganlah
engkau takut, sebab hatimu akan ditenangkan, dan wujud terdalammu (sirr)
akan diistirahatkan. Janganlah engkau takut bahwa dia akan tenggelam
atau binasa, sebab Kami akan mengembalikan dia kepadamu. Melalui dia
kami akan mengubah kemiskinanmu menjadi kekayaan.”
Karena itu,
Ibu Mûsâ a.s. lalu mempersiapkan sebuah peti (tâbût) baginya, lalu
meletakkannya di dalamnya, dan melemparkan peti itu ke laut. Lalu peti
itu mengapung di atas air sampai mencapai istana, di mana ia diambil
oleh pelayan-pelayan Firʽaun dan istrinya, Ȃsiyah.
Segera
sesudah mereka membuka peti itu, mereka pun melihat bahwa peti itu
berisi seorang bayi laki-laki. Mereka semua menyukainya, dan hati
mereka penuh dengan rasa sayang kepadanya.
Maka mereka pun lalu
menggosok bayi itu dengan minyak, mengganti popoknya dan memberinya
baju baru. Dia menjadi salah seorang manusia yang paling dicintai oleh
Ȃsiyah dan para pelayannya, dan dia juga dicintai oleh setiap anggota
pengiring Firʽaun yang kebetulan melihatnya. Ini menjelaskan makna
firman Allah Swt.:
وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي [طه: ٣٩]
“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku,” (QS Thâ Hâ (20) :39)
Dikatakan bahwa siapa pun yang memandang ke mata Mûsâ pasti jatuh cinta
kepadanya. Kemudian Dia mengembalikannya kepada ibunya dan
membesarkannya di istana Firʽaun, bertentangan dengan kehendak Firʽaun
sendiri, yang terbukti tidak mampu membinasakannya. Apabila seseorang
telah dipilih dan dipelihara oleh Tuhan untuk Diri-Nya sendiri,
bagaimana bisa orang membinasakannya? Bagaimana bisa orang membantainya?
Bagaimana bisa air menenggelamkannya?
Dia dijaga dalam
penjagaan-Nya dan berbicara dengan-Nya secara langsung. Apabila
seseorang dicintai oleh Tuhan Yang Maha Benar, siapa yang bisa
membencinya? Siapa yang bisa mendatangkan bahaya kepadanya? Siapa yang
mampu menelantarkannya? Siapa yang bisa menjadikannya kaya? Siapa yang
bisa menjadikannya miskin? Siapa yang bisa mengangkatnya ke derajat
yang tinggi? Siapa yang akan mampu memecatnya? Siapa yang bisa
mendekatkannya? Siapa yang akan mampu menjauhkannya?
Ya Allah,
bukakanlah untuk kami pintu kedekatan-Mu. Masukkanlah kami ke dalam
golongan orang-orang yang mengabdi dan taat kepada-Mu, ke dalam kalangan
mereka yang bertakwa sepenuhnya kepada-Mu, dan ke dalam kalangan
tentara-Mu. Izinkanlah kami duduk di tikar dimana makanan anugerah-Mu
disuguhkan, dan izinkanlah kami memuaskan dahaga kami dengan minuman
persahabatan akrab-Mu. “Berilah kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan
pula di akhirat nanti, dan jagalah kami dari siksa neraka!” (QS
Al-Baqarah (2) :201)
--Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Jala Al-Khathir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar