Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Dipenghujung bulan suci Ramadhon 1442 H ini, seorang salik bertanya kepada yang lain : ‘Tulislah tentang muroqobah, agar kami dapat menarik pelajaran darinya.’
Percakapan ini sungguh dalam maknanya, karena pekerjaan muroqobah bukan
hal biasa, melainkan pekerjaan khusus bagi para mutashowif. Tentunya
yang ditanya adalah hasil dari muroqobah bukan cara melakukannya, karena
cara-caranya (kaifiat) tentu sama, namun pemahaman dari hasilnya yang
berbeda-beda. Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan perumpamaan,
sebagaimana Al Qur’an juga demikian dalam menjelaskan hal-hal yang
rumit. Karena sejak dahulu, banyak para salik yang bertanya tentang hal
yang sama : ‘Saya sudah wirid Malakandias tetapi tidak terjadi apa-apa.’ Ada juga yang berkata : ‘Aku sudah berdzikir lathif dengan menambahkan rasa-rasa, namun tidak merasakan sesuatu pun sebagaimana yang di ajarkan.’
Ternyata yang demikian itu, bukan saja terjadi dan dialami oleh para
salik, melainkan dialami dan dirasakan juga oleh ikan-ikan dilautan,
mereka selalu bertanya kepada pemimpinnya tentang lautan, tanpa
menyadarinya bahwa mereka telah berada didalamnya. Nah, sekarang kita
dapat memahami, mengapa Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)
pernah berkata bahwa : ‘Taswuf adalah
kesadaran, dan untuk membongkar keasadaran yang tersembunyi didalam diri
seseorang, maka ia harus terus menerus mendawamkan dzikir dan
ubudiyah.’
Tak henti-hentinya, sebagaimana hujan yang
turun dari langit. Kasih sayangnya bak seekor kucing yang selalu
menjilati anak-anaknya. Airmata kesedihannya sebanyak embun pagi yang
menetes dari ujung dedaunan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)
melihat dengan jelas keadaan murid-muridnya, tanpa pandang bulu
diperlakukannya semua murid seperti seorang bayi. Diberinya minum susu
dari cawan kewalian, agar dikemudian hari menjadi siap meminum anggur
dari cawan yang suci. Begitulah kasih sayang seorang Syaikh didalam
mendidik murid-muridnya, agar disuatu kelak dapat memahami dan memasuki
rahasia-rahasia dzikir dan ‘muroqobah’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang murid : ‘Jarang
sekali ada yang bertanya kepadaku tentang hal-hal yang berkenaan dengan
dzikir dan muroqobah, kecuali pertanyaan seputar kesempitan dada
didalam menghadapi kehidupan di dunia ini.’ Ironis memang, yang mulia Syaikhuna membimbing murid-muridnya cara-cara untuk mencapai puncak gunung, agar beroleh sebuah rasa ‘dekat’ dan dengan jelas dapat ‘memandang’
matahari, namun yang selalu ditanyakan hanya seputar masalah dunia
saja, yakni, rizki, jodoh dan problema rumah tangga. Sehingga
murid-murid yang dahaga akan anggur suci pengetahuan tasawuf, tidak
mendapat apa yang dicari, melainkan arak dunia yang memabukkan.
Sekitar
11 tahun yang lalu, ketika tradisi tasawuf masih bersinar terang,
hampir seluruh pembicaraannya berputar kepada pengetahuan kesufian,
riwayat para masyaikh yang menggugah hati, sehingga murid-murid mudah
mabuk akan suguhan anggur suci ini. Satu demi satu, sedikit demi
sedikit, dengan bahasa yang mudah dipahami, Yang Mulia Syaikhuna (semoga
Allah merahmatinya) menjelaskan rahasia-rahasia dzikir dan muroqobah,
malah terkadang menceritakan hasil dari pelaksanaannya. Saat itu,
murid-murid terkagum-kagum namun tidak dapat sepenuhnya memahami, karena
belum mengalami dan merasakannya. Peristiwa yang demikian ini adalah
jantung didalam mengarungi kehidupan bertasawuf, agar disuatu kelak
nanti, bilamana seorang murid yang pada gilirannya menjumpai dan
merasakan hal-hal yang demikian, tanpa keraguan apapun, ia akan meyakini
bahwa jalan yang dilaluinya adalah benar adanya. Oleh sebab itu, betapa
peristiwa 11 tahun yang lalu itu sangat mahal dan tinggi nilainya serta
sulit ditemukan dibelahan dunia manapun juga. Sajadah harapan yang
tinggi telah dihamparkan kepada Allah SWT kiranya memperjalankan sisa
umur ini selalu dalam keadaan mencari ilmu agama, dan menghindarkan dari
membicarakan masalah dunia dan perongkosan kehidupan kepada Yang Mulia
Syaikhuna. Semoga Allah SWT menghidupkan kembali tradisi jamuan anggur
suci itu, agar kita semua mabuk kembali, agar rasa-rasa itu berdatang
kembali, agar lentera yang telah padam ini dapat bersinar kembali
sebagai penerang dan penuntun didalam perjalanan pendakian gunung yang
tinggi itu. Semoga Allah SWT memasukkan kita semua kedalam benteng-Nya,
dan barang siapa berada didalam benteng itu, maka ia akan terhindar dari
himpitan dunia dan akhirat.
Agar para murid dapat memahami
masalah-masalah yang rumit, khususnya muroqobah (meditasi) tentang
kebersamaan Allah (Maiyah), maka diperintahkannya seluruh muridnya untuk
menghafal dan memahami makna dari Surat An Nuur ayat 35 : 'Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang
minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (QS 24 : 35)'
Di alam dunia ini (alam syahadah),
yang mudah dipahami oleh indrawi adalah bahwa yang bersama-sama dengan
segala sesuatu adalah cahaya, karena tanpa kebersamaannya, benda-benda
tidak akan tampak. Maka sungguh sangat jelas bahwa kata ‘cahaya’ pada
ayat diatas adalah sebuah perumpamaan, dan hal ini akan lebih mudah
dipahami manakala cahaya tersebut adalah cahaya lahiriyah. Seseorang
bisa membayangkan ketika berada di kebun teh, maka akan disaksikan
olehnya bahwa yang dominan adalah warna hijau dari daun teh yang
menghampar dan warna biru dari langit yang luas, tanpa terpikirkan peran
cahaya yang begitu besar berada dibalik itu semua. Padahal cahaya yang
berasal dari matahari itulah yang membuat segala sesuatu tampak dan yang
menyinari warna itu. Ketika matahari terbenam, semua menjadi gelap,
barulah disadari betapa besar peran cahaya itu. Hanya karena bersatunya
cahaya dan warna itu begitu kuat dan jelas, maka membuat cahaya itu
sendiri tidak dapat dilihat.
Nah, itulah cahaya lahiriyah yang
bisa dipahami dan dirasakan oleh inderawi dan menjadi lebih jelas makna
cahaya itu. Jika dengan cahaya lahiriyah segala sesuatu terlihat oleh
mata, maka dengan ‘Allah’ segala sesuatu akan tampak oleh mata hati
(bashirah), sebab, Dia bersama dengan segala sesuatu (maiyah), tidak
pernah terpisah dengan-Nya, dan hanya dengan Dia-lah segala sesuatu
tampak. Cahaya lahiriyah akan lenyap bersamaan dengan terbenamnya
matahari, sedangkan cahaya Illahi selalu hadir dan menyinari segala
sesuatu dimana dan kapan saja, dan tak mungkin padam atau terbenam. Oleh
karena itu perumpamaan ‘cahaya’ pada ayat diatas dapat dipahami sebagai
cahaya yang dapat melihat dirinya sendiri dan menjadi penyebab yang
lain menjadi tampak.
Kelompok dzahiran terperosok oleh pemikiran bahwa ‘cahaya bersama dengan segala sesuatu’ disamakan secara mentah dengan ‘Allah bersama dengan segala sesuatu’.
Sehingga akan dapat menimbulkan pemahaman bahwa Allah menempati setiap
ruang dan waktu. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari penisbatan yang
demikian. Maka dari itu, menjadi sangat penting bahwa pekerjaan
muroqobah wajib diawasi secara terus menerus oleh seorang mursyid.
Sungguh sangat beruntung bagi para salik yang memperoleh karunia dari
Allah untuk dapat merasakan dan memahami masalah ini, karena dengan
merasakan kebersamaan dengan Allah (maiyah), pada saat ‘muroqobah’, maka
akan diperoleh sebuah ‘rasa’ bahwa esensi dirinya sesungguhnya adalah
cahaya, yang hidup di alam ruhani atau alam spiritual, menerangi dirinya
sendiri, alam syahadah disekitarnya, sahabat-sahabatnya, tetangganya,
saudara-saudaranya, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang atau
makhluk-makhluk lain, serta terjaga dari perbuatan-perbuatan yang tidak
bermanfaat, pandangannya dapat melihat segala sesuatu sesuai pada
tempatnya, ilmunya tiada tara tingginya. Keadaan ini sulit dilukiskan,
karena setiap tindakannya bukan miliknya, ia tidak mempunyai kesadaran,
inisiatif dan dirinya sendiri. Apabila seorang salik masih meronta dalam
air, atau apabila ia masih berseru, ‘aku tenggelam!’,
maka ia belum dapat dikatakan berada dalam keadaan bersama dengan Allah
(maiyah). Dalam keadaan ini perasaan ‘dualitas’ menjadi sirna,
munajatnya adalah ‘diam’ karena
dirinya sudah mengingkari adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud
Tuhan. Ia akan menyerahkan dirinya seraya berseru ‘Tiada wujud kecuali
wujud Tuhan’. Oleh karenanya tidak heran bilamana yang mulia Syaikhuna
(semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Siapa-siapa
yang dapat mencapai muroqobah Ahadiyah dan Maiyah secara baik, maka ia
telah memasuki awal daripada kewalian sugro.’
Analoginya
demikian, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada masa
muda sering bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, seluruh detail
dalam perjalanannya dirasakan dan dilihatnya, seperti jalan yang
berkelok, menanjak dan menurun, cuaca yang dingin, tumbuh-tumbuhan
disekitarnya, hambatan-hambatannya, tempat-tempat pemberhentian, dan
masih banyak lagi. Lalu pengetahuan dan pengalaman yang demikian itu
diberikan kepada sahabat-sahabatnya agar tidak tersesat bila bepergian
ke Cimahi melalui jalur Puncak, sebagaimana beliau sering menyampaikan
pengalaman dan rasa dari muroqobah. Nah jalur ke Cimahi melalui Puncak
inilah yang disebut dengan tarekat, meskipun jalan menuju ke Cimahi
lebih banyak dari detak jantung seluruh makhluk didunia ini. Maka wajar
saja bila bermunculan banyak kelompok tarekat di dunia ini, karena
pemimpinnya atau mursyidnya atau Syaikhnya telah ‘sampai’ kepada
Tuhannya melalui jalannya masing-masing, yang tentunya sesuai dengan
syariat Islam. Oleh sebab itu, bilamana seorang murid yang telah baiat
mengalami hal-hal yang niscaya pernah dialami oleh Syaikhnya, maka
seorang pembimbing mengerti betul, terapi apa yang mesti diberikan
kepada sang murid, agar cepat sampai kepada tujuannya. Oleh karenanya,
seorang Syaikh akan segera mengetahui bilamana muridnya berbohong
tentang pengalaman didalam perjalannya, bayangkan bilamana seorang murid
berkata : ‘Syaikh, saya melihat lautan didalam perjalanan ke Cimahi melalui Puncak.'
Padahal jelas-jelas jalur itu tidak ada lautan sama sekali. Bagi
murid-murid yang berdekat dengan Syaikh dan yang mau mencatat didalam
hatinya tentang perkataan-perkataannya dan pengalaman Syaikhnya, akan
segera mengetahui apakah pengalaman dan rasa yang diperoleh dalam
perjalan itu benar adanya. Sebagaimana Syaikh sering berbicara mengenai
Ahadiyah, Maiyah, Aqrobiyah dan perkejaan muroqobah lainnya, serta
dzikir jahr dan lathif, serta bercerita tentang rasa-rasa dalam
perjalanan, seperti syauq wa mahabbah, da’im, merasa diawasi, merasa
senang dengan af’al Allah, merasa bersatu dan melebur. Dan juga sering
menjelaskan tentang af’al dan sifat-sifat Allah SWT, Hakikat Asma
Ul-Husna, Hakikat Muhamamdiyah, Hakikat Ahmadiyah, Hakikat Al Qur’an,
Hakikat Ka’bah, Hakikat Cinta yang tulus, Hakikat bertapa hinanya
manusia, Hakikat Shalat, Hakikat kenabian dan perihal ini diulang-ulang
dalam setiap pertemuan, sebagaimana Al Qur’an juga mengulang-ngulang
ayat dan riwayat-riwayat. Maka yang dibicarakan oleh Yang Mulia
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) ini adalah segala rahasia
sebagaimana perjalanan ke Cimahi melalui Puncak. Sehingga buah dari
melaksanakan dzikir dan muroqobah adalah bilamana seorang salik
merasakan dalam hatinya dan pemikirannya tetang hal-hal yang demikian
itu. Yaa Allah berikanlah kepada kami ... berikanlah dan ampunilah kami.
Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Minggu, 26 Maret 2023
MAIYAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar