Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Kamis, 13 April 2023
𝐃𝐈𝐌𝐀𝐍𝐀 𝐃𝐀𝐏𝐀𝐓 𝐊𝐔𝐂𝐀𝐑𝐈 𝐀𝐋𝐋𝐀𝐇 ???✿◉
KHAYALAN PENDOSA.
𝐌𝐄𝐍𝐄𝐌𝐏𝐀𝐓𝐊𝐀𝐍 𝐊𝐄𝐒𝐀𝐃𝐀𝐑𝐀𝐍 𝐇𝐀𝐐𝐈𝐊𝐈 𝐃𝐈𝐑𝐈 𝐏𝐀𝐃𝐀 𝐄𝐍𝐀𝐌 𝐃𝐀𝐒𝐀𝐑 𝐑𝐀𝐒𝐀 𝐈𝐌𝐀𝐍
Makna Rahasia Alif
Minggu, 09 April 2023
Adab Jama'ah Naqsyabandi
- Berpegang teguh terhadap ajaran Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah serta paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah;
- Mengamalkan sesuatu pekerjaan (apapun) yang halal;
- Mengurangi tidur supaya dapat berdzikir dengan baik;
- Berhati-hati terhadap masalah subhat dalam syari’at agama;
- Senantiasa merasa di awasi oleh Allah (Muraqabah);
- Selalu menghadapkan diri (hati) kepada Allah sepanjang nafas (kontinyu);
- Berpaling (tidak tergiur) dalam arti terhadap kemewahan dunia;
- Merasa sepi kesendirian dan dalam suasana ramai serta hati selalu hadir kepada Allah;
- Menjaga aurat (berpakaian yang rapi);
- Melazimkan ibadah dengan dzikir khafi (samar atau tersembunyi/syir);
- Senantiasa menjaga keluar masuknya nafas, jangan sampai lupa dan lalai dalam mengingat Allah, daN
- Berakhlak perilaku yang luhur seperti yang di contohkan Rasulullah Saw.
- Menyerahkan segala-galanya lahir dan batin kepada guru;
- Harus patuh terhadap terhadap perintah guru;
- Tidak boleh syak wasangka pada guru;
- Tidak boleh melepas ikhtiarnya.
- Harus selalu mengingat pada petuah dari gurunya;
- Tidak boleh menyembunyikan rahasia hatinya.
- Memelihara keluarga dan kerabat guru;
- Kesenangan murid tidak boleh sama dengan guru.
- Tidak boleh mempunyai keinginan lebih dalam bergaul dengan gurunya;
- Harus yakin bahwa gurunya sebagai perantara;
- Tidak boleh memberi saran kepada gurunya kecuali hanya menambah kebaikan dan mengingatkan, artinya boleh untuk saling mengingatkan;
- Di larang memandang guru bahwa gurunya mempunyai kekurangan;
- Harus rela memberikan sebagian hartanya apabila di butuhkan atas kepentingan gurunya;
- Tidak boleh bergaul dengan orang yang di benci gurunya;
- Tidak melakukan sesuatu yang di benci gurunya;
- Tidak boleh iri dengan murid lain;
- Segala sesuatu yang menyangkut dirinya harus mendapat izin dari gurunya, dan
- Tidak boleh menempati tempat duduk yang biasa di tempati gurunya.
Bedakan Antara ‘Kehendak’ dan ‘Ridha’
Seorang Ibu melihat anaknya bermain di semak-semak. Ia khawatir anaknya digigit ular, disengat lebah, atau binatang berbahaya lainnya. Ketika ditegur, si anak tidak mau nurut. Ia memohon untuk tetap diizinkan bermain di sana.
Si Ibu tidak ingin memaksa. Tapi ia juga tidak ingin anaknya mendapat bahaya. Akhirnya ia mengizinkan. Tapi ia tetap tidak ridha. Izin itu ia berikan agar anaknya menyadari sendiri bahaya bermain di daerah itu. Jelas ia tidak ingin anaknya kenapa-kenapa. Tapi kalau untuk sadar ia perlu merasakan dulu secara langsung dampak negatif bermain di sana, ya tidak mengapa.
***
Ini ilustrasi sederhana (yang mungkin kurang begitu tepat), bahwa ‘menghendaki’ tidak mesti ‘meridhai’. Ibu ini ‘mengizinkan’ anaknya bermain di sema-semak, tapi ia tidak ‘meridhai’ itu. Ia bahkan juga ‘berkehendak’ anaknya mendapat sedikit ‘bahaya’ agar ia menyadari langsung dampak negatif bermain di sana, meskipun ia tidak ‘ridha’ hal itu terjadi.
Jadi antara ‘kehendak’ dan ‘ridha’ itu berbeda.
***
Kita yakin bahwa tidak ada satu pun yang terjadi di alam ini di luar kehendak (masyi`ah/iradah) Allah Swt. Apapun itu, termasuk kemusyrikan dan kekufuran. Karena kalau dikatakan kemusyrikan dan kekufuran terjadi di luar kehendak Allah, ini sama saja mengatakan Allah Swt tidak Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan ini mustahil. Tapi apakah Allah meridhai terjadinya kemusyrikan dan kekufuran? Tentu tidak.
Seseorang melakukan kezaliman, apakah juga atas kehendak Allah? Ya, jelas. Tapi apakah Allah ridha? Jelas tidak. ini semakin menegaskan bahwa ‘kehendak’ tidak berarti ‘ridha’.
Mari renungi firman Allah Swt berikut :
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ … (الزمر : 7)
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah Maha Kaya darimu (Dia tidak membutuhkanmu), dan Dia tidak meridhai kekafiran untuk hamba-hamba-Nya. Dan jika kamu bersyukur Dia meridhai itu untukmu…”
***
Jadi ketika terjadi kezaliman jangan katakan, “Ini semua sudah kehendak Allah, kita mesti menerima dengan sabar”. Benar bahwa semua terjadi atas kehendak Allah. Tapi apakah Allah Swt meridhai semua itu? Apakah kita dituntut untuk menerima saja (pasif)? Ataukah Allah menghendaki itu terjadi untuk melihat respon yang benar dan terbaik dari hamba-hamba-Nya?
Tidak satu pun yang terjadi kalau bukan kehendak Allah. Tapi tidak semua yang terjadi kita mesti menerima dengan pasif. Banyak hal yang Allah izinkan terjadi, dan Allah ‘ridha’ kalau kita melakukan perubahan.
(Jangan tanya saya apakah kenaikan BBM saat ini termasuk sesuatu yang Allah kehendaki sekaligus Allah ridhai atau tidak?)
Sufi; Suci Qalbu, Pikiran, dan Indra
Sebagian orang menjadikan label ‘sufi’ sebagai ejekan dan penghinaan. Itu karena sufi yang mereka kenal adalah sufi-sufi yang menyimpang. Orang-orang yang sesungguhnya tidak pantas dijuluki sebagai ‘sufi’.
Andaikan mereka mengenal sufi yang sesungguhnya mereka akan tahu bahwa label sufi itu sesungguhnya adalah penghormatan. Tidak banyak orang yang berhak menyandang label itu.
Sufi itu suci dan bersih. Suci hati, suci pikiran dan suci panca indera.
Seorang sufi senantiasa memaafkan, tidak pendendam, selalu berprasangka baik dan melihat orang lain lebih baik dari dirinya.
***
Syaikhul Akbar Ibnu Arabi rahimahullah bercerita. Gurunya yang paling senior bernama Abu Ishaq bin Tharif. Ia bertemu dengannya di Jazirah Khadra` pada tahun 589 H.
Gurunya berkata:
يا أخي ، والله ما أرى الناس فى حقي إلا أولياء عن آخرهم ممن يعرفني، قلت له : كيف تقول يا أبا إسحاق؟ فقال : إن الناس إذا رأوني أو سمعوا بي إما أن يقولوا فى حقي خيرا أو يقولوا ضد ذلك ، فمن قال فى حقي خيرا وأثنى علي فما وصفني إلا بصفته ، فلولا ما هو أهل ومحل لتلك الصفة ما وصفني بها ، فهذا عندي من أولياء الله تعالى ، ومن قال في شرا فهو عندي ولي أطلعه الله على حالي فإنه صاحب فراسة وكشف ، ناظر بنور الله ، فهو عندي ولي .
“Saudaraku, demi Allah, aku melihat semua orang yang membicarakan tentang diriku dan mereka mengenalku adalah para wali.”
Aku (Ibnu Arabi) bertanya, “Apa maksudmu, Abu Ishaq?”
“Orang-orang yang melihat diriku atau mendengar tentangku terbagi dua; ada yang membicarakan tentangku hal-hal yang baik, atau sebaliknya.
Orang yang berkomentar tentang diriku hal yang baik-baik dan memujiku, sesungguhnya hal itu karena ia memang orang yang baik. Sifat yang ia lekatkan pada diriku itu sesungguhnya adalah sifat yang melekat pada dirinya. Kalau ia tidak memiliki sifat itu tentu ia tidak akan mensifatiku dengan sifat-sifat baik itu. Orang ini dalam pandanganku adalah wali Allah.
Adapun orang yang berkomentar tentang diriku hal-hal yang buruk maka ia pun dalam pandanganku juga seorang wali, karena Allah telah memperlihatkan padanya sifatku yang sesungguhnya. Ia adalah orang yang memiliki firasat dan kasyf. Ia meihat dengan cahaya Allah. Karena itu dalam pandanganku ia adalah seorang wali.”
Imam Syafii pernah mendendangkan sebait syair :
من نال مني أو عَلِقْتُ بذمته أبرأته لله شاكر نعمته
كي لا أُرَى ممن يعوق موحدا أو من يسوء محمدا فى أمته
Siapapun yang menyakitiku atau punya ‘hutang’ terhadapku
Aku bebaskan semua itu karena Allah, bersyukur atas nikmat-Nya
Agar aku tak menjadi penghalang kebaikan bagi ahli tauhid
Atau menyakiti perasaan Nabi Muhammad terhadap umatnya
***
Apa yang dikejar oleh seorang sufi, dan –tentunya- juga oleh setiap mukmin? Qalbun salim ; hati yang bersih. Bersih dari apa?
القلب السليم ما اجتمعت فيه أوصاف أربعة
Qalbun Salim itu kalau sudah terhimpun empat sifat
ما سلم من شبهة تعارض خبر الله
1. Bersih dari syubhat yang bertentangan dengan apa yang datang dari Allah
ما سلم من شهوة تعارض أمر الله
2. Bersih dari syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah
ما سلم من إرادة تعارض مراد الله
3. Bersih dari kehendak yang bertentangan dengan kehendak Allah
ما سلم من قاطع يقطع عن الله
4. Bersih dari apapun yang menghalangi dari Allah
***
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah meninggal karena diracun.
Ia tahu yang meracuninya adalah pembantunya sendiri.
Setelah diracun dan sambil menahan sakit, ia memanggil pembantunya itu.
Ia bertanya, “Kenapa engkau kau lakukan ini?” Dengan jujur, pembantunya menjawab, “Mereka memberiku uang seribu dinar dan mereka berjanji akan memerdekakanku.”
Umar berkata, “Berikan padaku uang seribu dinar itu.”
Kemudian Umar memerintahkan agar uang itu diserahkan ke baitul mal.
Lalu ia berkata pada pembantunya itu, “Pergilah jauh-jauh dari sini sampai engkau tidak bisa ditemukan.”
Umar tahu bahwa orang-orang yang berada di balik semua itu dan menyogok sang pembantu untuk meracuni dirinya pasti akan membunuhnya untuk menghilangkan jejak. Karena itu ia menyuruhnya untuk pergi jauh.
Subhanallah… Di detik-detik terakhir hidupnya, Umar bin Abdul Aziz tetap memikirkan kemaslahatan rakyatnya sehingga uang sogok 1000 dinar itu ia perintahkan untuk diserahkan ke baitul mal.
Dan, tak sedikitpun rasa dendam dalam dirinya terhadap pembantu yang telah meracuninya. Ia bahkan menyuruhnya pergi jauh agar ia tidak dibunuh oleh mereka yang telah menyogoknya.
Itulah qalbun salim.
اللهم اجعل قلوبنا قلوبا سليمة وآت نفوسنا تقواها وزكها أنت خير من زكاها أنت وليها ومولاها، آمين
[Yendri Junaidi]
Musuh utama jamaah thariqat adalah kemiskinan dan kebodohan
Acara sidang Munaqasyah Syekh Muda / Syarifah ke-27 tahun 2017 berlangsung khidmat dan sukses bertempat di Pondok Pesantren Bandar Tinggi Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dibuka sejak tanggal 27 Desember 2017. Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Al-Kholidiyah Jalaliyah (TNAJ), Tuan guru dalam tausiahnya menyampaikan bahwa tema tahun ini adalah ‘Dengan suksesnya sidang Munaqasyah Wisuda ke 27, kita tingkatkan kualitas sumber daya manusia Da’i dan Da’iyah untuk menjawab problematika masyarakat kotemporer’. Tema ini juga merupakan jawaban salah satu visi dan misi Thariqat Naqsyabandiyah Al Kholidiyah Jalaliyah diantaranya adalah mensosialisasikan thariqat keseluruh Nusantara dan Mancanegara”, kata Buya.
Tuan
guru dengan sapaan buya menambahkan, keberhasilan yang dicapai saat ini
bukanlah akhir dari perjuangan melainkan proses untuk mencapai
kebahagian dan kesejahteraan. Banyak tantangan dan rintangan yang selalu menghampiri dalam proses tersebut.
Lanjutnya, Oleh sebab itu para Da’i dan Da’iyah TNAJ harus dibekali
dengan ilmu guna mencapai visi dan misi itu yakni mencetak ulama yang
intelektual atau intelektual yang ulama, menciptakan ekonomi kerakyatan
yang mantap dan global, selain itu pengembangan sumber daya terus
ditingkatkan yakni sumber daya manusia (SDM), sumber daya ekonomi (SDE)
dan sumber daya (SDA) bagi Jamaah TNAJ.
“Musuh Thariqat yang utama adalah kemiskinan dan kebodohan”tegas Buya.
Diakhir tausiah tuan guru menerangkan bahwa untuk mencapai semua visi misi Thariqat Naqsyabandiyah Al-Kholidiyah Jalaliyah
tersebut, semua jamaah hendaknya tetap konsisten berpegang teguh didalam
thariqat ini, karena Allah SWT akan memberikan ganjaran yakni
diberikannya rejeki yang melimpah dan tidak ada musuh
didalamnya,tandasnya.
Pertemuan dengan Tuhannya
Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah ke- pada Tuhannya. (QS. Al-Kahfi : 110).
Amal saleh itu adalah amalan-amalan yang baik yang dilakukan dengan di landasi karena iman kepada Allah, baik untuk pribadi, untuk masyarakat, sama ada untuk orang Islam maupun non islam. Ironisnya sekarang banyak terjadi orang beramal tidak saleh malah menyekutukan Allah dalam beribadahnya. Dalam beramal saleh ada yang masuk kategori hablum minallah , yaitu hubungan secara vertikal kepada Allah dan hablum-minannas, yaitu hubungan secara horizontal dengan sesama manusia yang tidak membedakan orang, suku, agama dan kepercayaannya, yang penting pekerjaan yang dilakukan itu baik menurut kacamata syariat islam, sebagaimana sudah termaktub dalam Qur’an dan Hadits. Rasulullah dalam sejarah hidupnya sudah memberi teladan dalam kaitan berhubungan baik dengan sesama manusia. Tidak hanya terhadap orang yang masih hidup , bahkan seorang Yahudi yang sudah meninggal melintas iring-iringannya di depan Rasulullah, beliau ikut berdiri tanda menghormatinya. Ketika hal itu di perjelas oleh sahabat bahwa rombongan jenazah yang baru melintas tersebut adalah mayat seorang Yahudi, Rasulullah dengan sederhana menyatakan “bukankah mereka juga makhluk ciptaan Allah”.
Untuk sampai kepada Allah kita dituntut melakukan yang terbaik apakah itu kepada lingkungan, manusia atau makhluk ciptaan Allah lainnya. Buatlah yang terbaik kepada diri kita sendiri, keluarga, jiran tetangga, kelompok kita atau kelompok lain di luar kelompok kita, orang islam dan bahkan kepada non Islam sekalipun. Karena orang yang beriman itu memahami bahwa buruk dan baik semua datangnya dari Allah SWT.
Ibadah adalah segala bentuk pengabdian atau penghambaan diri, dalam konteks ayat di atas yang dimaksudkan adalah pengabdian diri semata-mata kepada Al- lah SWT, tidak kepada selain-Nya. Segala bentuk kegiatan yang baik bisa bernilai ibadah bila di landasi dengan niat melakukannya semata-mata karena Allah. Bukan karena niat pamer (ria), bukan pula karena ingin menunjukkan kehebatan diri (sombong) supaya disebut-sebut lebih hebat dari yang lainnya.
Dalam hal ini kita sebagai manu- sia mestinya tetap menyadari bahwa kita adalah makhluk ciptaan Allah, di jadikan dengan tujuan yang sangat jelas, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Az-Zari- at: 56: “Tidak Kujadikan Jin dan Manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”. Menurut ayat ini Jin dan Manusia yang tidak mau mengabdi kepada Allah SWT. Berarti lari dari maksud atau tujuan penciptaannya.
Untuk yang berharap ingin ber – temu dengan Allah menurut QS. Al- Kah : 110 di atas syaratnya tidak banyak, pertama: hendaklah beramal dengan amalan yang saleh dan kedua: jangan sekutukan Tuhan dalam beribadah dengan sesuatu yang lain. Syarat ini sangat sederhana dan mudah untuk di ingat dan dicerna, tetapi sangat sulit untuk dilakukan bagi yang tidak mau berjuang dengan penuh kesungguhan (mujahadhah) dan melatih dirinya (riyadhoh) secara berkesinambungan.
Kalau kita cerna secara akal sehat sangat logis mengapa Allah tidak mau disekutukan, terlebih ketika beribadah kepada-Nya? sederhananya saja, kita manusia baik laki-laki maupun perempuan hampir tidak ada yang mau di duakan. Coba kita tanyakan kepada muda-mudi yang ingin memilih pasangan hidupnya, jarang sekali yang mau diduakan. Kalaupun ada, mungkin karena tidak tahu atau sudah tidak bisa di hindarkan lagi, atau kemungkinan yang memang memiliki ke-imanan yang kuat kepada Allah dengan ber – pedoman kepada Qur’an dan Hadits.
Kita sadar betul tidak ada milik kita yang abadi di dunia ini, bahkan dikata orang milik kita yang ada sekarang ini, juga hakikatnya adalah kepunyaan Allah juga sesungguhnya. Ironisnya dalam kondisi seperti itupun kita sudah tidak terima kita di duakan. Oleh karena itu, benarlah Allah tidak mau disekutukan, Dia Pencipta dan pemilik alam beserta seluruh isinya. Bahkan kita juga termasuk milik Allah. Kita yang hidup diciptakan oleh Allah. Hidup di bumi Allah diperintahkan untuk mengabdi hanya kepada Allah dengan tidak mensekutukan-Nya. Kalau itupun kita tidak mau, jangan harap
bisa bertemu dengan Allah SWT. Padahal menurut keterangan sebagahagian ulama Tauhid dalam kitab-kitab mereka, bahwa kenikmatan yang paling puncak (ekstasy) bagi penduduk surga nantinya adalah ketika bertemu dengan Allah SWT.
Wala yusriq bi ibadati robbihi ahadaa. Hal ini merupakan larangan kepada kita untuk menyekutukan Allah dalam beribadah dengan sesuatu. Q.S. Al ikhlas : sudah menyatakan bahwa “Allah itu Esa”. Namun masih banyak yang melakukan penyekutuan, misalnya anak yang sakit dan dibawa berobat ke dukun, karena mempun- yai alasan keteguran (kesambat).
Allah hanya menilai hati kamu bukan harta dan rupa kamu (Al hadist), maka Jangan tinggalkanlah Allah dalam segala hal gerak gerik kita. Inna aqromakum ‘indallahi atqokum, bahwa yang lebih mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa diantara kamu (atqokum). Takwa berarti mampu melaksanakan ilmu yang sedikit dan mampu mengamalkan ilmu yang diketahuinya. Karena Banyak orang yang tidak mampu melaksanakan ilmunya. Allah menyatakan, “Man amila bima ‘alima, Allamahullahu ‘ilman malam ya’lam”, “Siapa yang mengamalkan ilmu yang sedikit akan ditambah Allah ilmunya”. Sekarang kita semua sudah wajib mengajar (dakwah) karena kita sudah mengetahui lebih dari satu ayat. (perintah dakwah), Balighu anni walau ayah”. Allah akan mem- berikan paham kepada kita meski- pun yang tidak diajarkan Guru. “Man amilabimaa ‘alima warusa- hullahu ‘ilmaa maa lam yaqlam”.
TAUSIYAH TUAN GURU, JUM’AT 06 APRIL 2012
Penyunting: SM. Hasanuddin, S.Sos.I & Krishna
MEDIA MENARA | EDISI 2 | JUNI 2012
Sabtu, 08 April 2023
Lenyap didalam ke-esaannya ALLAH
PERJALANAN NYAWA DI DALAM SHOLAT
Kamis, 06 April 2023
Muraqabah Aqrabiyah
Pelaksanaan
dzikir ini pada dasarnya menurut Thariqat An-Naqsyabandi adalah dengan
membaca kalimah laa ilahaa illallah dengan tertib dan aturan
pelaksanaannya secara dzahir dan bathin, adapun tata caranya adalah
sebagai berikut :
- Niat, maksudnya hendaklah kita niatkan terlebih dahulu semoga pahala dari tahlil ini yang 70.000 dapat menjadi tebusan diri kita dari siksa neraka dan atas segala dosa yang kita perbuat di dunia ini, dengan do’a ini : “Ya Allah, jadikanlah kalimat laa ilahaa illallaah sekhatam (70.000) ini sebagai hadiah bagi Rasulullah Saw, Amiin.
- Mengingat akan Allah (konsentrasi) secara hati sanubari yang bersih dan ikhlas;
- Menggunakan maqamat (lathaif) dengan memandang gurisan kalimah Laa ilahaa illallah pada titik tempat di tubuh jasmani, yaitu : “Kalimah Laa ilahaa illallah di tarik kira-kira dua jari di bawah susu kiri menuju kira-kira dua jari keatas susu kiri, lalu terus kira-kira dua jari di atas susu kanan selanjutnya terus menuju kira-kira dua jari di bawah susu kanan terus pukulan akhirnya kembali ke bawah susu kiri lagi;
- Ucapkanlah kalimah Laa ilahaa illallah ini dengan tartil dan benar dan secara jihar;
- Hadirkan maknanya (Laa ilahaa illallah) dalam hati;
- Telinga mendengarkan ucapan kalimah laa ilahaa illallah ini melalui lidah untuk sebagai saksi;
- Semua titik maqam yang di lewati kalimah laa ilahaa illallah tadi mengingat akan Allah;
- Menyadari dan mengintai bahwa Allah selalu bersama hamba-Nya.
- Pada ucapan kalimah tadi yang terakhir (Allah) hempaskan pada hati sanubari (Maqam Idzmu dzat/Lathifatul Qalbiy).
Inti pelaksanaan pada dzikir ini adalah dengan duduk tafakkur dan senantiasa mengintai dan menyadari akan sesungguhnya Allah selalu hambaNya (kita).
Sebelum melaksanakan dzikir tahlil ini, maka sampaikanlah pahalanya secara khusus kepada seluruh para Nabi dan Rasul yang ada pada Al-Qur’an, jika telah menyelesaikan jumlahnya sekhatam (70.000) maka berdo’alah dengan do’a berikut : Yaa Allah, sampaikanlah sekhatam tahlil ini kepada arwah Nabi Muhammad Saw dan anak cucunya serta para sahabat-sahabat beliau beserta para keluarganya dan kepada para Nabi dan Rasul terdahulunya, amiin.
Muraqabah Ahdiyatul Af'al
Muraqabah juga merupakan menjaga hati dari segala hal bermacam-macam rasa atau lintasan hati yang terlintas, seperti was-was dan khawatir walaupun hal baik atau buruknya suatu hal keadaan seseorang hamba saat bertafakkur kepada tuhannya, pengamalan muraqabah ini seseorang hamba tidaklah perlu mengerjakan dzikir, tetapi tertibnya hanya perlu mengheningkan akan keberadaan hati dan pikirannya serta berniat hanya tertuju kepada Allah saja, caranya duduk tafakkur dalam waktu yang tidak terbatas sambil mengintai bahwa i’tikad pada diri kita secara lahir dan bathin yakin bahwa di lihat oleh Allah dan segala yang kita tuju selalu di ketahui dan di ridhai-Nya.
Bila seseorang hamba berhasil dalam pelaksanaan ini maka akan merasakan dengan haqqul yakin bahwa Allah selalu memperhatikan dan bersama dengan kita di mana saja berada, jika sudah sedemikian maka akan terasalah ketenangan bathin yang tenang dan tentram, bahkan di sinilah timbul tetesan air mata pengakuan yang tulus akan kerendahan seseorang hamba di hadapan khalik-Nya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Jika seseorang hamba merasakan dalam bathinnya bahwa Allah senantiasa selalu memperhatikan dan melihat kita, maka sudah pasti hidayah akan selalu mengerjakan suruhan dan menjauhi larangan-Nya akan terlaksana dengan baik dan meningkatkan serta mempertebal tingkat ketaqwaan seseorang hamba.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat : 191 yang berbunyi : "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : "Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Rasulullah Saw juga bersabda : “Bertafakkur sesaat itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun.”(H.R. Abu Dzar Al-Ghifari).Do’anya seseorang hamba dalam bermuraqabah ini adalah : “Antaridzu wurudal faidli minallahi subhanahu wata’ala alfaidhli ‘alaa lathiifatil qalbiy syayyidina jibril alaihissalam wa’alaa lathifatiil syayyidina adam alaihissalam wa’alaa lathiifati qalbiy syayyidina muhammadin wa’alaa lathiifati qalbiy biwaa ashithati masya’ikhunal kiraami ridhwanullahi ta’ala ‘alahi ‘ajma’iin.” Artinya : Hamba mengharapkan turunnya limpahan dari Allah yang mengalir ke hati Jibril AS dan ke hati Adam As dan ke hati junjungan kami Muhammad Saw ke dalam hatiku, dengan perantaraan para orang shaleh terdahulu, semoga Allah ridha kepada beliau-beliau sekaliannya.”
Tertibnya adalah duduk tafakkur dalam keadaan hening dan konsentrasi penuh kepada mengingat Allah sambil mengintai bahwa sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu dan yang menggerakkan atau mendiamkan setiap segala sesuatu yang terkecil (dzarrah) pada seluruh alam ini.
Jika telah terasa dalam gerak diam tersebut pada jiwa, maka akan terasa bahwa ini semua adalah perbuatan Allah semata (Af’al Allah), dengan demikian maka seseorang hamba tersebut akan dapat hidayah sifat yang baik berupa jika seorang lawan maka di pandang sebagai kawan dan musuh sebagai sahabat, apapun yang di lakukan orang lain terhadapnya maka di terima dengan hati yang lapang walaupun buruk itu adanya dan merupakan bahwa itu datangnya hanyalah daripada Allah semata, sedangkan manusia tadi hanya sebagai majadzinya (bayangan) saja dan bukanlah sebagai wujud hakikat yang sebenarnya. Nah, barangsiapa yang mencapai derajad maqam ini akan tentu ia bersikap segala sesuatu di pandangnya baik, karena pada dasarnya adalah perbuatan Allah semata yang di sandarkan kepada makhluk-Nya, segala gerak gerik pada alam ini adalah merupakan madzhar akan perbuatan (af’al) Allah.
Seseorang yang telah mengerjakan dan merasakan akan hasil Muraqabah Mutlak dan Muraqabah Ahdiyatul Af’al ini biasanya telah mencapai tingkatan Chalifah Mursyid dan Chalifah Pembantu Mursyidin, akan tetapi harus memenuhi persyaratan yang mutlak dalam Thariqat An-Naqsyabandi, yaitu harus menyelesaikan atau menamatkan Tahlil Lisan (jihar) sebanyak 7 (tujuh) khatam yang masing-masing sekhatamnya adalah 70.000 dzikir tahlil, jadi bila di jumlahkan adalah sebanyak 490.000 dzikir tahlil lisan atau jihar berikut dengan syarat-syarat pelaksanaan tahlil tersebut. Ini merupakan inti gabungan dzikir tahlil lisan pada muraqabah yang lain dan merupakan saling terhubung dengan 7 (tujuh) macam muraqabah pada tingkatan ajaran An-Naqsyabandi.
Muraqabah Mutlaq
Muraqabah Mutlaq adalah lanjutan tehnik dzikir Nafi Isbat, Muraqabah
Mutlaq adalah menjaga hati dari segala hal bermacam – macam rasa atau
lintasan hati yang terlintas, seperti was – was dan khawatir
walaupun
hal baik atau buruknya suatu hal keadaan seseorang hamba saat
bertafakkur kepada tuhannya, pengamalan muraqabah ini seseorang hamba
tidaklah perlu mengerjakan dzikir, tetapi tertibnya hanya perlu
mengheningkan akan keberadaan hati dan pikirannya serta berniat hanya
tertuju kepada Allah Swt saja, caranya duduk tafakkur dalam waktu yang
tidak terbatas sambil mengintai bahwa i’tikad pada diri kita secara
lahir dan bathin yakin bahwa di lihat oleh Allah Swt dan segala yang
kita tuju selalu di ketahui dan di ridhaiNya. Hal ini tercantum dalam
firman Allah Swt
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ
مِنْ قُرْآنٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ
شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ
مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ
ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Kamu tidak
berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur’an
dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi
atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu
biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang
lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam kitab yang nyata .” (QS. Yunus Ayat : 61)
Bila seseorang hamba berhasil dalam pelaksanaan ini maka akan merasakan
dengan haqqul yakin bahwa Allah Swt selalu memperhatikan dan bersama
dengan kita di mana saja berada, jika sudah sedemikian maka akan
terasalah ketenangan bathin yang tenang dan tentram, bahkan di sinilah
timbul tetesan air mata pengakuan yang tulus akan kerendahan seseorang
hamba di hadapan khalikNya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Swt.
Dalam mengamalkan Muraqabah Mutlaq caranya adalah sebagai berikut:
1. Posisi duduk yang santai dan rileks
2. Niatkan dalam Hati agar dapat limpahan dari Allah
إِلَـهِيْ اَنْتَ مَقْصًودِيْ وَرِضَاكَ مَطْلًـوبِيْ اَعْـطِنِي مَحَبَّتـَكَ وَمَعْرِفَتَـكَ
” Wahai Tuhanku hanya Engkaulah yang kutuju, dan keridhoan-Mu yang ku
cari, berikan kepada ku kemampuan untuk mencintai-Mu dan Makrifat
kepada-Mu “.
3. Fokuskan di dada selama meditasi berlangsung
4. Heningkan hati, perasaan dan pikiran dalam meditasi/muraqabah ini tidak membaca apa-apa kecuali hanya hening.
5. Sugestikan diri anda secara dhohir dan bathin bahwa kita dilihat
oleh Allah dan segala gerak-gerik kita diperhatikan oleh Allah.
6. Waktu lamanya meditasi ini terserah anda.
Tehnik di atas sama dengan tehnik meditasi, ketika seseorang
meditasinya sudah meningkat dan mendalam, maka dalam meditasi tidak
membaca atau berdzikir apapun, kecuali hanya diam, hening dan bening.
Dalam konsep meditasi ada tiga tahapan
1. Dharana
Artinya
mengendalikan pikiran agar terpusat pada suatu objek konsentrasi.
Misalkan seseorang yang meditasi masih menggunakan obyek misalkan
bacaan dzikir atau nafas. Kemampuan melaksanakan Dharana dengan baik
akan memudahkan mencapai berikutnya.
Dzikir Ismu Dzat, Dzikir
Lathaif, Dzikir Nafi Isbat tergolong pada tahapan dharana, dzikir-dzikir
tersebut adalah dasar pondasi, jika hasilnya bagus dan kuat, maka dalam
perjalanannya berikutnya akan mudah, karena tahapan dzikir dalam
tharekot adalah sebuah sistem, antara tahap pertama dan kedua saling
berkaitan.
2. Dhyana
Adalah suatu keadaan di mana arus
pikiran tertuju tanpa putus-putus pada objek yang disebutkan dalam
Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan/ godaan lain
baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Gangguan/ godaan yang nyata
dirasakan oleh Panca Indria baik melalui pendengaran, penglihatan,
penciuman, rasa lidah maupun rasa kulit. Gangguan/ godan yang tidak
nyata adalah dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek
Dharana.
Tujuan Dhyana adalah aliran pikiran yang terus menerus
kepada Tuhan melalui objek Dharana. Maharsi Patanjali menyatakan: "Tatra
pradyaya ekatana dhyanam" Artinya: Arus buddhi (pikiran) yang tiada
putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Dalam tasawuf, muraqabah
Mutlak tergolong tahapan meditasi Dhyana sehingga dalam meditasi/dzikir
tidak membaca apapun, kecuali hanya iam dan pasrah kepada Allah.
3. Samadhi
Samadhi adalah tingkatan tertinggi dari Astangga-yoga, yang dibagi dalam dua keadaan yaitu:
1) Sabija-samadhi, adalah keadaan di mana yogin masih mempunyai kesadaran, dan
2) Asamprajnata-samadhi, adalah keadaan di mana yogi (sang Pesuluk)
sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya, karena bathinnya penuh
diresapi oleh kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Tuhan.
Baik dalam keadaan Sabija-samadhi maupun Nirbija-samadhi, seorang yogi
(sang Pesuluk) merasa sangat berbahagia, sangat puas, tidak cemas, tidak
merasa memiliki apapun, tidak mempunyai keinginan, pikiran yang tidak
tercela, bebas dari "catur kalpana" (yaitu: TAHU, DIKETAHUI, MENGETAHUI,
PENGETAHUAN), tidak lalai, tidak ada ke-"aku"-an, tenang, tentram dan
damai.
Dalam Thoriqot Naqsyabandiyah, kondisi meditasi tahap
Samadhi adalah sama dengan kondsisi Muraqabah Ahdiyatul af’al. Nah,
barangsiapa yang mencapai derajad maqam ini akan tentu ia bersikap
segala sesuatu di pandangnya baik, karena pada dasarnya adalah perbuatan
Allah Swt. semata yang di sandarkan kepada makhlukNya, segala gerak
gerik pada alam ini adalah merupakan madzhar akan perbuatan (af’al)
Allah Swt.
……………..فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُوْنَ
“……. maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
rasa takut bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” (
al-Baqarah : 38)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ
Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri dan duduk, dan dalam keadaan berharing, dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi sambil berkata: "Ya Tuhan kami,
Engkau tidak menciptakan ini dengan sia-sia! Maha Suci Engkau! Maka
peliharalah kami dari siksa neraka." (Qs. Yunus:191)
Dalam
Tulisan ini sengaja saya gabungkan pembahasan antara Muraqabah Mutlaq
dengan Muraqabah Ahdiyatul Af’al. Karena keduanya tehniknya sama, hanya
saja dalam Muraqabah Ahdiyatul Af’al lebih dipertajam dan lebih
dikuatkan ketika duduk diam dan pasrahnya.
Ada sebagian orang
yang menyatakan, bagaimana jika seseorang pesuluk (pencari Tuhan)
langsung memakai tehnik Muraqabah Mutlaq, yaitu duduk diam fokus di hati
dan pasrah diri pada Allah tanpa membaca apapun. Jika orangnya sudah
berpengalaman dalam berbagai bidang tehnik dzikir dan meditasi tidak
masalah, akan tetapi bagi orang yang dasarnya belum pernah olah
spritual, maka jika langsung memakai tehnik Muraqabah Mutlaq maka
hasilnya adalah sia-sia, hanya rasa kantuk dan capek, sehingga menjadi
malas dalam mengamalkannya.
Antara Dzikir Ismu Dzat, Dzikir
Lathoif, dan Dzikir Nafi Isbat adalah ibarat sebuah jaringan komunikasi
yang canggih, Dzikir Ismu Dzat adalah pancang tower agar bisa nyambung
ke satelit, Dzikir Lathoif, adalah kabel-kabel cangggih untuk membangun
jaringan dalam sebuah bangunan kantor, sedangkan Dzikir Nafi Isbat
adalah sistem otomatisnya yang berupa software program dengan berbagai
bentuk vitur yang lengkap. Nah Muroqbah Mutlaq adalah mulai fungsinya
jaringan komunikasi tersebut yaitu antara makhluk dan Khalik.
Maka jika seseorang pesuluk langsung memakai tehnik dzikir muraqabah
mutlaq tanpa di dasari dengan jaringan sistem lainnya, bagaimana mungkin
dia bisa tersambung dan komunikasi....?
Semoga semua makhluk diberi cahaya oleh Allah.....
Literatur:
1. Syekh H. Djalaluddin, Sinar keemasan II, Persatuan Pengamal Tarikat Islam, 1987. Hal. 31 dan 32.