Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa
atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu sekalian bertakwa. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas,
bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R)
berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah
(Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan
Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan
huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahayaAllah).
Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan
Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus
sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan
dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi
dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi
lainnya.
Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh
keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa
bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa:
Puasa Hakiki.
Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama
Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah
sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan
memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para
hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada
hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa
Tuqaatih”, takwa yang hakiki.
Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan,
sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”,
bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan
ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa
dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.
Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, -
dalam Hadits Qudsi - “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia
kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku,
dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng,
manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan
suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang
memakinya, katakanlah :
“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa
Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih
harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “
Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)
Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya
mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari
perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk
berpaling pada selain Allah.
Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga
karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau
empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita
karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti
meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah
dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar
bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu
mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya
tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga
tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam
Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “
Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan
spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri
mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan,
Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi
merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah
dalam lembah bulan suci ini.
Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan
kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa,
sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan
hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan
diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya
adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin,
sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa
Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada
Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam
jiwanya.
Dalam tradisi Rasulullah SAW, bulan puasa merupakan bulan ubudiyah. Jika
siang hari beliau menahan dari dari segala hal selain Allah, maka di
malam hari beliau melakukan Qiyamul Lail, yang kelak disebut dengan
tarawih, sebagai upaya bangkit dalam ma ‘rifatullah.
Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:
Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah
satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah
awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya
ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya
kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri
fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan
terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak
mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan
kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal,
kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana
penyaksian (musyahadahnya).
Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an
diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah
itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya
ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah,
dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an
diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah
manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya
haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.
Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan
cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan
manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan
yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana
Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman.
Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol
betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang
telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka
yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana
‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa
berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang
hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul
‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi
adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan
hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan
yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.
Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang
sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka
ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena
para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi,
kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah.
Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih
diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang
benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan,
dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang
beriman adalah Rumah Allah).
Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika
mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan
kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama
bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa
disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah
kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut
ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya,
ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat
ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah,
sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu)
dengan-Nya.
Mereka yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan
merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba
Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu
meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa
Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai
haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan
kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan
jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar).
Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Rabu, 05 April 2023
Telaga Sufi di Bulan Suci
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar