Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?
Selama ini diasumsikan bahwa antara syariah dengan tasawuf merupakan
dua sisi ang selalu dihadapkan secara vis a vis. Fanatisme syariah (baca
: fuqaha) memandang haram atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil
dan argumentasi, baik secara naql maupun nalar. Sementara para pelaku
tasawuf tidak ketinggalan dalam mengkritik para fuqaha yang hanya
melihat hitam di atas putih dan formalitas belaka, tanpa menangkap
essensi Islam. Rumor di kalangan masyarakat jawa, bahwa syaringat
(bacaan orang jawa) itu dipahami nek sare njengat atau kata Mekah
dipahami nek turu mekakah menjadi salah satu bukti kesenjangan antara
syariat dan tasawuf.
Patut dicatat, bahwa insiden al-fitnah
al-kubra yang menghantarkan jatuhnya Khalifah Ali dari ke-khilafah-an,
diganti Muawiyah merupakan sumber utama bagi perpecahan kaum muslimin
dalam berbagai sekte dan aliran.
Para analis sepakat bahwa,
peristiwa ini awalnya bersifat politis, kemudian merembet kepada wilayah
aqidah serta aspek-aspek keagamaan lainnya. Fenomena semacam ini pada
akhirnya juga mewarnai hampir semua polemik di tubuh umat Islam yang
mengatasnamakan agama.
Al-Hallaj (w. 309 H) diekskusi dengan
dakwaan menyebarluaskan ajaran hulul dalam tasawuf. Ajaran itu
diputuskan sesat oleh penguasa berdasar legitimasi para fuqaha mazhab
dhahiriy.
Penentuan sesat atas pengalaman batin al-Hallaj jelas
lebih bermuatan politis, karena keberpihakan al-Hallaj –sebagai seorang
shufi agung yang sudah tidak ada ruang untuk membenci– kepada rakyat
kecil dan kelompok marginal; seperti syiah, qaramithah serta non-muslim.
Di pula Jawa, kasus serupa dialami Syaikh Siti Jenar (Lemah Abang) yang
didakwa menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti, sehingga oleh
para wali kerajaan saat itu divonis hukuman pancung. Dari sinilah
akhirnya para fuqaha yang dimotori kepentingan politis penguasa
menciptakan ketegangan yang tak berujung antara syariah dan tasawuf.
Kebebasan para shufi dalam menaungi pengalaman batinnya serba diatur
oleh hukum formal. Karena itu, image pemisahan syariah dan tasawuf pada
mulanya lebih sebagai fenomena politisasi agama yang berimbas pada
dichotomi dua unsur utama ajaran Islam tersebut oleh kalangan awam atau
dijadikan senjati bagi para penguasa untuk mempertahankan status quo.
Distingsi kedua aspek penting dalam ajaran Islam tersebut sangat
dimungkinkan, karena antara keduanya memiliki sisi yang jelas tidak
dapat dipersamakan. Bahwa tasawuf itu lebih menempati wilayah batin atau
hati, suatu daerah yang tak dapat ditembus oleh inderawi manusia.
Wilayah ini bersifat immateri yang permanen. Ia hanya dapat diteropong
melalui cahaya (nur) emanasi Tuhan ke dalam masing-masing qalbu manusia
yang hanya dapat dideteksi melalui bashirah (mata hati). Sementara,
syariah bersifat lahiriah yang legal-formal yang dapat ditangkap mata
telanjang.
Integrasi syariah dengan tasawuf dengan demikian
menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syariah
merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf
berpangkal pada ajaran ihsan,
an-tabudallaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fainnahu yarak,
hendaknya kalian beribadah (bersyariat) seakan-akan kamu milhat-Nya, jika tidak sesungguhnya Dia melihatmu.
Implikasinya, jika dalam syariat diwajibkan thaharah (bersuci) sebelum
melaksanakan ibadah, maka untuk mampu menembus penglihtan Tuhan, tasawuf
mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.
Kemudian
apabila seorang sedang shalat; syariat mengharuskan memenuhi syarat dan
rukun, sementara tinjauan ihsan (shufistik) mengharuskan aktivitas hati
yang tulus, hudlur dan khusyu. Semakin mendalam realisasi shufistik
seseorang, pada gilirannya justeru semakin meningkatkan kualitas
ke-Islam-an dan syariah orang tersebut dalam mencapai derajat muhsin.
Di sisi lain, penguatan aspek tasawuf juga akan menjadi dinamisator
bagi jiwa seseorang. Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah
ar-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit bagi pelakunya.
Sebaliknya, syariat ibarat jalan yang akan dilalui shufi dalam
ber-revolusi, Apabila terlalu banyak hambatan dan lobangannya jangan
harap akan sampai pada terminal akhir. Secara eksplisit Allah swt sering
menyitir bahwa, wa maa khalaqtul jinna wal-insa illa li-ya buduni,
Maknanya, bahwa penciptaan jin dan manusia hanyalah untuk marifat
kepada-Nya. Marifat (pengenalan) mula-mula dengan secara inderawi
(syariah), namun setelah semakin dekat relasi inderawi saja tentu belum
cukup, maka muncullah pengalaman mahabbah (cinta), hulul, ittihad hingga
wihdatul wujud dari para shufi.
Dalam firman-Nya yang lain,
“wa lal-akhiratu khairun la-ka minal-ula” tidakkah, masa depan (akhirat,
ihsan/tasawuf) lebih baik daripada yang permulaan (dunia, syariat).
Nilai-nila spirit tasawuf atas syariah juga dapat kita jumpai dalam
setiap maqamat (station-station) dan ahwal para shufi, misalnya :
1. Taubat yang didasarkan atas firman Allah swt yaa ayyuhal-ladzina
amanuu tuubuu ilallahi taubatan nashuha,akan menumbuhkan sikap konsekuen
dan tanggung jawab seorang hamba;
2. Zuhud yang disandarkan atas firman-Nya wa kaanuu fi-hi minaz-ahidin, akan meningkatkan kebesaran jiwa manusia;
3. Faqr yang disandarkan firman-Nya lil-fuqarail-ladzina uhshiruu fii
sabiilillah..akan membentuk jiwa yang kharismatik dan mengikis sikap
oportunis;
4. Sabar yang didasarkan firman Allah innama
yuwaffash-shaabiruuna ajrahum bi-ghairi hisab, akan membentuk pribadi
yang bermental baja;
5. Tawakkal yang bersumber dari firman Allah wa alallahi fal-yatawakkalil mutawakkilun, akan membangun independensi seseorang,
6. Syukur fadzkuruu-ni adzkurkum, wasykuruu lii wa-laa takfurunakan memberangus keserakahan seseorang;
7. dan lain-lain demikian seterusnya.
Integrasi syariat dan tasawuf juga nampak dari pertautan ajaran jihad
dengan mujahadah. Jihad bersifat fisik, seperti berperang di medan
pertempuran, memerangi tempat kemaksiatan serta perjuangan material
lainnya. Sementara mujahadah lebih menekankan visi ruhani dalam menahan
hawa nafsu, amarah serta penyakit hati lainnya. Kedua bentuk pertempuran
di atas dalam Islam jelas tidak dapat dipilah-pilahkan antara satu
dengan lainnya, karena justeru akan menjadi komplemen.
Wal-Hasil, syariah dan tasawuf sebetulnya merupakan dua sisi mata uang
yang tak dapat dinegasikan dan dipertentangkan antara satu sisi dengan
sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut secara vis a vis, selain
akan memperlihatkan kebodohan seseorang, juga memberikan indikasi adanya
upaya politisasi Islam.
Karena itu, persoalan agama, sepanjang
tidak dijadikan komoditas politik akan mendamaikan kehidupan manusia,
tetapi jika sebaliknya akan nampak keras dan tidak membawa
kesejahteraan. Mereka yang termasuk kelompok terakhir, pasti bukan
tipologi shufi. Tasawuf dengan demikian mampu menjadi muara bagi semua
madzhab (sekte) yang bertebaran di bidang syariah, baik di kalangan
sunni, syii, mutazili maupun lainnya. Bahkan syariat lintas agama pun
mampu bersarang dalam tasawuf. Inilah essensi dan substansi Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar