Asal-usul
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt , putra Ki Ageng Pengging atau Ki
Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar
pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. [1] Kedua
ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar . Sepulang dari mendalang,
Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. Sepuluh tahun
kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak
terhadap Kesultanan Demak . Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan
Kudus . Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan
meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat
Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Pangeran Raden Mas Jaka Tingkir
Mas
Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka
Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga . Ia juga berguru pada
Ki Ageng Sela , dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng
yaitu, Ki Juru Martani , Ki Ageng Pemanahan , dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir : Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu
Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+
Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir Mengabdi ke Demak Babad
Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke
ibu kota Demak . Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka
(saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak
berpangkat lurah ganjur . Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan
Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak
berpangkat lurah wiratamtama . Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir
bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar
bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji
kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan SADAK
KINANG. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir
dari Demak . Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru
atau Ki Kebo Kanigoro(saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia
kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca,
Mas Wila, dan Ki Wuragil. Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai
Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya
menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut
kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan. Saat itu Sultan
Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir
melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang
sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu
mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit
yang mampu melukainya. Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila.
Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan
Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa
setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak , dan ia
tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun
mendapatkan simpati Sultan kembali. Menjadi Sultan Pajang Prestasi Jaka
Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas
dalam Babad Tanah Jawi . Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya
Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia
juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan Trenggana . Sepeninggal
Sultan Trenggana tahun 1546 , putranya yang bergelar Sunan Prawoto
seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya
Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang
membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh karena Sunan Prawoto
sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran
Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan sholat ashar di tepi Bengawan
Sore. Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggono
sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus.
Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan
Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami
dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara . Kemudian Aryo
Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang , tapi
gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta
memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang .
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto )
mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang
setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan
memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota
keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid
Sunan Kudus. Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa
dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan
mentaok/ Mataram sebagai hadiah. Sayembara diikuti kedua cucu Ki
Ageng Sela , yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang
itu, Ki Juru Martani ( kakak ipar Ki Ageng Pemanahan ) berhasil
menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng
Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan
Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore
dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang. Setelah peristiwa tahun
1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang
dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan
Kadipaten dengan anak Suan Prawoto yang menjadi Adipatinya Sultan
Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam
pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara,
sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat
ngabehi. Sumpah setia Ki Ageng Mataram Sesuai perjanjian sayembara, Ki
Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara
itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan
Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram . Sampai tahun 1556 ,
tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan
untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah
kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah
dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan
Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu
mengalahkan kebesaran Pajang . Ramalan itu didengarnya saat ia
dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang . Sunan Kalijaga
meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah
panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan
bersumpah setia kepada Pajang . Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun
rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu. Tanah
Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang
saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan
sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani , membuka hutan tersebut menjadi
desa Mataram . Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan
atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan
yang
kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke
Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar
pajak dan upeti. Menundukkan Jawa Timur Saat naik takhta, kekuasaan
Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal
Sultan Trenggana , banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan
diri. Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan
Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati
Surabaya . Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman
invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang , Madura , dan
Blambangan . Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton
menjadi mediator pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati
Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati sehingga
mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas
negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya. Selain itu, Adiwijaya
juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang
bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi
menantunya. Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk
pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua
kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui
keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya
tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak
takdir. Pemberontakan Sutawijaya Sutawijaya adalah putra Ki Ageng
Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal
ayahnya tahun 1575 , Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram ,
dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh. Waktu
setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya
mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan
kesetiaan Mataram . Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang
sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu
pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang
disampaikan secara halus. Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar
kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk
menyelidiki kesetiaan Sutawijaya . Kali ini yang berangkat adalah
Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi
adipati Tuban ), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan
pesta oleh Sutawijaya . Di tengah keramaian pesta, putra sulung
Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban
yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang
suka dengan Sutawijaya sekeluarga. Maka sesampainya di Pajang , Arya
Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya , sedangkan Pangeran Benawa
menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan
saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan
diri. Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di
Pajang , bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke
dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya).
Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang
karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan
adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram . Sutawijaya
pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan
pembuangannya ke Semarang . Kematian Perbuatan Sutawijaya itu
menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram . Perang
antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di
Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan.
Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba
meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang
dekat gunung tersebut. Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam
perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak
mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat
kalau ajalnya segera tiba. Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di
tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga
harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang , datang makhluk halus
anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya,
membuat sakitnya bertambah parah. Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak
dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya , karena perang
antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu,
Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya
sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya
Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582
tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu
kandungnya. Pengganti Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak.
Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama
Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri
yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak . Arya
Pangiri sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang
menggantikan Sultan Trenggono menjadi Raja Demak. Arya Pangiri
didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus ) untuk menjadi
raja. Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi
bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang ,
bergelar Sultan Ngawantipura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar