Oleh Marsudi Fitro Wibowo*
Dan
barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An
Nisaa'(4):69)
Bagi
orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan
merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk
menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal
ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing
pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang
Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum
Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja
diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar
bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam
sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa
didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela
dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.:
“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka
itu merupakan perkataan yang paling dusta.” HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu
kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an
dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma’ruf nahi munkar. Sejak jaman
sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun
nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain
seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain
sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau
Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang
bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh
kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim
Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id
ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari,
al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris,
as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya
hingga kini terus berkembang.
Dalam
praktek realisasi ilmu Sufi khusunya tempo dulu, mutasawwif (orang
Sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk
menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan
dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan
utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah
SWT. Disisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan
yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah Swt dalam beribadah.
Disinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk
membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri
pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau ber-ma’rifat,
selain itu berintrospeksi diri siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan
hadits Nabi Saw. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barang
siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)”.
Jelas
bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam
Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam
batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara
kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah
namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar
biasa yang mampu mecahkannya. Sebab “Al-Islaamu ‘ilmiyyun wa ‘amaliyyun”
(Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu
ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan
khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah
keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari
aturan Islam.
Dalam
kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan
Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka
adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana
mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”. Sedangkan Al-Junaid
seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad
menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: “Ilmu Sufi (Tasawwuf)
adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya;
Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk
memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia
yang melihat rahasia nuraninya.”
Ilmu
Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot,
ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi
di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh
luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak
yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan
madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia
menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan
masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia
ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di
hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang
dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu
Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut
Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: “Man tassawaffa wa lam
yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad
fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa
mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan
barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang
mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian
bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat
dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting
suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi
dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu
ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini
adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula
untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah
sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang
syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan
lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu
Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga
sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari
ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan
kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh
dan Tasawwuf.
Cintanya
orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu
kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan
jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam
dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang
mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau
pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan
(Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj
ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam,
sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi
penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu Syeikh Siti Jennar yang mirip
dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di
Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati
seseorang.
**
Keunggulan
umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf
yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid,
ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara
untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara
otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut
Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya
Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu
sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”.
(Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut
Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid
ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran
Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah
Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan
kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit,
(5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh
Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat
perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan
muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam
bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman
spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan
munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil ‘aalamiin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar