Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Senin, 23 Mei 2016
Sunan Kalijaga
Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda
datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke
Kadilangu dahulu. Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir
tanpa putus wajahnya begitu tulus – dan ketulusan itulah yang memberi
perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis
Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI
(2003) disebutkan sebagai “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yakni
makam Sunan Kalijaga. Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih
akrab lagi adalah karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang sering
dimanfaatkan tanpa disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti
terjadi dengan kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi
sebagai kidung tolak bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga
terdengar indah sekali. Perhatikan: Ana kidung rumeksa ing wengi Teguh
hayu luputa ing lara Luputa bilahi kabeh Jim setan datan purun Paneluhan
tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami Guna duduk pan sirna. Ada kidung
melindungi di malam hari Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka Jin dan setan pun tidak mau Segala jenis
sihir tidak berani Apalagi perbuatan jahat Guna-guna dari orang
tersingkir Api menjadi air Pencuri pun menjauh dariku Segala bahaya akan
lenyap. Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam
metrum dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis
seorang sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003)
karya Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung
yang juga bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan
konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang
tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik
perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan
membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran.
Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics:
Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness
(1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan
sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat
berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan
materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan
Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai
dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib
seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya
pada masa kehidupan Sunan Kalijaga. Chodjim menyampaikan kisah nyata,
bahwa kidung ini masih berfungsi di desa pada masa kini demi kebutuhan
praktis, misalnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa
berpuasa 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa
ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang.
Alhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan,
bukan tikus mati di mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut
Chodjim, doa memang bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam.
Disebutkan dengan tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif –
dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan
kesucian. Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan
reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan
Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan
bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip
di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan
terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu
sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi
memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan
dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa
itu. Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935,
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk
Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah
“yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal
sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain
setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi
ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga,
para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.
Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas harus
dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam,
kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat
ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke
sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses
kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna
yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti
membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai
materi untuk ditafsirkan kembali. Episode brandal Ada sebuah episode
dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita sebut sebagai episode
Brandal Lokajaya. Memang, sebelum mendapat pencerahan dan disebut Sunan
Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden Syahid, putra Adipati Tuban,
yakni Tumenggung Wilatikta yang juga disebut Aria Teja IV, seorang
keturunan Ranggalawe. Dipandang secara politis, penyebutan Ranggalawe
ini bukanlah hubungan, melainkan “penghubungan” dengan Majapahit, demi
legitimasi kekuasaan Mataram kelak -seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi
penghubung dan sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.
Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat kritis
terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit, sehingga ia
bertindak sebagai “maling budiman”, yakni merampok orang kaya yang
korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya dibagikan
kepada orang-orang miskin. Mohon dicatat juga terdapatnya versi lain,
seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir untuk
disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (1995), bahwa
Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling budiman, melainkan
karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden Syahid bertemu
batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak diketahuinya adalah Sunan
Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama. Seperti biasa, ia bermaksud
membegal Sunan Bonang, terutama tongkatnya yang dalam pandangannya
berlapis emas -tetapi ketika berhasil merebutnya, ternyata hanya terbuat
dari kuningan, maka lantas dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan
menganggap remeh yang tampaknya sederhana, dan ia perlihatkan betapa
tongkat itu mampu mengubah buah aren menjadi emas. Dengan bernafsu,
Raden Syahid memanjat untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata
berubah menjadi buah hijau kembali – saat itulah Raden Syahid menyadari
kerendahan derajat hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada
Sunan Bonang, bukan untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan
untuk belajar “ilmu-ilmu”. Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di
tanah, dan meminta Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga
tongkatnya itu, sebelum akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah
membangun kerajaan Demak. Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan
dari ketafakurannya selama bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat
nama sebutannya, Sunan Kalijaga. Alkisah selama tafakur Raden Syahid
berhasil menghayati arti kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian
menemuinya kembali (sangat terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang
sudah meliputi seluruh tubuh Raden Syahid) segeralah ia diberi
pelajaran, yang isinya bisa dirujuk dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga
yang ditulis Iman Anom pada 1884, dan telah diterbitkan dalam bahasa
Indonesia oleh Balai Pustaka pada 1993. Dalam “suluk linglung” itu juga
dikisahkan pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah
samudera ketika akan beribadah haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan
cerita wayang Dewaruci, bahwa untuk mendapatkan pencerahan seseorang
cukup memasuki dirinya sendiri, yang dalam dirinya merupakan alam luas
tak berbatas. Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak
mengubah alur, sangat terkenal, dan merupakan “sejarah” paling pokok
dari pembangunan karakter Sunan Kalijaga: yakni bahwa selalu ada
segi-segi “kebadungan” dalam diri Sunan Kalijaga – justru sesuatu yang
sangat penting dalam kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa,
seperti terlihat dari perdebatannya dengan para wali lain untuk
mempertahankan warisan tradisi Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai
sarana berdakwah, yang tentu tidak begitu saja bisa segera diterima oleh
para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama. Dalam kompromi dengan
para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan kreatifnya mengubah boneka
wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi pipih dua dimensi (supaya
tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia masa itu tentu identik
dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana pertunjukannya seperti
layar yang putih dan kosong, blencong, bayangbayang, posisi penonton di
depan atau di belakang layar, dan wayang kulit itu sendiri untuk
berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara
yang dipahami dan disukai oleh masyarakat Jawa. Bukankah pertanyaan
sederhana seperti, “Kalau wayang digerakkan oleh dalang lantas siapa
yang menggerakkan dalang?”, akan sangat mudah mengundang renungan atas
kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran Sunan Kalijaga untuk
mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi penting bagi
kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun sekarang. Saka
Tatal & Jung Cina Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan
Kalijaga terlihat dari kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan
bahwa para wali bergotong royong membangun Mesjid Demak, dan Sunan
Kalijaga mendapat bagian mendirikan salah satu dari empat tiang utama
Mesjid. Entah kenapa, Sunan Kalijaga sudah sangat terlambat ketika
memulai pekerjaannya, sehingga dengan “kesaktian”-nya ia terpaksa
menggantikan balok kayu besar itu dengan potongan-potongan balok kecil,
yang disebut tatal – dan ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu
menyangga atap mesjid, sama kuat dengan tiang-tiang utama lain, meski
sekarang tentunya sudah direnovasi. Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal
itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi penelitian
ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain. Dalam buku Qurtuby yang sudah
disebutkan, tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam
di Indonesia, disebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan
Kalijaga untuk menyangga atap mesjid dengan himpunan tatal itu sama
dengan cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal jung Cina.
Sehubungan dengan tujuan penelitiannya, timbul pertanyaan-pertanyaan
seperti berikut: Apakah Sunan Kalijaga memintabantuan tukang-tukang asal
Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam masyarakat Tionghoa yang telah
bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa; apakah Sunan Kalijaga, sebagai
wali yang kreatif dan menghayati hadits “tuntutlah ilmu sampai ke Negeri
Cina”, telah mempelajari teknik itu dari orang-orang Tionghoa; dan yang
paling rawan adalah, apakah Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang
keturunan Tionghoa? Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah
yang kurang teliti, antara lain oleh seja-rawan kenamaan Slamet Muljana
dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara (1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan
Kalijaga sebagai Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O.
Parlindungan berjudul Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah
Malay Annal (Catatan Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian
pakar kenamaan Belanda, H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak
satu sejarawan pun sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani
memastikannya. Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang
yang “terhubungkan” dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan
kerancuan, tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti
mutakhir: “Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya
hanyalah narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi
perkapalan yang dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya
hanyalah “tokoh khayalan” yang sengaja diciptakan peng-gubah teks Malay
Annals untuk menyamarkan figur Sunan Kalijaga?” Qurtuby berpendapat
“agak susah” untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan
Kalijaga, karena tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan
Kalijaga; namun kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik:
“Kalaupun Gan Si Cang adalah ‘tokoh historis’, kemungkinan ia adalah
nama lain bukan Sunan Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu
dimanfaatkan keahliannya oleh penguasa Demak untuk turut serta membangun
mesjid.” Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka
Tingkir sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik
atas peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak
sampai kepada saat harus menentukan arah kiblat. Dalam babad ini
terdapat adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida,
yang meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan
disertasi ini, menafsirkannya secara politis sebagai “penawaran”, bahkan
kadang disebut juga “perlawanan” Muslim Jawa terhadap hegemoni “Islam
pusat” di Mekah masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah
kiblat tidak ke Ka’bah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas
menangani masalah ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa
memberi posisi Muslim Jawa “tunduk” kepada suatu kekuasaan duniawi di
manapun, meski tetap tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam
memang berarti penyerahan diri. Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah
berikut, seperti dibahasakan oleh Florida sendiri dalam menganalisis
Babad Jaka Tingkir. “Sunan Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini.
Berkat penanganan ajaibnya, sang Mesjid akhirnya menurut bersepakat
dengan Ka’bah Mekah, dan pada saat yang sama Ka’bah pun menurut
bersepakat dengan Mesjid Demak. Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang
radikal: Tangan kanan memegang Ka’bah Allah /Tangan kiri memegang /Balok
puncak Mesjid itu /Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk /
Atap Ka’bah dan balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna
segaris tiada melenceng. “Dengan tindakan berganda ini, keduanya
dinyatakan dan dibuktikan sebagai keberadaan atau substansi yang satu.
Kenyataan satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat
diwujudkan dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak
dan Mekah yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua)
tidaklah memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat
penanganan sang wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Mesjid
Demak sebagai pusat – salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak
mengakui kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda
yang membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru
berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap
“keterpinggiran” mereka yang memang ada di pinggir.” Tentu saja kita
tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam babad tersebut adalah
Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan daging, tetapi bukankah
justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar memisahkan antara yang
mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos demi pemahaman sejarah
secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan informasi dari babad
tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan Kalijaga: kreatif
dan merdeka. Lir-ilir, lir-ilir Makam Sunan Kalijaga kini berada di
dalam “rumah” kokoh dengan ukiran Jepara terbaik di pintu, jendela,
maupun tiang-tiangnya. Bisa dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan
Kalijaga bermukim dan mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih
sunyi daripada sekarang. Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising
dari jalan raya antarkota. Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa
yang sunyi, bisa dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya,
berkat wibawa dan kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu
siap dan terbuka terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman
yang wingit dan pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak
cocok, jika masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan
Kalijaga pun kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.
Catatan ini ingin menekankan, bahwa “ziarah pustaka” bisa membuat
pemikiran kita jadi produktif, sebagai alternatif “ziarah kuburan” yang
sebenarnya, meski “penghayatan lingkungan” bukannya tidak penting –
tanpa kita harus jadi sejarawan professional. Maka kita tutup ziarah ini
dengan sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya
ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan
keagamaan yang serius: Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir Tak ijo
royo-royo, dak sengguh penganten anyar Cah angon, cah angon, penekno
blimbing kuwi Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir Domono jlumatono kanggo
seba mengko sore Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane Ya
surak-a surak horeeee!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar