Moh Yasir Alimi, PhD, mantan pengurus PCI NU Cabang Istimewa Australia
dan New Zealand (2005-2009) berdialog tentang jalan kesufian dengan
Syaikh Mustafa Mas’ud al-Naqsabandi al-Haqqani. Sang syekh adalah khadim
atau pelayan thariqat Naqsybandi Haqqani di Indonesia.
Syaikh Mustafa lahir di Jombang, 25 Januari 1947. Ia adalah ulama sufi Ahlusunnah
Wal Jamaa’ah yang menempuh pendidikan di pesantren Darul ’Ulum Jombang,
IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Setelah itu, Syaikh Mustafa, yang kini
membimbing 90 Zawiyyah Thariqat Naqsybandi Haqqani di Indonesia,
melanjutkan studinya ke School of Oriental African Studies (SOAS)
University of London, dan Studies Johann Wolfgang Goethe Universitat,
Frankfurt Am Mainz, Jerman.
Sebelum mengabdikan 100 persen
waktunya untuk dakwah, ia pernah menjadi peneliti di LP3ES, dosen STAN
Jakarta, dosen Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dosen Universitas
Kebangsaan Malaysia. Pernah juga ia bekerja di Kementerian Belia dan
Sukan dan Kuala Lumpur HRDC Trainer Malaysia.
Tahun 1997, ia
ditunjuk oleh Maulana Syaikh Nadzim Al Haqqani Ciprus dan Maulana Syaikh
Hisyam Kabbani Ar Rabbani USA sebagai The Representatif of The
Naqsybandi Sufi Order Indonesia.
Sejak saat itu, Syaikh Mustafa
melepaskan profesinya dan mendedikasikan seluruh kehidupannya untuk
dakwah berkeliling ke seluruh penjuru Indonesia membimbing umat agar
mencintai Rasulullah.
Di bawah perintah dan bimbingan Maulana
Syaikh Nadzim, metoda dakwah Syaikh Mustafa mengedepankan semangat
mencintai Rasulullah SAW, perdamaian, toleransi, cinta, kasih sayang dan
persaudaraan. Dialog Yasir dan sang Syaikh, ada yang ketemu langsung,
adapula melalui sms, maka gaya bahasa bisa bermacam-macam, dari bahasa
sms, percakapan dan bahasa gaul. Berikut ini bagian pertama dialog
kesufian.
Syaikh, terangkan kepadaku apa hakekat thariqat?
Thariqat adalah suatu kebersamaan dengan syaikh, untuk melebur ego, ke
dalam suasana adab agar hati yang bersangkutan bisa merasakan arti fana
missal fi adhomatil akhirat. Bukan suntuk cuma dengan dunia saja.
Thariqat juga tentang azimah, keterkaitan dengan Rasulullah, akhlaknya,
sunnahnya, tentang adhomatil Quran; tentang kemaslahatan hidup; tentang
iklim saling kecintaan terhadap sesama manusia; tentang barokah
kesalehan; tentang pertalian antara hamba dengan Allah; tentang hudhur,
tentang getar dalam hati kita akan kehadiran Allah. Inilah antara lain
mutiara-mutiara Islam yang makin terasa hilang; maka temukanlah kembali
mutiara itu melalui thariqat.
Bisa dijelaskan lagi Syaikh, tentang rasa cinta dan getar di dada itu?
Lihatlah kecintaan dan getar hati Abu Bakar. 1427 tahun yang lalu,
ketika Rasulullah harus hijrah ke Madinah. Beliau mengajak Sayidina Abu
Bakar, orang yang sangat dekat dengan Beliau untuk menjadi pendamping
dalam perjalanan menuju ke Madinah.
Sayidina Abu Bakar dengan
penuh adab yang bersungguh, kata kuncinya dengan "Penuh Adab yang
Bersungguh", di ajak ke Madinah. Harusnya dari kediaman Beliau
berjalannya adalah ke Utara, karena Madinah secara geografis terletak di
Utara dari Mekah, tetapi Rasulullah berjalan menuju ke Tenggara.
Sayyidina Abu Bakar boro-boro complain (mengeluh), criticizing, bertanya
pun tidak, jare nang Madinah, lha kok ngidul, kenapa lewat Tenggara?
Itu cermin apa, Syaikh?
Itu cerminan dari Adab. Dengan penuh kecintaan, Sayyidina Abu Bakar
yang lebih tua dari Rasulullah, yang punya kelayakan psikologis untuk
mempertanyakan, untuk meminta kejelasan seperti yang barangkali terjadi
dalam kehidupan kita sekarang yang menjadi ruh dari reformasi, segala
hal dipertanyakan sehingga batasan antara adab dan tidak adab, luber,
hilang.
Sayyidina Abu Bakar tidak bertanya, Beliau ikut saja
apa yang dibuat oleh Rasulullah, karena di hati Beliau ada "cinta" dan
“percaya" dan sesuatu yang tidak lagi perlu tawar-menawar. Rasulullah Al
Amin, tidak pernah keluar dari lidah Beliau sesuatu yang tidak patut
tidak dipercaya. Pribadinya penuh pancaran kecintaan. Mencintai dan
sangat pantes dicintai. Pribadinya begitu rupa menimbulkan `desire',
suatu kerinduan. Ini sebenarnya yang menjadi sangat penting untuk
dijelaskan.
Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar
mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru
Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah
mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina
Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan
mempertanyakan, memaklumi.
Pertama-tama, dalam Islam yang kita
butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya
dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa
rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi
"The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu
Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka
kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau
istirahat di Gua Tsur."
Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai
orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada
ular berbisanya. Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah
tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well
enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak
senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem.
Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar?
Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk.
Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina
Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3. Barangkali sudah
kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan)
ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di
situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang
itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau
tidak mau Rasulullah digigit ular.
Akhirnya kakinya dicatel
(digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah
dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk
dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin
sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu
pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke
seluruh tubuh. Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya
sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah.
Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh?
"Nangis Sampean?” tanya Rasulullah.
"Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular."
There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular.
"Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?"
Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau.
"Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah
mengatakan ‘Barang siapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil
mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar
dia ke surga,” kata ular.
“Ya Rabb, beri aku kesempatan yang
begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu
fi ainal mahabbah,” lanjut ular.
Apa kata Allah?
"Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah.
“Ribuan tahun aku menunggu disini. Aku digodok oleh kerinduan untuk
jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka
kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu
Engkau, Wahai Muhammad."
Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh?
Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan
textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an,
dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di
dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart.
Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati,
dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat
pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini
adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.
Lihatlah kehidupan
sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan
untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah".
Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita
pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan
ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana
aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin
dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah
yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad.
Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah
keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku
tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang?
Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya
yang enteng, kemudian dalam praktek bisa jadi perilaku atau suasana hati
yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan
khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu?
Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas,
istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui
thariqat. Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap
kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah,
syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri.
Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma
seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bid'ah, perlu rumusan paradigm
yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min
kulli ma yukholiful azimah.
Jadi saat ini pun, kita semestinya
senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar
mendapatkan rahmat Allah.
Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam
tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan
beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam
bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi
ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh
bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadits Qudsi.
Hadits
pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka
suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka
Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka
olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di
akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”.
Hadits Qudsi kedua. Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak
beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau:
“Siapa kamu?”
“Aku Iblis” tukas orang asing itu.
“Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah.
“Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”.
“Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi.
“Kamu,” jawab iblis tegas.
“Kenapa,” tanya Rasulullah.
“Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis.
Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh?
Yang mati kita, bukan Rasulullah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar