Hakekat Segala Rahasia Kehidupan
[ Pembahasan Kedua - Kembali ke Sumber Azali ]
Keberadaan manusia dapat diihat dari dua sudut pandang, jiwa dan raga.
Dari sisi raga, semua manusia secara umum sama. Semua orang memiliki
ciri-ciri khas manusia. Dari sisi jiwa, yang tersembunyi dalam raga,
setiap orang berbeda-beda. Karena itu diperlukan penjelasan yg lebih
khusus.
Kaidah umum menyatakan, setiap orang
dapat kembali ke sumer azalinya dengan mengikuti langkah-langkah
tertentu. Dalil-dalil agama yg jelas dan tegas merupakan petunjuk bagi
siapa saja untuk perjalanan kembalinya. Dengan menapaki satu tingkatan
ke tingkatan lainnya, ia sebenarnya tengah mendaki jalan ruhani, untuk
mencapai alam ilmu-tingkatan tertinggi. Rasulullah saw memuji tingkatan
ini dalam sabdanya, “Ada satu tingkatan yg di dalamnya semua dari segala
sesuatu dihimpun, yaitu ma’rifat-ilmu.”
Untuk mencapai
tingkatan itu, pertama-tama orang harus meninggalkan keburukan dan
kemunafikan dalam amalnya sehingga orang lain dapat menjadi saksi atas
dirinya. Setelah itu, ia harus menetapkan 3 macam tujuan bagi dirinya
sendiri. Ketiga macam tujuan itu sebenarnya merupakan 3 macam surga.
Tujuan pertama disebut Ma’wa – surga menjadi tempat tinggal yg tentram
atau surga duniawi. Tujuan kedua disebut Na’im – taman keridaan Allah
bagi para makhluk-Nya, yaitu surga yang berada di alam malaikat. Tujuan
ketiga disebut surga Firdaws – surga samawi, yaitu surga yg di alam
ketunggalan akal sebab, tanah air jiwa, Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi.
Itulah 3 macam imbalan, yg merupakan keindahan Allah, bagi manusia yg
berusaha menempuh tingkatan-tingkatan ilmu ini, mengikuti ajaran agama,
menghilangkan kemajemukan dalam dirinya, serta memerangi hawa nafsunya
untuk mencapai persatuan dan kedekatan dengan Sang Pencipta (thariqah).
Itulah imbalan atas perjuangannya meraih tingkatan ma’rifat, tingkatan
yg memungkinkannya mengenal Tuhan.
Rasulullah saw –setelah
mengatakan, “Ada satu tingkatan ilmu yg di dalamnya semua dan segala
sesuatu dihimpun dalam ilmu Allah”- bersabda, “Dengannya seseorang
mengetahui kebenaran yg menghimpun dalam dirinya semua jalan dan
kebaikan. Ia harus mengamalkan kebenaran itu dan harus mengenal
kesalahan serta meninggalkannya. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda,
“Ya Allah, tunjukkan kepada kami kebenaran dan bantulah kami untuk
mengikutinya, dan ajarkan kami tentang kesalahan lalu mudahkan kami
untuk menjauhinya.” Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Siapa
mengenal dirinya sendiri dan sungguh-sungguh menentang nafsunya, niscaya
akan mengenal Tuhannya dan mengikuti kehendak-Nya.”
Tujuan
mulia itu mungkin saja dicapai di dunia ini. Bagi orang yg telah
mencapainya, tak ada bedanya antara tidur dan jaga, karena dalam tidur,
jiwa dapat kesempatan untuk berjalan ke rumah sejatinya yaitu alam ruh,
lalu kembali ke alam jasad dalam keadaan yg baru. Keadaan seperti ini
kami sebut mimpi sejati. Layaknya mimpi, kejadian yg dialami mungkin
terpecah-pecah, tetapi mungkin juga bersifat utuh, sebagaimana yg
dialami Nabi Muhammad saw dalam peristiwa Mikraj. Allah menegaskan hal
ini dalam firman-Nya:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya
dan (memegang (jiwa) (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Dia
tahan jiwa (orang) yg telah Dia tetapkan kematiannya, dan Dia lepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada hal itu
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”
(al-Zumar: 42)
Keadaan seperti itu dijelaskan oleh Rasulullah
saw dalam sabdanya, “Tidurnya orang berimu lebih utama daripada ibadah
orang bodoh.” Orang berilmu yang dimaksud di sini adalah yang telah
meraih pengetahuan sejati yg tak mengenal huruf maupun suara.
Pengetahuan itu diperoleh dengan terus menerus membaca kalimat tauhid,
dengan lidah dan hatinya. Hatinya telah masuk ke dalam cahaya Ilahi
melalui cahaya tauhid. Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya. Pengetahuan batin
mengenai ilmu batin adalah relung rahasia-Ku, jika Ku-masukkan
pengetahuan ini ke dalam hati hamba-Ku yang sholeh, takkan ada yg dapat
mengetahui keadannya kecuali Aku.”
Dalam hadis qudsi lainnya Dia berfirman:
“Aku seperti sangkaan hamba-Ku. Jika ia mencari dan mengingat-Ku, Aku
bersamanya. Jika ia mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam
diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dan menyebut nama-Ku dalam kelompok, Aku
akan mengingatnya dan menyebutnya sebagai hamba-Ku yang saleh dalam
kelompok yg lebih baik.”
Jadi, satu-satunya cara untuk mencapai
tujuan jalan ini adalah tafakur, suatu laku yg jarang dijalankan kaum
awam. Rasulullah saw bersabda, “Tafakur sesaat lebih utama daripada
ibadah setahun. “ Atau, “Sesaat tafakur lebih utama daripada ibadah
seribu tahun.”
Nilai setiap amal terletak pada hakekatnya. Sesaat tafakur dalam hadits di atas tampaknya mengandung tiga nilai yg berbeda.
Orang menafakuri suatu urusan dan berusaha menelusuri sebabnya, niscaya
akan menyadari bahwa setiap bagian urusan itu memiliki banyak cabang
dan bahwa setiap penggalan peristiwa menjadi sebab bagi
peristiwa-peristiwa lainnya. Tafakur seperti inilah yg dianggap lebih
utama daripada seribu tahun ibadah.
Sama halnya, tafakur
mengenai makrifat, yg disertai tekad kuat untuk mengenal Allah, dianggap
lebih utama daripada seribu tahun ibadah. Sebab, tafakur seprti itu
adalah pengetahuan yg sejati.
Pengetahuan sejati adalah maqam
tauhid. Seorang pecinta sejati akan menyatu dengan Kekasihnya. Dari alam
materi ini, ia terbang dengan sayap ruhani ke alam karunia. Ia dianggap
lebih mulia daripada orang yg beribadah karena ahli ibadah berjalan
kaki menuju surga, sedangkan ia terbang ke berbagai alam yg dekat kepada
Tuhannya.
Setiap pecinta memliki mata dalam hati mereka
Berkat cinta, mereka melihat, saat orang lain buta
Mereka memiiki sayap, bukan dari daging dan darah
Terbang menuju para malaikat, mencari Tuan mereka
Para pecinta itu terbang ke alam batin. Merekalah orang yg berilmu.
Mereka dianugerahi gelar sebagai manusia sejati, para kekasih, dan orang
yang sangat dekat kepada Allah. Bayazid al-Bisthami, semoga Allah
meridainya, berkata, “Orang ang berilmu adalah kekasih Allah.” Sufi lain
mengatkan bahwa mereka dekat kepada Allah karena mereka adalah kekasih
Allah.
Hanya para pecintalah yg akan mengenal Sang Kekasih
dengan sangat dekat. Mereka menjadi sahabat dekat Allah. Hakikat mereka
adalah keindahan meskipun tampak seperti orang kebanyakan. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah berfirman, “Sahabat-sahabat dekat-Ku tersembunyi di
bawah jubah-Ku. Tak ada yg mengenal mereka kecuali Aku.” Jubah itu
adalah penampilan mereka yg sederhana dan bersahaja. Mereka tersembunyi
bagaikan pengantin wanita yang ditabiri tirai pelaminan; dapatkah kau
melihat kecantikannya?
Yahya ibn Muaz al-Razi, semoga Allah
menyucikan ruhnya, berkata, “Para kekasih Allah adalah minyak wangi bagi
dunia ini. Namun, hanya mukmin yg ikhlas yg dapat mencium wangi
mereka.” Kaum mukmin sejati itu mencium wangi mereka, dan kemudian
mengikuti keharuman itu. Minyak wangi itu membangkitkan kerinduan kepada
Tuhan dalam hati mereka. Seluruh perilaku mereka semakin meneguhkan
langkah, upaya, dan kesungguhan mereka. Tingkatan kerinduan, kesungguhan
dan kecepatan melangkah mereka meningkat pesat sesuai dengan semakin
cemerlangnya cahaya mereka dan sejauh keberpalingan mereka dari dunia.
Semakin jauh seseorang dari pakaian dunia, semakin dekat ia kepada Sang
Kekasih. Alih-alih merasa dingin dan kesepaian, ia rasakan kehangatan
Sang Pencipta. Semakin dekat pula ia dengan hakekat batin yg dicarinya.
Kedekatan kepada hakekat tergantung pada kekuatan tekadnya untuk
meninggalkan dunia. Semakin jauh dari dunia dan kemajemukan, semakin
dekat ia kepada hakikat yg tunggal.
Kekasih Allah adalah orang
yg berjalan menuju ketiadaan hingga ia menyaksikan eksistensi hakikat.
Ia telah menyerahkan seluruh dirinya sehingga ia tak lagi memiliki
pilihan. Tak ada lagi “Aku”, yg tersisa hanyalah eksistensi, Sang
Hakiki. Berbagai keajaiban yg ia tampilkan membuktikan ketinggian
derajatnya. Namun, semua mukjizat itu tak ada kaitannya dengan maqam
ruhaninya. Pada maqam, seperti ini, tak ada pengungkapan rahasia, karena
penyingkapan rahasia ketuhanan dianggap sebagai kemaksiatan.
Dalam kitab yg berjudul Mirshad dikatakan, “Karamah, atau kemampuan
menampilkan sesuatu yg luar biasa merupakan hijab yg membuat seseorang
lengah akan keadaan dirinya. Karena itu, saat-saat kemunculan karomah
dianggap sebagai masa haid pada kaum wanita. Para wali, yg merupakan
kekasih Allah, harus melewati sekurang-kurangnya seribu anak tangga. Dia
ntara anak tangga yg pertama adalah karomah. Jika dapat melewatinya, ia
dapat mendaki anak tangga lainnya,. Jika tidak, langkahnya terhenti di
sana.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar