Hakekat Segala Rahasia Kehidupan
[ Pembahasan Keenam -Taubat, Langkah Pertama Menuju Kesempurnaan ]
Kami telah menjelaskan beberapa maqom dan ahwal ruhani. Ketahuilah.
Semua maqom ini pada hakikatnya dicapai melalui taubat. Cara taubat
hanya dapat diketahui dari orang yg mengetahui caranya dan ia sendiri
benar-benar telah bertaubat. Taubat yg sungguh-sungguh dan ikhlas ini
merupakan langkah pertama di jalan ruhani.
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan
(yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada
Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada
mereka kalimat takwa (tobat). Dan mereka berhak dengan kalimat takwa itu
dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (al-Fath: 26)
Maqom takwa memiliki makna yg sama dengan la
ilaha illaLLAH: tak ada tuhan, tak ada sesuatu pun—selain Allah. Sebab,
orang yg mengetahui hal ini akan ketakutan kehilangan Dia, kehilangan
rahmat, cinta, dan kasih sayang-Nya; ia takut dan malu melakukan maksiat
dan takut akan azab-Nya. Jika seseorang belum mencapai tingkatan ini,
ia harus mencari orang yg benar-benar telah dianugerahi Allah rasa takut
kepada-Nya.
Sumber yg melahirkan kata-kata ini harus disucikan
dan dibersihkan dari segala sesuatu selain Allah. Orang yg menerimanya
harus mampu membedakan antara kata-kata orang yg berhati suci dan
kata-kata orang awam. Ia juga harus memahami bagaimana kata itu
diucapkan, karena kata-kata yg terdengar sama mungkin saja memiliki arti
yg jauh berbeda. Mustahil kata yg muncul ddari sumber yg suci akan
bermakna sama dengan kata-kata yg muncul dari sumber lainnya.
Hati hanya akan hidup jika ia menerima benih tauhid yg hidup, karena
benih semacam itu merupakan benih yg sehat dan hidup. Tak ada sesuatu
pun yg dapat tumbuh dari benih yg kering dan mati. Kalimat la ilaha
illaLLAH disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya
mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah"
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan
diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami ?” (al-Shaffat: 35-36)
Inilah tingkatan kaum awam. Bagi mereka, wujud lahir—termasuk eksistensi lahiriah mereka—adalah tuhan.
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan)
selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Muhammad: 19)
Firman Allah ini menjadi petunjuk bagi kaum mukmin sejati yg takut kepada Allah.
Hadrah ‘Ali r.a meminta Rasulullah saw untuk mengajarinya jalan
keselamatan yg paling mudah,paling bermakna, dan paling tepat.
Rasulullah saw menunggu Jibril a.s membawa jawaban dari Allah. Akhirnya
ia datang dan mengajari Rasulullah saw untuk mengucapkan : “la ilaha”
seraya memalingkan wajahnya ke kanan, dan mengucapkan “illaLLAH: seraca
memalingkan wajahnya ke kiri, ke arah hatinya yg suci. Ia mengulangnya
tiga kali. Rasulullah saw sendiri mengulangnya sebanyak tiga kali,
begitu pun ketika mengajarkannya kepada Hadrah ‘Ali r.a yg kemudian
mengajarkan kalimat tauhid itu kepada para sahabatnya. Hadrah ‘Ali
adalah orang pertama yg memintanya dan diajari oleh Rasulullah.
Suatu hari, sepulangnya dari perang besar, rasulullah saw bersabda
kepada para pengikutnya, “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yg
lebih besar, “ yaitu jihad melawan nafsu dan syahwat. Itulah makna
kalimat tauhid. Dalam hadis lainnya Rasulullah bersabda, “Musuh terbesar
kalian berada di bawah tulang rusuk kalian.”
Cinta Ilahi takkan hidup memenuhi hatimu kecuali jia sang musuh, yakni nafsu, telah binasa dan meninggalkanmu.
Agar cinta Ilahi dapat menempati hatimu, pertama-tama kau harus
menyucikan dirimu dari hawa nafsu yg menyuruh seluruh wujudmu kepada
kejahatan. Setelah itu kau akan memiliki kesadaran meskipun tidak
sepenuhnya bersih dari dosa. Kau akan memiliki rasa bersalah. Namun
perasaan itu tidak cukup. Kau harus melewati tangga itu menuju maqom
penyingkapan hakikat, baik hakikat kebaikan maupun keburukan. Setelah
itu, kau akan berhenti melakukan maksiat untuk hanya melakukan kebaikan.
Dengan demikian, kau telah menyucikan dirimu. Untuk melawan nafsu,
perangilah lebih dahulu nafsu hewanimu—sifat rakus, tidur yg berlebihan,
kelalaian—dan perangilah sifat hewan buas dalam dirimu: sifat buruk,
amarah, keras dan kejam. Lalu jauhkanlah dirimu dari kebiasaan jahat
hawa nafsu: bersifat angkuh, sombong, iri, dendam, tamak dan semua
penyakit lahir maupun batin. Dengan menempuh langkah-langkah itu berarti
kau telah melakukan pertaubatan yg sebenarnya dan telah menyucikan
dirimu.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
tawwab—bertaubat-- dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(al-Baqarah: 222)
Dalam ayat ini disebutkan “tawwab” (orang yg
benar-benar bertaubat), bukan “ta’ib” (orang yg bertaubat). Sebab,
begitu banyak orang yg bertobat namun tobat mereka tidak diterima.
Seberapa sering mereka bertobat, mereka tidaklah sungguh2 bertobat, dan
tobat mereka tidak diterima. Penegasan ini mengacu kepada perilaku
banyak orang yg sekadar mengungkapkan penyesalan tanpa menyadari
kesalahan mereka, dan tidak memiliki tekad yg kuat untuk tidak melakukan
dosa lagi, atau bahkan ia tetap saja tenggelam dalam lumpur dosa.
Mereka laksana orang yg ingin menghilangkan rumput dengan memotong
rumputnya, bukan memotong akarnya cara itu hanya semakin menyuburkan
rumput. Orang yg bertobat seraya menyadari kesalahan nya dan penyebabnya
adalah seperti orang yg mencabut rumput itu hingga ke akar-akarnya.
Alat yg digunakan untuk mencabut rumput itu adalah ajaran ruhani yg
diterimanya dari guru sejati. Seseorang harus membersihkan tanah sebelum
menanami ladang.
“Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr: 21)
“kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal
saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan
adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Furqan:70)
Ketahuilah, salah satu tanda diterimanya tobat adalah ketika seseorang tidak lagi melakukan dosa yg sama sepanjang hidupnya.
Tobat terbagi ke dalam dua macam, yaitu tobat orang awam dan tobat
mukmin yg ikhlas. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan menuju
ketaatan dengan cara mengingat Alalh serta berusaha keras meninggalkan
hawa nafsu dan menakhlukkan hasrat. Ia harus melawan nafsu yg selalu
memberontak terhadap ajaran2 Allah. Itulah tobat kaum awam, yg mungkin
dapat menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke surga.
Tobat seorang mukmin yg ikhlas, hamba sejati Allah, jauh berbeda. Mereka
telah mencapai maqom makrifat, yg jauh lebih mulia daripada keadaan
terbaik seorang awam. Sebenarnya, tak ada lagi anak tangga yg bisa
mereka naiki, karena mereka telah mencapai kedekatan kepada Allah.
Mereka telah meninggalkan kesenangan duniawi dan tengah merasakan
kelezatan alam ruhani—nikmat kedekatan dan keintiman dengan Allah,
kenikmatan menatap dzat-Nya dengan mata kebahagiaan.
Pemahaman
kaum awam bersifat duniawi. Kesenangan mereka terlaetak pada kenikmtan
lahiriah. Sekalipun manusia—secara lahiriah—dan semesta lahiriah pada
hakikatnya merupakan realitas semu yg menyesatkan, kenikmatan itu
merupakan kenikmatan terbaik yg dapat mereka rasakan. Ini sesuai dengan
ujaran yg menyatakan bahwa “ Keberadaanmu adalah dosa besar, begitu
besarnya sehingga dosa-dosa lain menjadi kecil.” Orang bijak sering
mengatakan bahwa amal baik seseorang yg tidak mencapai tingkat kedekatan
kepada Allah tidaklah lebih baik daripada kesalahan orang yg dekat
kepada-Nya. Karena itu, Rasulullah saw, panutan kita dan orang yg suci
dari dosa, mengajari kita cara memohon ampunan atas dosa-dosa
tersembunyi yg selama ini kita anggap sebagai amal saleh. Bahkan ia
sendiri memohon ampunan sebanyak seratus kali dalam sehari. Allah
memerintahkan Rasulullah “untuk memohon ampunan atas dosa-dosamu dan
untuk orang-orang yg beriman, laki-laki maupun perempuan.” (Muhammad:
19). Ia adalah nabi yg menjadi teladan bagi kita dalam pertobatan. Ia
mengajari kita untuk memohon kepada Allah agar Dia menghapuskan hawa
nafsu, keegoan, dan semua sifat buruk kita. Inilah tobat sejati.
Menyesal berarti meninggalkan segala sesuatu kecuali dzat Allah, dan
ingin kembali kepada-Nya, kembali kepada tanah air kedekatan kepada-Nya,
serta melihat wajah-Nya. Rasulullah saw menjelaskan penyesalan semacam
itu melalui sabdanya, “Ada hamba sejati Allah yg jasad mereka di sini
namun hati mereka berada tepat di bawah ‘Arasy Allah.” Hati mereka
berada di langit kesembilan, di bawah ‘Arasy. Itulah tingkatan terbaik
yg dapat dicapai seorang hamba, karena di dunia yg hina ini mustahil
seseorang dapat melihat dzat-Nya. Di dunia ini yg dapat dilihat hanyalah
manifestasi sifat2 ketuhanan-Nya, yg dipantulkan pada cermin suci hai
yg ikhlas. Ini sesuai dengan ucapan Sayidina ‘Umar r.a, “hatiku melihat
Tuhanku dengan cahaya Tuhanku.” Hati yg suci merpakan cermin tempat
keindahan, karunia dan kesempurnaan Allah dipantulkan. Keadaan ini
kadang juga disebut “wahyu”, yakni penyampaian sifat-sifat Tuhan.
Untuk mencapai tingkatan itu, serta untuk membersihkan dan menerangi
hati, dibutuhkan seorang guru yg telah matang, yg telah mencapai maqam
penyatuan dengan Allah, dan yg dimuliakan oleh semua orang, di masa lalu
maupun sekarang. Ia telah mencapai maqam kedekatan kepada Allah dan
telah diutus kembali oleh Allah ke dunia ini untuk menyempurnakan
orang-orang yg berhak namun masih belum berhasil.
Untuk
menjalankan tugas suci ini, para wali Allah itu harus mengikuti jalan
Rasulullah saw dan meneladaninya meskipun tugas mereka berbeda dengan
tugas para nabi a.s. Jika para nabi diutus untuk menyelamatkan kaum awam
sekaligus kaum mukmin yg ikhlas, para wali diutus hanya kepada
sekelompok orang, bukan kepada semua orang. Jika para nabi diberi
kebebasan utuh mengemban tugas, para wali harus mengikuti jalan dan
teladan Nabi saw.
Bahkan, jika ada seorang guru yg mengaku
telah diberi kebebasan dan menganggap dirinya sama dengan seorang nabi,
berarti ia kafir. Sabda Rasulullah saw bahwa para sahabatnya yg saleh
laksana para nabi di kalangan Bani Israil harus dipahami secara
berbeda. Ketahuilah, para nabi yg datang setelah Nabi Musa a.s semuanya
mengikuti ajaran agama Nabi Musa a.s, tidak membawa ajaran baru. Mereka
mengikuti hukum yg sama. Begitu pula para saleh di kalangan umat
Muhammad saw. Mereka bertugas untuk mengajari manusia untuk bersikap
ikhlas dan mengikuti ajaran rasulullah saw. Meskipun dengan cara dan
ketentuan yg mungkin baru dan berbeda. Hukum yg diajarkan mesti mengacu
pada hukum Rasulullah saw seraya menjadi teladan bagi murid-murid mereka
untuk mengamalkan ajaran agama serta menunjukkan kebahagiaan dan
keindahannya. Tugas utama mereka adalah membimbing para pengikut mereka
untuk menyucikan hati, yg merupakan tempat untuk membangun monumen ilmu.
Dalam menjalankan tugas tersebut mereka meneladani murid-murid
Rasulullah saw yg disebut Ahlu Shufah, yg telah meninggalkan kesenangan
duniawi demi keridaan dan kedekatan kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka
menyampaikan kabar persis seperti yg mereka terima langsung dari mulut
Rasulullah saw. Saking dekatnya kepada Rasulullah saw mereka mencapai
tingkatan ruhani yg tinggi sehingga dapat berbincang mengenai rahasia
mikraj Nabi saw bahkan sebelum beliau mengungkapkan rahasia ini kepada
para sahabatnya.
Kedekatan mereka kepada Rasulullah saw serupa
dengan kedekatan Rasulullah kepada Allah Ta’ala; mereka memegang teguh
dan memelihara amanat berupa ilmu Allah yg dianugerahkan kepada mereka.
Mereka adalah pengemban sebagian tugas kenabian, dan batin mereka aman
sentosa di bawah perlindungan langsung Rasulullah saw.
Tidak
semua orang berilmu dapat mencapai tingkatan itu. Orang yg telah
mencapainya lebih dekat kepada Rasulullah daripada kepada anak-anak dan
istri mereka sendiri. Mereka menjadi anak-anak ruhani Rasulullah saw.
Mereka adalah pewaris sejati Rasulullah saw. Putra sejati mewarisi
hakikat dan rahasia ayahnya, baik dalam wujud lahir maupun wujud
batinnya. Rasulullah saw menyebutkan rahasia ini sebagai “..ilmu khusus
laksana harta tersembunyi yg hanya dapat ditemukan oleh orang yg
mengenal dzat Allah. Tetapi, ketika rahasia itu diungkapkan, orang yg
sadar dan ikhlas tak ada yg mengingkarinya.”
Ilmu itu diberikan
kepada Rasulullah pada malam Isra’ dan Mikraj. Rahasia itu tersembunyi
pada dirinya di balik 30 tabir. Ia tidak membukanya kecuali kepada para
murid yg paling dekat kepadanya. Islam akan kokoh hingga hari kiamat
berkat keberkahan dan rahmat rahasia ini.
Seseorang dapat
mencapai rahasia tersebut dengan pengetahuan batin mengenai apa yg
tersembunyi. Berbagai macam ilmu lainnya, begitu pula seni dan
ketrampilan duniawi hanyalah bungkus bagi ilmu batin itu. Meski
demikian, orang yg menguasai ilmu-ilmu “bungkus” itu boleh berharap
bahwa suatu hari ia akan mendapatkan isinya. Sebagian mereka hanya
mengetahui apa yg wajib dimiliki manusia dan sebagian lainnya hanya
mengetahui apa yg dapat menyelamatkannya dari kesesatan. Kendati
demikian, ada juga di antara mereka menyeru manusia kepada Allah dengna
nasihat yg baik. Dari kelompok tersebut itu ada yg mengikuti jalan nabi
Muhammad saw dan dibimbing memasuki pintu ilmu, yaitu Hadrah ‘Ali
r.a—pintu bagi orang-orang yg diundang oleh Allah Ta’ala:
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yg baik dan bantahlah mereka dengan cara yg baik.” (al-Nahl: 125)
Ada kesamaan antara ucapan dan maksud batin mereka. Perbedaan hanya terjadi pada hal-hal kecil dan cara pengungkapannya.
Sebenarnya ada tiga makna yg dapat ditarik dari ayat tersebut, yg juga
merupakan tiga cara pencapaian ilmu—yg diamalkan secara berbeda, namun
semuanya menyatu dalam hadits Rasulullah saw. Ilmu dibagi ke dalam tiga
bagian, sebab tak seorang pun yg dapat mengemban, apalagi mengamalkan
seluruh isi ilmu itu. Bagian pertama terkandng pada penggalan ayat:
“serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah.” Bagian ini berhubungan
dengan makrifat, hakikat, dan awal segala sesuatu. Pemiliknya harus
mengikuti teladan Rasulullah saw, mengamalkan ilmunya. Bagian ini
diberikan kepada orang yg jujur dan berani, pejuang ruhani yg akan
membela kedudukannya dan berjihad (bersungguh) menjaga ilmu itu.
Rasulullah saw menjelaskan keadaan kelompok ini dalam sabdanya: “Usaha
sungguh-sungguh yg dilakukan orang jujur dapat mengguncangkan gunung.”
Kata “gunung” dalam hadits itu berarti beratnya hati sebagian orang. Doa
mereka akan dikabulkan. Apa pun yg mereka inginkan, akan terjadi; jika
mereka menghendaki musnahnya sesuatu, ia akan musnah.
“Dia
memberikan hikmah kepada siapa saja yg dikehendaki-Nya. Dan barang siapa
dikaruniai hikmah maka dia telah dikaruniai kebaikan yg banyak.”
(al-Baqarah: 269)
Bagian kedua adalah ilmu lahir yg disebutkan
dalam Al-Qur’an sebagai “dakwah yg baik”. Inilah bungkus makrifat. Orang
yg menguasainya menyerukan kebaikan, mengajarkan amal baik, dan
menjauhkan manusia dari segala larangan Allah. Orang yg berilmu akan
menyeru dengan baik dan santun, sedangkan orang bodoh mengajar dengan
kasar dan amarah.
Bagian ketiga adalah berkaitan dengan
penataan urusan duniawi manusia. Itulah kulit ilmu agama, yakni bungkus
makrifat. Bagian ini diperuntukkan bagi orang2 yg mengatur urusan
manusia: keadilan manusia atas manusia serta pemerintahan manusia atas
manusia. Bagian akhir ayat itu menjelaskan tugas mereka: “…dan bantahlah
mereka dengan cara yg baik.” Orang yg termasuk kelompok ini merupakan
manifestasi sifat Allah al-Qahhar, Yang Mahaperkasa. Tugas mereka adalah
memelihara ketertiban di tengah manusia sesuai dengan Hukum Allah. Ilmu
bagian ketiga ini melindungi ilm lahir, seperti bungkus melindungi
kulit. Ilmu lahir, yg merupakan kulit, melindungi isinya, yaitu ilmu
batin—hakikat ilmu dan benih sumber kehidupan.
Rasulullah saw
memberi nasihat, “Seiring-seringlah menyertai orang bijak dan taatilah
pemimpinmu yg adil. Allah menghidupkan hati yg mati dengan ilmu
sebagaimana Dia menghidupkan tanah yg mati dengan tumbuhan melalui hujan
yg diturunkan-Nya.” Ia juga bersabda, “Ilmu adalah harta yg hilang bagi
orang beriman. Ia kan mengambilnya di mana saja ia temukan.”
Bahkan kata-kata kaum awam turun dari Lauh Mahfuzh, Kitab Takdir yg
meliputi semua kejadian sejak awal permulaan hingga akhir. Lauh itu
dijaga di alam akal kausal. Namun, kata-kata diucapkan sesuai dengan
derajat seseorang. Kata-kata yg telah mencapai tingkatan hakikat
bersumber langsung dari alam tinggi itu, alam kedekatan dengan Allah,
tanpa perantara.
Ketahuilah, semua kehendak kembali kepada
sumbernya. Hati, sang hakikat, harus dibangkitkan, dihidupkan, untuk
menemukan jalan kembali kepada sumber Ilahinya. Ia harus mendengarkan
seruan. Setiap orang harus menemukan seseorang yg menyampaikan seruan
itu kepadanya. Dialah guru sejati. Ini merupakan fardu ‘ain, kewajiban
individual, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Menuntut ilmu wajib
atas setiap muslim, laki-lai maupun perempuan.” Ilmu itu adalah
tingkatan ilmu yg tertinggi, makrifat, yg akan membawa seseorang menuju
sumbernya, yaitu hakikat. Ilmu lainnya hanya diperlukan sesuai dengan
kegunannya. Misalnya, untuk kepentingan nafsu, manusia memerlukan ilmu
duniawi. Alalh meridhai orang yg meninggalkan hasrat duniawi, karena
semua kenikmatan dunia merupakan perintang dalam perjalanan seseorang
menuju Allah.
“Katakanlah, “Aku tidak meminta sesuatu pun kepadamu atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (Al-Syura: 23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar