" Saya tidak faham. Kang Soleh, saya tidak mudeng, apa yang dimaksud dengan hadist Nabi, "Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah". Saya benar-benar tidak ngeh !" tanya Dulkamdi pada Kang Soleh.
Kang Soleh tidak menjawab. Ia angguk-anggukan lututnya sembari menikmati lagu-lagu di radio subuh itu. Asap rokoknya terus mengepul, sementara bibirnya kadang menyunggingkan sebuah senyum.
Dulkamdi terus penasaran, tapi ia tidak mau bertanya lagi, menunggu jawaban Kang Soleh. Sementara Pardi terus melototi arah Kang Soleh, siapa tahu ada pandangan gemulai yang bisa mencerahkan jiwanya. Dan nyatanya cukup lama Kang Soleh tidak menjawab. Ia nikmati betul lagu di radio pagi itu. begitu selesai lagu indah itu, baru ia bicara. "Allah menggesekkan biola semesta jagad raya ini, kamu sekalian yang menghayatinya. Itulah simpulan dari hadist Nabi SAW itu. "
" Bukannya kita membuat miniatur biola Tuhan, lalu kita ikut menggeseknya, Kang ?" potong Pardi.
Kang Soleh hanya tersenyum. " Kalau kamu seperti itu, kamu akan terlempar ke lembah eksistensialisme, dan akhirnya kamu bisa menandingi Tuhan, minimal dirimu sendiri bisa menjadi penghalang bagi hubunganmu dengan Tuhan, karena keakuanmu akan tampak sebagai sosok hijab dirimu sendiri.
Semua yang ada di kedai Cak San terkaget sejenak. Tapi masuk akallah apa yang dikatakan Kang Soleh.
" Wah, jadi salah dong Kang Soleh, apa yang saya fahami hingga saat ini. Sebab, berakhlaqlah dengan Akhlaq Allah, menurut pemahaman saya, ya... kita meniru Allah, kita mengidentikkan diri dengan Allah, kita prototipe Allah di muka bumi. Saya membaca beberapa pandangan pemikir Islam, filosuf muslim juga begitu, lho...Kang. Jadi pandangan Kang Soleh membuat saya jadi gemetar. Pasalnya, pandangan ini bisa lebih revolusioner.." ungkap Dulmajid, seorang mahasiswa filsafat yang jadi kutu buku, kebetulan sedang liburan kampus, pulang kampung.
" Nah... nah... nah.... ! Saya kira juga lho Kang, praktiknya bagaimana sih ?" sela Pardi.
" Praktiknya yang seperti dalam tarekat sufi itu. Bagaimana kamu menghayati apa yang disebut dengan fana', lalu pertama kali kamu fana' pada Asma' Ilahi, lalu Af'al dari Sifat Ilahi, baru fana' pada Zat Ilahi. Tapi hati-hati, ketika kamu berkontemplasi tentang fana', kamu jangan terjebak pandangan seperti si Dulmajid tentang akhlaq Allah itu. "
" Kongkritnya... Kang, Kongkritnya...!"
" Begini saja, ketika kamu menyelami Asma Allah Yang Maha Lembut ( Al-Lathif ) misalnya, bukannya kamu berlembut-lembut diri. Tetapi Kemahalembutan Allah itu yang menghaguskan seluruh kemahakasaranmu, sehingga engkau sirna disana, engkau hanya seorang hamba yang fana. Bukan hamba yang mengaku-aku bisa lembut, bisa ini dan bisa itu, bisa begini dan bisa begitu dengan alasan meniru Allah. Bukan ! Misalnya lagi, ketika engkau mendengar Nama Allah Yang Maha Kuasa, maka dalam dirimu harus bersih dari apapun yang disebut kekuasaan. Kalau Allah Maha Kaya, maka dalam dirimu harus penuh dengan maha kemiskinan. Begitu seterusnya. Maka, Kyai Mursyid kan selalu membimbing hati kita agar kita tidak terjebur dalam tipu daya akal dan fikiran kita yang sering dikipasi setan itu. "
Lagu di radio pun mengalun kembali. Lagunya terasa lembut.
" Nah..... mari kita hayati lagu dan musik itu. Jangan dilihat siapa yang bernyanyi, jangan pula melihat bagaimana syair dalam lagu itu. Dengarkan musik itu sebagai suatu bunyi, dan simaklah syair sebagai kata-kata saja. Selebihnya, nyanyikan Asma'-asma' Ilahi dalam konser ruhani di hatimu. Sebab di hatimu juga ada suara biola, di jiwamu ada suara kemerduan nada, di kalbumu ada kamar yang penuh dengan drum dan akustik, di bilikmu ada seruling dan gitar. Bunyikan bersama dalam konser zikir yang sesungguhnya. Bukan zikir dalam musik, karena sesungguhnya tidak ada yang namanya musik zikir itu, " ungkap Kang Soleh mirip orasi di depan seniman-seniman yang sok Islami, tetapi hatinya tidak pernah bernyanyi dalam tarian bidadari dan bunyi - bunyi tasbih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar