Andai
ulama yang tergabung dalam Lembaga tersebut mengeluarkan fatwa haram
minum kopi saya akan tetap minum kopi sama halnya ketika ulama
mengerluarkan fatwa haram mengggunakan Facebook, saya tetap memakai
facebook sebagai alat dakwah menyampaikan kebenaran.
Sambil
menikmati segelas kopi yang alhamdulillah masih halal, saya ingin
membahas tentang Tuhan dengan segala misteri-Nya. Lalu apa hubungan
menum segelas kopi dengan memandang wajah Tuhan?
Alam
dan seluruh isinya adalah wujud dari cahaya Tuhan, karya Agung yang
tidak terlepas dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya sebagian orang
menemukan Tuhan dari kehebatan dan keagungan Alam yang mengangumkan
manusia, menyadarkan manusia betapa Maha Hebat nya sosok di atas sana
yang menciptakan alam sedemikian teratur.
Sebagian
manusia lain menemukan Tuhan lewat filsafat dan perenungan diri.
Kehebatan akal manusia akan menuntun kepada Sang Maha Hebat yaitu sosok
yang menciptakan akal itu sendiri secara luar biasa. Descartes seorang
Filosof berkata, “Aku berfikir karena itu aku ada”, dengan pernyataannya
yang terkenal itu Descartes telah membuat sebuah prinsip yang
menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu
untuk dianggap sebagai ‘ada’. Keberadaan kita didunia ini disadarkan
oleh akal, tanpa akal maka manusia tidak akan mengenal apa-apa, tidak
akan mengenal Alam, Agama dan Tuhan.
Pencarian
tentang Tuhan lewat akal kadang kala mengalami jalan buntu dan putus
asa sehingga orang yang paling cerdas pun akhirnya menyerah dan
mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada. Dengan tanpa rasa
bersalah Karl Mark mengatakan bahwa Agama adalah Candu Masyarakat.
Baginya, agama di zamannya tidak lebih dari sesuatu yang hanya
menawarkan kesenangan sesaat tanpa memberikan banyak solusi berarti
terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya di
zaman itu. Dengan janji-janji surga, penebusan yang akan segera datang,
agama hanya berperan seperti candu yang memberikan kenyamanan sesaat
namun tidak pernah bisa menyelesaikan masalah apapun. Agama yang seperti
ini tentu saja hanya akan mampu mengakomodir kepentingan kelas-kelas
borjuis dan penguasa. Kelas-kelas berjuis dan penguasa pada hakekatnya
sudah hidup dengan cukup mapan dan tidak mengalami ketertindasan apapun.
Oleh sebabnya, mereka tidak lagi membutuhkan apa yang disebut dengan
“hiburan semu”. Lain halnya jika agama ini dilihat dari kacamata mereka
yang tertindas secara ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Bagi mereka,
agama ini berperan sebagai penyelamat yang nantinya akan membebaskan
mereka dari ketertindasan dan melakukan pembalasan terhadap orang-orang
yang telah menindas mereka. Daripada bergulat dengan kejamnya hidup,
mereka lebih memilih untuk menyandarkan diri kepada agama yang dinilai
dapat memberikan sebuah penghiburan terhadap ketertindasan.
Karen
Amstrong bahkan dengan berani menulis buku yang sangat terkenal yaitu
“History of God”, buku yang mengupas sejarah Tuhan. Memangnya Tuhan
punya sejarah? Dari buku tersebut kita mengetahui bahwa sejarah Tuhan di
setiap peradaban hampir sama dan persepsi orang tentang Tuhan tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan zaman dimana manusia berada.
Berbicara
tentang Tuhan, Agama adalah sumber yang paling bisa dipercaya karena
tujuan manusia beragama adalah untuk mengenal Tuhan dan menyembah-Nya
sampai ajal menjemput. Nabi Muhammad SAW bernah berkata, “Aku melihat
wajah Allah dalam rupa seorang pemuda”, dan perkataan serupa pernah
dikemukakan oleh seorang tokoh sufi Ibnu Arabi ketika tawaf di ka’bah
beliau berkata, “Aku melihat Allah dalam wajah seorang wanita”.
Dalam
Al-Qur’an disebutkan, “…dimanapun engkau memandang disitu Wajah Allah”.
Lalu bagaimana manusia bisa memandang wajah Allah di alam kalau belum
pernah mengenal dan melihat-Nya dalam Kegaiban-Nya? Disinilah diperlukan
seorang pembimbing sebagaimana Rasulullah SAW di bimbing oleh Jibril as
dan Ibnu ‘Arabi dibimbing oleh Gurunya sehingga setelah mengenal Allah
dengan benar maka dimanapun mereka memandang akan bisa menemukan wajah
Tuhan disana.
Pun
tidak terkecuali ketika tulisan ini saya tulis dan ditemani oleh
segelas kopi, saya merasakan ketenangan dan kedamaian di tengah hiruk
pikuk warung kopi, ditengah riuh kendaraan lalu lalang, sayang merasakan
“Sunyi dalam Keramaian” karena saya merasakan ada getaran Tuhan hadir
setiap saat kapan dan dimana saja. Saya melihat kopi dalam gelas yang
tinggal setengah, saya tersenyum karena saya bisa memandang wajah Tuhan
disana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar