MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKHABDUL QADIR AL-JAILANI
Disadur dari Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih Ahmad Asy-Syami
Sewaktu kecil , ada malaikat yang selalu datang
kepadaku setiap hari dalam rupa pemuda tampan.
Ia menemaniku ketika aku berjalan menuju
madrasah dan membuat teman-temanku selalu
mengutamakan diriku seharian hingga aku pulang.
Dalam sehari, aku peroleh lebih banyak daripada
yang diperoleh teman-teman sebayaku selama
satu minggu.
Aku tak tak pernah mengenali pemuda itu. Di saat
yang lain, ketika aku bertanya kepadanya, ia
menjawab: “Aku adalah malaikat yang diutus
Allah. Dia mengutusku untuk melindungimu selama
engkau belajar.”
Itulah sepenggal kisah Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani tentang pengalamannya pada masa kecil.
Kelahiran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Beliau lahir pada tahun 470 H. (1077-1078 M) di
al-Jil (disebut juga Jailan dan Kilan), kini termasuk
wilayah Iran. Tahun kelahirannya ini didasarkan
atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia
18 tahun ketika tiba di Baghdad, bertepatan
dengan wafatnya seorang ulama terkenal , at-
Tamimi, pada tahun 488 H.
Tahun itu juga bertepatan dengan keputusan Imam
Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan
tugasnya mengajar di Universitas Nidzamiah,
Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih uzlah.
Penentuan Awal Ramadhan Melalui Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani saat Balitanya
Ibunya, Ummul Khair Fatimah binti Syaikh Abdullah
Sumi, adalah keturunan Rasulullah Saw. Beliau
pernah menuturkan: “Anakku , Abdul Qadir , lahir
di bulan Ramadhan. Pada siang hari bulan
Ramadhan, bayiku itu tak pernah mau diberi
makan.”
Dikisahkan pada suatu Ramadhan ketika Abdul
Qadir masih bayi, orang-orang tak dapat melihat
hilal karena tertutup awan. Akhirnya untuk
menentukan awal puasa, mereka mendatangi
rumah Ummul Khair dan menanyakan apakah
bayinya sudah makan hari itu. Saat mengetahui
bayi itu tak mau makan, mereka yakin bahwa
Ramadhan telah tiba.
Dalam kesempatan lain Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani bercerita: “Setiap kali terlintas keinginan
untuk bermain bersama teman-temanku, aku
selalu mendengar bisikan: “Jangan bermain, tetapi
datanglah kepadaku wahai hamba yang
dirahmati.” Karena takut, aku berlari ke dalam
pelukan ibu. Kini, meskipun aku beribadah dan
berkhalwat dengan khusyuk, aku tak pernah bisa
mendengar suara itu sejelas dulu.”
Tauladan Kejujuran Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Ketika ditanya mengenai apa yang
menghantarkannya kepada maqam ruhani yang
tinggi, beliau menjawab: “Kejujuran yang pernah
kujanjikan kepada ibuku.” Kemudian Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menuturkan kisah berikut:
“Pada suatu pagi di hari raya Idul Adha, aku pergi
ke ladang untuk membantu bertani. Ketika berjalan
di belakang keledai, tiba-tiba hewan itu menoleh
dan memandangku, lalu berkata: “Kau tercipta
bukan untuk hal semacam ini.” Mendengar hewan
itu berkata-kata, aku sangat ketakutan. Aku segera
berlari pulang dan naik ke atap rumah. Ketika
memandang ke depan, kulihat dengan jelas para
jamaah haji sedang wukuf di Arafah.
Kudatangi ibuku dan memohon kepadanya:
“Izinkanlah aku menempuh jalan kebenaran,
biarkan aku pergi mencari ilmu bersama para bijak
bestari dan orang-orang yang dekat dengan allah.”
Ketika ibuku menanyakan alasan keinginanku yang
tiba-tiba, kuceritakan apa yang terjadi. Mendengar
penuturanku, ia menangis dengan sedih. Namun, ia
keluarkan delapan puluh keping emas, harta satu-
satunya warisan ayahku. Ia sisihkan empat puluh
keping untuk saudaraku. Empat puluh keping
lainnya dijahitkannya di bagian lengan mantelku. Ia
memberiku izin untuk pergi seraya berwasiat agar
aku selalu bersikap jujur apapun yang terjadi.
Sebelum berpisah ibuku berkata: “Anakku,
semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku
ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku
sadar aku takkan bertemu lagi denganmu hingga
hari kiamat.”
Aku ikut kafilah kecil menuju Baghdad. Baru saja
meninggalkan kota Hamadan, sekelompok
perampok, yang terdiri atas enam puluh orang
berkuda, menghadang kami. Mereka merampas
semua anggota kafilah. Salah seorang perampok
mendekatiku dan bertanya: “Anak muda apa yang
kau miliki?” Kukatakan bahwa aku punya empat
puluh keping emas.
Ia bertanya lagi: “Di mana?” Kukatakan di bawah
ketiakku.
Ia tertawa-tawa dan pergi meninggalkanku.
Perampok lainnya menghampiriku dan
menanyakan hal yang sama. Aku menjawab
sejujurnya. Tetapi seperti kawannya, ia pun pergi
sambil tertawa-tawa mengejek.
Kedua perampok itu mungkin melaporkanku
kepada pimpinannya, karena tak lama kemudian
pimpinan gerombolan itu memanggilku agar
mendekati mereka yang sedang membagi-bagi
hasil rampokan. Si pimpinan bertanya apakah aku
memiliki harta. Kujawab bahwa aku punya empat
puluh keping emas yang dijahitkan di bagian
lengan mantelku.
Akhirnya ia menyobeknya dan ia temukan keping-
keping emas itu. Keheranan, ia bertanya:
“Mengapa engkau meberi tahu kami, padahal
hartamu itu aman tersembunyi?”
Jawabku: “Aku harus berkata jujur karena telah
berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur.”
Mendengar jawabanku, pimpinan perampok itu
tersungkur menangis. Ia berkata: “Aku ingat janjiku
kepada Dia yang telah menciptakanku. Selama ini
aku telah merampas harta orang dan membunuh.
Betapa besar bencana yang akan menimpaku!?”
Anak buahnya yang menyaksikan kejadian itu
berkata: “Kau memimpin kami dalam dosa. Kini,
pimpinlah kami dalam taubat!”
Keenam puluh orang itu memegang tanganku dan
bertaubat. Mereka adalah sekelompok pertama
yang memegang tanganku dan mendapat ampunan
atas dosa-dosa mereka.
Perjumpaan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dengan
Nabi Khidhir di Baghdad
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berusia delapan
belas tahun ketika tiba di Baghdad. Saat tiba di
gerbang kota, Nabi Khidhir muncul dan
melarangnya memasuki kota. Nabi Khidhir
mengatakan bahwa Allah melarangnya memasuki
kota itu selama enam tahun. Kemudian Nabi
Khidhir membawanya ke sebuah bangunan tua
dan berkata: “Tinggallah di sini dan jangan pergi
meninggalkan tempat ini.”
Akhirnya beliau menetap di sana selama tiga
tahun. Setiap tahun Nabi Khidhir datang dan
memerintahkannya menetap di sana. Mengenai
pengalamannya di tempat itu, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita:
“Selama menetap di padang pasir di luar
Bagdhad, semua yang kulihat hanyalah keindahan
dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah
melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul
dalam berbagai paras dan rupa, terus
mendatangiku, menggoda, mengusik, bahkan
menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai
pemenang.
Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan
paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku
sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia
menyerangku. Allah menjadikanku sebagai
pemenang dalam peperangan tanpa henti itu. Aku
berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama
bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di
bangunan tua di padang pasir itu.
Selama beberapa tahun aku hanya makan
rerumputan dan akar-akaran yang dapat
kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah
minum. Tahun berikutnya aku hanya minum tanpa
makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak
makan, tak minum, bahkan tak tidur. Aku tinggal di
bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh.
Aku berjalan bertelanjang kaki di atas duri-duri
padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku
terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku
merasa mendakinya. Tak sedikitpun kuberikan
kesempatan kepada hawa nafsuku untuk
beristirahat atau merasa nyaman.
Pada akhir tahun ketujuh, pada suatu malam, aku
mendengar satu suara menyeru: “Hai Abdul Qadir
kini kau dapat memasuki Baghdad.”
Akhirnya kumasuki kota Baghdad dan tinggal
beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan
kemaksiatan, kesesatan dan kelicikan yang
merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh
buruknya, aku pergi meninggalkan Baghdad
dengan hanya membawa al-Quran.
Namun, ketika tiba di gerbang kota itu untuk
kembali menyendiri di padang sahara, kudengar
satu suara berbisik: “Ke mana kau akan pergi?
Kembalilah. Kau harus menolong masyarakat.”
“Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok
itu? Aku harus melindungi imanku!” Seruku
lantang.
“Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu.”
Bisikan suara itu terdengar lagi. “Tak ada sesuatu
pun yang akan membahayakan dirimu.” Aku tak
dapat melihat siapa gerangan yang berbicara itu.
Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa
yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur.
Seharian aku berdoa kepada Allah semoga Dia
berkenan membuka tabir dariku sehingga
mengetahui apa yang harus aku lakukan.
Awal Mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Belajar
Tasawuf
Hari berikutnya, ketika aku mengembara di
pinggiran kota Baghdad, di sekitar Mudzafariyah,
seorang lelaki yang tak pernah kukenal
sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan
memanggilku: “Hai Abdul Qadir.”
Ketika berada tepat di depan pintu rumahnya, ia
berkata: “Katakan padaku apa yang kau minta
kepada Allah. Apa yang kau doakan kemarin?”
Aku diam terpaku, tak dapat kutemukan
jawabannya. Orang itu menatapku, lalu tiba-tiba
membanting pintu dengan sangat keras sehingga
debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris
seluruh tubuhku.
Aku pergi, sambil bertanya-tanya apa yang kupinta
kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil
mengingatnya, lalu kembali ke rumah itu untuk
memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak
dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut
menyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat
dengan Allah. Kelak , aku mengetahui bahwa
orang itu adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang
kemudian menjadi guruku.
Pada suatu malam yang dingin, di tengah guyuran
hujan deras, tangan ghaib menuntun Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani ke padepokan tasawuf milik
Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Pimpinan
padepokan itu mengetahui kedatangan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani melalui ilham. Syaikh
Hammad memerintah agar pintu padepokan
ditutup dan lampu dipadamkan.
Setibanya di depan pintu padepokan, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani dilanda kantuk yang hebat
dan langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya beliau
berhadats besar sehingga beliau pergi untuk mandi
dan berwudhu di sungai. Usai bersuci kembali
beliau tertidur dan berhadats lagi, hingga tujuh kali
dalam semalam. Tujuh kali beliau mandi dan
berwudhu dengan air yang nyaris membekukan
tubuh.
Keesokan paginya, pintu padepokan dibuka dan
beliau pun masuk ke dalamnya. Syaikh Hammad
bangkit untuk mengucapkan salam kepada beliau.
Dengan penuh suka cita, Syaikh Hammad
memeluk beliau dan berkata: “Anakku, abdul
Qadir, hari ini keberuntungan milik kami. Esok,
engkaulah pemiliknya. Jangan pernah tinggalkan
jalan ini.”
Syaikh Hammad menjadi guru pertama beliau
dalam bidang tasawuf. Melalui tangan Syaikh
Hammad itulah beliau bersumpah dan memasuki
jalan thariqah. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani bercerita:
“Aku belajar kepada banyak guru di Baghdad.
Namun, setiap kali aku tak dapat memahami
sesuatu atau ingin mengetahui suatu rahasia,
Syaikh Hammad memberiku penjelasan.
Kadangkal aku dimintanya mencari ilmu dari ulama
lain, mengenai akidah, hadits, fiqih dan lain-lain.
Setiap kali aku pulang ke padepokan, ia selalu
bertanya: “Ke mana saja kau? Selama
kepergianmu, kami mendapatkan begitu banyak
makanan yang sangat lezat bagi tubuh, akal, serta
jiwa dan tak sedikitpun yang kami sisakan
untukmu.”
Di saat yang lain ia berkata: “Demi Allah, dari
mana saja kau? Adakah orang lain di sini yang
lebih tahu (alim) daripada engkau?”
Murid-muridnya mengusikku dengan mengatakan:
“Kau adalah ahli fiqih, mahir menulis dan ahli ilmu.
Mengapa kau tidak keluar saja dari sini!?”
Syaikh Hammad menegur dan menenangkan
mereka: “Sungguh memalukan! Aku bersumpah,
tak ada seorang pun diantara kalian yang lebih
tinggi dari tumitnya. Jika kalian kira bahwa aku iri
kepadanya (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) dan
kalian mendukungku, ketahuilah bahwa aku justru
akan mengujinya dan mengantarkannya kepada
kesempurnaan. Ketahuilah, di alam ruhani,
kedudukannya seperti batu sebesar gunung.”
Kesengsaraan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani saat
Belajar di Baghdad
Semasa belajar di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani pernah mengalami masa penceklik.
Semua orang merasa kesulitan, termasuk beliau.
Mengenai hal ini, beliau menuturkan:
“Aku Cuma makan duri, kacang dan daun kubis
yang ada di tepian sungai dan danau. Kesulitan
lain tiba-tiba masih menyusul di Baghdad.
Kesulitan itu yaitu melambungnya harga-harga.
Ketika itu aku sampai tidak bisa makan apa-apa.
Aku bahkan harus mencari sisa makanan yang
bisa dimakan. Saking laparnya, aku lalu pergi ke
danau. Aku berharap bisa menemui daun kubis,
kacang atau apapun yang bisa dimakan.
Sayangnya, setiap kali aku pergi ke suatu tempat ,
pasti sudah ada orang yang sudah lebih dulu di
sana. Ketika mendapati ada orang fakir yang ikut
mencari makanan, aku langsung pergi. Aku malu.
Aku kembali berjalan ke tengah kota.
Setiap menemukan satu biji-bijian, aku pasti
keduluan. Aku terus mencari sampai aku tiba di
suatu masjid yang ada di pasar Raihaniyin,
Baghdad. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan, untuk
untuk memegang sesuatu saja aku sudah tidak
mampu lagi. Aku lalu masuk ke dalam masjid .
Aku duduk-duduk di sana.
Aku hampir mati saat itu. Untungnya ada seorang
pemuda non Arab yang juga baru masuk ke
masjid. Ia membawa kue lapis dan roti bakar. Ia
duduk lalu makan roti yang dibawanya. Setiap kali
pemuda itu hendak memasukkan makanan ke
dalam mulut, mulutku seolah mengikuti gerak
mulutnya seperti orang yang hendak memasukkan
makanan. Itu aku lakukan karena terlalu lapar.
Sebetulnya aku merasa aneh dengan apa yang aku
lakukan. “Apa yang aku lakukan ini?” kataku
dalam hati.
Sejurus kemudian, pemuda itu menengok ke
arahku. Ia pun menawariku. Aku menolak. Dia lalu
membagi makanannya untukku. Nafsukku terus
menggoda, tetapi aku terus menolak. Ia pun
membagi lagi. Akupun menerimanya. Aku lalu
memakan makanan itu. Ia lalu menanyaiku: “Kamu
dari mana? Namamu siapa?”
“Aku pelajar dari Jailan,” jawabku.
“Aku juga dari Jailan. Apakah kamu mengenal
seorang pemuda dari Jailan yang bernama Abdul
Qadir. Ia lebih dikenal dengan panggilan Abu
Abdullah as-Sama’i az-Zahid,” kata pemuda itu
“Itu aku,” jawabku.
Mendengar jawabanku, pemuda itu kaget dan
wajahnya langsung berubah. “Demi Allah, aku
sudah sampai di Baghdad semenjak tiga hari yang
lalu. Kemarin aku masih memiliki beberapa bekal.
Aku sudah bertanya ke mana-mana tentang
keberadaanmu, tetapi tidak ada yang
membantuku. Akupun menghabiskan bekalku.
Selama tiga hari, aku tidak menemukan apa yang
bisa aku makankecuali yang kita makan ini.
Padahal kematian sudah mengancamku. Aku pun
memutuskan kue lapis dan roti bakar itu aku
berikan padamu. Makanlah! Habiskan saja! Itu
untukmu. Sekarang aku tamumu. Sebelumnya
kamu memang tamuku.” Kata pemuda itu.
Aku bertanya padanya: “Apa itu?”
“Ibumu menitipkan delapan dinar untukmu, aku
pakai sebagian untuk membeli roti ini karena
terpaksa. Aku benar-benar minta maaf padamu.”
Mendengar itu, aku pun menenangkannya. Aku
memuji pemuda itu. Aku pun menyerahkan sisa
makanan dan sedikit emas. Dia pun menerimanya
lalu pergi.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani baru sadar bahwa
ibunya selalu mengirimi beliau sejumlah uang.
Sebagiannya sampai kepada beliau, dan sebagian
lagi tidak sampai. Baghdad teralu besar dan luas.
Beliau tidak mungkin mengetahui hal serumit itu
sebelumnya.
Baju Kesufian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tampil sebagai
contoh penting yang menunjukkan bahwa mencari
ilmu merupakan kewajiban suci setiap muslim dan
muslimat, dari buain hingga liang lahat. Beliau
mengungguli sufi terbesar pada zamannya. Beliau
hafal al-Quran dan belajar tafsir kepada Syaikh Ali
Abul Wafa al-Qail, Abul Khattab Mahfudz dan Abul
Hasan Muhammad al-Qadhi.
Menurut sebagian sumber, beliau belajar kepada
Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Muharami,
ulama besar pada zamannya di Baghdad. Meski
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani belajar tasawuf dari
Syaikh Hammad ad-Dabbas dan memasuki jalan
thariqah melaluinya, namun beliau juga
dianugerahi jubah darwis, simbol jubah Nabi Saw.
dari Qadhi Abu Sa’id melalui jalur Syaikh Abul
Hasan Ali Muhammad al-Qurasyi dari Abul Faraj
at-Tarsusi dari at-Tamimi dari Syaikh Abubakar
asy-Syibli dari Abu Qasim dari Sari as-Saqati dari
Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud ath-Tha’I dari Habib
al-A’dzami dari Hasan al-Bashri hingga sampai
kepada Sayyidina Ali Bin abu Thalib Ra. Sayyidina
Ali menerima jubah pengabdian dari Nabi
Muhammad Saw. kekasih Allah semesta alam,
yang menerimanya dari Jibril dan ia menerimanya
dari Yang Maha Besar Allah Swt.
Suatu hari, seorang bertanya kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani tentang apa yang diperolehnya
dari Allah Swt. Beliau menjawab: “Ilmu dan akhlak
mulia.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Disuwuk oleh
Rasulullah Saw. dan Sayyidina Ali saat Kesulitan
di Awal Mengajar
Qadhi Abu Sa’id al-Muharrami mengajar di
madrasahnya di Bab al-Azj, Baghdad. Kemudian
ia serahkan madrasah itu kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, yang telah menjadi pengajar di
sana. Ketika itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berusia lima puluh tahun. Ucapan beliau sangat
fasih dan dahsyat, mampu memengaruhi siapa
saja yang mendengarnya. Murid-murid dan
jamaahnya bertambah pesat. Dalam waktu yang
sangat singkat, tak ada lagi tempat di madrasah
itu untuk menampung mereka. Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bercerita tentang saat-saat pertama
pengajarannya:
“Suatu pagi aku bertemu Rasulullah Saw. yang
bertanya kepadaku: “Mengapa kau diam saja?”
Aku menjawab: “Aku orang Persia, bagaimana aku
dapat berbahasa Arab dengan fasih di Baghdad?”
“Bukalah mulutmu,” ujar Rasulullah Saw.
Aku menuruti perintahnya. Kemudian Rasulullah
Saw. meniup (meludahi) mulutku tujuh kali dan
berkata: “Berdakwahlah dan ajak mereka ke jalan
Allah dengan hikmah dan kata-kata yang baik.”
Lalu aku shalat Dzuhur dan beranjak menemui
orang-orang yang telah menantikan ceramahku.
Saat melihat mereka, aku gugup. Lidahku menjadi
kelu. Tiba-tiba aku melihat Imam Ali mendekatiku
dan memintaku membuka mulut. Lalu ia
meniupkan napasnya ke mulutku sebanyak enam
kali. Aku bertanya: “Mengapa tidak tujuh kali
seperti yang dilakukan Rasulullah?”
“Karena aku menghormati Rasulullah,” ujar Imam
Ali, dan ia berlalu.
Seketika itu pula meluncur kata-kata yang sangat
lancar dari mulutku: “Akal adalah penyelam, yang
menyelami samudera hati untuk menemukan
mutiara hikmah. Jika ia membawanya ke tepian
wujudnya, ia akan memicu pengucapan kata. Dan
dengan itu ia membeli mutiara ibadah dan
pengabdian kepada Allah.”
Lalu kukatakan: “Pada suatu malam seperti
malam-malam yang kualami, jika diantara kalian
mampu menaklukkan birahinya, kematian akan
menjadi sangat indah. Sehingga baginya, tak ada
sesuatupun yang dapat menandingi
keindahannya.”
Sejak saat itu dan seterusnya, baik ketika terjaga
maupun terlelap, aku senantiasa menjalankan
kewajibanku sebagai pengajar. Ada banyak ilmu
keimananan dan agama dalam diriku. Ketika aku
tak membicarakan atau melafalkannya, aku merasa
ilmu-ilmu meluncur dengan sendirinya. Saat mulai
mengajar. Hanya ada beberapa murid yang
mendengarkanku. Namun tak lama kemudian,
mereka bertambah hingga tujuh puluh ribu orang.
Perluasan Madrasah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Madrasah dan pondok beliau tak lagi mampu
menampung para pengikut beliau. Dibutuhkan
tempat yang lebih luas. Orang kaya dan miskin
membantu mendirikan bangunan. Orang kaya
membantu dengan harta dan orang miskin
membantu dengan tenaganya. Bahkan kaum
wanita di Baghdad pun membantu.
Seorang wanita muda yang bekerja secara suka
rela memperkenalkan suaminya yang enggan
bergotong-royong kepada Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani. “Ini suamiku. Aku telah menerima mahar
darinya sebanyak dua puluh keping emas,
separuhnya akan kuberikan kembali kepadanya
dan separuh lagi akan kubayarkan jika ia ikut
bekerja di sini.” Kata wanita itu.
Lalu keping emas itu ia serahkan kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani, dan laki-laki itupun mulai
bekerja. Ia pun terus bekerja meskipun jatah
maharnya telah habis. Kendati demikian, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani tetap membayarnya karena
beliau tahu bahwa ia miskin.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menjadi Pemuka
Agama yang Paling Mumpuni dan Disegani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah ulama dan
imam dalam ilmu-ilmu agama, kalam dan fiqih,
serta tokoh terkemuka Madzhab Syafi’i dan
Hanbali. Keberadaan beliau memberi manfaat
yang sangat besar bagi semua orang. Doa dan
kutukannya selalu dikabulkan. Beliau memiliki
banyak keistimewaan. Beliau adalah manusia
sempurna yang selalu mengingat Allah, bertafakur,
merenung serta belajar dan mengajar.
Hati beliau lembut, perilaku beliau santun, dan
paras beliau senantiasa tampak ceria. Beliau juga
selalu bersimpati dan memelihara perilaku yang
mulia. Di mata orang-orang, beliau tampil sebagai
sosok yang berwibawa, dermawan dan gemar
memberi bantuan berupa uang, nasehat, maupun
ilmu. Beliau menyanyangi sesama, terutama kaum
mukmin yang taat dan selalu beribadah kepada
Allah.
Penampilan beliau selalu terjaga sehingga nampak
tampan dan necis. Beliau tak suka berbicara
berlebihan. Jika bicara, meski cepat, setiap kata
maupun suku kata beliau terdengar jelas. Bicara
beliau santun dan hanya yang diucapkan hanya
kebenaran. Beliau sampaikan kebenaran dengan
lantang dan tegas. Beliau tak peduli apakah orang
lain akan memuji, mencela, mengkritik atau
bahkan memaki beliau.
Ketika Khalifah al-Muqtafi mengangkat Yahya bin
Sa’id sebagai Qadhi (kepala pengadilan), Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani mengkritiknya di hadapan
khalayak: “Kau telah mengangkat orang yang
sangat dzalim sebagai hakim atas kaum mukmin.
Mari kita saksikan apa pembelaanmu ketika kau
dihadapkan kepada Hakim Agung, Tuhan Semesta
Alam.”
Mendengar kritikan pedas itu khalifah gemetar dan
menangis . Ia segera memecat qadhi itu.
Saat itu, penduduk Baghdad mengalami
kemerosotan moral dan perilaku. Berkat kehadiran
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, banyak penduduk
yang benar-benar bertaubat, menjaga perilaku dan
menjalankan syariat Islam dengan baik.
Orang-orang pun semakin mencintai dan
menghormati Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pengaruh beliau semakin meluas. Orang shaleh
mencintai beliau dan para pelaku maksiat takut
kepada beliau. Banyak orang, termasuk raja,
menteri dan kaum bijak bestari, datang meminta
nasehat beliau. Banyak kaum Yahudi dan Kristen
yang masuk Islam karena beliau.
Pendeta yang Meragukan Mi’raj Rasulullah Saw.
Dengan Ruh dan Jasadnya
Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan
berpengaruh di Baghdad yang memilki banyak
pengikut. ia memiliki pengetahuan yang luas tidak
hanya mengetahui tradisi Yahudi dan Kristen,
tetapi juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui
kitab suci al-Quran dan sangat menghargai Nabi
Muhammad Saw. Khalifah sangat menghormatinya
dan berharap ia dan pengikutnya masuk Islam.
sebenarnya, pendeta itu ingin masuk Islam. Hanya
saja, ia masih meragukan bahwa Mi’raj Nabi
Muhammad Saw. terjadi berikut raganya.
Mi’raj itu terjadi ketika Nabi Saw. diperjalankan
dari Makkah ke Yerusalem dengan jasad dan ruh
beliau. Kemudian naik ke tujuh lapis langit serta
menyaksikan banyak hal. Beliau Saw. melihat
surga dan neraka, lalu bertemu dengan Allah Swt.
yang menyampaikan sembilan ribu kata. Saat
pulang dari perjalanan itu, kasur Nabi Saw. belum
mendingin dan daun yang tersentuh dalam
perjalanan belum berhenti bergoyang.
Akal sang pendeta tidak menerima peristiwa Mi’raj
itu dan segala yang disampaikan Nabi Saw.
sepulang dari perjalanan itu. Bahkan,
sesungguhnya banyak kaum Muslimin ketika itu
yang tidak mempercayai penjelasan Nabi Saw.,
dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar
menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan
kaum Muslimin. Karena akal tidak dapat menerima
fenomena serupa itu.
Khalifah mengundang para bijak bestari dan para
syaikh untuk menyakinkan si pendeta. Namun tak
ada satupun yang mampu. Kemudian pada suatu
sore, ia memohon kepada Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani untuk menyakinkan si pendeta mengenai
kebenaran Mi’raj Nabi Saw.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani datang ke
istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain
catur. Saat pendeta mengangkat sebuah bidak
catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Si pendeta
memejamkan matanya. Ketika membuka mata,
tiba-tiba ia berada di sebuah sungai dan
dihanyutkan oleh alirannya yang deras. Ia berteriak
minta tolong.
Seorang penggembala pemuda lompat ke sungai
menyelamatkannya. Ketika pemuda itu
memeluknya, ia sadar bahwa ia tidak berpakaian
dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis.
Si penggembala menariknya keluar dan serta-
merta menanyakan keluarga dan rumahnya.
Ketika gadis itu (pendeta) menyebutkan Baghdad,
si penggembala itu mengatakan bahwa butuh
waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana. Si
penggembala menghormati, menjaga dan
melindunginya. Namun karena tak ada tempat
yang ditujunya, si penggembala menikahinya. Dari
pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak.
Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai
yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, ia
tergelincir dan jatuh ke air. Ketika sadar dan
membuka mata, ia dapati dirinya duduk di
hadapan khalifah, memegang bidak catur dan
masih bertatap pandang dengan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berujar kepadanya: “Hai pendeta yang malang,
apakah saat ini kau masih enggan mengakui?”
Si pendeta yang masih ragu dan menganggap apa
yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab:
“Apa yang kau maksudkan?”
“Apakah engkau ingin berjumpa dengan anak dan
suamimu?” Tanya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
seraya membuka pintu.
Di depan pintu istana itu telah berdiri si
penggembala dengan tiga orang anaknya.
Mengalami runtutan kejadian itu, si pendeta
langsung menyatakan keimanan dan mengakui
kebenaran Mi’raj Nabi Saw. Ia dan jamaahnya
yang berjumlah sekitar lima ribu orang masuk
Islam melalui Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Allah Mencatat Tidak Akan Murka kepada Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailani
Meskipun dikenal orang yang lembut, santun dan
penyanyang, dan selalu menepati janji jika
berurusan dengan keadilan, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani bersikap tegas. Beliau tak pernah marah
jika orang lain memperlakukan beliau dengan
buruk. Namun, jika mereka mengusik agama dan
keimanan, beliau akan sangat marah dan segera
menimpakan hukuman yang berat.
Seorang syaikh kala itu, Abu Najib as-Suhrawardi,
menceritakan:
“Pada tahun 523 H, dalam sebuah majelis yang
dihadiri oleh Syaikh Hammad, guru Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengucapkan suatu pernyataan besar. Saat itu
juga Syaikh Hammad menegur beliau: “Hai Abdul
Qadir, kau berbicara terlalu lancing. Aku takut
murka Allah akan menimpamu.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menempelkan
telapak tangan beliau ke dada Syaikh Hammad:
“Lihatlah telapak tanganku dengan mata hatimu.
Dan katakan tulisan yang terbaca di sana.”
Ketika Syaikh Hammad tak dapat menjawab,
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat
tangannya lalu menunjukkan kepada Syaikh
Hammad. Di sana nampak tulisan yang sangat
jelas: “Ia (Syaikh Abdul Qadir al-Jailani) telah
menerima tujuh puluh janji dari Allah bahwa ia
tidak akan dimurkai.”
Manyaksikan itu, Syaikh Hammad berkata:
“Takkan ada sedikitpun keburukan atas orang yang
dikaruniai janji itu dari Allah. Tak seorang pun
kesal kepadanya. Allah merahmati siapa saja yang
dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya.”
Para Pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
Semua Mati dalam Keadaan Bertaubat
Dalam riwayat lain, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
mengatakan: “Tidak ada seorang pun pengikutku
yang mati sebelum bertaubat. Mereka mati
sebagai hamba yang beriman kepada Allah. Setiap
satu orang pengikutku yang shaleh akan
menyelamatkan tujuh orang saudaranya yang
berdosa di api neraka. Seandainya ada aib salah
seorang pengikutku, yang berada di bagian paling
barat dunia, yang akan disingkapkan secara
semena-mena, maka kami, meski berada di
bagian paling timur dunia, akan menutupinya
sebelum diketahui siapapun.”
“Aku dikarunia kitab. Tidak semua orang dapat
melihatnya. Dalam kitab itu tercantum nama para
pengikutku hingga hari kiamat. Dengan rahmat
Allah akan kami selamatkan mereka. Beruntunglah
orang yang pernah bertemu denganku. Aku prihatin
kepada orang-orang yang tidak akan bertemu
denganku.”
Semua orang yang dekat dengan beliau selalu
merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Seseorang pernah bertanya kepada beliau: “Kami
tahu keadaan para pengikutmu yang shaleh dan
apa yang telah disediakan bagi mereka di hari
kiamat. Namun, bagaimana dengan pengikutmu
yang berbuat maksiat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Para
pengikutku yang shaleh setia kepadaku. Dan aku
setia untuk menyelamatkan mereka yang berbuat
maksiat.”
Seorang wanita muda pengikut Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani tinggal di Ceylon, suatu hari ketika
melintas di tempat yang sepi, seorang laki-laki
mencegat dan bermaksud memperkosanya. Dalam
keadaan tak berdaya, wanita muda berteriak:
“Wahai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani guruku
tolonglah aku!”
Ketika itu di Baghdad, Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani sedang berwudhu. Orang-orang melihat
beliau menghentikan wudhunya dan dengan marah
beliaupun mencopot sandalnya lalu
melemparkannya ke udara. Mereka tak melihat
jatuhnya sandal itu. Ternyata sandal itu mengenai
kepala si lelaki yang tengah menganiaya gadis itu
dan menewaskannya. Konon, sandal itu kini masih
ada di sana dan dijaga sebagai benda suci.
Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa,
pada suatu hari para pengikut Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru mereka.
Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga
diketemukan. Ketika seseorang mengatakan bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke arah
sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya
di sana, mereka melihat Syaikh Abdul Qadir al-
Jailani berjalan di permukaan sungai. Mereka
melihat semua ikan muncul di permukaan dan
menyalami Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur. Mereka
melihat permadani luas terhampar di atas kepala
mereka, dan menutupi angkasa. Pada permadani
itu tertulis ayat dengan tinta emas dan perak:
“Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula
mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62). “Para
malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran
tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan
keberkahanNya, dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait.
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha
Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar