Ahli Makrifat itu tidak memiliki makrifat jika ia tidak mengenal Allah dari segala sudut dan dari segala arah mana saja ia menghadap. Ahli Hakikat hanya ada satu arah yaitu ke arah Yang Hakiki itu sendiri.
“Ke mana saja kamu memandang, di situ ada Wajah Allah” (Al-Qur-an)
“Ke mana saja kamu memandang”, apakah dengan indera atau akal atau khayalan, maka di situ ada Wajah Allah “. Karena itu dalam segala ain [di mana] ada ain (Zat Ilahi) dan semuanya adalah” La ilaha illallah ” (Tidak ada Tuhan kecuali Allah).
Dalam “La ilaha illallah” semua ada ada terkandung, yaitu Wujud Semesta Raya dan Wujud secara khusus; atau Wujud atau apa yang dianggap Wujud; atau wujud Hakiki dan Wujud makhluk.
Wujud makhluk tunduk kepada kepada “La ilaha” yang berarti bahwa segala-galanya kecuali Allah adalah kosong (batil), yaitu dinafikan bukan diisbatkan. Wujud Hakiki termasuk dalam “illallah”. Oleh itu semua kejahatan tunduk di bawah “La ilaha” dan semua yang dipuji tunduk di bawah “illallah”.
Semua ada terkandung dalam mengisbatkan Keesaan (La ilaha illallah) dan harus memasukan nya juga dalam menamakan hamba yang paling mulia (dalam mengatakan Muhammadun Rasulullah).
“Muhammadun Rasulullah” ini mengandung tiga alam.
Muhammad itu menunjukkan Alam Nyata (Alam Nasut); yaitu alam yang bisa dipandang dengan indera (senses).
Rasul itu menunjukkan Alam Perintah (Alam Malakut); yaitu Alam batin tentang rahasia-rahasia tanggapan yang mujarad; dan ini terletak antara yang muhaddas dengan Yang Qadim.
Nama Ilahi (Allah) itu menunjukkan Alam Pertuanan (Alam Jabarut). Lautan darinya terpancar pengertian dan tanggapan.
“Rasul” itu sebenarnya perantara yang muhaddas dengan Yang Qadim; karena tanpa dia tidak akan ada wujud, karena jika yang muhaddas bertemu dengan yang Qadim, maka binasalah yang muhaddas dan tinggallah Yang Qadim.
Ketika Rasul diletakkan pada tempatnya yang wajar pada kedua itu, maka barulah alam ini diperintahkan, karena pada zhohirnya ia adalah hanyalah seketul tanah liat, tetapi batinnya ia adalah khalifah Allah.
Pendeknya, maksud mengisbatkan Tauhid itu tidaklah sempurna dan tidaklah meliputi tanpa diisbatkan Keesaan atau Tauhid Zat, Sifat dan Lakuan. Pengisbatan itu dipahami dari “Muhammadun Rasulullah”.
Bila seorang ahli Makrifat berkata “La-ilaha illallah” maka ia ketahui pada hakikatnya bukan hanya pada majazi saja, yaitu tidak ada jalan lain kecuali Allah.
Oleh itu wahai saudaraku, janganlah hanya mengucapkan dengan mulut saja syahadah yang mulia ini, karena dengan itu mulut sajalah yang akan mendapat manfaatnya.
Dan ini bukanlah tujuan yang hendak dituju. Yang pentingnya adalah Mengenal Allah sebagaimana Ia sebenarnya.
“Allah itu dahulu seperti ini sekarang jua tanpa sekutu, dan ini sekarang seperti ini dulu jua”.
Pahamilah ini, dan kita tidak akan dibebankan lagi dengan penyangkalan, dan tidak ada yang tinggal untuk Anda lagi melainkan pengisbatan agar ketika kita berkata kita akan berkata; “Allah, Allah, Allah”. Tetapi sekarang hati kita dibebankan dan pandangannya lemah.
Sejak kita hanya berkata; La-ilaha …….. tetapi kapan penyangkalan itu akan efektif ?. Bahkan ia tidak efisien karena penyangkalan itu hanya dengan lidah saja.
Jika Kita nafikan dengan Akal yaitu dengan Hati Kita dan rahasia Anda yang paling dalam, maka seluruh alam ini akan lenyap dari pandangan kita dan Kita akan lihat Allah sendiri, bukan diri Anda sendiri dan juga makhluk-makhluk lain.
Kaum Sufi menafikan ada yang lain kecuali Allah. Maka mereka mencapai kedamaian dan istirahat dan terus memasuki KalamNya. Mereka tidak akan keluar lagi. Tetapi penyangkalan kita tidak ada langsung ujungnya …………
Ghirullah (selain Allah) tidak akan lenyap dengan hanya mengatakan “tidak” dengan lidah saja; dan belum sempurna ini lagi dengan mata keimanan dan keyakinan, tetapi akan lenyap dengan pandangan secara langsung dan berhadapan muka.
“Sesungguhnya Allah itulah tujuan Anda yang terakhir” (Al-Qur’an).
Dialah sumber segala-galanya. Maka kita tidak perlu lagi nafi dan tidak perlu isbat. Ini adalah karena Yang Wajib itu telah memangnya isbat meskipun belum kita isbatkan, dan yang ghairullah itu memang nafi meskipun sebelum kita nafikan.
Tidakkah kita ingin menemukan guru yang dapat mengajar kita bagaimana menafikan ghairullah dan membawa kita ke kedamaian di mana kita temukan tidak ada yang lain kecuali Allah ?.
Maka barulah kita hidup dengan Allah dan dapat menjadi penghuni “Di tempat tinggal orang-orang yang ikhlas di Dewan Tuhan Yang Maha Agung”, dan ini adalah semuanya hasil dari ingat Anda dan makrifat Anda bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”.
Kita tahu kata-kata Syahadah itu saja dan yang paling dalam yang kita tahu ”Tidak ada yang patut disembah melainkan Allah”. Ini adalah pengetahuan orang-orang awam (biasa) tetapi apakah kaitannya dengan pengetahuan atau ilmu orang-orang Sufi?.
Pengetahuan kita yang sekarang itulah yang menghalangi kita memahami pengetahuan orang-orang pilihan (Sufi). Masihkan kita menafikan pengetahuan yang diperoleh dari bimbingan guru menuju Hakikat, padahal mereka yang dipimpin itu memandang tidak yang ada kecuali Allah?
Mereka tidak hanya mengenal Allah dengan iman dan keyakinan saja, tetapi mereka memandang dengan cara pandang yang terus tanpa hambatan.
Makna kehidupan sejati
Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinyaAllah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.”
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti.
Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit atau pun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada di inginkan oleh hidup.Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.”
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai.
Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja.
Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah
Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci.
Martabat Alam Mitsal,Ajsam,Insan Kamil
alam al-Mitsal (alam bentuk), yang diungkapkan sebagai awal Misal begi bentuk Dzat yang disucikan dengan makna
al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua)
dari al-Tanazzulat li’l Dzat (peninggalan bagi Dzat),
Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran segala sesuatu di alam semesta),
Surah al-Rahman (bentuk Rahman),
Surah al-Haq (bentuk hak),
Surah al-Illah (bentuk Ilahi),
Surah al-Wujud al Ilahi (bentuk wujud Ilahi),
Surah al-Shu’un (bentuk keadaan),
Surah al Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir nama-nama).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:
Tersebutlah alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan penglihatan belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut, wujud mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.
Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:
Kandil: artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang cahayanya berkilauan, tergantung tanpa kaitan, itulah keadaan Nur Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Dzat, yang menjadi bingkai atma dan menjadi tempatnya alam Mitsal.
Alam Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam Mitsal adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau keadaannya sudah mempunyai sifat, bentuk dan warna, tetapi belum bisa dikenali baik secara batin maupun lahir.
Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ruh Idlafi, kemudian bertajjali dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di atas, angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan ajaran martabat tujuh, Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan tajjalinya ruh karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.
Kandil juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya, suatu keajaiban bila api dapat menyala di tengah-tengah lautan. Oleh karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah benar hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang terletak di luar suksma.
Martabat Ke enam, Alam Ajsam
atau alam jasmani. Alam ini juga disebut sebagai bagian dari
al-Tanazzulat li’l-Dzat (peninggalan bagi Dzat),
Alam al-Mahsus (alam rasa),
Akhir al-Tanazzulat li’l Dzat (akhir peninggalan bagi Dzat),
yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia),
al-Anam (manusia),
al-Ajsam (jasmani),
al-Shahadah (nyata),
al-khalq (manusia),
al-Zahir (lahir),
al-Kashit (alam terbuka),
al-Ajram (tubuh),
al-Majsum (terkungkung),
al-Mahsusat (alam rasa).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah ini:
Alam Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya. Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim nama wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.
Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Dharah artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna, kesemuanya ditempati malaikat. Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Dzat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya alam Ajsam.
Pada Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di dalam martabat tujuh alam Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam. Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan berbentuk segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut teramat luas, sehingga tak diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui.
Meski wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk lahir yang ke tiga, yaitu, wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.
Sedang Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam disebut dengan Dharah yang memiliki pengertian atau arti permata. Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan disebutkan juga bahwasanya bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai perhiasanDzat.
Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil
Martabat ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya.Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan),
Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan lahir dan batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang bersifat rohani, jasmani dan benda tak bernyawa.
Di dalam alam ini, Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta dengan segala isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.
Ajaran Insan Kami di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah ini:
Sifat yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat (makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua orang wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu tergolong kafir, dan belum mengerti sahadat.
Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:
Hijab: disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam Hadist timbul dari permata yang beraneka warna, pada waktu gerak menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat atma, menjadi tempatnya alam Insan Kamil.
Dalam Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan sempurna, sebaliknya, dalam Insan Kamil itu dunia yang ke luar dari Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah. Insan Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta titik pertemuan antara Allah dan dunia sebagaimana contoh yang diperagakan dalam garis lurus berikut ini;
Allah
Ahadiyah
Wahdah
Wahadiyah
Alam Arwah
Alam Mitsal
Alam Ajsam
Alam Insan Kamil
Berdasarkan uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau perkalian numerik mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah. Tak pelak, oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung. Yaitu, wujud yang telah mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh tingkatan.
Makna mati dalam hidup
Rasulullah s.a.w bersabda:
Bila hati seorang sudah dimasuki Nur, maka itu akan menjadi lapang dan terbuka.” Setelah mendengar ucapan Rasulullah s.a.w. itu orang banyak bertanya: “Apakah tandanya hati yang lapang dan terbuka itu ya Rasulullah..? Rasulullah menjawab:
“Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” (H.R. Ibnu Jurair) Bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati adalah pelajaran luar biasa berhikmahnya dari hadits ini.
Statement ini mengisyaratkan kepada kita untuk berlatih mati dalam rangka menghadapi proses kematian, agar dapat mati dalam keadaan sukses. Lalu bagaimanakah bentuk sukses dari sebuah kematian itu? Berbicara mengenai hal ini, Nabi Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya: “Janganlah sampai kamu meninggal dunia padahal kamu tidak menyerahkan dirimu (Total Submission) kepada ALLAH.” (Q.S. Ibrahim : 152)
Orang yang menyerahkan diri secara total kepada ALLAH adalah orang yang dekat kepada-NYA, oleh karena itu kematiannya adalah sebuah kesuksesan. “Adapun bila yang meninggal itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri (kepada ALLAH). Maka (kematian baginya) adalah lega, semerbak dan nikmat sekali.” (QS. Waqi’ah : 89-90)
Ibrahim a.s. mengisyaratkan bahwa kematian yang sukses adalah kematian dalam keadaan “penyerahan diri secara total kepada ALLAH semata”. Karena memang: “Sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH semata. (QS. Al An’am : ) Tentang Sukses Kematian, Rasulullah bersabda: “Siapa yang suka menemui ALLAH, ALLAH suka menemuinya, dan barang siapa benci menemui ALLAH, ALLAH benci pula menemuinya.”
Setelah mendengar sabda Rasulullah ini banyak para sahabat yang menangis. Melihat itu Rasulullah bertanya kepada mereka, kenapa menangis..? Mereka menjawab: “Semua kami membenci mati ya Rasulullah. Maka berkatalah Rasulullah: “Bukan demikian yang dimaksud, tetapi adalah ketika menghadapi sakaratil maut.”
Sebagaimana kehidupan yang indah, kematian yang indah adalah kematian dengan kondisi jiwa penuh dengan ke-“Tauhid”-an. Jiwa yang dipenuhi dengan menafikan segala bentuk penuhanan terhadap sesuatu selain ALLAH dan terus-menerus meneguhkan (isbatkan) penuhanan kepada ALLAH semata-mata. Karena:
Lailaha ilalloh adalah ucapan AKU
Lailaha ilalloh adalah AKU
Lailaha ilalloh adalah benteng AKU.
Siapa yang masuk dalam benteng AKU dengan mengucap Lailaha ilalloh lepas dari aniaya-KU. (Hadits Qudsi)
Dalam hidup berbekal Tauhid, dalam menghadapi sakaratul maut berbekal Tauhid, jiwa pergi dari jasad membawa Tauhid. Jika kesadaran telah dipenuhi dengan “Tauhid” kehidupan kita akan bebas dari aniaya ALLAH, demikian juga dengan kematian kita. Oleh karena itu seperti diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’id Al-Khudri r.a beliau berkata : “Saya mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati di antara kamu dengan kalimat La ilaha illallah. Karena sesungguhnya, seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya, maka itulah bekalnya menuju surga.” Masuk ke dalam benteng SANG AKU: Lailaha ilalloh, tentunya bukan sekedar ucapan lisan saja. Akan tetapi telah diyakini dengan qalbu dan telah disaksikan dengan sepenuh jiwa.
Dengan kondisi kesadaran yang demikian maka qalbu menjadi terbersihkan dari segala kotoran-kotoran dosa, selalu terisi dengan keimanan, ingatan selalu tertuju kepada ALLAH dan sikap jiwa dalam keadaan berserah diri total kepada ALLAH, sebagai pemilik hidup kita. Penyerahan diri dengan kesadaran kepada ALLAH Yang Maha Esa.
Seperti dikatakan oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (wafat 1111): “At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai’in ilallah” (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Tuhan dalam segala sesuatu). Dengan Tauhid ini, manusia menjadi sadar kedudukannya bahwa tubuhnya adalah semata-mata bentuk Kuasa ALLAH (melihat Tuhan dalam tubuhnya), sebagaimana alam semesta raya.
Harus kembali kepada-NYA dalam posisi tunduk patuh sebagaimana tunduk patuhnya alam semesta. Semua adalah bentuk Kuasa ALLAH, Energi ALLAH, Daya ALLAH karena sesungguhnya: La haula walaa quwwata illa billahil aliyyil adziem. Dengan Tauhid pula manusia sadar bahwa, hidup yang ada didalam dirinya (melihat Tuhan tidak terpisahkan dari hidupnya),
yang menyebabkan badan bisa hidup bergerak serta membuatnya menjadi makhluk sadar adalah roh yang berasal dari-NYA – “Min Ruhi” atau Roh SANG AKU. Milik-NYA semata-mata dan aksioma akan kembali kepada-NYA. Tidak ada rasa peng-“aku” an atas hidup, jiwa dan roh yang ada di dalam badan ini. Ia adalah milik-NYA dan akan kembali kepada-NYA.
Dengan kondisi psikologis yang demikian orang akan lebih tenang dengan bertawakal kepada ALLAH semata dalam menghadapi situasi kritis saat ajal menjemput. Karena ia telah sadar bahwa: o Mati adalah untuk kembali ke Asal atau Sumber dari hidup, yaitu ALLAH o Mati adalah perjalanan menuju ALLAH o Mati adalah saat menemui ALLAH o Mati adalah Bersaksinya roh atas Wajah ALLAH o Mati adalah untuk Merasakan Kedekatan/ Kesatuan dengan ALLAH
Pelatihan Mati Sukses, Seperti Jawaban Rasulullah kepada para Sahabatnya: “Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” Jika kita simak hadits nabi tersebut, Rasulullah telah memberikan motivasi kepada kita tentang bagaimana hendaknya umatnya melakukan latihan untuk menghadapi mati sebelum datangnya kematian, agar dapat sukses ketika menghadapinya nanti.
Mengenai hal ini, Haji Slamet Oetomo Blambangan berkenan berbagi pengetahuan dan best practicenya kepada kita dalam menghadapi kematian. Saya senang menyebutnya dengan istilah pelatihan mati khusyuk. Proses pelatihan ini berangkat dari filosofi tentang Hakikat manusia yang diajarkan Tuhan melalui al qur’an.
- Yang pertama, kematian itu adalah proses kembali menemui Tuhan sama dengan sholat, dzikir atau itikaf. Oleh karena itu kita posisikan Kesadaran sesuai dengan surat: Al ‘Araf : 29 : ” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).”
Meluruskan muka atau diri adalah menumpahkan dan memusatkan seluruh perhatian kepada ALLAH semata. Dan dibekali dengan keikhlasan dengan tingkat kesadaran seperti dinyatakan qur’an : “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al An’am : 162).
Dan seperti dijadikan pada mulanya yaitu bayi lahir, bayi itu suci, tidak merasa bisa tidak merasa pandai bahkan dipanggil namanya tidak tahu/bodoh. Semua yang ada nikmat ALLAH, kepunyaan ALLAH harus kembali kepadaNYA seperti pada mulanya yaitu seperti bayi lahir suci, perasaan tidak bisa apa-apa. Berserah diri total.
- Yang kedua, Tahu Tujuan Kematian. Tidak lain adalah Tuhan Semesta Alam – ALLAH. Tuhan seperti yang dijelaskan dalam surat Al Iklash: “Tuhan ALLAH Yang Maha Esa. Tuhan ALLAH tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak pula dilahirkan sebagai anak. Dan tidak ada sesuatupun yang ada persamaannya dengan DIA.” (Al –Iklash ) Al Fajr 27-28 dan Tuhan yang dijelaskan dalam surat Fushilat : 54 : “Bukankah mereka masih dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhannya,,? Bukankah DIA-NYA meliputi segala sesuatu.”
- Yang ketiga, mati adalah proses menemui ALLAH. Tidak lain adalah proses mendekatkan diri kepada ALLAH. Proses mendekatkan diri kepada ALLAH adalah proses menjalankan jiwa kepada tujuannya , yaitu ALLAH. Dalam proses kematian, yang berjalan adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan pikiran atau hati. Seperti Firman ALLAH: “Wahai jiwa yang tenang masuklah kedalam Surga-KU”. Adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan badan, pikiran dan hati. Saat kematian, seyogya nya jiwa dijalankan kepada ALLAH dengan terus mengingat ALLAH .
Dengan ingat kepada ALLAH, jiwa akan semakin meluncur mendekat kepada ALLAH. Pada posisi in, dalam batin hendaknya juga dikembangkan “Baik Sangka” kepada ALLAH, sebab sikap yang demikian akan menuntun kepada keadaan yang menjadi persangkaan kita. Sesuai dengan rumus “AKU adalah menurut persangkaan hamba-KU tentang AKU dan AKU bersama dia bila dia memanggil AKU”.
- Yang Keempat, menyadari eksistensi sebagai manusia. Bahwa tubuh manusia sebagai prototipe alam semesta adalah bentuk Kekuasaan ALLAH yang Maha Dasyhat, Maha Luar Biasa. Sedangkan jiwa manusia dengan min ruhinya adalah berasal dari ALLAH, secara ilahiah adalah SATU dengan ALLAH.
Oleh karena itu harus disadari bahwa tubuh ini bukan tubuh milik kita akan tetapi Kuasa ALLAH, dan jiwa ini adalah min ruhi – Roh milik ALLAH. Disini kedirian menjadi lenyap karena yang ada hanya Kuasa ALLAH dan Roh ALLAH keduanya adalah milik ALLAH aspeknya ALLAH. Aksiomatis kembali kepada ALLAH.
- Yang kelima, lihatlah kembali ke diri kita manusia. Perhatikan keluar masuknya nafas itu adalah pertanda adanya hidup adanya roh dalam tubuh sehingga hidup bergerak, itu adalah kinerja-NYA ALLAH, perbuatan-NYA ALLAH. Keluar masuknya nafas adalah tanda adanya hidup-NYA ALLAH yang ada dalam tubuh, adanya min ruhi, Roh ALLAH yang meresapi seluruh tubuh ini. Roh ALLAH yang meresapi seluruh Qudrat ALLAH – tubuh.
Selanjutnya Perhatikan juga sang otak yang netral – sebagai jembatan antara roh yang metafisika dan tubuh yang fisika. Yang bertugas sebagai regulator kesadaran manusia, berikan informasi yang benar kepada otak, install informasi tentang kebenaran ketuhanan. Sehingga hiduplah manusia dengan kesadaran berketuhanan secara benar:”Tiada Tuhan selain ALLAH dan Muhammad adalah utusan ALLAH”.
- Yang Keenam, dengan kesadaran yang telah diperoleh kini serahkanlah, kembalikanlah, dudukkan pada posisi yang sebenarnya – segala eksisensi yang ada kepada SUMBER nya, kepada PUSAT nya, kepada ALLAH.
- Tubuh, Pikiran, Hati adalah Qudrat ALLAH kembali kepada pemilik Qudrat yaitu ALLAH
- Jiwa dengan minruhinya adalah milik ALLAH kembali kepada ALLAH
- Rasa Ingat/ Rasa Jati/ Rasa ber Tuhan kembali kepada ALLAH
- Semua kembali kepada ALLAH.
Sang gembala
Pada zaman Nabi Musa as dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”
Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?”
Musa mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Gembala menjawab, “Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” Musa as murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!”
Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa as yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak.
Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!”
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya. Ia berkata kepada Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat.
Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.” Suara dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarkan Musa as rahasia cinta. Setelah Musa as memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya.
Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Musa as berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa as berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air.
Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama. Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa as berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih.
Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.” Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya.
Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa as. Nabi Musa as menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa as kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada sekelompok orang yang mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Tuhan, dia tidak lagi dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah SWT. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.
Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk dapat mendekati Allah swt, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah SWT.
Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi SAW, “Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu.”
KEKUATAN CINTA SEJATI MENYATUKAN UMAT
Bismillahirrahmaanirrahiim…………
Subhanallah…… Wal Hamdulillah…… Wa Laa Ilaaha Illallah…… Wallahu Akbar.
Wa Laa Hawla Wa Laa Quwwata Illaa Billaahil ‘Aliyyil Adziim.
Sungguh Sangat Maha Luar Biasa, Allah Swt mencipta Manusia dengan segala bentuk yang sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya. Bahkan……… Misteri yang ada pada diri Manusia pun sampai saat ini tidak ada Makhluk Allah Ta’ala yang lain yang mengetahuinya. Bahkan Malaikat yang di cipta Allah dari pada Nur pun tidak mengetahui akan Misteri tsb, apalagi Iblis, Syaithon, Jin dll. Walaupun diantara Malaikat dan Jin ada yang mengetahui tentang Manusia, tetapi tidaklah yang diketahuinya itu melainkan hanya lah zahir Manusianya saja. Sedangkan Hakikat dari diri Manusia itu hanyalah Allah Swt yang mengetahuinya dan orang-orang yang telah di Anugrahkan Berkah, Rahmat dan Nikmat untuk mengetahuinya.
Salah satu Misteri yang ada pada Manusia itu adalah “Kefitrahan Dirinya”. Dan itupun telah dinyatakan Tuhan bahwa Manusia itu terlahir ke Dunia ini dalam keada’an Fitrah. Dan di dalam kefitrahan itu ditanamkan Tuhan atas diri Manusia itu Cinta Kasih Sayang Tuhan.
Dan Cinta Kasih Sayang Tuhan itu di Amanahkan kepada Seluruh Manusia. Dan tidak lah Manusia itu dicipta melainkan sebagai Khalifah di Muka Bumi. Untuk menjadi Khalifah yang dapat memelihara Ketentraman, ketenangan dan kedamaian di muka bumi ini dan agar dapat mengayomi seluruh Makhluk yang ada di Muka Bumi ini serta menjadi Rahmat bagi seluruh sekalian Alam. Karena itulah maka Tuhan menurunkan Amanat “CINTA” itu kepada Manusia sebagai “KEKUATAN” yang sangat Luar Biasa dan sangat Ajaib sekali. Anehnya…… Cinta itu tidak melukai fisik atau jasad Manusia, melainkan melukai Hati yang berada di dalam diri Manusia. Dan Hati yang terluka oleh Cinta itu akan membuat dirinya Rindu dan Dendam, Sedih dan Bahagia, Murung dan Ceria. Dan Lebih Aneh lagi…… Cinta itu adalah Racun sekaligus Penawar/Obatnya, Menyakitkan sekaligus menyehatkannya dan Mematikan sekaligus menghidupkannya.
Karenaya tidak sedikit Manusia itu yang terluka karena cinta lalu kemudian menjadi Gila dan Stress bahkan ada yang Mati Bunuh diri karena tidak sanggup untuk memendam perasaan yang di sebabkan oleh Rasa Cinta itu.
Wah…!!!!! LUAR BIASA……!!!!! Cinta itu Menghidupkan dan Mematikan. Bahkan tidak memandang siapa orangnya, Apa Agamanya, Apa Bangsanya, Suku dan Rasnya.
Ketahuilah……………… Wahai Manusia…!!!!!
Dari manakah datangnya Cinta itu……???
Dan apakah Hakikat Cinta itu………???
Mengapa harus ada Cinta………???
Dan siapakah yang berhak di Cintai………???
Serta Kemanakah kembalinya Cinta itu………???
Siapa-siapa yang tidak mengetahuinya, maka akan sia-sialah hidupnya. Dan akan terjadilah perpecahan yang berkepanjangan, permusuhan, pertikaian, Hujat menghujat, caci mencaci, dendam kesumat dan akhirnya akan terjadi peperangan dan pertumpahan darah di sana sini.
Jika kita termasuk didalamnya…… Yaitu tidak mengetahui akan 5 hal tsb, maka akan sia-sialah hidupnya dan mereka yang mensia-siakan hidupnya dari buka mata sampai tutup mata kembali setiap harinya, maka masuk lah ia kepada kerugian yang Nyata. Dan mereka yang tidak mengetahui akan 5 Hal tsb adalah Manusia yang terdinding oleh Kedirian/ke EGO an/Hawa Nafsu di dirinya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun…… seiring dengan berjalannya sang waktu, berputar dari masa ke masa semakin membuat manusia disibukkan oleh berbagai macam kesibukkan dunia, dan tanpa terasa 24 jam sehari semalam terasa sangat singkat sekali.
Siapa sangka dari masa ke masa itu manusia ternyata banyak yang lalai dari tujuan yang sebenarnya. Terombang ambing oleh gelombang gemerlapnya dunia, persaingan menjadi kebutuhan di sana sini, dan tidak kalah menariknya lagi banyak yang saling jegal menjegal tak perduli teman ataupun lawan yang penting keinginannya bisa terwujud.
Sungguh sangat misteri sekali…… kehidupan ini.
Jika diri berjalan dalam kehidupan ini, tanpa adanya suatu “Pegangan” yang kokoh, maka tunggulah saatnya kehancuran akan tiba. Dan tidak mustahil kerusuhan, pertikaian, perkelahian, pertentangan yang berujung kepada peperangan akan terjadi di dalamnya apabila sang diri tidak mengetahui dan tidak berpegang pada “Pegangan” yang kokoh itu.
Apakah “Pegangan” yang kokoh itu….????
Tidak lain adalah kekuatan CINTA dalam setiap hubungan. Menariknya lagi CINTA itu, sepintas jika hanya dilihat dari sisi luarnya saja maka CINTA itu adalah suatu kelemahan. Tetapi siapa sangka bahwa di balik kelemahan itu menyimpan suatu kekuatan yang amat dahsyat sekali.
Ya……. CINTA yang sebenar-benarnya CINTA, CINTA yang terbit dari KESEJATIAN yang cahayanya akan membuat diri semakin mabuk dan tenggelam dalam perjalanan untuk menggapai tujuan. CINTA yang demikian itulah yang dikatakan CINTA SEJATI karena terbit dari pada KESEJATIAN dan mereka-mereka yang telah tertanam oleh rasa CINTA SEJATI itu akan memancarkan cahaya CINTA itu kepada siapa saja dengan meniti jalan yang sebenarnya, itulah HAKIKAT CINTA yaitu PENGABDIAN TERTINGGI dalam CINTA SEJATI yang di sebut juga dengan AKHLAKUL KARIMAH dan rasa manis dari AKHLAKUL KARIMAH itu akan menjadi Rahmat bagi sekalian Alam.
Dengan HAKIKAT CINTA itu yaitu PENGABDIAN TERTINGGI dalam CINTA SEJATI akan membawa dirinya kepada Ketenangan Hidup, Kedamaian Hidup, Ketentraman Hidup dan Kebahagiaan Hidup Dunia Akhirat, Zahir Batin, Ruh dan Jasad.
Jika seluruh Manusia yang ada di muka Bumi ini masing-masing diri mengerti akan HAKIKAT CINTA/PENGABDIAN TERTINGGI di dalam CINTA SEJATI itu, tentu akan tercipta nuansa kedamaian dan ketentraman hidup. Tak akan ada permusuhan, pertikaian, Hujat menghujat, caci mencaci, dendam kesumat dan tentu tidak akan terjadi peperangan dan pertumpahan darah di sana sini.
Apalah daya, manusia itu benar-benar dalam kefitrahan dan sudah tentu selalu menemui pertentangan-pertentangan yang bermuara pada kediriannya dan Hawa Nafsunya yang mengakibatkan diri terjebak dalam lembah jurang ke EGO an, dan hal ini tidak dapat dipungkiri. Tetapi setidaknya dengan menyadari bahwa kedirian itu, hawa nafsu itu yang akan membawa diri ke lembah jurang ke EGO an itu adalah musuh terbesar pada diri sendiri, setidaknya menjadi pelajaran bagi mereka-mereka yang mau memikirkannya. Bahwa untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian itu maka terlebih dulu ia harus menyelam ke dalam dirinya sendiri untuk menundukkan dan mengalahkan kedirian, hawa nafsu dalam ke EGO an itu. Jika tidak!, maka tak akan di temui HAKIKAT CINTA dalam CINTA SEJATI itu. Yang ada malah sebaliknya, mereka akan menemukan CINTA yang HAMPA/CINTA yang BUTA/CINTA yang di dalamnya penuh dengan KEDUSTAAN.
Itulah Manusia yang penuh dengan teka teki, penuh dengan misteri sehingga apa yang telah di kemukakan pada bagian ke-1 bahwa Sungguh Sangat Maha Luar Biasa, Allah Swt mencipta Manusia dengan segala bentuk yang sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya. Bahkan……… Misteri yang ada pada diri Manusia pun sampai saat ini tidak ada Makhluk Allah Ta’ala yang lain yang mengetahuinya. Bahkan Malaikat yang di cipta Allah dari pada Nur pun tidak mengetahui akan Misteri tsb, apalagi Iblis, Syaithan, Jin dll. Walaupun diantara Malaikat dan Jin ada yang mengetahui tentang Manusia, tetapi tidaklah yang diketahuinya itu melainkan hanya lah zahir Manusianya saja. Sedangkan Hakikat dari diri Manusia itu hanyalah Allah Swt yang mengetahuinya dan orang-orang yang telah di Anugrahkan Berkah, Rahmat dan Nikmat untuk mengetahuinya.
Dan untuk sebagai pelajaran bagi kita semuanya, agar dapat menuju kesempurnaan Hidup itu dan terbuka segala Misteri akan Manusia itu maka ketahuilah :
· Dari manakah datangnya Cinta itu……???
· Dan apakah Hakikat Cinta itu………???
· Mengapa harus ada Cinta………???
· Dan siapakah yang berhak di Cintai………???
· Serta Kemanakah kembalinya Cinta itu………???
· Cinta itu datang dari YANG MAHA MUTLAK, yang kemudian terbitlah Annuur (Kesadaran Sejati) dan menjadi Sirr/Rahasia pada Insan.
· Hakikat Cinta itu adalah PENGABDIAN TERTINGGI di dalam CINTA SEJATI yang di sebut juga dengan AKHLAKUL KARIMAH. Itulah puncak dari Rasa Syukur kepada Sang Maha Pencipta.
· Mengapa harus ada Cinta karena sebagai Khalifatullah di muka Bumi ini dengan terisi Hakikat Cinta pada dirinya akan mendatangkan Rahmat kepada sekalian Alam sebagai cerminan dari pada Sifat Arrahmaan dan Arrahiim.
· Dan siapakah yang berhak di Cintai adalah yang menanamkan benih Cinta itu pada dirinya yaitu YANG MAHA MUTLAK yang dari pada-Nya terbitlah Annuur (Kesadaran Sejati).
· Kemanakah kembalinya Cinta itu, tentu dari mana datangnya maka kesitulah Cinta itu akan kembali…. Datang dari YANG MAHA MUTLAK maka akan kembali pulalah kepada YANG MAHA MUTLAK.
Jika ke Lima Point di atas sudah di pahami dan dimengerti tentu seiring waktu yang berputar dari masa ke masa akan tersingkaplah Misteri Kehidupan yang ada pada Diri Insan itu. Dan tentunya….untuk bisa benar-benar memahami dan mengerti akan Lima Point itu terlebih dahulu haruslah mengenal akan Diri yang sebenar-benarnya Diri sebagai langkah dalam mengenal akan Hakikat Diri Sejati.
marifattullah menuju kesempurnaan diri
MAKRIFAT IALAH
Mengenal Allah SWT.pada Zat-nya,pada Sifat-nya,pada Asma’nya dan pada Af’al-nya.
1. AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya :
Awal agama mengenal Allah.
2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya :
Tidak syah shalat tanpa mengenal Allah.
3. MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya :
Barang siapa mengenal dirinya dia akan mengenal Tuhannya.
4. ALASTUBIRAFBIKUM QOLU BALA SYAHIDENA Artinya :
Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi.(QS.AL-ARAF 172)
5. AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya :
Manusia itu rahasiaku dan akulah rahasianya.
6. WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya :
Aku ada didalam Jiwamu mengapa kamu tidak melihat.
7. WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya :
Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu.
8. LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya :
Aku tidak akan menyembah Allah bila aku tidak melihatnya lebih dahulu.
Bismillahirrahmanirrahim.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Pada malam Raibul Ruyub yaitu dalam keadaan antah-berantah pada zat,Semata-mata,pada belum ada awal dan belum ada akhir,belum ada Bulan dan belum ada Matahari,belum ada bintang belum ada sesuatu.
Malahan belum ada Tuhan yang bernama Allah,maka dalam keadaan ini,diri yang punya zat tersebut ialah Mentajalikan diri-nya untuk memuji diri-nya.
Lantas Tajali-nyalah Nur Allah dan kemudian ditajali-nya pula Nur Muhammad Yaitu Insan Kamil, yang pada peringkat ini dinamakan Anta Ana,Ana Anta.
Maka yang punya zat bertannya kepada Nur Muhammad dan sekalian Roh untuk menentukan kedudukan dan taraf hamba.
Lantas ditanyakan kepada Nur Muhammad, aku ini Tuhanmu ? Maka jawablah Nur Muhammad yang mewakili seluruh Roh, Ya…Engkau Tuhanku.Persaksian ini dengan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Araf 172.
ALASTUBIRABBIKUM,QOOLU BALA SYAHIDNA.
Artinya : Bukan aku ini tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,Kami menjadi Saksi.
Selepas pengakuan atau persumpahan Roh ini dilaksankan,maka bermulalah Era barudi dalam perwujudan Allah SWT.seperti firman Allah dalam Hadits Qudsi yang artinya :
“Aku suka mengenal diriku, lalu aku jadikan mahkluk ini dan aku perkenalkan diriku.
Apa yang dimaksud dengan mahkluk ini ialah : Nur Muhammad sebab seluruh kejadian alam maya ini dijadikan daripada Nur Muhammad.tujuan yang punya zat mentajalikan Nur Muhammad adalah untuk memperkenalkan diri-nya sendiri dengan diri Rahasianya sendiri,Maka diri Rahasianya itu adalah ditanggung dan diakui Amanah ya oleh suatu kejadian yang bernama :
Insan yang bertubuh diri bathin (Roh) dan diri bathin itulah diri manusia,atau Rohani.
FIRMAN ALLAH DALAM HADITS QUDSI ;
AL-INSAANU SIRRI WA-ANA SIRRUHU
Artinya : Manusia itu Rahasiaku dan akulah yang menjadi Rahasianya.
Jadi yang dinamakan manusia itu ialah : karena IA MENGANDUNG RAHASIA.
Dengan perkataan lain manusia itu mengandung Rahasia Allah.
Karena manusia menanggung Rahasia Allah maka manusia harus berusaha mengenal dirinya,dan dengan mengenal dirinya manusia akan dapat mengenal tuhannya,sehingga lebih mudah kembali menyerahkan dirinya kepada yang punya diri pada waktu dipanggil oleh Allah SWT.yaitu tatkala berpisah Roh dengan jasad.
Firman Allah dalam surat An-nisa ayat 58 SBB:
INNALLAHA YAK MARUKUM ANTU ABDUL AMANATI ILAAHLIHA.
Artinya :Sesunggunya Allah memerintahkan kamu supaya memulangkan amanah kepada yang berhak menerimanya. (Allah).
Hal tersebut diatas dipertegas lagi oleh Allah dalam Hadits Qudsi :
MAN ARAFA NAFSAHU,FAQAT ARAFA RABAHU.
Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya.
Dalam menawarkan tugas yang sangat berat ini,Pernah ditawarkan Rahasia-nya itu kepada Langit,Bumi dan Gunung-gunung tetapi semuanya tidak sanggup menerimanya.
Seperti firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat Al—Ahzab ayat 72.
INNA ‘ARAT NAL AMATA, ALAS SAMAWATI WAL ARDI WAL JIBAL FA ABAINA ANYAH MILNAHA WA AS FAKNA MINHA,WAHAMA LAHAL INSANNU.
Artinya : Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada Langit,Bumi danGunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa tidak akan sanggup, Lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya.
Oleh karena amanat (Rahasia Allah) telah diterima,maka adalah menjadi tanggung jawab manusia untuk menunaikan janjinya.
Dengan kata lain tugas manusia adalah menjaga hubungannya dengan yang punya Rahasia.
Setelah amanat (Rahasia Allah) diterima oleh manusia (diri Bathin/Roh) untuk tujan inilah maka Adam dilahirkan untuk m,emperbanyak diri, diri penanggung Rahasia dan berkembang dari satu Dekade ke satu Dekade,diri satu generasi ke generasi yang lain sampai alam ini mengalami KIAMAT DAN RAHASIA DI KUMPUL KEMBALI.
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar