Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan
sebelumnya, jelaslah bahwa kadar kesempurnaan seorang hamba sesuai
dengan kadar ketaatan dan kepatuhannya kepada syariat Ilahi. Dan perkara
kesempurnaan ini memiliki gradasi dan tingkatan-tingkatan derajat.
Sebagian ahli sayr dan suluk menyatakan bahwa meninggalkan sayr suluk
syariat dan beralih kepada riyadah-riyadah yang berat merupakan suatu
bentuk pelarian dari sayr suluk yang lebih sulit kepada yang lebih
mudah!? Sebab mematuhi syariat itu sendiri merupakan suatu bentuk
mematikan nafs secara berkesinambungan dan berangsur-angsur. Dan selama
nafas masih ada maka selama itu juga mesti riyadah-riyadah syar’i
dijalankan. Akan tetapi riyadah-riyadah berat (dimana syariat tidak
mengizinkannya) terhitung sebagai mematikan nafs secara sekaligus dan
tidak berangsur-angsur, karena itu bentuk riyadah ini lebih pendek,
lebih mudah, dan lebih sedikit pengorbanannya.
Singkat matlab, syariat tidak melepaskan jalan sayr dan suluk dari jalan nafs dan makrifat terhadapnya.
Di dalam hadis Maksumin disebutkan bahwa terdapat tiga bentuk ibadah
hamba: Pertama, hamba beribadah dikarenakan menginginkan surga, kedua,
hamba beribadah dikarenakan takut dari neraka, ketiga, hamba beribadah
semata-mata dikarenakan untuk Tuhan, tidak karena takut dari neraka dan
tidak karena menginginkan surga.
Dari ketiga bentuk ibadah yang
disebutkan dalam hadis tersebut, selain bentuk ketiga, kedua bentuk
lainnya ditinjau dari aspek tujuan untuk mendapatkan kemudahan dan
terbebas dari azab maka tujuan akhirnya juga terhitung sebagai hasil
dari keinginan nafsâni manusia. Oleh karena itu, arah dan tujuan ibadah
kepada Tuhan dalam bentuk seperti ini, hanya dikarenakan untuk memenuhi
keinginan nafsâni. Dalam ibadah ini manusia menjadikan Tuhan sebagai
perantara untuk mencapai keinginan-keinginan nafsâni dirinya. Karena
itu, ditinjau dari dimensi ini maka perantara sebagaimana ia perantara,
tidak akan pernah menjadi maksud dan tujuan secara zat. Ia hanya akan
menjadi maksud dan tujuan secara aksiden.
Hakikat ibadah seperti ini
tidak lain merupakan pengejewantahan ibadah syahwat nafsâni, karenanya
hanya ibadah bentuk ketiga, yakni ibadah murni untuk Tuhan yang dapat
dihitung sebagai ibadah hakiki dan menjadi jalan sayr suluk para
nabi-nabi Tuhan serta para wali-wali-Nya. Di dalam kitab suci Al-Quran
diisyaratkan: “Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Dalam hadis Maksumin
diriwayatkan: “Barang siapa mencintai Allah Azza wa Jalla maka niscaya
Allah mencintainya; dan barang siapa yang dicintai Allah, niscaya dia
berada di antara orang-orang aman.”
Dinukil dalam kitab Manaqib
bahwa Rasulullah SAW sedemikian menangis hingga sampai pingsan. Kemudian
mereka berkata kepada Nabi SAW, Wahai Rasulullah! Bukankah Tuhan telah
mengampuni seluruh dosa-dosa kamu yang telah lalu dan akan datang?!
(maksudnya ini semua tangisan untuk apa?) Nabi SAW lantas berkata,
Apakah tidak ada aku sebagai hamba yang bersyukur ?!….
Sebenarnya,
kembalinya syukur dan kecintaan itu hanya kepada satu hal, sebab syukur
itu sendiri tidak lain adalah pujian terhadap sesuatu yang indah
sebagaimana ia indah. Oleh Karena itu, ibadah murni tidak lain
merupakan perhatian yang sungguh-sungguh dan merendah serendah-rendahnya
dalam berhadapan dengan Allah SWT, sebab hanya Dia yang secara zat Maha
Indah dan Maha Agung. Jadi hanya dengan ini ibadah kepada-Nya dapat
menjadi maksud dan tujuan bagi diri-Nya, bukan untuk maksud dan tujuan
selain-Nya. Sebagaimana difirmankan-Nya: “Tidaklah Aku menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar