Laman

Selasa, 02 Januari 2018

Mahabbah Kepada Tuhan

Mahabbah dan kecintaan memiliki pengertian yang dalam dan penuh makna di dalam relung jiwa setiap pemiliknya. Ia bermakna kenyataan sempurna dan realitas keindahan serta keterpesonaan. Ia menjadi penyebab terciptanya hubungan mesra dan harmoni antara muhib (pecinta) dengan mahbub (dicintai). Karena itu, mahabbah merupakan wasilah bagi terjalinnya hubungan antara setiap pencari dan tujuan akhir, antara setiap murid dengan muradnya. Setiap pecinta mendapatkan daya tarik kepada yang dicintainya sehingga dia dengan perantara pertemuan (wusul) dengan mahbub (yang dicintai) menemukan hakikat keterpesonaan dan kefanaan.
Orang yang meyakini eksistensi pemilik keindahan mutlak, amat sangat kecintaannya kepada-Nya dan hatinya senantiasa terikat serta terpaut terhadap-Nya.
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Orang mukmin, hatinya terikat kepada Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai pusat perhatian dan kecintaannya. Para penyembah berhala menjadikan berhala-berhalanya sebagai teman sejatinya dan kecintaannya. Akan tetapi kecintaan orang-orang mukmin kepada Tuhan adalah lebih sangat dibandingkan kecintaan para penyembah berhala terhadap berhala-berhala mereka. Sebab, tidak ada keindahan seukuran kesempurnaan keindahan Tuhan dan tidak ada makrifat sempurna seukuran kesempurnaan makrifat kepada-Nya. Dan orang mukmin adalah orang yang paling arif (mengetahui) tentang keindahan dan kesempurnaan. Karena itu, orang mukmin adalah orang yang paling pecinta terhadap pemilik keindahan dan kesempurnaan mutlak.
Kecintaan tidak memiliki ukuran kuantitatif, kendatipun ia mempunyai tingkatan-tingkatan kualitatif. Ia memiliki gradasi keberadaan sesuai dengan derajat kecintaan itu sendiri. Sebab itu keistimewaan dan keutamaan kecintaan orang mukmin kepada Tuhan dibandingkan kecintaan penyembah berhala terhadap berhalanya dikarenakan; berhala (apapun bentuknya, termasuk syahwat hawa nafsu), kendatipun ia indah tapi keindahannya sebatas penglihatan dan pandangan atau sebatas keindahan imajinasi dan fantasi. Mempersepsi keindahan seperti ini dengan perantara indera dan imajinasi serta pengaruhnya sebatas alam penginderaan atau sebatas alam imajinasi dan fantasi. Oleh karena itu, mereka yang tenggelam dalam kecintaan berhala pada hakikatnya mereka yang tidak mempunyai kedalaman makrifat tentang alam realitas dan eksistensi. Mereka hanya mempunyai pengetahuan terhadap alam ini sebatas penginderaan, imajinasi, dan fantasi. Dan tentu saja persepsi keindahan mereka tidak akan melampaui batas-batas makrifat mereka terhadap alam realitas dan eksistensi tersebut. Karenanya mereka tidak akan pernah sampai pada kedalaman hakikat realitas dan eksistensi.
Adapun orang-orang mukmin tidak hanya memandang dengan penglihatan inderawi yang efeknya sebatas efek alam tabiat, atau memandang dengan pandangan imajinasi dan fantasi yang efeknya sebatas efek alam mitsali, tetapi mereka juga memandang dari jalan akal yang memiliki kesempurnaan efek lebih dari kedua alam tersebut. Maka dari itu pandangan orang-orang mukmin terhadap alam realitas dan eksistensi jauh lebih kuat dan lebih sempurna dari pandangan para penyembah berhala dan ini tentu saja melahirkan kecintaan yang lebih kuat mereka kepada Tuhan ketimbang kecintaan penyembah berhala terhadap berhala-berhala mereka.
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Kesimpulannya, jika mahabbah dan kecintaan seseorang kepada dunia dan akhirat atau kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah sama maka ia sebenarnya bukanlah seorang mukmin; sebab orang seperti ini tidak memiliki makrifat sempurna tentang alam realitas dan eksistensi. Padahal makrifat itu sendiri merupakan landasan fundamental mahabbah dan kecintaan terhadap sesuatu.
Nizhami, di akhir cerita Laila dan Majnun menuturkan: Laila, di akhir-akhir hayatnya mengalami sakit dan kesegarannya perlahan-lahan pupus. Ia mewasiatkan kepada ibunya, sampaikan pesanku kepada Majnun dan katakan kepadanya: Jika ia ingin memilih kekasih maka janganlah memilih teman dan kekasih sepertiku, dimana dengan satu sakit seluruh kesegarannya akan punah; ambillah teman yang selamanya tetap langgeng dan tidak akan pernah musnah.
Oleh karena itu, makrifat akan memberikan kecintaan hakiki dan kelalaian serta ketidaktahuan akan memberikan kecintaan palsu dan imitasi.
Makrifat, Ibadah, dan Kecintaan
Orang-orang mukmin hakiki memandang eksistensi ini memiliki ketunggalan dan keesaan. Mereka memandang realitas hanya milik eksistensi Tuhan beserta asma-Nya dan tajalli-Nya. Sebab sebagaimana dalil membuktikan bahwa tidak mungkin ada eksistensi lain selain eksistensi maha sempuna dan absolut Tuhan. Jika ada eksistensi lain, kendatipun ia wujud mungkin dan bergradasi rendah, selama ia diyakini memiliki hakikat dan realitas maka selama itu ia menjadi pembatas dari kesempurnaan absolut eksistensi Tuhan. Dan ini menyalahi statemen kesempurnaan tak terbatas dan absolut eksistensi Tuhan.
Ibadah kepada Tuhan tidak mungkin terealisasi secara maksimum dan sempurna tanpa dibarengi dengan makrifat yang sempurna kepada-Nya. Kendatipun ibadah itu sendiri juga merupakan mukaddimah dan persiapan untuk meraih makrifat yang lebih sempurna terhadap-Nya, tetapi untuk merealisasikan ibadah hakiki dibutuhkan perjalanan makrifat. Karena itu, ibadah dan makrifat memiliki hubungan saling meniscayakan satu sama lainnya, sebagaimana dinukil riwayat dari Ismail bin Jabir dimana Imam Shadiq bersabda : Ilmu dan amal saling meniscayakan satu sama lain; maka barangsiapa yang mengetahui dan mengamalkannya maka niscaya dia akan mendapatkan ilmu. Dan juga hadis dari Rasulullah SAW : Barangsiapa mengamalkan apa yang dia ketahui maka Allah akan merezekikan kepadanya ilmu terhadap perkara yang belum diketahuinya.
Dari kedua hadis tersebut di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa ibadah mesti dilaksanakan berdasarkan makrifat sehingga ia dapat menciptakan ilmu dan makrifat yang lebih dalam dan hakiki. Dan sebaliknya makrifat yang hakiki dapat mengantarkan pada ibadah yang hakiki pula.
Firman Tuhan: “Barangsiapa menghendaki kemuliaan maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan baik, dan amal shaleh akan mengangkatnya.”
Demikian juga persepsi akal akan menguatkan statemen kita tentang kecintaan. Yakni kadar kecintaan dan keterikatan kepada sesuatu akan melahirkan kadar perhatian terhadapnya. Dan perhatian yang diejawantahkan dalam bentuk amal perbuatan akan menguatkan ilmu dan kecintaan.
Perlu diketahui bahwa dari ketiga kategori di atas; makrifat, ibadah, dan kecintaan, maka yang prinsipil dan asalah adalah makrifat. Sebab makrifatlah yang menjadi landasan ibadah dan kecintaan. Semakin dalam dan hakiki makrifat maka semakin hakiki ibadah dan kecintaan. Dan sebagaimana disinggung sebelumnya, untuk mendapatkan makrifat dibutuhkan pergerakan afaqi (di luar nafs) dan pergerakan anfusi (dalam nafs). Pergerakan afaqi adalah memikirkan, merenungkan, dan memandang kepada maujud-maujud afaqi (maujud-maujud di luar nafs manusia) seperti ciptaan dan karya Tuhan di langit dan di bumi; sehingga pergerakan afaqi ini membuahkan keyakinan kepada Tuhan, asma, dan perbuatan-Nya. Sebab maujud-maujud, efek-efek, dan makhluk-makhluk ini membuktikan keberadaan pengadanya Yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa.
Adapun pergerakan anfusi adalah merujuk kepada nafs dan mengenal Tuhan dari jalannya; sebab nafs ditinjau dari segi keberadaan adalah tidak mandiri secara murni dan mengetahui maujud mandiri yang menjadi penegaknya tidak bisa dipisahkan darinya.
Kesimpulannya, untuk mencapai tujuan ini terdapat dua jalan; pergerakan afaqi dan pergerakan anfusi. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya pergerakan anfusi atau maktrifat nafs adalah lebih utama dari pergerakan afaqi; sebab pengetahuan terhadap maujud-maujud afaqi ditinjau ia sebagai alamat dan efek Tuhan hanya akan membuahkan ilmu husuli terhadap wujud Tuhan dan sifat-sfat-Nya. Dan ilmu seperti ini hanya berhubungan dengan qadiyah yang memiliki subyek dan predikat dan keduanya tidak lain hanyalah mafhum atau komprehensi. Untuk menjelaskan masalah ini lebih jauh dibutuhkan uraian dan penjelasan filsafat yang bukan tempatnya di sini.
Adapun makrifat nafs, natijahnya adalah makrifat hakiki; sebab seseorang yang ingin memusatkan perhatiannya kepada Tuhan dan meninggalkan setiap apa yang menjadi penghalang yang menyibukkan dirinya kepada selain Tuhan, ia mesti menyibukkan diri terhadap makrifat nafs sampai ia menyaksikan (dengan jalan musyahadah) bahwa nafsnya secara zat butuh kepada Tuhan. Dan barangsiapa yang mencapai maqam seperti ini, ia menyaksikan dirinya tidak terpisahkan dari menyaksikan penegaknya, yakni Tuhan. Dengan demikian ia akan mengenal Tuhan dengan makrifat badihi dan jelas.
Tidak diragukan bahwa setiap orang secara fitrah menginginkan kesempurnaan sejati dan keindahan hakiki dan jalan untuk menggapai tujuan ini tidak lain adalah makrifat, ibadah, dan kecintaan kepada eksistensi pemilik kesempurnaan dan keindahan absolut. Dengan pergerakan anfusi (makrifat nafs dan sayr suluk), manusia selangkah demi selangkah akan bergerak menuju tingkatan kesempurnaan insani dan menjadi manusia sempurna atau insan kamil. Dan orang yang mencapai maqam ini layak diseru oleh Al-Quran dengan, “Wahai jiwa (nafs) yang tenang ! Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar