Mahabbah dan kecintaan memiliki pengertian
yang dalam dan penuh makna di dalam relung jiwa setiap pemiliknya. Ia
bermakna kenyataan sempurna dan realitas keindahan serta keterpesonaan.
Ia menjadi penyebab terciptanya hubungan mesra dan harmoni antara muhib
(pecinta) dengan mahbub (dicintai). Karena itu, mahabbah merupakan
wasilah bagi terjalinnya hubungan antara setiap pencari dan tujuan
akhir, antara setiap murid dengan muradnya. Setiap pecinta mendapatkan
daya tarik kepada yang dicintainya sehingga dia dengan perantara
pertemuan (wusul) dengan mahbub (yang dicintai) menemukan hakikat
keterpesonaan dan kefanaan.
Orang yang meyakini eksistensi pemilik
keindahan mutlak, amat sangat kecintaannya kepada-Nya dan hatinya
senantiasa terikat serta terpaut terhadap-Nya.
“Dan di antara
manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan,
yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Orang mukmin, hatinya
terikat kepada Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai pusat perhatian dan
kecintaannya. Para penyembah berhala menjadikan berhala-berhalanya
sebagai teman sejatinya dan kecintaannya. Akan tetapi kecintaan
orang-orang mukmin kepada Tuhan adalah lebih sangat dibandingkan
kecintaan para penyembah berhala terhadap berhala-berhala mereka. Sebab,
tidak ada keindahan seukuran kesempurnaan keindahan Tuhan dan tidak ada
makrifat sempurna seukuran kesempurnaan makrifat kepada-Nya. Dan orang
mukmin adalah orang yang paling arif (mengetahui) tentang keindahan dan
kesempurnaan. Karena itu, orang mukmin adalah orang yang paling pecinta
terhadap pemilik keindahan dan kesempurnaan mutlak.
Kecintaan tidak
memiliki ukuran kuantitatif, kendatipun ia mempunyai tingkatan-tingkatan
kualitatif. Ia memiliki gradasi keberadaan sesuai dengan derajat
kecintaan itu sendiri. Sebab itu keistimewaan dan keutamaan kecintaan
orang mukmin kepada Tuhan dibandingkan kecintaan penyembah berhala
terhadap berhalanya dikarenakan; berhala (apapun bentuknya, termasuk
syahwat hawa nafsu), kendatipun ia indah tapi keindahannya sebatas
penglihatan dan pandangan atau sebatas keindahan imajinasi dan fantasi.
Mempersepsi keindahan seperti ini dengan perantara indera dan imajinasi
serta pengaruhnya sebatas alam penginderaan atau sebatas alam imajinasi
dan fantasi. Oleh karena itu, mereka yang tenggelam dalam kecintaan
berhala pada hakikatnya mereka yang tidak mempunyai kedalaman makrifat
tentang alam realitas dan eksistensi. Mereka hanya mempunyai pengetahuan
terhadap alam ini sebatas penginderaan, imajinasi, dan fantasi. Dan
tentu saja persepsi keindahan mereka tidak akan melampaui batas-batas
makrifat mereka terhadap alam realitas dan eksistensi tersebut.
Karenanya mereka tidak akan pernah sampai pada kedalaman hakikat
realitas dan eksistensi.
Adapun orang-orang mukmin tidak hanya
memandang dengan penglihatan inderawi yang efeknya sebatas efek alam
tabiat, atau memandang dengan pandangan imajinasi dan fantasi yang
efeknya sebatas efek alam mitsali, tetapi mereka juga memandang dari
jalan akal yang memiliki kesempurnaan efek lebih dari kedua alam
tersebut. Maka dari itu pandangan orang-orang mukmin terhadap alam
realitas dan eksistensi jauh lebih kuat dan lebih sempurna dari
pandangan para penyembah berhala dan ini tentu saja melahirkan kecintaan
yang lebih kuat mereka kepada Tuhan ketimbang kecintaan penyembah
berhala terhadap berhala-berhala mereka.
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Kesimpulannya, jika mahabbah dan kecintaan seseorang kepada dunia dan
akhirat atau kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah sama maka ia
sebenarnya bukanlah seorang mukmin; sebab orang seperti ini tidak
memiliki makrifat sempurna tentang alam realitas dan eksistensi. Padahal
makrifat itu sendiri merupakan landasan fundamental mahabbah dan
kecintaan terhadap sesuatu.
Nizhami, di akhir cerita Laila dan
Majnun menuturkan: Laila, di akhir-akhir hayatnya mengalami sakit dan
kesegarannya perlahan-lahan pupus. Ia mewasiatkan kepada ibunya,
sampaikan pesanku kepada Majnun dan katakan kepadanya: Jika ia ingin
memilih kekasih maka janganlah memilih teman dan kekasih sepertiku,
dimana dengan satu sakit seluruh kesegarannya akan punah; ambillah teman
yang selamanya tetap langgeng dan tidak akan pernah musnah.
Oleh
karena itu, makrifat akan memberikan kecintaan hakiki dan kelalaian
serta ketidaktahuan akan memberikan kecintaan palsu dan imitasi.
Makrifat, Ibadah, dan Kecintaan
Orang-orang mukmin hakiki memandang eksistensi ini memiliki ketunggalan
dan keesaan. Mereka memandang realitas hanya milik eksistensi Tuhan
beserta asma-Nya dan tajalli-Nya. Sebab sebagaimana dalil membuktikan
bahwa tidak mungkin ada eksistensi lain selain eksistensi maha sempuna
dan absolut Tuhan. Jika ada eksistensi lain, kendatipun ia wujud mungkin
dan bergradasi rendah, selama ia diyakini memiliki hakikat dan realitas
maka selama itu ia menjadi pembatas dari kesempurnaan absolut
eksistensi Tuhan. Dan ini menyalahi statemen kesempurnaan tak terbatas
dan absolut eksistensi Tuhan.
Ibadah kepada Tuhan tidak mungkin
terealisasi secara maksimum dan sempurna tanpa dibarengi dengan makrifat
yang sempurna kepada-Nya. Kendatipun ibadah itu sendiri juga merupakan
mukaddimah dan persiapan untuk meraih makrifat yang lebih sempurna
terhadap-Nya, tetapi untuk merealisasikan ibadah hakiki dibutuhkan
perjalanan makrifat. Karena itu, ibadah dan makrifat memiliki hubungan
saling meniscayakan satu sama lainnya, sebagaimana dinukil riwayat dari
Ismail bin Jabir dimana Imam Shadiq bersabda : Ilmu dan amal saling
meniscayakan satu sama lain; maka barangsiapa yang mengetahui dan
mengamalkannya maka niscaya dia akan mendapatkan ilmu. Dan juga hadis
dari Rasulullah SAW : Barangsiapa mengamalkan apa yang dia ketahui maka
Allah akan merezekikan kepadanya ilmu terhadap perkara yang belum
diketahuinya.
Dari kedua hadis tersebut di atas dapat diketahui
dengan jelas bahwa ibadah mesti dilaksanakan berdasarkan makrifat
sehingga ia dapat menciptakan ilmu dan makrifat yang lebih dalam dan
hakiki. Dan sebaliknya makrifat yang hakiki dapat mengantarkan pada
ibadah yang hakiki pula.
Firman Tuhan: “Barangsiapa menghendaki
kemuliaan maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik Allah.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan baik, dan amal shaleh akan
mengangkatnya.”
Demikian juga persepsi akal akan menguatkan statemen
kita tentang kecintaan. Yakni kadar kecintaan dan keterikatan kepada
sesuatu akan melahirkan kadar perhatian terhadapnya. Dan perhatian yang
diejawantahkan dalam bentuk amal perbuatan akan menguatkan ilmu dan
kecintaan.
Perlu diketahui bahwa dari ketiga kategori di atas;
makrifat, ibadah, dan kecintaan, maka yang prinsipil dan asalah adalah
makrifat. Sebab makrifatlah yang menjadi landasan ibadah dan kecintaan.
Semakin dalam dan hakiki makrifat maka semakin hakiki ibadah dan
kecintaan. Dan sebagaimana disinggung sebelumnya, untuk mendapatkan
makrifat dibutuhkan pergerakan afaqi (di luar nafs) dan pergerakan
anfusi (dalam nafs). Pergerakan afaqi adalah memikirkan, merenungkan,
dan memandang kepada maujud-maujud afaqi (maujud-maujud di luar nafs
manusia) seperti ciptaan dan karya Tuhan di langit dan di bumi; sehingga
pergerakan afaqi ini membuahkan keyakinan kepada Tuhan, asma, dan
perbuatan-Nya. Sebab maujud-maujud, efek-efek, dan makhluk-makhluk ini
membuktikan keberadaan pengadanya Yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa.
Adapun pergerakan anfusi adalah merujuk kepada nafs dan mengenal Tuhan
dari jalannya; sebab nafs ditinjau dari segi keberadaan adalah tidak
mandiri secara murni dan mengetahui maujud mandiri yang menjadi
penegaknya tidak bisa dipisahkan darinya.
Kesimpulannya, untuk
mencapai tujuan ini terdapat dua jalan; pergerakan afaqi dan pergerakan
anfusi. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya pergerakan anfusi atau
maktrifat nafs adalah lebih utama dari pergerakan afaqi; sebab
pengetahuan terhadap maujud-maujud afaqi ditinjau ia sebagai alamat dan
efek Tuhan hanya akan membuahkan ilmu husuli terhadap wujud Tuhan dan
sifat-sfat-Nya. Dan ilmu seperti ini hanya berhubungan dengan qadiyah
yang memiliki subyek dan predikat dan keduanya tidak lain hanyalah
mafhum atau komprehensi. Untuk menjelaskan masalah ini lebih jauh
dibutuhkan uraian dan penjelasan filsafat yang bukan tempatnya di sini.
Adapun makrifat nafs, natijahnya adalah makrifat hakiki; sebab
seseorang yang ingin memusatkan perhatiannya kepada Tuhan dan
meninggalkan setiap apa yang menjadi penghalang yang menyibukkan dirinya
kepada selain Tuhan, ia mesti menyibukkan diri terhadap makrifat nafs
sampai ia menyaksikan (dengan jalan musyahadah) bahwa nafsnya secara zat
butuh kepada Tuhan. Dan barangsiapa yang mencapai maqam seperti ini, ia
menyaksikan dirinya tidak terpisahkan dari menyaksikan penegaknya,
yakni Tuhan. Dengan demikian ia akan mengenal Tuhan dengan makrifat
badihi dan jelas.
Tidak diragukan bahwa setiap orang secara fitrah
menginginkan kesempurnaan sejati dan keindahan hakiki dan jalan untuk
menggapai tujuan ini tidak lain adalah makrifat, ibadah, dan kecintaan
kepada eksistensi pemilik kesempurnaan dan keindahan absolut. Dengan
pergerakan anfusi (makrifat nafs dan sayr suluk), manusia selangkah demi
selangkah akan bergerak menuju tingkatan kesempurnaan insani dan
menjadi manusia sempurna atau insan kamil. Dan orang yang mencapai maqam
ini layak diseru oleh Al-Quran dengan, “Wahai jiwa (nafs) yang tenang !
Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam
surga-Ku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar