أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Hakikat Kesempurnaan
Setiap hakikat yang maujud memestikan totalitas dirinya, zatnya, dan
sifat-sifatnya. Jadi, ketika kita mengasumsikan hakikat A memiliki
sifat-sifat seperti B dan C, maka hakikat ini dalam zatnya meniscayakan
bahwa A adalah tidak nâqish (kurang) dan nâqish dari A itu sendiri tidak
lain adalah bukan A itu sendiri, sementara kita mengasumsikan bahwa ia
adalah A. Dan demikian pula hakikat ini mesti memiliki sifat-sifat
seperti B dan C dari dimensi dirinya adalah dirinya dan nâqish dari B
dan C itu sendiri tidak lain bahwa tidak tersifati B dan C, sementara
kita mengasumsikan tersifati B dan C dan bukan selain dari mereka. Ini
adalah merupakan perkara yang sangat jelas. Dan ini sesuatu yang
merupakan kemestian setiap hakikat dalam zatnya serta sifat-sifat yang
dimilikinya, dan kita menamakan hakikat ini dengan kesempurnaan.
Selanjutnya, hakikat setiap kesempurnaan tidak lain adalah sesuatu yang
dalam zatnya terkait dengan kait ketiadaan. Jadi setiap kesempurnaan
dalam zatnya memiliki hakikat dirinya dan tidak ada sesuatu pun yang tak
termiliki zatnya kecuali dari sisi kait ‘adami (ketiadaan) yang secara
daruri menyertainya.
Hakikat A, misalnya memiliki sesuatu yang telah
diasumsikan baginya, dan batas pemisah keberadaan sesuatu ini dari A
dengan sesuatu lainnya dari A hanyalah dikarenakan kait ketiadaan
mereka, dan dikarenakan kait ini maka masing-masing dari keduanya ini
tidak memiliki kekhususan sesuatu lainnya. Karena itu, bagi hakikat A
terdapat dua tingkatan: Pertama, tingkatan zatnya, dimana tidak ada
sesuatu pun yang hilang dari zatnya dan kedua, tingkatan
partikularisasinya, dimana dalam bentuk ini sesuatu akan hilang dari
kesempurnaannya.
Dari uraian ini menjadi jelaslah bahwa hakikat
setiap kesempurnaan adalah bentuk absolutnya, ketakbergantungannya, dan
kepermanenannya. Dan kadar kedekatan setiap kesempurnaan terhadap
hakikatnya sebanding dengan kadar zuhur hakikatnya pada kesempurnaan
tersebut; yakni kedekatannya dinisbahkan terhadap kait dan batas yang
menjadi fokus tinjauan. Oleh karena itu, setiap sesuatu yang kaitnya
banyak maka zuhurnya sedikit dan sebaliknya, setiap sesuatu yang kaitnya
sedikit maka zuhurnya adalah banyak.
Dari paparan ini menjadi
jelaslah bahwa Allah SWT merupakan hakikat akhir dan final setiap
kesempurnaan, dikarenakan Allah SWT adalah kesempurnaan sejati dan
keindahan murni dan kadar kedekatan setiap eksistensi dinisbahkan
kepada-Nya adalah sekadar batas dan kait ketiadaan yang menyertainya.
Demikian pula menjadi jelaslah bahwa wusulnya (sampainya) setiap
eksistensi kepada kesempurnaan hakikinya, merupakan kemestian kefanaan
dari eksistensi tersebut; sebab wusul kepada kesempurnaan hakiki
merupakan kemestian dari kefanaan dari kait dan batas dalam zat atau
dalam sifat-sifat. Yakni kefanaan setiap maujud meniscayakan kebakaan
hakikat maujud itu dengan sendirinya. Tuhan berfirman: : “Semua yang ada
(di bumi) akan fana (binasa). Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki
kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55], ayat 26-27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar