Laman

Selasa, 02 Januari 2018

Kesempurnaan MANUSIAWI

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Hakikat Kesempurnaan
Setiap hakikat yang maujud memestikan totalitas dirinya, zatnya, dan sifat-sifatnya. Jadi, ketika kita mengasumsikan hakikat A memiliki sifat-sifat seperti B dan C, maka hakikat ini dalam zatnya meniscayakan bahwa A adalah tidak nâqish (kurang) dan nâqish dari A itu sendiri tidak lain adalah bukan A itu sendiri, sementara kita mengasumsikan bahwa ia adalah A. Dan demikian pula hakikat ini mesti memiliki sifat-sifat seperti B dan C dari dimensi dirinya adalah dirinya dan nâqish dari B dan C itu sendiri tidak lain bahwa tidak tersifati B dan C, sementara kita mengasumsikan tersifati B dan C dan bukan selain dari mereka. Ini adalah merupakan perkara yang sangat jelas. Dan ini sesuatu yang merupakan kemestian setiap hakikat dalam zatnya serta sifat-sifat yang dimilikinya, dan kita menamakan hakikat ini dengan kesempurnaan.

Selanjutnya, hakikat setiap kesempurnaan tidak lain adalah sesuatu yang dalam zatnya terkait dengan kait ketiadaan. Jadi setiap kesempurnaan dalam zatnya memiliki hakikat dirinya dan tidak ada sesuatu pun yang tak termiliki zatnya kecuali dari sisi kait ‘adami (ketiadaan) yang secara daruri menyertainya.

Hakikat A, misalnya memiliki sesuatu yang telah diasumsikan baginya, dan batas pemisah keberadaan sesuatu ini dari A dengan sesuatu lainnya dari A hanyalah dikarenakan kait ketiadaan mereka, dan dikarenakan kait ini maka masing-masing dari keduanya ini tidak memiliki kekhususan sesuatu lainnya. Karena itu, bagi hakikat A terdapat dua tingkatan: Pertama, tingkatan zatnya, dimana tidak ada sesuatu pun yang hilang dari zatnya dan kedua, tingkatan partikularisasinya, dimana dalam bentuk ini sesuatu akan hilang dari kesempurnaannya.

Dari uraian ini menjadi jelaslah bahwa hakikat setiap kesempurnaan adalah bentuk absolutnya, ketakbergantungannya, dan kepermanenannya. Dan kadar kedekatan setiap kesempurnaan terhadap hakikatnya sebanding dengan kadar zuhur hakikatnya pada kesempurnaan tersebut; yakni kedekatannya dinisbahkan terhadap kait dan batas yang menjadi fokus tinjauan. Oleh karena itu, setiap sesuatu yang kaitnya banyak maka zuhurnya sedikit dan sebaliknya, setiap sesuatu yang kaitnya sedikit maka zuhurnya adalah banyak.

Dari paparan ini menjadi jelaslah bahwa Allah SWT merupakan hakikat akhir dan final setiap kesempurnaan, dikarenakan Allah SWT adalah kesempurnaan sejati dan keindahan murni dan kadar kedekatan setiap eksistensi dinisbahkan kepada-Nya adalah sekadar batas dan kait ketiadaan yang menyertainya.

Demikian pula menjadi jelaslah bahwa wusulnya (sampainya) setiap eksistensi kepada kesempurnaan hakikinya, merupakan kemestian kefanaan dari eksistensi tersebut; sebab wusul kepada kesempurnaan hakiki merupakan kemestian dari kefanaan dari kait dan batas dalam zat atau dalam sifat-sifat. Yakni kefanaan setiap maujud meniscayakan kebakaan hakikat maujud itu dengan sendirinya. Tuhan berfirman: : “Semua yang ada (di bumi) akan fana (binasa). Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55], ayat 26-27)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar