Jika kita meneliti kandungan
ayat-ayat Al-Quran dan kandungan riwayat-riwayat manusia suci (Maksumin)
serta mempunyai kontemplasi dan perenungan yang cukup terhadap mereka,
maka kita akan mendapatkan kebenaran masalah ini bahwa ukuran dan
parameter pahala dan dosa, balasan pahala dan siksa akhirat tidak keluar
dari ketaatan dan ‘inad (penentangan) terhadap perintah dan larangan
Tuhan. Jadi sesuatu yang menjadi keniscayaan ajaran dari Al-Quran dan
riwayat adalah, dosa-dosa yang keluar dari anak dan cucu Adam, hatta itu
dosa besar, jika keluarnya dosa-dosa tersebut dikarenakan ketiadaan
pengetahuan dan terjadi dikarenakan kejahilan murni maka mereka itu
tidak akan menyebabkan balasan siksa bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah
dan perbuatan yang dilakukan jika tidak dimaksudkan untuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Tuhan dan taat kepada-Nya maka
pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan membuahkan pahala. Kecuali
ketaatan-ketaatan dan perkara-perkara yang merupakan kemestian secara
zat dari ketundukan dan kepatuhan kepada Haq SWT dimana bentuk ketaatan
dan perkara ini akan mendapatkan pahala, seperti sebagian dari
keutamaan-keutamaan akhlak mulia.
Demikian pula pekerjaan dosa yang
dilakukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang
keberdosaan dalam melakukan pekerjaan itu maka ia tidak patut dicela
dan dipandang buruk, tapi seseorang yang mengerjakan perbuatan ketaatan
dengan maksud penentangan dan mempermainkan hak Tuhan maka perbuatannya
itu tidak kosong dari celaan dan keburukan. Oleh karena itu, ukuran
ketaatan dan maksiat seseorang secara bergradasi dilihat dari tingkat
makrifatnya terhadap ketaatan dan penentangan yang dilakukannya. Dalam
riwayat terdapat hadis yang menyebutkan, paling utamanya amal adalah
paling susahnya (dalam mengerjakannya). Dan mizan serta ukuran yang
dihukumi akal terhadap pahala dan dosanya suatu perbuatan adalah
makrifat dan kepatuhan kepada Haq SWT serta makrifat dan penentangan
kepada-Nya.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa kebahagiaan
dan penderitaan manusia baik di dunia dan terlebih di akhirat tidak
terlepas dari dua perkara tersebut, yakni ketaatan dan inad; karena itu
kepatuhan dan penentangan secara esensial dan bergradasi memiliki medan
yang sangat luas. Dan dari pendekatan ini jelaslah bagi kita juga bahwa
kebahagiaan bagi orang beragama hak (baca; orang muslim) adalah
kesempurnaannya. Adapun mutlak kebahagiaan itu sendiri tidak terbatas
bagi orang beragama hak, akan tetapi orang-orang lain juga akan
mendapatkannya dengan syarat memiliki jiwa ketaatan dan kepatuhan kepada
Haq SWT serta bersih dari sifat penentangan dan inad terhadap-Nya. Dan
ini adalah sesuatu yang dihukumi akal dan terdapat dalam matlab syariat.
Sebab syariat itu sendiri menegaskan perkara-perkara yang akal hukumi
secara rasional dan argumentatif. Sebagaimana dalam hadis dinukil bahwa
Nabi SAW bersabda: “Saya diutus untuk menyempurnakan makârim akhlak”.
Demikian juga terdapat dalam riwayat bahwa Hâtim Thâii dikarenakan
kedermawanannya maka dia tidak akan mendapatkan azab, sedangkan si fulan
dikarenakan keadilannya maka dia tidak akan disiksa.
Kebanyakan
ayat-ayat Al-Quran menjanjikan azab dan siksa bagi orang-orang yang
telah sampai dalil dan penjelasan kebenaran kepada mereka serta hujjah
kebenaran telah sempurna bagi mereka tetapi mereka tetap melakukan
penentangan dan pembangkangan terhadapnya. Dan Al-Quran juga memandang
kekafiran itu berkaitan dengan pembangkangan dan penentangan terhadap
kebenaran ayat-ayat Tuhan: “Adapun orang-orang yang kafir dan
mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.” Di samping
itu Al-Quran memandang satu-satunya ukuran kebahagiaan dan penderitaan,
yaitu kebersihan jiwa dan kesucian hati: “Pada hari (ketika) harta dan
anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan
hati yang bersih.”
Cara ini adalah cara yang ditarbiyahkan oleh
para nabi dan seluruh agama-agama Ilahi, dan tujuan capaian jalan ini
adalah mutlak kesempurnaan insani di mana ia merupakan teori dan
pandangan para filosof dan urafa Ilahi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar