by SufiMuda
Kalau di Undang Oleh Allah, kenapa tidak berjumpa?
Menarik
untuk dibahas, bahwa haji sebagai puncak ibadah ummat Islam, tempat
seluruh manusia berkumpul, melaksanakan ibadah dengan satu tujuan agar
bisa merasakan kedekatan dengan Allah, bisa berjumpa dengan Allah. Wukuf
di Arafah bukan sekedar menunggu kekosongan, bukan menunggu waktu
habis, tapi menunggu turun nur Allah SWT yang Maha Agung.
Kalau
kita diundang oleh Bupati misalnya, yang membuat undangan bupati, di
undang ke pendopo atau rumahnya, tentu bisa dipastikan kita akan
berjumpa dengan bupati. Begitu juga kalau kita diundang oleh Presiden,
yang membuat undangan presiden dan itu merupakan undangan resmi dan kita
di undang ke istana negara, bisa dipastikan bahwa kita akan berjumpa
dengan presiden. Kita tidak berjumpa dengan presiden ada kemungkinan
undangan yang kita terima palsu, presiden tidak pernah mengundang kita
atau kita tidak mengenal sama sekali sosok presiden.
Sama
halnya dengan menunaikan ibadah haji menemui undangan Allah, berapa
banyak di antara jamaah haji yang konon kabarnya memenui undangan Allah
tapi tidak pernah berjumpa dengan Allah disana. Dimana salahnya?
Apakah
undangan yang kita terima palsu atau kita tidak mengenal Allah sama
sekali. Bisa jadi kedua-duanya benar. Orang yang memenuhi undangan
Allah, datang sebagai tamu Allah di Baitullah tentu akan disambut oleh
Allah dengan suka cita, Allah akan memperlakukan tamu-Nya dengan sangat
baik. Permohonan para tamu akan dikabulkan sebagai wujud kasih dan
sayang-Nya. Namun dari seluruh orang yang menunaikan ibadah haji, berapa
orang yang benar-benar memiliki pengalaman berjumpa dengan Allah,
berdialog dengan sang pemilik ka’bah, TUAN yang dituju oleh segenap
hamba.
Seluruh
orang yang datang menunaikan ibadah haji tentu saja akan disambut oleh
Allah SWT tanpa kecuali. Tapi pertemuan dengan Allah antara satu dengan
lainnya memiliki tingkatan yang berbeda. Sebagian merasakan Allah begitu
dekat ketika mereka berdekatan dengan ka’bah, ketika mencium hajarul
aswad atau ketika berada di padang arafah, mereka menangis merasakan
kehadiran Allah. Perasaan itu yang sulit untuk dijelaskan tapi semua
meyakini dan merasakan akan perasaan tersebut. Bagi yang sudah mencapai
tahap makrifat kepada Allah, perasaan itu bukan sekedar perasaan tapi
bisa berupa kepada pertemuan yang begitu di dambakan.
Harus
di ingat bahwa Allah itu tidak berada di ka’bah, tidak berada di mesjid
atau tempat suci lainnya di muka bumi, dia berada di hati hamba-Nya
yang lembut dan tenang. Dia bersemayam dalam diri hamba yang
dikasihi-Nya, disanalah Dia berada.
Kiblat ada 4
Tentang Kiblat atau arah pandangan dalam beribadah memiliki 4 tingkatan yang berbeda :
Kiblat Syariat adalah Ka’bah, kesana seluruh muslim menghadapkan wajah ketika beribadah.
Kiblat Tarikat adalah Qalbu,
disamping menghadapkan wajah kepada ka’bah, seorang yang telah menekuni
tarekat, menemukan metode untuk menyebut nama Allah, maka Qalbu menjadi
kiblatnya, dari sana terpancar cahaya Allah yang terus menerus
dirasakannya. Dalam Qalbu yang berada dalam dirinya tersebut dia
menemuka Sang Maha Sempurna. Benar ucapan Rasulullah SAW, “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”.
Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, telah mengetahui letak
Qalbunya, kemudian dari sana dia menyebut nama Allah maka dia telah
mengenal Tuhannya secara perlahan-lahan.
Kiblat Hakikat adalah Mursyid.
Disamping menghadapkan wajah kepada ka’bah sebagai syarat utama di
dalam syariat dan merasakan getaran Ilahi di dalam Qalbu, maka seorang
yang ingin memasuki alam hakikat wajib memiliki pembimbing rohani, wajib
memfokuskan pandanganya kepada Mursyid yang membimbing rohaninya menuju
kehadirat Allah SWT. Junaidi Al-Baghdadi berkata, “Makrifat kepada Guru
Mursyid adalah mukadimah Makrifat kepada Allah”, mengenal Guru Mursyid
adalah awal atau pembuka dalam mengenal Allah SWT.
Berzikir
tanpa adanya pembimbing maka seseorang tidak akan sampai kepada alam
hakikat, akan tersesat ditengah perjalanan. Abu Yazid mengingatkan akan
bahaya orang yang menuntun ilmu hakikat tanpa memiliki guru, hanya
dengan membaca atau mendengar. “Barangsiapa yang menuntun ilmu tanpa memiliki Syekh, maka wajib setan Syekh nya”.
Guru
dan Mursyid itu sebenarnya dua unsur yang terpisah, yang satu
berhubungan dengan jasmani dan yang satu lagi berhubungan dengan rohani.
Guru akan membimbing jasmani para murid, mengajarkan tentang kebaikan,
memberikan arahan tentang tata cara ibadah yang benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah SAW. Mursyid adalah pembimbing rohani murid. Mursyid
adalah rohani Guru yang telah diberi izin oleh Guru sebelumnya dan
jalur keguruannya bersambung sampai pada Rasulullah SAW sehingga hakikat
izin yang diterima oleh Guru Mursyid adalah berasal dari Rasulullah
langsung untuk membimbing ummat menuju kehadirat Allah swt. Mursyid ini
sering disebut sebagai khalifah Rasul, yang melayani ummat dengan
membimbing mereka secara zahir dan bathin.
Karena
Guru dan Mursyid itu berkumpul dalam satu pribadi maka sering disebut
dengan Guru Mursyid atau Syekh Mursyid. Guru Mursyid sudah pasti harus
mempunyai kualitas seorang Wali Allah, dan seorang Wali Allah belum
tentu mempunyai kualitas sebagai Mursyid, banyak Wali Allah yang ilmu
diperolehnya bukan untuk disebarkan tapi cukup untuk diamalkan sendiri.
Imam
al Ghazali berpendapat bahwa sangat penting bagi seseorang yang
menempuh perjalan rohani mempunyai seorang Guru Mursyid yang membimbing
agar tidak tersesat sebagaimana yang beliau kemukakan :
“Di
antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran
adalah bahwa dia harus mempunyai seorang Mursyid dan pendidikan
spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta
melenyapkan akhlak yang tercela. Yang dimaksud pendidikan di sini,
hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat
tanamannya. Setiap kali melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan
tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu
menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga
menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah
mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan
mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab
Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke
jalan lurus. Dan sebelum Rasulullah SAW`wafat, Beliau telah menetapkan
para Khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan
Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu,
seorang salik mutlak membutuhkan seorang Mursyid.”
Tentang
Kiblat ke empat yang sangat penting untuk kita ketahui dan menjadi
kunci dalam beribadah akan saya uraikan pada tulisan berikutnya.
Silahkan anda baca dulu 9 tulisan di atas yang menjelaskan secara
lengkap tentang Guru Mursyid dan Hakikat Ibadah. Semoga Allah senantiasa
menuntun dan membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar