PEMBAHASAN TENTANG HUKUM
MEMPELAJARI TAREKAT
BERDASARKAN DALIL
NAQLI DAN AQLI
Oleh : Saifuddin, M.A
Tanya : Apakah perlunya Ilmu Tarekat
itu dipelajari? Kata Tasawuf sekali pun tidak pernah disebut di dalam Al-Qur’an
dan Hadits yang sahih. Bukankah jika Tarekat dan Tasawuf itu begitu penting
dalam Islam tentu Allah dan Rasulnya akan memerintahkan manusia untuk belajar Tarekat
atau Tasawuf? Tidak mungkin Nabi yang bersifat “Balligh” (menyampaikan) sengaja menyembunyikan perintah Allah.
Jawab : Sebagian kita mungkin sudah sering mendengar
tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku paling “islami” bahwa
Tasawuf dan Tarekat adalah ilmu di luar Islam, pembuat bid’ah, syirik dan lain
sebangainya dan karena yang menyampaikan pendapat ini adalah orang yang
berlatar belakang pendidikan agama yang lumayan (baca: syari’at), alumni Arab
Saudi atau Mesir dengan sekian banyak gelar sehingga masyarakat awam dengan
mudah langsung percaya. Sebagian mereka tidak tahu bahwa Arab Saudi bukan lagi
menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam mazhab, akan tetapi telah menjadi
corong bagi mazhab tunggal yang baru muncul di abad ke 17 yaitu mazhab Wahabi.
Banyak orang belum begitu
paham tentang apa itu Tasawuf dan apa itu Tarekat. Konsekwensinya, kalau anda
ingin mengambil Tasawuf, pasti anda mengambil Tarekat, sebab pengamalan Tasawuf
ada dalam Tarekat. Belajar Tasawuf ada dua jenis, yaitu secara teori dan praktek.
Secara teori telah diajarkan di IAIN melalui pengajaran mata kuliah Ilmu
Tasawuf, bahkan anda bisa menjadi seorang profesor Tasawuf tanpa harus
bertarekat di bawah bimbingan mursyid. Namanya juga teori, tentu yang
didapatkan hanya teori saja. Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah,
maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid.
Tasawuf dan Tarekat adalah dua hal yang tak terpisahkan bagaikan dua sisi
mata uang. Sedemikian eratnya pertalian tersebut sehingga antara Tasawuf dan
Tarekat tak bisa dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin eratnya pertalian antara keduanya disebabkan karena
Tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu merupakan anak kandung dari Tarekat itu
sendiri. Artinya tarekat sebagai suatu disiplin ilmu telah lebih dahulu ada
sebelum munculnya Tasawuf itu sendiri. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa
antara Tasawuf dan Tarekat, keduanya memiliki perbedaan. Menurutnya, Tasawuf
adalah ilmu yang bersifat teori, sedangkan Tarekat adalah ilmu yang bersifat
praktek. Tasawuf merupakan petunjuk atau keterangan yang menunjukkan jalan
bagaimana cara mengenal kepada Allah. Namun bagaimana tatacara pelaksanaannya
dalam Tasawuf tidak diperoleh penjelasannya dalam Tasawuf, sebab segala sesuatu
yang berkaitan dengan praktek merupakan bagian atau pun lahan dari pada Ilmu
Tarekat. Ilmu Tarekat tidak disiarkan dan tidak ditulis di dalam buku-buku dan
tidak boleh disampaikan oleh orang yang bukan ahlinya. Oleh karena itu Ilmu
Tarekat bersifat rahasia karena ilmu ini berhubungan dengan yang ghaib, yaitu
Allah. Oleh karena Allah itu ghaib, maka untuk mengenal-Nya terlebih dahulu
harus mempelajari yang ghaib yaitu Ilmu Tarekat. Oleh sebab itu Ilmu Tarekat
tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang dan ilmu ini harus dirahasiakan,
kecuali bagi mereka yang mau mempelajarinya. Adapun larangan untuk menyampaikan
yang ghaib tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Jin ayat 26 :
عَلِمُ
الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا.
Artinya
: Ilmu yang ghaib itu jangan dijelaskan kepada siapapun.
Larangan untuk menyampaikan ilmu
yang ghaib ini juga disampaikan oleh Nabi yang didasarkan pada Hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari pada Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda
:
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا
فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ
هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang
berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu.
Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu
pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ
تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan
menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”
Berdasarkan ayat dan Hadis
di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa Allah dan Nabi melarang menyampaikan
ilmu yang ghaib ini kepada sembarang orang, sebab apabila ilmu ini disampaikan
secara terang-terangan sebagaimana halnya Ilmu Syari’at, dikhawatirkan akan ada
sebagian orang yang akan menyia-nyiakan ilmu ini atau bahkan
menyalahgunakannya, terlebih lagi bila ilmu yang ghaib ini disampaikan oleh
orang yang bukan ahlinya, maka akan terjadi kesalahpahaman bagi yang
menerimanya bahkan bukan tidak mungkin malah justru menyesatkan.
Oleh sebab itu ilmu ini
hanya diberikan kepada orang yang datang memintanya, sebab ilmu ini adalah ilmu
yang sangat berharga, karena dengan ilmu inilah manusia dapat mengenal Allah.
Memberikan ilmu ini kepada sembarang orang atau kepada orang yang tidak
memintanya, itu sama artinya dengan mengalungkan emas ke leher kerbau atau babi
yang pada akhirnya akan dibawanya berkubang.
Adapun terhadap Ilmu Fiqh
atau Ilmu Syari’at tidak ada larangan sama sekali untuk menyampaikannya kepada
siapapun. Karena secara tegas Nabi telah bersabda :
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.
Oleh sebab itu Ilmu Fiqh
tidak boleh disembunyikan, bahkan Nabi memberi peringatan terhadap orang-orang
yang menyembunyikan Ilmu Fiqh, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ
النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah
menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah
ia kelak dengan api neraka”.
Adapun dalail tentang wajibnya bertarekat/bertasawuf adalah sebagai berikut :
Firman Allah (Q.S. Al-Jin: 16)
وَأَنْ لَوِاسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ
لأَسْقَنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا
Artinya: “Sekiranya mereka itu
tetap berjalan (bertarekat) di atas jalan yang benar (Tarekat yang benar)
niscaya Aku (Allah) akan memberikan kepada mereka meniman yang menghilangkan
haus (petunjuk/Tarekat yang menghilangkan kesesatan)”
فَاسْلُكِى سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً
Artinya: “Tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan bagimu
(bersuluklah kamu)”.
petunjuk Hadis tentang Tasawuf/Tarekat, sebagaimana sabda Rasulullah:
وَعَنْ عَلِىٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ
اللهِ أَيُّ الطَّرِيْقَةِ أَقْرَبُ إِلَى اللهِ وَأَسْهَلُهَا عَلَى عِبَادِ
اللهِ وَأَفْضَلُهَا عِنْدَاللهِ تَعَالَى؟ فَقَالَ: يَاعَلِىُّ عَلَيْكَ
بِدَوَامِ ذِكْرِاللهِ فَقَالَ عَلِىُّ كُلُّ النَّاسِ يَذْكُرُونَ اللهَ فَقَالَ
ص م: يَاعَلِىُّ لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيَبْقَى عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ
مَنْ يَقُولُ, اللهُ اللهُ. فَقَالَ لَهُ عَلِىُّ كَيْفَ أَذْكُرُ يَارَسُوْلَ
اللهِ؟ فَقَالَ ص م: غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاَلْصِقْ شَفَتَيْكَ وَاَعْلَى لِسَانَكَ
وَقُلْ اللهُ اللهُ . فَقَالَ ص م :لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
مُغَمِّضًا عَيْنَهُ ثُمَّ قَالَهَا عَلِىُّ كَذَلِكَ
Artinya: “Dan dari Sayyidina Ali Karramahullahu wajhahu, beliau berkata:
Aku katakana, Ya Rasulallah, manakah jalan/tarekat yang sedekat-dekatnya kepada
Allah dan semudah-mudahnya atas hamba Allah dan semulia-mulianya di sisi Allah?
Maka sabda Rasulullah, ya Ali, penting atas kamu berkekalan/senantiasa berzikir
kepada Allah. Maka berkatalah Ali, tiap orang berzikir kepada Allah. Maka
Rasulullah bersabda: Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal
lagi atas permukaan bumi ini, orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah, maka
sahut Ali kepada Rasulullah, bagaimana caranya aku berzikir ya Rasulullah? Maka
Rasulullah bersabda: coba pejamkan kedua matamu dan rapatkan/katubkanlah kedua
bibirmu dan naikkanlah lidahmu ke atas dan berkatalah engkau, Allah-Allh. Maka
sejenak Rasulullah mengucapkan: Laa Ilaaha Illallaah tiga kali sedangkan kedua
matanya tertutup kemudian Ali ajarkan pula kepada Hasan Basri dan dari Hasan
Basri diajarkan kepada Habib Al-Ajmi ,dari Al-Habib diajarkan kepada Daud
Al-Thaiy, dari Daud diajarkan pula kepada Makhruf Al-Kurahi, dari Makhruf
diajarkan pula kepada Junaid Al-Bahdadi. Kemudian timbulah menjadi ilmu
pendidikan yang dinamakan dengan ilmu Tarekat atau Tasawuf.
Kemudian Ali ibn Abi Thalib berkata:
رَأَيْتُ رَبِّى بِعَيْنِ قَلْبِى, فَقُلْتُ لاَشَكَّ
أَنْتَ أَنْتَ اللهُ
“Kulihat Tuhanku dengan mata hatiku
dan akupun berkata: tidak aku ragu, engkau, engkaulah Allah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar