PEMBAHASAN TENTANG MASALAH ZIKIR
DALAM PANDANGAN SYEKH MUDA AHMAD ARIFIN
Oleh : Saifuddin, M.A
a. Pengertian Zikir
Zikir
merupakan salah satu unsure terpenting dalam ajaran Tarekat/Tasawuf. Di dalam
bahasa Arab secara garis besar zikr memiliki dua makna yaitu menyebut
dan mengingat. Yang menjadi permasalahan pertama adalah apabila kata
zikir itu diberi makna dengan menyebut, maka apakah nama Allah
itu dapat disebut ?, sedangkan nama Allah itu qadim (la harfun wa
la sautun :tidak berhuruf dan tidak bersuara). Di dalam Al-Qur’an
maupun Hadis secara tegas Allah memerintahkan kepada setiap mukmin agar
senantiasa berzikir kepada Allah, baik di waktu berdiri, di waktu duduk, di
waktu berbaring dan di mana saja berada. Apabila yang dimaksud dengan zikir itu adalah menyebut, bagaimana
cara mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari ?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis terlebih dahulu akan
menguraikan kalimat Allah yang merupakan asma-Nya. Di dalam Al-Qur’an
disebutkan bahwa Allah memiliki sembilan puluh sembilan (99) nama sifat, yang
mana kesemuanya itu tunduk kepada nama Zat yaitu Allah. Kalimat Allah terdiri
dari empat huruf, yaitu alif, lam, lam, dan ha, yang kesemuanya
itu masih dapat disebut karena berhuruf dan bersuara. Apabila dihilangkan huruf
alif pada kalimat Allah, maka kalimat Allah itu masih dapat disebut
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 120 :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَتِ وَاْلأَرْضِ وَمَافِهِنَّ
Apabila
huruf lam dihilangkan, maka nama Allah itu masih dapat disebut
sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 13 :
وَلَهُ
مَاسَكَنَ فِى الَّيْلِ وَالنَّهَارِ
Apabila huruf lam yang kedua dihilangkan,
maka tinggallah huruf ha yang di dalam bahasa Arab dhamir (kata
ganti) dari huruf ha adalah hua, sebagaimana firman Allah dalam
surat al-An’am ayat 61:
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
Apabila
huruf ha dihilangkan, maka asma Allah tidak dapat disebut lagi.
Maka sampai disinilah batas kemampuan lisan menyebut asma Allah Ta’ala,
karena sesungguhnya asma Allah Ta’ala itu adalah qadim, yaitu
tidak berhuruf dan tidak bersuara. Oleh sebab itu segala sesuatu yang berkaitan
dengan asma Allah yang dapat disebut dengan lisan, maka jatuh hukumnya
kepada sifat memuji, sebab pekerjaan memuji adalah pekerjaan lisan, seperti tahmid,
tahlil, takdis, dan takbir.
Oleh
sebab itu, zikir adalah pekerjaan qalbi dan bukan pekerjaan lisan,
sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُواْ أُذْكُرُواْاللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً
وَأَصِيْلاً.
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya
dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.(Q.S. 33 al-Ahzab:
41-42).
فَإِذَا
قَضَيْتُمُ الصَّلَوةَ فَاذْكُرُواْاللهَ قِيَمًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوْبِكُم.
Artinya : “Maka apabila kamu telah melaksanakan
shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu
berbaring”. (Q.S. 4 an-Nisa: 103).
Kedua
ayat di atas secara tegas mewajibkan kepada setiap orang yang beriman untuk
senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, baik di waktu berdiri, di
waktu duduk, di waktu berbaring, dan di mana saja berada. Jadi berdasarkan
kedua ayat di atas bahwa zikir bukanlah pekerjaan lisan, karena lisan
sesungguhnya memiliki keterbatasan. Karena jika hendak melaksanakan
perintah kedua ayat di atas, maka keringlah lisan kita dalam mengucap tahmid,
tahlil, takdis, dan takbir. Apalagi pada saat kita bekerja dan
berbicara, maka mustahil kita dapat mengingat Allah bila yang dimaksud dengan
mengingat Allah itu adalah dengan mengucap tahmid, tahlil, takdis, dan takbir,
sedangkan kita diperintahkan untuk mengingat Allah kapan saja, di mana saja,
dan dalam segala keadaan, maka tentu mustahil lisan dapat melakukan itu.
Yang
menjadi permasalahan kedua adalah, apabila kata zikir itu diberi
makna dengan mengingat, maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara
mengingat Allah, sebab mengingat sesungguhnya adalah pekerjaan otak dan
mustahil otak dapat mengingat sesuatu yang tidak pernah disaksikannya,
sedangkan Allah itu adalah ghaib dan tidak dapat disaksikan oleh mata manusia.
Lalu dapatkah otak manusia mengingat Allah yang tidak pernah dilihatnya?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan firman
Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُواْ التَّقُواْاللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan mendekatkan diri kepada-Nya”. (Q.S.
al-Maidah: 35).
Menurut
Syekh Muda Ahmad Arifin makna wasilah pada ayat di atas adalah keharusan
mencari jalan untuk dapat mengenal Allah. Jadi agar kita dapat mengenal Allah
kita harus mencari jalan atau wasilah (perantara) atau Guru yang dapat
mengenalkan kita kepada Allah. Adapun fungsi Guru yaitu sebagai pemberi ilmu
yang menyampaikan pengenalan kepada Allah. Setelah murid dapat mengenal Allah, maka
murid dapat beribadah dan berhubungan langsung kepada Allah tanpa perantara
siapapun. Jadi fungsi guru hanya sebatas perantara yang bertugas menyampaikan
pengenalan kepada Allah tanpa perantara siapapun. Jadi fungsi Guru hanya
sebatas perantara yang bertugas menyampaikan pengenalan kepada Allah dan bukan
perantara di dalam beribadah. Oleh sebab itu jika manusia ingin beribadah dan
berhubungan secara langsung kepada Allah, haruslah mencari wasilah (perantara)
terlebih dahulu agar dapat mengenal-Nya. Karena sedemikian pentingnya peran
Guru atau wasilah dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah sehingga
Nabi menyuruh kita untuk menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah
sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi:
عن دود
عن ابن مسعود قال رسول الله ص م : كُنْ مَعَ اللهِ وَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ
فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوْصِلُكَ اِلَى اللهِ
Artinya: “Sertakan dirimu kepada Allah, jika
kamu belum dapat menyertakan dirimu kepada Allah, maka sertakanlah dirimu
kepada orang yang telah serta Allah, maka ia akan menyampaikan kepada kamu
pengenalan kepada Allah.” (H.R. Abu Dawud)
Jadi
berdasarkan penjelasan ayat dan Hadis di atas dapatlah diketahui bahwa tanpa
Guru (wasilah) mustahil manusia itu dapat mengenal Allah, apalagi dapat
mengingat-Nya. Jadi sesungguhnya yang dapat berzikir kepada Allah hanyalah
orang-orang yang telah berwasilah (menyertakan diri kepada orang yang telah
serta Allah atau Guru).
Berdasarkan
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa makna zikir yang sesungguhnya adalah
mengingat dan mustahil kita dapat mengingat Allah, tanpa terlebih dahulu kita
menyertakan diri kepada orang yang telah serta Allah (berwasilah). Namun
kenyataannya mayoritas umat Islam saat ini mengabaikan wasilah dan
menganggapnya sebagai perbuatan yang syirik. Padahal sesungguhnya orang-orang
yang mengabaikan wasilah pada hakikatnya telah menjadikan diri mereka sebagai
orang-orang yang syirik kepada Allah karena tidak dapat mengenal-Nya, apalagi
dapat mengingat-Nya.
Namun
mayoritas umat Islam saat ini tidak tahu kalau mereka itu tidak tahu. Di
mana-mana umat Islam saat ini banyak melaksanakan kegiatan zikir, baik secara
individu maupun secara beramai-ramai, baik di masjid-masjid, hingga di majelis
zikir, dan do’a bersama yang dilaksanakan di lapangan terbuka, namun
sesungguhnya mereka hanya memuji tetapi tidak mengenal yang mereka puji.
Sesungguhnya zikir yang dilaksanakan tanpa disertai hati yang mengingat Allah,
pada hakikatnya adalah pekerjaan yang sia-sia dan tidak memberikan manfaat
apa-apa, karena Allah Ta’ala tidak akan memberi penilaian sama sekali terhadap
apa yang mereka perbuat.
Lalu
bagaimanakah zikir yang sesungguhnya? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, berikut akan penulis kutipkan penjelasan firman Allah mengenai hal
ini :
وَاذْكُرْ
رَبَّكَ فِى نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ
بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَالِ وَلاَتَكُنْ مِنَ الْغَفِلِيْنَ.
Artinya
: “Dan ingatlah Tuhanmu di dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan tidak dizahirkan dengan suara, di waktu pagi dan petang dan
janganlah kamu termasuk orang-orang lalai”. (Q.S. 7 al-A’raf: 205).
Firman Allah di atas menegaskan
bahwa mengingat Allah itu tidak dizahirkan dengan suara. Makna tidak dizahirkan
dengan suara juga meliputi tidak boleh disebut-sebutkan di dalam hati, sebab
bila mengingat Allah itu dilakukan dengan menyebut asma Allah itu di
dalam hati dengan tidak dizahirkan, maka sesungguhnya kemampuan manusia sangat
terbatas untuk melakukan hal itu. Karena perintah untuk mengingat Allah itu
harus dilakukan pada setiap saat, kapan saja, dan di mana saja. Sebagai contoh
misalnya, pada saat kita sedang beraktifitas, seperti berfikir dan berbicara,
tentu mengingat Allah dengan menyebut-nyebut asma-Nya di dalam hati
tidak akan dapat terlaksana, sedangkan Allah memerintahkan kepada kita untuk
mengingat-Nya di waktu pagi dan petang, di mana saja, dan kapan saja, baik di
waktu duduk dan berdiri, di waktu diam dan berbicara dan disegala aktifitasnya
sebagai hamba Allah yang beriman, kita diperintahkan untuk selalu
mengingat-Nya. Oleh sebab itu Allah
memerintahkan kepada kita untuk
mengingat-Nya di dalam diri. Makna di dalam diri pada ayat ini tentunya tidak
hanya sebatas qalbu saja, tetapi meliputi seluruh tubuh dari ujung
rambut sampai ujung kaki semuanya diperintahkan untuk berhadap berzikir kepada
Allah hingga darah yang setitik dan rambut yang sehelai semuanya berhadap
berzikir kepada Allah.
Dari uraian di atas dapatlah
diketahui bahwa zikir yang sesungguhnya tidak dizahirkan dengan ucapan dan
tidak pula disebut-sebutkan di dalam hati. Oleh sebab itu yang dapat berzikir
kepada Allah sesungguhnya hanya orang-orang yang telah menyertakan diri kepada
orang yang telah serta kepada Allah, karena tanpa Guru (wasilah), mustahil
manusia dapat mengenal Allah. Sesungguhnya penyebab umat Islam saat ini tidak
dapat mengenal Allah disebabkan ulama-ulama fasiq, sebagaimana sabda
Nabi SAW:
عَنْ
عَلِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانُ لاَيَبْقَى مِنَ اْلإِسْلاَمِ اِلاَّ
اِسْمُهُ وَلاَمِنَ الدِّيْنِ اِلاَّ رَسْمُهُ وَلاَمِنَ الْقُرْأَنِ اِلاَّ
دَرْسُهُ مَسَاجِدَهُمْ عَامِرَةٌ وَهُوَ خَرَبٌ عَنْ ذِكْرِاللهِ, أَشَرُّ عَلَى
ذَلِكَ الزَّمَانُ عُلَمَائُهُمْ. قُلْتُ يَارَسُولَ اللهُ : يَكُوْنَ فِى
اْلأَخِرِ الزَّمَانِ عُبَادِ جَاهِلُوْنَ وَالْعُلَمَاءُ فَاسِقُوْنَ.
Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang nanti di akhir
zaman agama Islam itu tinggal namanya, agama Islam itu tinggal bentuknya saja,
Al-Qur’an tinggal di bibir saja dan banyak yang beramal ibadah di
masjid-masjid, namun hati mereka kosong yang ingat kepada Allah, yang paling
berbahaya pada akhir zaman nanti adalah para ulama. Maka berkata Ali:
“Katakanlah ya Rasulullah”, maka berkata Rasulullah : Akan terjadi nanti di
akhir zaman banyak orang yang bermal ibadah bodoh-bodoh disebabkan ulama-ulama
fasiq.
Hadis di atas menjelaskan bahwa akan
terjadi di masa yang akan datang nanti banyak orang yang berzikir di
masjid-masjid, namun tidak ada satupun di antara mereka yang hatinya mengingat
Allah. Yang paling ditakutkan Nabi di akhir zaman nanti bukanlah Yahudi dan
Nasrani, akan tetapi para ulamalah yang ditakuti Nabi, yaitu ulama-ulama fasiq,
dimana mereka hanya pandai berbicara, namun mereka tidak pandai
memperbuatnya. Ulama-ulama masa kini senantiasa selalu menganjurkan dan menyeru
umatnya untuk berzikir, namun mereka sendiri sesungguhnya tidak tahu bagaimana
tata cara berzikir kepada Allah yang sesungguhnya. Dan penyakit yang lebih
parah sesungguhnya adalah mereka itu tidak tahu kalau mereka itu tahu, bahkan
yang lebih parah lagi adalah mereka tidak mau tahu akan hal-hal yang mereka
belum ketahui, karena mereka telah sangat puas dengan yang telah mereka
ketahui. Sesungguhnya inilah penyakit yang paling berbahaya, karena disebabkan
kesombongannya ia telah menghijab dirinya sendiri dari kebenaran itu. Oleh
sebab itu Allah mengutuk orang-orang seperti ini sebagaimana firman Allah :
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَاللهِ أَنْ
تَقُولُواْ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ.
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang
tiada kamu kerjakan”. (Q.S. 61 as-Shaff: 2-3).
Jadi sesungguhnya yang menjadi
perusak Islam itu tidak lain adalah ulama itu sendiri. Salah satu contoh
kerusakan yang dilakukan oleh ulama masa kini terhadap Islam adalah penolakan
mereka terhadap wasilah yang mereka anggap sebagai perbuatan syirik dan mereka
menganggap bahwa tauhid merekalah yang paling murni. Kebencian mereka terhadap
Ahli Tarekat mencapai puncaknya dengan timbulnya gerakan Wahabiyah yang amat
ketat mengamalkan kemurnian Syari’at yang secara terang-terangan telah menyapu
bersih Ahli-ahli Tarekat dari Saudi Arabia dengan alasan pemurnian tauhid.
Sesungguhnya kebencian mereka terhadap Ahli-ahli Tarekat adalah disebabkan
keawaman dan ketidakpahaman mereka terhadap ajaran Tarekat yang sebenarnya.
Dengan dalih pemurnian tauhid, gerakan Wahabi dengan pahamnya, telah
menyesatkan umat Islam sehingga mereka tidak mengenal Tuhannya. Maka tidaklah
berlebihan jika Imam al-Ghazali berpendapat bahwa andaikata orang awam itu
berbuat zina dan mencuri itu adalah lebih baik baginya, daripada ia
membicarakan tentang Allah dan agama-Nya tanpa ilmu yang sempurna, niscaya ia
terjerumus dalam juram kekufuran tanpa disadari, sebagaimana orang yang hendak
mengarungi lautan yang dalam tetapi ia tidak mengerti cara berenang.
Demikianlah dampak yang ditimbulkan
oleh kebencian yang dilakukan oleh orang-orang yang menolak Ahli-ahli Tarekat
yang disebabkan oleh ketidakpahaman mereka. Dengan dalih pemurnian tauhid,
tidak hanya diri mereka saja yang telah sesat, bahkan dengan gerakan Wahabinya,
mereka telah mengajak seluruh umat Islam untuk mengikuti kesesatan yang mereka
lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar