Bahasa cinta untuk mengingatNya
Pada suatu kesempatan salah seorang dari mereka bertanya kepada kami,
apakah kami masih suka mendengarkan radio dakta, kenapa belum beralih ke
radio rodja ?
Jika harus memilih di antara dua pilihan yakni
radio dakta atau radio rodja, memang kami memilih radio dakta walaupun
di radio dakta ada juga pendapat-pendapat dari ulama yang mengaku
mengikuti salafush sholeh. Namun salah satu kelebihan radio dakta adalah
menyiarkan pengejawantahan (implementasi) ilmu agama dalam kehidupan
sehari-hari termasuk memperdengarkan lagu yang lirik atau syairnya
mengantarkan kita untuk mengingat Allah.
Imam Syafi’i
rahimahullah mengatakan kalau seseorang hanya mendalami ilmu syariat
atau ilmu fiqih saja tanpa mengamalkan tasawuf (tentan ihsan) maka
hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa
Imam Syafi’i
~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau
menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga
menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat
padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi
tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan
kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak
mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia
menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara
syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang
rusak atau tidak menjadi manusia berakhlak tidak baik.
Imam
Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang
tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya
, sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa
mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya
terjamin benar“
Bagi kami radio Rodja sebagian besar
“memperlihatkan” Allah Azza wa Jalla sebagai sosok yang hanya
“memerintah” dan “melarang” saja. Masih kurang “memperlihatkan” Allah
Azza wa Jalla dalam sosok “Ar Rahmaan Ar Rahiim” atau “memperlihatkan”
hubungan cinta Allah kepada hambaNya dan sebaliknya.
Pada hakikatnya perintahNya dan laranganNya adalah wujud kasih sayang Allah ta’ala kepada hambaNya.
Begitu pula larangan orang tua kepada anaknya adalah wujud kasih sayang
orang tua kepada anaknya. Bagi anak yang telah “mengenal” orangtuanya,
dia akan menjauhi apa yang dilarang orang tuanya, karena dia paham
bahwa orang tua melarangnya merupakan wujud rasa sayang orang tua
kepadanya. Jadi anak itu ikhlas menjauhi apa yang dilarang orangtuanya
tanpa peduli dengan akibat jika larangan itu dilanggar.
Salah
satu cara “memperlihatkan” suasana saling mencintai adalah dengan
memperdengarkan lagu yang lirik atau syairnya yang bermuatan “bahasa
cinta” yang dapat mengingat Allah.
Contohnya pagi ini kami
melalui radio dakta dapat mendengarkan kembali lagu karya Ebiet G Ade
berjudul Isyu dengan lirik lagu sebagai berikut
Engkau pasti menuduhku
telah bersekutu dengan setan
Menyangka apa yang kumiliki
aku dapat dari dusta
Engkau mulai kasak-kusuk,
bergunjing ke sana-sini
melilitkan isyu di leherku
mengipaskan suasana panas
Entah apa yang harus kujelaskan
Aku enggan bicara
yang penting suara dalam jiwaku
adalah kebenaran
Biarpun hanya Tuhan yang mendengar
Du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Engkau pasti menduga-duga
aku telan yang bukan milikku
Coba buka catatan di langit
di sana kusimpan kebenaran
Entah apa yang harus kujelaskan
Aku enggan bicara
yang penting suara dalam jiwaku
adalah kebenaran
Biarpun hanya Tuhan yang mendengar
Du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Du du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Du du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Du du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Isyu, isyu, isyu, semua hanya isyu
Isyu, isyu, isyu, semua hanya isyu
Lirik lagu tersebut bermuatan “bahasa cinta” yang tidak dapat dipahami
dengan makna dzahir/harfiah/tersurat/tertulis. Bahasa cinta hanya dapat
dipahami dengan hati atau akal qalbu bersandarkan pada makna bathin
atau makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat.
Contohnya
“melilitkan isyu di leherku mengipaskan suasana panas”
“Engkau pasti menduga-duga, aku telan yang bukan milikku”
“Coba buka catatan di langit di sana kusimpan kebenaran”
“Aku enggan bicara, yang penting suara dalam jiwaku adalah kebenaran”
“Catatan di langit” kaitannya dengan kebenara”
“suara dalam jiwaku” kaitannya dengan kebenaran
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10)
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Apakah engkau datang
untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau
bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa
yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang
mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa
yang membenarkanmu.” hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal
dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan
Nawas bin Sam’an r.a.
meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam., beliau bersabda,
“Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang
mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya.”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Sebuah lagu yang merupakan
karya manusia mengandung bahasa cinta yang dipahami dengan makna
bathin/tersirat tidak dapat dimaknai secara
dzahir/harfiah/tertulis/tersurat apalagi diturunkan Al-Qur’an diturunkan
Allah Sang Pemilik Cinta dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu
tinggi
Coba kita simak kembali bagaiamana ulama panutan mereka ulama Ibnu Taimiyyah dalam Ar Risalah Al ‘Arsyiyah berkata :
“Sesungguhnya Arsy tidak kosong; karena dalil-dalil tentang
bersemayamnya Allah di atas Arsy adalah muhkam (tidak memerlukan takwil
karena kejelasan maknanya), dan hadits tentang turun-Nya Allah muhkam
pula. Sedangkan sifat-sifat Allah Suybhanahu Wa Ta’ala tidak bisa
dikiaskan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Maka wajib bagi kita untuk
menetapkan nash-nash tentang istiwa (bersemayam) berdasarkan
kedudukannya yang muhkam, begitu pula tentang turunnya Allah. Kita
katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit
dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan
bagaimana Dia turun, sedangkan akal kita sangat terbats, sempit dan hina
untuk mengetahui ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Boleh jadi
ketika ulama Ibnu Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya Arsy tidak kosong”
menjawab kebimbangannya ketika beliau memaknai secara
dzahir/harfiah/tertulis/tersurat hadits “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun
ke langit dunia pada setiap malam“. Lalu beliau menyatakan “Kita
katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit
dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan
bagaimana Dia turun”
Artinya Ibnu Taimiyyah beri’tiqod bahwa
Allah ta’ala berada atau bertempat di atas ‘Arsy , Arsy tidak kosong
walaupun Allah ta’ala turun ke langit dunia.
Pada hakikatnya
beliau menemukan pertentangan di antara pendapatnya sendiri dikarenakan
memahami dengan makna secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau
memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa
(lughot) dan istilah (terminologi) saja
Allah ta’ala berfirman
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al
Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)
Firman Allah
ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada
pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya
pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah
pemahamannya.
Dengan arti kata lain segala pendapat atau
pemahaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tanpa bercampur
dengan akal pikiran sendiri atau hawa nafsu maka pastilah tidak ada
pertentangan di dalam pendapat atau pemahamannya.
Syeikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam,
khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i
pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab
beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala
Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’
bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi
pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh
jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin
atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Berikut kutipannya
وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن
القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم و ختم على
سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله.
Beliau
(Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan
kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul
Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya
dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang
atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang
yang telah Allah jauhkan?. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Seharusnya karya-karya ulama Ibnu Taimiyyah telah terkubur sejak lama
karena dilarang untuk dibaca oleh ulama-ulama terdahulu namun entah
mengapa 350 tahun kemudian setelah beliau wafat, karya-karya beliau
sampai dan dipelajari kembali oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan
menjadikan ulama Ibnu Taimiyyah sebagai panutannya.
Bahkan
dalam beberapa tulisan tentang riwayat ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
dikatakan bahwa “Demikian meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah
dalam jiwanya, sehingga Muhammad bin ‘Abdul Wahab bagaikan
duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan,
seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya
yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah
ditebus dengan kejayaan Ibnu ‘Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12
Hijriyah itu”.
Hal yang dikatakan bahwa “ulama Ibnu Taimiyah
semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa”
sebenarnya adalah ulama Ibnu Taimiyyah diadili oleh para qodhi dan para
ulama ahli fiqih dari empat madzhab dan diputuskan hukuman penjara agar
ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya dalam
i’tiqod sehingga beliau wafat di penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar