Allah itu dekat
Muslim yang terbaik adalah yang dapat mencapai tingkatan Ihsan (muhsin).
Seorang yang sampai pada tingkatan seolah-olah melihat Allah atau
paling tidak seorang yang yakin bahwa segala perbuatannya dilihat Allah
maka tentu akan terdorong melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya
Inilah sesungguhnya bentuk ketaqwaan kepada Allah yang menentukan tingkat/ukuran kemuliaan seorang muslim dihadapan Allah.
Sesuai firman Allah, “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Tingkatan utama yakni “Seolah-olah melihat Allah” bersifat aktif
artinya dengan karunia Allah kita “melakukannya”/”merasakannya”
sedangkan tingkatan dibawahnya adalah “Segala perbuatan dilihat Allah”
bersifat pasif.
“Seolah-olah melihat Allah”, tentu tidak boleh
diartikan secara harfiah atau secara fisik atau tersurat. Namun pahami
secara hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi / tersirat,
mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin
(thathhir al bathin).
Sesungguhnya manusia tidak akan mampu “melihat” Allah ketika di dunia.
Peristiwa ini diabadikan dalam surat Al A’raf (7) ayat 143,
“Dan tatkala Musa tiba di miqat lalu berkata, ‘Tuhanku, tampakkanlah
diri-Mu supaya aku bisa melihat-Mu.’ Maka Tuhan pun berkata, ‘Kamu tidak
akan bisa melihat-Ku , tetapi pandang saja gunung di seberangmu, bila
dia tetap di tempatnya, maka kamu akan melihat-Ku’. Maka ketika Tuhannya
menampakkan cahaya-Nya ber-tajalli kepada gunung, jadilah gunung itu
hancur lebur. Maka Musa tersungkur pingsan. Dan setelah siuman dia
berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku akan menjadi
orang mukmin pertama’.”
Kisah ini tercantum juga dalam kitab
Qishashul Anbiya’ karangan Ibnu Katsir yang mencoba menjelaskan bahwa
Nabi Musa a.s. adalah Kalimullah, orang yang mampu berbicara langsung
dengan Allah. Namun dia hanya mendengar suara Allah dari balik hijab.
Ketika dia meminta hijab itu disingkapkan, Allah tidak menuruti, tetapi
Ia memberikan pelajaran telak kepada hamba-Nya sehingga pingsan dan
sadar kelemahan diri. Manusia memang tidak akan sanggup melihat Allah.
Jangankan cahaya Allah, memandang matahari pun mata manusia akan
terbakar.
Tetapi kelak di akhirat, melihat Allah merupakan
puncak kenikmatan ahli surga. Lebih mulia dari kenikmatan istana, kebun,
buah-buahan, dan bidadari surgawi.
Ketika para sahabat
bertanya, “Ya Rasulullah, akankah kita kelak bisa memandang Allah?”
Beliau menjawab, “Kalian akan memandang-Nya sebagaimana kalian memandang
bulan purnama raya. Dan setelah itu para ahli surga tidak mau lagi
memalingkan wajah mereka dari memandang Allah.”
Subhanallah.
Sebagian umat muslim memahami ihsan itu khususnya pada ketika ibadah saja, seperti ketika sholat.
Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak
disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah
itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik). Allah SWT.
berfirman :
“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat
kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa
dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”.
(QS. Al-Baqarah 2 : 45).
Sebagian umat muslim lainnya memahami ihsan ibaratnya “melihat” dengan “mata hati”.
Sebagian umat muslim lainnya memahami ihsan ibaratnya “merasakan” “kedekatannya” dengan Allah disetiap saat kehidupan.
Sungguh Allah itu dekat, sesuai dengan firman Allah yang artinya
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah: 85).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf: 16)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka
(jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang berdo’a apabila berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ( Al Baqarah: 186).
Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)“. (QS Al-’Alaq [96]:19 )
Selalu berada dalam kebenaran bisa diartikan selalu merasakan “bersama” Allah dalam menjalani kehidupan di dunia.
Kedekatan kita dengan Allah terhalang/terhijab dengan dosa. Untuk
itulah langkah pertama agar kita lebih dekat dengan Allah adalah
bertaubat, salah satunya dengan berzikir
Astaghfirullah.
“Ampunilah hambamu ini ya Allah”.
Firman Allah yang artinya
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan
memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada
waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari
kiamat.” (Al Hud : 3)
“dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (Al Hujurat : 12) .
Istighfar diikuti dengan taubat, penyesalan atas dosa dan sekuat tenaga dan sepenuh kesadaran untuk tidak mengulangi lagi.
Kemudian perbaharuilah selalu kesaksian dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Asyhadu anlaailaaha illallah Wa-asyhadu anna Muhammadar-rasulullah
Syahadat berarti bersaksi dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Membaca dua kaliamat Syahadat merupakan cara untuk mengislamkan kembali
atau untuk mengembalikan iman seorang muslim yang telah murtad, karena
melakukan perbuatan syirik kepada Allah atau lainnya baik disengaja
ataupun tidak disengaja.
Seorang yang kafir bila beramal shaleh
maka tidak akan diterima dan bila berdoa maka akan terhijab ( tertutup
). Semua amal dan doa mereka sia-sia dan ditolak oleh Allah, kecuali
jika mereka beriman dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat.
“Dan doa ( ibadah ) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka ” ( Arra’d : 14 ).
Selanjutnya biasakan Zikir Hauqolah agar kita didekatkan dengan Allah atas pertolonganNya.
Laahaulaa walaaquw-wata il-laabillahil ‘aliy-yil ‘adziim.
”Tiada daya upaya dan kekuatan selain atas izin/pertolongan Allah”
Yakinlah bahwa kita sebagai manusia adalah “lemah” dan upaya kita
mendekatkan diri kepada Allah semata-mata atas karunia / izin Allah.
Tentang karunia Allah. Allah telah berfiman yang artinya,
“Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar” ( Al-Jumu’ah :
4)
Bershalawat kepada Nabi Muhammad adalah salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa ali Muhammad“
Membaca shalawat atas Nabi merupakan perintah Allah dan anjuran dari Nabi Muhammad.
Firman Allah yang artinya ” Sesungguhnya Allah dan
Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya ” ( Al Ahzab:56 ) ]
Membaca shalawat
merupakan salah satu kunci diterimanya doa, karena tanpa diawali dengan
shalawat maka doa tidak diterima oleh Allah.
” Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan “ ( Al Maidah:35 ).
Selanjutnya adalah
upaya yang sering dilakukan oleh muslim agar terjaga dekat dengan Allah
yakni dengan berdoa sebelum melakukan perbuatan/kegiatan atau minimal
dengan membaca basmalah.
Bismillahirohmanirohim
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang”
Dalam Hadits Rasulullah saw bersabda, “Setiap pekerjaan yang baik, jika
tidak dimulai dengan “Bismillah” (menyebut nama Allah) maka (pekerjaan
tersebut) akan terputus (dari keberkahan Allah)”.
Sebagaimana
dalam kehidupan kita ,secara naluri jika ingin keberhasilan perbuatan
atau permohonan biasanya kita menyebut nama orang yang berkuasa.
Misalnya,
- Zaman orde baru, tingkat keberasilan menjadi besar, jika
kita menyebut (mengenalkan/mereferensi) nama pa Harto yang berkuasa kala
itu.
- Memberikan perintah kepada bawahan atau ajakan
kepada sesama staff akan “lebih segera” dilaksanakan/diikuti jika
menyebut nama yang lebih berkuasa seperti nama direktur atau manajer
sebagai sumber perintah atau bentuk izin.
Begitu pula dalam
mengarungi kehidupan kita di dunia, sebelum melakukan perbuatan/tindakan
upayakan selalu diawali menyebut nama Allah, mengingat Allah. Sehingga
Allah yang Maha Kuasa akan mengizinkan dan menolong perbuatan/tindakan
tersebut akan terlaksana. Seberapa dekat dengan Allah akan memperbesar
kemungkinan terkabulkannya.
Perbedaannya, kalau kita menyebut
nama manusia, manusia yang kita sebutkan tidak mendengar dan bukan pula
dia yang menolong. Namun kalau kita menyebut nama Allah, Allah Maha
Mendengar dan berkenan menolong kita
Kita sangat ingin untuk taqarrub mendekatkan diri kepada-Nya.
Dari Abu Hurairah RA disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah
bersabda, ‘Aku menuruti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya
ketika ia mengingat-Ku. Kalau ia mengingat-Ku dalam hati, Aku
mengingatnya dalam diri-Ku. Kalau ia mengingat-Ku di tengah kerumunan
orang, Aku pun akan mengingatnya di tengah kerumunan yang lebih baik
daripada mereka. Kalau ia mendekat diri kepada-Ku sejengkal, Aku pun
mendekatkan diri kepadanya sehasta. Kalau ia mendekatkan diri pada-Ku
sehasta. Aku pun akan mendekatkan diri padanya sedepa. Jika ia
mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari
kecil”.
Waktu-waktu di keseharian kita, perbanyaklah dzikir kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang duduk dalam suatu tempat, lalu di
situ ia tak berdzikir kepada Allah, maka kelak ia akan mendapat kerugian
dan penyesalan” (HR Abu Dawud).
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berlaku zuhudlah di dunia, pasti dicintai Allah SWT dan berlaku
zuhudlah terhadap milik orang lain, pasti dicintai oleh sesama manusia.”
Manakala sifat zuhud di kalangan muqarrabin (orang yang sentiasa
berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT) pula adalah dengan terus
meninggalkan kenikmatan dunia; segala-galanya adalah tidak penting bagi
mereka melainkan mendekati Allah SWT semata-mata.
Suatu saat
terjadi dialog antara Rosulullah SAW dengan Hudzaifah Ra. Rosulullah
bertanya kepada HUdzaifah, ” Ya Hudzaifah, bagaimana keadaanmu saat
ini?”
Jawab Hudzaifah, ” Saat ini saya bener-bener beriman ya
Rosulullah.” Rosulullah kemudian mengatakan, “ setiap kebenaran itu ada
hakikatnya, maka apa hakikat keimananmu wahai Hudzaifah?”
Jawab Hudzaifah, ” Ada dua, Ya rosulullah.
Pertama saya sudah hilangkan unsur dunia dari kehidupan saya, sehingga
bagi saya debu dan emas itu sama saja. Dalam pengertian, saya akan cari
kenikmatan dunia, lantas andaikata saya dapatkan maka saya akan
menikmatinya dan bersyukur pada Allah SWT.
Tapi kalau suatu
saat kenikmatan dunia itu hilang dari tangan saya, maka saya tinggal
bersabar sebab dunia bukanlah tujuan. Bila ia datang maka Alhamdulillah
dan bila ia pergi maka Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Yang kedua Hudzaifah mengatakan, ” Setiap saya ingin melakukan sesuatu,
saya bayangkan seakan-akan syurga dan neraka itu ada di depan saya.
Lantas saya bayangkan bagaimana ahli syurga itu menikmati kenikmatan
syurga, dan sebaliknya bagaimana pula ahli neraka itu merasakan azab
neraka jahanam. Sehingga terdoronglah bagi saya untuk melakukan yang di
perintahkan dan meninggalkan yang dilarang Nya.“
Kesimpulan,
Atas karunia Allah kita berupaya mendekatkan diri kepada Allah, Dengan
kedekatan itulah kita terdorong untuk melakukan yang diperintah dan
meninggalkan yang dilarangNya. Dengan ketaqwaan inilah membuat kita
menjadi lebih mulia di sisi Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar