Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka
tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan
oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu.
Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Fathir 2)
SAYA tak ingat betul, sejak kapan saya begitu perhatian dengannya,
seorang pria lembut, mengagumkan dan telah membuat hatiku jatuh cinta.
Yang masih saya ingat, ia adalah kakak kelasku ketika masih menjadi
mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, Jawa Timur.
Yang jelas, tak seperti layaknya Anak Baru Gede (ABG), perjalanan
perkenalan kami tak berlama-lama. Kami segera menikah usai lulus
sarjana. Selain itu, perlu dimaklumi, saya setiap hari memamai jilbab,
jadi alangkah tak pantasnya jika menjalin hubungan dekat dalam waktu
lama tanpa ada ikatan yang halal.
Alkisah, perjalanan kisah
asmara kami berjalan baik hingga ke pelaminan. Sungguh wanita mana yang
tidak bahagia menerima saat-saat seperti ini? Menikah dengan seorang
pria idaman, pasti adalah mimpi tiap wanita yang sehat akalnya.
Sayang, harapan tak semulus dengan kenyataan. Dalam perjalanan biduk
rumah tangga, tabiat buruk suamiku mulai muncul satu-persatu. Tabiat
paling utama adalah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Entah, kapan taibat buruk itu bermula. Yang jelas, usai pernikahan
beberapa bulan, ia tiba-tiba sering melayangkan bogem nya ke
bagian-bagian tubuhku jika dia sedang marah atau merasa kurang sesuai
dengan keinginannya.
“Kamu istri macam apa? plok!” demikian sambil kepalan tangannya itu mendarat di pelipis saya.
Duh, rasahnya pedih dan sakit. Tak hanya sakit fisik, tapi sakit dari
relung hatiku paling jauh. Ah, tapi mungkin itu memang karena
kesalahanku sebagai seorang istri yang teledor, begitu perasaan hati
agar bisa ridho menerima perlakukan ini.
Hari demi hari, mulai
kuperbaiki perjalanan rumah tanggaku, semata agar kehidupan lebih baik
dan aku bisa menjadi istri yang sholehah. Itu saja.
“Pyarr!” Tiba-tiba piring, gelas dan barang-barang melayang. Tak hanya itu, kali ini bukan lagi bogem yang menghampiriku.
Pria yang pernah kukagumi dan aku kenal sendiri di kampus, bukan
melalui orang lain, kali ini menjambak rambutku dan menyeret ke kamar
mandi. Di sana ia mendorong kepalaku ke dalam baik air. Setelah lama, ia
mengangkat kepalaku dan menenggelamkan lagi.
Rasanya bingung,
sedih, sakit, kecewa, semuanya campur jadi satu. “Ya Allah ya Rabbi,
syetan apa yang membuat suamiku seganas ini pada istrinya?”
Begitulah kehidupan rumah tanggaku. Di depan orang kami nampak baik, di
dalam rumah, ia seolah memperlakukan aku layaknya tahanan Guantanamo
Bay, penjara kejam yang dibangun Amerika Serikat (AS) untuk
memperlakukan saudara-saudara Muslim pasca 11 September.
Kekerasan dan siksaan (sudah tak bisa dihitung dan tak bisa saya
jelaskan di sini) berjalan hingga kelahiran anak kami yang pertama.
Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan kasarnya, singkat cerita,
pasca usia anak kami berjalan beberapa tahun, hubungan kami tak bisa
dipertahankan dan berakhi dengan perceraian. Alhamdulillah, Allah telah
menyelamatkanku dari “neraka kecil” itu.
Barakah Pesantren
Sembari masih membawa status “janda”, saya mencoba melamar berbagai
tempat. Semua telah kucoba dan selalu hasilnya nihil. Maklum, bidang
yang kugeluti termasuk kurang umum, yakni bidang seni.
Suatu
hari, aku mendapatkan informasi sebuah lembaga pendidikan di bawah
naungan sebuah pesantren di Surabaya. Dengan bismillah, kucoba melamar
sebagai tenaga pendidik bidang kesenian. “Malang tak dapat ditolak
untung tak dapat diraih,” demikian kata pepatah. Rupanya, lamaranku di
terima.
Betapa senangnya. Pertama, aku gembira karena bisa
mengamalkan ilmu, kedua, gembira bekerja di bawah lembaga yang memiliki
akar kuat dalam urusan agama. Maklum, meski menutup aurat, aku wanita
biasa-biasa saja, seorang dari kampung yang semenjak kecil kurang banyak
dididik ilmu agama.
Benar saja, beberapa tahun bergabung
dengan lembaga ini, tiap hari dan tiap saat, rasanya ilmu agamaku
bertambah. Subhanallah, Maha Suci Engkau ya Allah!
Sementara
aku sibuk menjadi pendidik di Surabaya, anakku kutitipkan pada neneknya
di kampung. Tiap saat, usai gajian, aku pulang mengunjungi anak dan
mengirim keperluan. Begitu perjalannku beberapa tahun.Dan tak terasa,
sudah sekian lama kehidupan ini kujalani. Kira-kira hingga anakku masuk
SMP.
Lama menjalani hidup sebagai janda rupanya tak mengganggu
pikiranku. Sebab, setiap kali berfikir soal jodoh atau pria, selalu
teringat dalam pikiran kekejaman mantan suamiku, yang tak lain adalah
pria pilihanku sendiri. Karena itu, tiap terpikir soal pria, secepat itu
pula pikiran itu lewat begitu saja. Hmmm rasanya, berat untuk menikah
lagi. Bagaimana jika yang kuhadapi pria yang sama seperti kemarin? Di
depan ia lembut, di belakang dia seperti algojo. Duh, ngeri!
Meski demikian, setiap malam aku selalu berdoa di hadapan Allah agar
diberi jalan terbaik dalam hidup dan tak ingin diberi cobaan lagi
seperti yang telah lewat.
“Ya Allah cukupkan cobaan ini. Berilah kesabaran, dan gantilah kehidupanku dengan lebih baik di masa depan.”
Suatu hari, di bulan Februari, aku pulang ke kampung menaiki bus.
Perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu 5 jam. Setengah jam bus
berjalan, tiba-tiba seseorang duduk di bangku sebelahku yang awalnya
kosong.
Seperti layaknya orang dalam perjalanan, ia bertanya
ini-itu. Karena kurang tertarik, saya menjawabnya secara asal dan apa
adanya. Namun saya sempat melihat raut berubah manakala aku menjawab
bekerja sebagai seorang pendidik di lembaga pesantren. Kamipun berpisah
tanpa saling mengenal.
entah, apa yang ada dalam pikiran pria
di bus itu. Rupanya, jawaban terkhirku itu membuat ia rela mencari
alamat dan tempat kos ku. Sebagai wanita baik-baik, aku menghargainya.
Meski demikian, aku tetap masih kurang tertarik berkenalan lebih serius
dengan mahluk bernama pria.
Usahanya yang gigih terus-menerus untuk berusaha menemuiku, membuatku harus menyampaikan sesuatu padanya.
“Saya seorang janda. Banyak di luar sana orang lebih baik yang bisa
Anda dapatkan,” begitu kalimatku suatu hari ketika berusaha menemuiku.
Tapi rupanya, kata-kata itu tak membuat dia mundur untuk terus berusaha
ingin menemuiku. Singkat kata, keluarlah pernyataan jujurnya yang
disampaikan padaku.
“Bagiku bukan soal janda. Saya butuh istri
dengan latar belakang agama (Islam) yang baik. Setidaknya, aku menemukan
itu padamu,” katanya.
Pernyataan ini cukup mengagetkan dan
setidaknya membangunkan kesadaranku selama ini. Ternyata dia serius
ingin mencari seorang istri. Sementara aku, masih terbawa terutama lama,
KDRT yang terus menyisahkan luka.
Dengan kerendahan hati,
kegalauan ini kusampaikan terus-menerus di hadapan Allah Subhanahu
Wata’ala di kala shalat, agar aku mendapatkan jalan terbaik, pilihan
Allah semata.
Dengan takdirnya, akhirnya Allah mempertemukanku
dengan seorang pria baik, seseorang yang sebelumnya belum pernah
mengenal secara dekat dengan wanita, bahkan dia seorang perjaka.
Allah mengirimku seorang perjaka baik-baik, yang kelembutannya di atas
mantan suamiku, dan ketulusannya bukan main-main telah diberikan
kepadaku. Meski hanya lulusan SMU, tetapi ilmunya di atas orang sarjana
yang pernah kutemui. Seorang yang matang dan dewasa, bertolak belakang
dengan mantan suamiku yang dahulu. Setahun kami menikah, ia ingin
bertempat tinggal dekat pesantren di mana aku mengabdi. Dia yang rajin
shalat dan ibadah tak pernah lalai di acara-acara kajian dan daurah.
Kini, kami dikaruniai seorang putri manis kesayangan kami. Oh ya,
Alhamdulillah, kami berdua kini juga tinggal bersama-sama dengan anak
pertama. Dan suamiku yang kedua ini juga sayang pada anaku yang pertama,
layaknya anak sendiri. Jadi telah lengkap sudah kegembiraan ini.
“Hasbunallah wa nikmal wakil, Nikmal maula wa Nikman Nasir”(Cukuplah
Allah saja yang menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung).
Hikmah dan pelajaran
[يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {200
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran : 200)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ
اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS.
Al-Baqarah: 155)
Nikmat dan musibah adalah salah satu bekal
hidup seorang Muslim dalam mengarungi kehidupan di dunia. Rasulullah
dalam sebuah hadits mengatakan. "Sesungguhnya tidaklah kalian diberi
sesuatu (kenikmatan) yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran."
[HR. Bukhori (13/94), Muslim (2/601)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar