Laman

Kamis, 17 Oktober 2013

Makna Haji

Makna Haji

Haji itu wajib bagi setiap Muslim yang berakal sehat yang mampu melaksanakannya dan telah mencapai kedewasaan. Haji itu adalah memakai pakaian haji (ihram) pada tempat yang ditentukan, singgal di A’rafah, mengelilingi Ka’bah, dan berlari antara Shafa dan Marawah. Tidak diperbolehkan memasuki kawasan suci tanpa berpakaian ihram. Kawasan suci (haram) disebut demikian karena di situ terdapat Makam Ibrahim. Ibrahim as mempunyai dua makam: makam badannya, yakni, Mekkah dan makam ruhaninya, yakni, persahabatan (dengan Tuhan).
Barangsiapa mencari makam badaniahnya, dia harus menafikan semua hawa nafsu dan kesenangan, memakai pakaian ihram, mencegah dari perbuatan yang dihalalkan, mengendalikan sepenuhnya semua indra, hadir di Arafah dan dari sana menuju Muzdalifah dan Masy’ar Al-Haram, mengambil batu-batu dan mengelilingi Ka’bah, mengunjungi Mina dan tinggal di sana tiga hari, melemparkan batu-batu dengan cara yang sudah ditentukan, memotong rambutnya, melaksanakan kurban dan memakai pakaian biasa (sehari-hari).
Tetapi barang siapa mencari makam ruhaniahnya, harus menafikan pergaulan dengan sesamanya dan mengucapkan selamat tinggal kepada kesenangan-kesenangan, dan tidak berpikir lain selain tentang Tuhan. Kemudian dia harus singgah di “Arafatnya makrifat dan dari sana pergi ke Muzdalifahnya persahabatan, dan dari sini menyuruh hatinya untuk mengelilingi Ka’bahnya penyucian Ilahi, dan melemparkan batu-batu hawa nafsu dan pikiran-pikiran kotor di Mina keimanan, dan mengorbankan jiwa rendahnya di altar musyahadat dan sampai pada makam persahabatan. Memasuki makam badaniah berarti aman dari musuh-musuh dan pedang-pedang mereka, tetapi memasuki makam ruhaniah berarti aman dari keterpisahan (dari Tuhan) dan akibat-akibatnya.
Muhammad bin Al-Fadhl mengatakan, “Aku heran pada orang-orang yang mencari Ka’bah-Nya di dunia ini. Mengapa meraka tidak berupaya melakukan musyahadat tentang-NYa di dalam hati mereka? Tempat suci kadangkala mereka capai dan kadangkala mereka tinggalkan, tetapi musyahadat bisa mereka nikmati selalu. Jika mereka harus mengunjungi batu (Ka’bah), yang dilihat hanya setahun sekali, sesungguhnya meraka lebih harus mengunjungi Ka’bah hati, di mana Dia bisa dilihat tiga ratus enam puluh kali sehari semalam. Tetapi setiap langkah mistikus adalah simbol perjalanan menuju Mekkah, dan bilamana ia mencapai tempat suci ia menerima jubah kehormatan, bagi setiap langkah.”
Dan Abu Yazid mengatakan, “Pada hajiku yang pertama aku hanya melihat Ka’bah, kedua kalinya, aku melihat Ka’bah dan Tuhannya Ka’bah, dan ketiga kalinya, aku hanya melihat Tuhan saja.” Pendeknya, tempat suci ada di mana musyahadat ada.
Karena itu, yang sebenarnya bernilai bukalah Ka’bah, melainkan kontemplasi (musyahadat) dan pelenyapan (fana’) di dalam istana persabatan, dan melihat Ka’bah merupakan sebab tidak langsung. Tetapi, kita harus tahu bahwa setiap sebab bergantung pada pencipta sebab-sebab, dari tempat tersembunyi mana pun kuasa ilahi tampak, dan dari mana pun keinginan si pencari bisa dipenuhi. Tujuan mistikus dengan melintas belantara dan padang pasir bukanlah tempat suci itu sendiri.
Tujuan mereka adalah mujahadat dalam suatu kerinduan yang membuat mereka tak bisa tenang, dan kelenyapan dalam cinta yang tak pernah berakhir. Seseorang datang kepada Junayd. Junayd bertanya kepadanya dari mana ia datang, Ia menjawab, ” Aku baru saja melakukan ibadah haji.”
“Dari saat engkau permata kali berjalan dari rumahmu, apakah engakau juga telah meninggalkan semua dosa?” tanya Junayd.
“Tidak,” jawab orang itu.
“Berarti,” kata Junayd, “engkau tidak mengadakan perjalanan. Di setiap tahap dimana engkau beristirahat di malam hari, apakah engkau telah melintas sebuah makam di jalan menuju Allah?”
“Tidak”.
“Berarti engkau tidak menempuh perjalanan tahap demi tahap. Ketika engkau mengenakan pakaian ihram di tempat yang ditentukan, apakah engkau membuang sifat-sifat manusiawi sebagaimana engkau melepaskan pakaian-pakaian sehari-harimu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji. Ketika engkau singgah di Arafah, apakah telah singgah barang sebentar dalam musyahadat kepada Tuhan?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak singgah di Arafat. Ketika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika engkau mengelilingi Ka’bah, apakah engkau sudah memandang keindahan non material Tuhan di tempat suci?”
“Tidak”
“Berarti engaku tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika engkau lari antar Shafa dan Marwah, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?”
“Tidak.”
“Berarti engakau tidak lari. Ketika engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?”
“Tidak.”
“Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan segala hawa nafsu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau tidak berkurban. Ketika engkau melemparkan batu-batu, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?”
“Tidak.”
“Berarti engkau belum melemparkan batu-batu, dan engkau belum melaksanakan ibadah haji. Kembalilah dan lakukan ibadah haji seperti yang telah kugambarkan supaya engkau bisa sampai pada makam ibrahim.”
Selanjutnya, haji ada dua macam :
1. dalam ketidakhadiran (dari Tuhan) dan
2. dalam kehadiran (bersama Tuhan).
Sesesorang yang tidak hadir dari Tuhan di Mekkah, maka ia dalam kedudukan yang seolah-olah ia tidak hadir dari Tuhan di rumahnya sendiri, dan seseorang yang hadir bersama Tuhan di rumahnya sendiri, maka ia berada dalam kedudukan yang seolah-olah ia hadir bersama Tuhan di Mekkah.
Haji adalah suatu tindakan mujahadat untuk memperoleh musyahadat, dan mujahadat tidak menjadi sebab langsung musyahadat melainkan hanya sarana untuk mencapai musyahadat. Maka dari itu, karena sarana tidak mempunyai pengaruh lebih jauh atas realitas segala hal, tujuan haji yang sebenarnya bukanlah mengunjungi Ka’bah, melainkan untuk memperoleh musyahadat tentang Tuhan.

Siapakah Syaikh Abdul Qadir Jaelani ?


Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan. Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama' seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Muharrimi.

Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama'. Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan.

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama' terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, "kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu." Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari.

Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1)

Beliau adalah seorang 'alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan Imam Ibnu Rajab ialah, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik 'ulama dan para ahli zuhud".

Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) 2) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas.3)

Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far Al Adfwi 4) telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini." 5)

Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah." Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu."

Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'arsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas arsys." 6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, "Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih) yang Tidak berada di atas aqidah (Imam) Ahmad bin Hambal?" Maka beliau menjawab, "Tidak pernah ada dan tidak akan ada." 7)

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.

Sam'ani berkata, "Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau."

Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut, "Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (SiyarXX/451).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syeikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. 8) Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." 9)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah Shalallahhu 'alaihi wassalam, maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah Shalallahhu 'alaihi wassalam adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah,

"Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya Disamping (menyembah) Allah." (QS.Al-Jin:18)

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah.

Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Wallahu a'lam bishshawab.

Catatan Kaki:
1) Siyar A'lamin Nubala XX/442
2) Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi.
Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.
3) Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.
4) Nama lengkapnya ialah Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seorang 'ulama bermadzhab Syafi'i. Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.
5) Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.
6) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515.
7) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516.
8) Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.
9) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415H / 8 April 1995 M.