Laman

Selasa, 30 Mei 2017

Landasan bertawasul dan rabithah


Dua masalah ini merupakan salah satu bentuk pengetahuan dzikir yang diterapkan di dalam Tasawuf (kalangan Shufi). Tasawuf, kalau kita telusuri sejarahnya adalah dikembangkan dari salah satu di antara 3 pijakan dasar pokok ajaran dalam Islam, yaitu: Rukun Iman, Rukun Islam dan Rukun Ihsan. Tasawuf di sini merupakan pengembangan dari ilmu keihsanan.
Pembahasan Rabithah dan tawasul ini bisa dikatakan materi yang pelik dan memerlukan perhatian yang cukup serius untuk menguraikannya, karena sering diiringi dengan tuduhan-tuduhan kemusyrikan bagi yang mengamalkannya. Hal ini sudah banyak kontroversi/fitnah yang terjadi sejak zaman dahulu, antara pengamal Tasawuf yang mengamalkan Rabithah & Tawasul dengan kaum zhahiri, yang lebih mengedepankan naskah tekstual dalam pengamalan agamanya.
Rabithah atau tawasul dicetuskan oleh para Syekh Mursyid terdahulu ketika tasawuf sedang berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan dalam Islam, sebagaimana mengkristalnya kodifikasi hukum Islam dengan sebutan Ilmu Fiqih. Keduanya hanyalah merupakan metode/teknis atau bagian pengajaran Syekh Mursyid kepada murid-muridnya di dalam menempuh Thariqat (jalan).
Problematika tawasul atau rabithah didasari kenyataan bahwa konsep peribadatan (menyembah) hanya kepada Allah (Laa ma’buuda illallaah) didukung oleh penafsiran yang keliru terhadap makna ayat dalam Surat Al-Fatihah yang sering kita baca berulang-ulang, yakni: Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin, yang diartikan atau ditafsirkan oleh kebanyakan orang dengan ‘Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohoon pertolongan’.
Menurut hemat kami, penafsiran tersebut didasari kekhawatiran para mufassirin akan firman Allah yang tidak membukakan ‘pintu ma’af’ kepada orang-orang yang menyekutukan-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An-Nisa[4]: 48)
Mereka yang bertempat pada pemahaman ini tidak mampu menterjemahkan dengan pola penjabaran yang didasari makna-makna harfiyah kalimat tersebut, sehingga penjelasan tiadanya ampunan sama sekali bagi hamba yang menyekutukan-Nya ini menggugurkan penafsiran makna ‘Iyyaaka’ yang sesungguhnya.
Alangkah naifnya jika kita hanya mengakui bahwa hanya Allah saja sebagai tempat kita meminta dan taat. Bukankah kita senantiasa meminta kepada manusia lainnya. Dan tidak perlukah kita mentaati perintah orang tua atau Guru kita? Kita harus kritis dengan ayat ini yang bisa menafikan bentuk pemahaman yang sesungguhnya. Ayat lainnya jika dipertemukan akan berbenturan misi dan fungsi. Di satu sisi kata ‘hanya’ membatasi bentuk ketergantungan hanya kepada Allah dengan tidak memberi ruang kepada segmen lainnya, sedang di ayat lainnya mengandung perintah untuk mentaati makhluk-Nya.
Kata ‘Iyyaaka’ mengandung makna etimologis ‘akan Engkau’ yang berarti ada rentang perjalanan yang harus dicapai. Tidak bisa dituju langsung dengan menggunakan makna ‘hanya Engkau’. Ada pengurang makna yang besar sekali dalam hal ini.
Pemahaman kaku yang menggiring orang ‘enggan menoleh’ kepada makna harfiyah ayat ini menyebabkan ganjalan bagi mereka untuk memasuki kepada pintu pembahasan tawasul atau rabithah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan mendekatkan diri kepadaNya dan bermujahadahlah di jalanNya, semoga engkau termasuk orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Maidah[5]: 35)
Melalui ayat ini Allah hendak menyampaikan pesan-pesan Manajemen atau Birokrasi Ilahiyyah, yang harus dipahami oleh setiap manusia yang menghargai adab atau etika dalam beribadah kepada tatanan Kerajaan langit-Nya. Berkenaan masalah Manajemen Ilahiyah ini Insya Allah kita akan bahas pada materi yang khusus.
Umat Islam sejak 14 abad ditinggalkan masa kepemimpinan Nabi SAW telah membentuk sendiri golongan-nya masing-masing (hal ini telah diprediksi oleh Nabi SAW bahwa umat beliau di akhir zaman berpecah belah), sehingga kenyataan ini menyulitkan banyak pemerhati keislaman bahwa manakah di antara golongan-golongan itu yang terlebih benar, baik kemurnian ajaran aqidah atau pengamalan dalam peribadatannya. Usaha atau Ijtihad apapun yang dikerahkan para Ulama maupun Mufassirin belum mampu memonitor dengan pasti mengenai masalah ini.
Dampak yang sejalan dengan kenyataan itu, menimbulkan banyak versi pemahaman atau pengamalan dalam Islam, termasuk bentuk-bentuk cara memahami atau menafsirkan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi SAW.
Selanjutnya di antara umat dan tokoh Islam yang berada di luar keberpihakan dengan ilmu Tasawuf kebanyakan bersikap kaku atau sempit dalam memahami Islam yang bersifat luas/eksternal dan eternal/berkesinambungan. Hal ini menyebabkan kondisi sekarang ini terjadi kekacauan dan perselisihan yang tidak henti di antara mereka yang tidak menyadari kesalahan di antara mereka. Apalagi di zaman globalisasi sekarang ini transformasi berita yang positif dan negatif dengan teknis propagandanya masing-masing, kenyataannya sudah tidak seimbang. Propaganda keburukan yang memicu kejahatan dalam kehidupan ini lebih dominan daripada propaganda kebaikan.
Di kalangan Ulama yang menekankan integritas keilmuan/keahliannya dalam menghafal dan mengkaji teks-teks dasar agama zhahir, sering menangguhkan atau tidak memandang penafsiran atau ijtihad Ulama kaum Shufi. Padahal kaum Shufi yang mereka tuding sebagai orang-orang yang tersesat, adalah orang-orang yang berusaha zuhud, wara’ dalam aqidah maupun ibadahnya, mereka merasa takut ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT, bahkan merekalah yang mendapatkan bimbingan Allah dan Rasul-Nya hingga hari kiamat.
Al-Quran dan Al-Hadits itu sepenuhnya akan senantiasa memberikan bimbingan kepada umat di setiap zaman. Di dalamnya akan membuahi hikmah-hikmah sebagai solusi umat, melalui para Mursyid. Mursyid yang dimaksud bukanlah pembimbing yang tidak jelas asal-usulnya, melainkan harus memiliki darah/nasab dari Rasulullah. Dan inipun tidak cukup, karena tidak semua nasab masuk ke dalam kategori yang layak sebagai pemimpin. Bahkan mereka betul-betul mendapatkan kesaksian/mandat secara estafet dalam thariqat-nya, serta prilakunya senantiasa memperlihatkan Uswatun Hasanah, arif dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan.
Allah berfirman dalam Al-Quran:
“Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (QS. Fathir[35]: 32)
Jelas di dalam ayat ini Allah menegaskan ‘Kami pilih di antara hamba-hamba Kami’, yakni orang-orang pilihan Allah yang diwariskan pengetahuan tentang agama ini. Dan ditegaskan lagi:
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (Khalifah) mereka di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu perbuat”. (QS. Yunus[10]: 14)
“Dan bagi tiap-tiap kaum itu ada orang memberi petunjuk” (QS. Ar-Ra’d[13]: 7)
“Di setiap umat itu mempunyai utusan (Allah)” (QS. Yunus[10]: 47)
Berdasarkan penjabaran ayat-ayat tersebut, maka ijtihad para Mursyid/para pengganti Rasul lebih utama untuk dijadikan rujukan dalam memberikan solusi atau jalan kemudahan kepada umat. Dan tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad untuk memberikan solusi kepada umat di masanya. Keabsahan ijtihad itu sendiri didasari firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Ar-Ra’d[13]: 39)
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Baqarah[2]: 269)
Di kalangan penganut tasawuf tetap meyakini bahwa bimbingan Rasulullah kepada umatnya tidak terhenti dengan wafatnya beliau SAW. Hal ini dilegitimasi oleh ayat Al-Quran yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 154)
Dalam ayat lain dikatakan:“Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rizki”. (QS. Ali Imran[3]: 169)
Demikianlah landasan-landasan pengetahuan bertawasul dan rabithah.
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

Mursyid itu SATU.


Pada hakikatnya Guru Mursyid itu SATU, karena memang “isi” nya adalah sama yaitu Kalimah Allah Yang Maha Esa. Setiap Guru Mursyid membawa kebenaran dari Rasulullah SAW, menyebarkan Tauhid yang murni agar manusia tidak hanyut dalam kemusyrikan, inilah inti utama dakwah dari Guru Mursyid.
Saya tidak pernah menulis nama Guru dalam setiap tulisan dan hanya menyingkat dengan “Guru Sufi” karena saya ingin sahabat semua menganggap Guru saya adalah guru anda juga dan Guru anda adalah Guru saya juga, kita menyebut Beliau sebagai Guru Sufi. Kalau kebetulan sifat-sifat Guru Sufi yang saya ceritakan mendekati dengan Guru anda, bisa jadi kita satu Guru dan kalaupun secara fisik Guru kita berbeda tapi pada hakikatnya adalah sama karena karena isi dada dari Guru Mursyid adalah Nur Allah.
Seorang murid harus fokus kepada Gurunya agar bisa mendapat pelajaran-pelajaran hakikat yang berharga, mendapat kelimpahan ilmu yang menuntun murid kepada kebenaran. Walaupun pada akhirnya tujuan dari berguru bukanlah mencari ilmu, mencari kehebatan atau kekeramatan, tujuan semata hanyalah mencari Ridho-Nya.
Suatu hari saya menceritakan mimpi kepada Guru saya. Dalam mimpi tersebut Guru dari Guru saya berpesan bahwa segala ilmu telah ditumpahkan kepada Guru saya dan Guru saya adalah gudang segala ilmu. Ketika saya selesai cerita, Guru saya berkata, “ Bagus mimpimu itu, dan satu hal yang harus kau ingat bahwa berguru itu bukan untuk mencari ilmu, tapi mencari Tilik kasih-Nya ”.
Saya bertanya, “ Apa itu tilik kasih-Nya itu Guru? ”
“ Kasih sayang dan Rahmat Allah yang tercurahkan lewat Seorang Guru, itulah bekal yang hakiki dan paling berharga bagi seorang murid ” jawab Guru.
“ Kamu tahu kenapa Guru saya mengatakan semua ilmu ada pada Gurumu ini? ”
“ Tidak tahu Guru ”.
“ Karena selama saya berguru sampai Beliau berlindung kehadirat Allah, saya tidak pernah mencari ilmu, tidak pernah mengharapkan harta dan tidak pernah mengharapkan kekeramatan, yang saya inginkan hanyalah Guru semata ” Kata Guru.
Kemudian Beliau melanjutkan, “ Kalau Guru sakit, saya berharap Tuhan mau memindahkan penyakit tersebut kepada saya, biarlah saya yang sakit dan Guru tetap sehat. Kalau Guru susah saya berdoa agar Tuhan memindahkan kesusahan tersebut kepada saya, biarlah saya yang menanggung kesusahan dan Guru tetap bahagia ”. Saya melihat Guru menangis ketika mengucapkan kata-kata tersebut.
“ Para Sahabat Nabi itu orang-orang pilihan, mereka mengorbankan apapun untuk Nabi bahkan nyawapun diberikan andai itu diperlukan ” kata Guru.
“ Maka…dalam berguru kamu jangan pernah mencari ilmu, mengharapkan kehebatan, kalau kamu benar-benar mencintai Gurumu maka Allah akan mencintai kamu dan seluruh alam akan mencintaimu ”.
Nasehat-nasehat yang sudah lama sekali saya dengar dari Guru rasanya seperti baru saja Beliau ucapkan, hangatnya masih terasa. Begitulah seorang Guru Mursyid salah satu ciri khas nya adalah apabila memberikan pengajaran akan berbekas di hati murid dan murid akan berubah menjadi baik.
Seorang Guru pasti memberikan pelajaran yang baik, tidak terkecuali Guru saya dan Guru anda. Para Guru adalah orang-orang yang dikirim oleh Allah SWT untuk meneruskan dakwah Rasulullah saw menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh Alam. Tentu setiap Guru mempunyai kapasitas yang berbeda antara satu sama lain. Ada Guru yang mempunyai murid banyak ada yang sedikit, ada yang khusus untuk satu daerah ada yang tersebar di seluruh dunia.
Ibarat matahari, dia adalah tunggal, tapi bisa dilhat dan dirasakan diseluruh dunia sesuai dengan kapasitas masing-masing. Ada yang melihat matahari lewat atap rumah yang bocor berbentuk persegi empat, maka matahari itu berbentuk per segi empat, ada yang melihat dari lubang segitiga maka cahaya matahari itu berbentuk segitiga juga, sesuai dengan wadah yang dilewatinya. Begitu juga dengan Cahaya Allah, dia akan melewati wadah yang berbeda untuk bisa menerangi seluruh alam tapi pada hakikatnya adalah satu.
Ibarat listrik, untuk bisa menerima arus listrik harus melewati kabel, dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil bahkan ada yang sangat kecil, tapi semuanya mempunyai isi yang sama yaitu listrik. Kabel besar akan bisa menyambung dan membagi listrik kepada kabel kecil, dan dengan bantuan lampu bisa menerangi jumlah yang banyak sedangkan kabel kecil hanya bisa dipakai beberapa bola lampu saja. Walau pun kawatnya banyak, kebalnya ribuan kilometer tapi tidak menghilangkan isi nya selagi kabel terebut masih tersambung dengan pembangkit listrik. Begitulah hakikat dari Mursyid yang wadahnya berbeda tapi isinya sama, karena itu hakikat dari Mursyid adalah SATU.
Guru Mursyid yang mana paling hebat? Pertanyaan itu tidak akan pernah bisa terjawab, tergantung kepada siapa anda bertanya. Para murid akan menganggap Gurunya paling hebat. Dari pada sibuk mempertandingkan Guru Mursyid lebih baik kita bertanya dalam hati, sudahkah kita menjadi murid yang baik? Bukankah Guru Mursyid itu adalah murid yang shiddiq dari Gurunya? Lalu kenapa kita fokus kepada pertandingan Guru Mursyid yang bukan wilayah kita, kenapa kita tidak fokus bagaimana menjadi murid yang baik saja. Kalau engkau mengatakan Guru mu hebat maka engkau harus bisa membuktikan dengan kehebatan dirimu agar orang lain bisa yakin. Tapi kalau engkau mengatakan Guru mu hebat disaat yang sama engkau rendahkan guru orang lain maka itu sama dengan engkau merendahkan guru mu sendiri.
Dari pada mempermasalahkan siapa Guru Mursyid yang hebat dan itu adalah hak perogatif Allah, Dia yang mengetahui siapa Wali-Nya yang utama, lebih baik kita belajar menjadi murid yang baik dan menjadi hamba yang baik. Seperti ucapan dari Syekh Muda Wali di awal tulisan ini, “ Guru mu itu adalah Guruku juga ” sangat bagus dijadikan dasar untuk menguatkan persaudaraan diantara sesame pengamal tarekat khususnya dan ummat Islam pada umumnya. Bagi saya Guru anda adalah Guru saya juga karena Guru Sejati itu bukanlah manusia, Guru Sejati adalah Allah Ta’ala yang menjadi Maha Guru dari Segala Maha Guru.
Mengakhiri tulisan ini, kita semua berharap di bulan penuh berkah ini Allah berkenan melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, menerangi hati kita, menjadikan kita murid yang baik da Semoga Allah senantiasa menuntun kita kepada jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin ya Rabbal ‘Alamin

SUDAH KENAL ALLAH? -


Diperingkat Pengajian :-
"Kalau kita ini benar2 mahu mengikut sunah Rasul, sewajarnya kita mesti bertemu ALLAH dalam keadaan nyata seperti Muhammad ketika meniti sidratul muntaha. Musa sewaktu berada di lembah Thuwa dan Ibrahim. Inilah sunnah yg sebenar yaitu mengenali hakikat penciptaan kita dimuka bumi Allah selaku KHALIFAH FIL ARDH.
Bukan (hanya) kita akan jumpa Allah bila hari kiamat nanti, sedangkan Allah selalu saja bersama kita (baik dalam keadaan apa pun). Rujuk surah Albaqarah ayat 186. Hanya kita sahaja yg tidak bersama dgn Al-Rahman.
Al albaqarah : 186. Firman Allah: "sesungguhnya aku ( Allah) sentiasa bersama mereka"
"Barangsiapa Buta di dunia maka diakhirat ianya Buta dan bertambah sesat lagi"
Di dunia pun seorang arif kena menyaksikan Allah. Kalau Tak dapat menyaksikan Allah maka belum di katakan kenal.
Hijab yang paling terbesar apabila kita merasakan diri kita dah kenal akan ALLAH, tetapi pada hakikatnya kita masih belum kenal ALLAH, kerana kita duduk dalam sangkaan semata2. Hijab ini dikatakan paling besar kerana kita tidak akan mengubah paradigma ilmu dan kefahaman kita kerana kita rasa kita sudah cukup mengenali ALLAH.
So kena periksa la balik samada kita ni dah kenal Allah ke tidak. Kalau sekadar syok sendiri dan rasa sudah kenal Allah, itu namanya SYOK SENDIRI. Itu yang selalu claim dah kenal Allah kenalilah diri anda sehabis mungkin, maka kalian akan mengenali Allah dan baru kalilan mengerti Kesaksian ESA nya Allah itu. Amin.
__________________________________
Soalan :
Apa kata kalau kita bincangkan isu yg ayahnda tinggalkan....
Bagaimanakah yg dikatakan SUDAH KENAL ALLAH.?
__________________________________
Salam sejahtera, salam kasih dan sayang dari sy.
Atas permintaan peribadi yg ditujukan.. sy sekadar berkalam bagi renungan dn mencari kefahaman, pengetauhan untuk diri sendiri.
Bagaimanakah yang dikatakan Sudah Mengenal Allah.?
Airnya manis buah Kelapa..
Buahnya diambil mengunakan Galah..
Tangan di hulur harapkan pahala..
Sudah kah kita mengenal Allah..
MENCARI KENAL.
Dalam mengenal Allah itu, tidak lah terikat, tertakluk kepada hanya satu kaedah sahaja. Kerana itu kita perlu kepada adanya ilmu dan guru bagi mencari dan mencapai tujuan.
Setiap orang mempunyai jalan dan cerita tersendiri bagi menuju Kenal kepada Haqiqat Pencipta (Allah.)
Ada org mengenal Allah dengan hanya membaca..
Ada org yang mengenal dengan mengkuburkan diri jasad nya yg hidup ke liang kubur.
Ada yg mengenal dengan ditimpa berbagai2 musibah dan masalah.
Ada yang mengenal dgn berguru dengan bermacam2 guru.
Ada yang mengenal dgn hanya tidur.
Ada yang mengenal Allah dengan mimpi2..
Ada bermacam cara lagi bagi seseorg dapat mengenal akan haqiqat penciptanya Allah.
Kerana itu, bagi orang yang faham dan tidak terikat dengan kepompong fikirannya semata tidak menyalahkan apa sekalipun kefahaman dan pegangaan seseorang..
Kerana apa jua cara dan kaedah itu hanya jalan bagi menuju kepada satu hal tujuan iaitu menuju kepada Allah.
Allah menjadikan sesuatu itu berpasang2an...
Ada zahir ada batin
Ada jahil ada yang pandai
Ada bahgia ada derita
Ada syariat ada haqiqat.
Alquran juga membawa maksud
tersurat dan tersirat.
Ramai orang kebanyakan terus menjatuhkan hukuman ini salah! ini sesat!
Dan tidak ramai yang mencari sebab sebelum menjatuhkan hukum. Andai pun yang mencari sebab.. ramai yg mencari sebab untuk menghukum.
Memang hukuman itu perlu bagi yang berbuat salah, tetapi sebelum menjatuhkan hukum, adalah baik kita mencari sebab. Harus mencari sebab dahulu daripada memandang dan menjatuhkan hukum.
Kesimpulannya.. ada ketikanya, betul bagi seseorang itu mungkin salah bagi seseorang yang lain. Ada ketikanya, benar di satu pihak, dan salah bagi pihak lain. KENAL bagi saya, mungkin Tidak Kenal bagi tuan.
HAQIQAT PENCIPTA.
Sebelum Allah itu bernama Allah, atau Zat yang di sembah ini menzahirkan DiriNYA dengan panggilan Allah.
Allah itu tidak mempunyai nama, Allah itu tidak dapat di rasa, Allah tidak dapat disentuh, Allah tidak dapat difikirkan, Allah tidak dapat dikaji dan Allah tidak dapat diumpamakan dengan apa sekalipun.
Perkataan "Zat" itu juga bersalahan. Hanya bagi merujuk kepada DiriNya yg dinamakan Allah, kerana Allah itu TIADA ZAT.
Tiada zat membawa maksud.. Allah bukan berasal dari sesuatu.. tetapi sebaliknya setiap sesuatu itu berasal dari Allah.
Allah itu bukan berjirim, bukan berjisim, termasuk lah bukan Zat.
Zat itu hanya nama bagi memudah faham untuk menunjukkan Maha Berkuasa, Maha Hebatnya Allah.
Allah (Haqiqat Pencipta) ini lah yang di panggil AHAD/ESA. Ahad itu adalah nama bagi menunjukkan tentang Ahadiah @ Tunggal yg Maha Esa.
Allah itu maha suci, Maha tinggi, Maha Tunggal. Tidak ada segala sesuatu pun yg dapat mengenali diriNya melainkan DiriNya sendiri.
Di keranakan Allah itu tidak bisa difikir, dilihat, disentuh.. maka mustahil bagi makluk itu mengenali diriNya. Melainkan hanya diriNya sendiri yg dapat Mengenal Haqiqat DiriNya.
Allah itu nama, nama yg tidak lain dan tidak bukan menyatakan perihal Haqiqat Pencipta.
Bilamana menyebut ALLAH tidak ada maksud lain selain merujuk kepada Haqiqat Pencipta dan Haqiqat yg di sembah.
Bilamana Allah itu tidak bernama bagaimanakah makluk boleh mengenalinya?
Bagaimana makhluk bisa menyembah, menyebut, menyatakan, fikirkan perihal Allah.
Jika tiada nama, bagaimana makluk bisa membicarakan perihal Allah. Tanpa nama, Allah tidak dapat dikenali dan hanya berada di alam AhadiahNya yg kosong sunyi sepi melainkn diriNya sendiri.
MANUSIA (Makluk)
Untuk apa makluk dijadikan, Apakah tugas makluk? Untuk menyatakan Allah, Untuk beribadah kepada Allah?
Bagaimana untuk menyatakan dan ibadah kepada Allah?
Nyata dan ibadah itu membawa kepada berbagai maksud diantaranya.. Taat kepada Allah, Mematuhi dan melaksanakan segala perintahNya.. Meninggalkan segala larangaNya.
Menundukkan, merendahkan, menghilangkan dan melenyapkan diri makhluk hingga tidak lagi kelihatan segala sesuatu dari segi Zahir mahupun Batin melainkan Allah semata.
Bagaimana caranya untuk melenyapkan diri makluk?
Dengan membuang segala sesuatu yang bersifat makluk. Matikan diri daripada segala sesuatu bersifat makluk. Buang segala NAMA yang bernama, buang segala sifat yang berSIFAT, buang sgala AF'AL yang membuat, buang sgala zat yang berZAT.
Bila sgala sifat sifat makluk itu mati.. maka nyatalah sifat Allah.
Bilamana segalanya di pulangkan dan di kembalikan kepada pemilik asalnya Allah. Maka..
Allah itulah Asma bagi segala NAMA, Allah itu lah Sifat bagi segala SIFAT. Allah itu lah perbuatan segala AF'AL Allah itulah ZAT yang mempunyai ZAT.
Allah itu "mengingikan dirinya untuk di kenali. " kerana itu Allah memperkenalkan diriNya melalui penzahiran ILMUNya..
Ilmu Allah lengkap dengan segala NAMA, SIFAT, AF'AL dan ZAT.
Bila telah Nyata Allah, maka rendah lah diri, tertunduk lah diri. Yang Maha Agung hanya Allah, yg Maha Wujud hanya Allah.
Inilah tujuan menyatakan Allah dan beribadah. Inilah ibadah yang tidak pernah putus (Solat Daim). Sesuatu perhubungan yang sentiasa tidak putus sepanjang waktu.
PERHUBUNGAN
Perhubungan membawa maksud kepada sesuatu perhubungan antara Makluk dan Allah. Menghubungkan antara hati dengan Allah.
Hati itu ROH. Maka yang hendak dihubungkan adalah Roh dengan Allah.
Bagaimana dan siapa yang menghubungkan?
Allah itu sendiri menghubungkan melalui perantara ROH.
ALLAH menyatakan diriNya melalui Roh. Roh menyatakan dirinya melalui makluk (manusia) dan manusia menyatakan dirinya melalui Jasad. Jasad menyatakan dirinya melalui sel@zarah, zarah menyatakan dirinya melalui nur cahaya (cahaya batin) batin itu kembali kepada Diri Allah.
Perhubungan itu juga boleh membawa maksud kepada menyaksikan, bertemu, berbicara.
Bertemu, berbicara, menyaksikan itu memerlukan antara dua hala. Berhubung dengan satu hala tidak di panggil perhubungan. Apa erti bertemu jika tidak ada pertemuan.. Apa makna Saksi jika tidak kenal saksi dan tidak pernah menyaksikan.
Bilamana ada perhubungan antara dua hala.. bertemu berinteraksi antara Roh dengan Allah maka Nyatalah Penyaksian. Tiada segala sesusatu pun melainkan hanya Allah.. Maka ini lah perhubungan.. Nyatakan lah Allah.
Untuk sampai kepada perhubungan dua hala, perlu lah kepada mengenal. "MENGENAL DIRI"
Ariffbillah menyebut "Awalludin Makrifattullah" Awal beragama itu Mengenal Allah.
Bagaimana untuk mengenal Allah.?
Mengenal Allah perlu lah "Mengenal Diri.." mengenal diri perlu lah mengenal "ROH" mengenal roh perlulah mengenal "Jasad" mengenal jasad perlu lah kepada mencari Ilmu. Untuk mencari ilmu perlulah kpd pencarian dan belajar.
Kerana dengan Ilmu kita mampu, bisa mengenal Allah. Kerana ilmu itu adalah sifat Allah.
PENZAHIRAN.
Segala sesuatu itu kenyataan Allah dari penzahiran Roh yang bersumberkan Allah.
Penzahiran Allah itu di nyatakan ke atas Roh.. dan penzahiran Roh itu di nyatakan kepada makluk (manusia).
Bagi menampakkan, memberitahu, mengambarkan bahawa manusia itu tidak mampu melakukan segala sesuatu apa pun selain dariNya Allah walaupun untuk beribadah sekali pun.
Manusia itu memerlukan Roh dari Allah untuk membolehkan manusia itu menzahirkan, menyatakan segala perihal makluk.
Manusia itu memerlukan Allah untuk beribadah, manusia itu memerlukan Allah untk Berkata2, manusia itu memerlukan Allah untuk pendengaran, manusia memerlukan tangan bagi kudratnya, manusia itu memerlukan mata untk penglihatan dan sebagainya.
Jasad itu Roh. Tanpa Roh mati lah jasad.
Segala penzahiran Allah melalui Roh dan melalui jasad itu juga bagi menyatakan akan hebatnya Allah.. memberitahu bahawa Allah itu Esa, Allah itu Wujud, Allah itu Maha Berkuasa diatas segala sesuatu dan itu adalah kenyataan diriNya.
Rahman dan Rahimnya Allah itu telah menzahirkan diriNYA melalui perantara Roh bagi membolehkan manusia dan segala makluk ciptaanNya dapat merasakan, melihat akn kenyataanNya.
Walaupun Allah menzahirkan akan DiriNYA melalui roh dan manusia, namum haqiqat diri manusia itu sendiri masih tetap tidak ada.
Diri yang bertubuh dan berjasad yang kelihatan melalui penglihatan mata itu sebenarnya tidak ada dan tidak nyata.
Jasad yg bernama Ahv ini juga tdak ada.
Bila di tunjuk pada badan.. itu bukan bernama Ahv, itu merujuk kepada badan milik Ahv.
Bilamana di pegang pd pipi.. itu juga bukan Ahv, itu adalah pipi milik Ahv.
Tunjuk kemana pun.. kepala, tangan, kaki, dada, tulang, daging tetap tidak menunjukkan Ahv. Ia milik pada jasad yg bernama Ahv.
Ternyata diri yg bernama Ahv itu tidak ada. Yg ada hanyalah Nama. Nama sekadar untuk menunjukkan jasad yg bernama Ahv itu agar boleh mengenal akan jasad.
Bila di renung2 lagi.. badan, pipi, tangan, kaki, kepala dll Ahv juga tiada. Prinsip yang sama bila di cari, ianya tidak ada.
Tunjuk tangan nampak Kulit.. tunjuk tangan nampak jari.. tunjuk tangan nampak bulu. Dibelah tangan nampak daging.. dibelah daging nampak tulang.. tp tangan tdk juga kelihatan. Yg ada hanya nama yg bernama tangan. Sebegitulah Kiasannya terhadap Allah.
Umpama Cahaya dengan mentari, Api dengan panas, garam dengan masin. Allah cahaya langit dan bumi.. Nampak ada tapi tiada. Allah itu berbeza dari maklukNya sehingga ia tidak boleh dinampak walaupun kelihatan Ada. Tidak dapat dirasa walaupun dapat merasakannya. Allah itu beyond.. melangkaui segala sesuatu.
HAQIQAT MENGENAL.
Bilamana telah mengenal ilmu Mengenal Diri, maka mengenal la ia akan Haqiqat Pencipta dan mengenal akan haqiqat kehidupan.
Oleh kerana Allah menginginkan dirinya dikenali, maka Allah memperkenalkan diriNya melalui Nur @ Cahaya.
Nur ini juga dikenali dgn berbagai nama "Nur Muhammad" Ahmad, Roh Kudus, Haqiqat Muhammad, Haqiqat Syahada dll.
Dengan Nur Muhammad ini lah yang menampakkan kepada makhluk akan penzahiran Allah.
Dengan Nur Muhammad lah seluruh seru sekalian Alam, makhluk dapat mengenali haqiqat diriNya melalui penzahiran Nur Ilmunya.
Muhammad inilah yang pertama2 Nabi Adam melihatNya.
Muhammad ini lah yg sebenar2 diri yang mengenal.
Muhammad inilah Haqiqat "Amanah"(Dipercayai). Diri yang tidak pernah mengkhianati DIRInya sendiri. Dirinya sendiri yg tahu dan percaya terhadap segala sesuatu.
Muhammad inilah Haqiqat "Sidiq" (Benar). Yang tidak pernah mendustakan diriNya. Hanya diriNya sendiri yg tahu akan kebenaran. Kebenaran segala sesuatu.
Muhammad inilah Haqiqat "Fatonah"(Bijaksana). Hanya diriNya sendiri yg tahu akan kebijaksanana terhadap sesuatu. Yang diriNya tidak Bodoh.
Muhammad ini lah Haqiqat "Tabligh" (Menyampaikan). Yang tidak menyembunyikan segala sesuatu dari diriNya. Hanya diriNya sendiri ygvtahu akan haqiqat apa yg ingin disampaikan.
Muhammad inilah yg menzahirkan akan Haqiqat Pencipta yakni Allah yang Maha Esa/ Ahad.
Siapakah Muhammad, Roh Kudus, Makhluk, Jasad, Aku , Engkau, Kita, Kamu, Jin, Syaitan, Alim, Jahil, Quran, dll.
ORANGG KATA MENGENAL ALLAH ITU HARUS LAH MENGENAL DIRI. MENGENAL DIRI ITU ADALAH "MATI SEBELUM MATI.. " KLU TAK MATI.. ITU NAMANYA SYOK SENDIRI.
Mati Sebelum mati itu cuma istilah yg diguna pakai oleh org2 yg belajar ttg ilmu Makrifat. (Tok Kenali)
Tetapi maksud Mati Sebelum Mati yg sebenar itu., bila mana Diri Jasad itu mampu di Matikan/di Fanakan/di Leburkan.
Lebur juga bukan bermaksud di hancurkan Diri Jasad itu.. di Kubur atau di blend Jasad itu Hidup2.. sampai lebur dan Mati. Jasad itu tetap ada seperti asalnya.
Ia cuma kiasan yang bermaksud Mati kan Sikap ke "Akuan Diri " agar dapat bisa Melihat Haqiqat siapa yg sebenar berkuasa di dlm tubuh Jasad itu. Bahawasanya yg berkuasa di dalam Diri Jasad itu adalah Roh.
Bilamana Roh itu lah punca Jasad tubuh itu bisa Hidup dan melakukan hidup harian.
Terlihatlah akan Tubuh Jasad itu hanya bergantung pd Roh untk Hidup dan melakukan kehidupan harian.
Ini menandakan bahawasanya Jasad itu hanya Patung/Mayat/Kaku tanpa adanya Roh.
(Ini lah yg di pangil Mati sebelum Mati) Kerena diri Jasad belum lagi dikebumikan.. blm jadi arwah.
Tetapi bilamana Manusia itu tidak mencari ilmu untk mngenal akan Tuhannya, di situlah terbit "Keakuan Diri"
Merasa dirinya(jasad) yg Hidup.. dirinya yg Berkuasa.. tanpa dia sedar bahawa diri itu lah yg Tidak Mengenal akan Roh lah yg sebenar benar yg menghidupkan dia.. yg mengerakkan dia.. yg berkekendak dll.
Sebagai Contoh:
Bilamana merasa Diri Jasad itu Ada,
Aku yg berkuasa.. Aku yg Kuat, Aku yg melihat, Aku yg Mendengar, Aku yg Kaya, Cantik, aku yg memilih.. segala2nya Aku. (Mengaku Memiliki Semuanya Miliknya)
Maka itulah yg dianggap Tidak Mati. (Diri yg tidak mengenal Haqiqat Diri yg Sebenar Diri@ Roh)
Sedangkan.. Tubuh Jasad itu tdk mampu pun Berkuasa, Kuat, Mendengar, Melihat, Berkehendak dll andai tubuh jasad itu sendiri TIDAK disertai adanya ROH.
Jika tidak adanya Roh maka Ia sama lah seumpama jasad itu menjadi Mayat(mati) yg lengkap anggota tetapi tidak punya gerak @Tidak Hidup.. ia ibarat Mati/Kaku/Keras.
Jelas lah bahawa diri jasad itu Mati tanpa Roh. Roh lah yang Sebenar Benar diri yg berkuasa.
Tubuh Jasad hanya makluk untk menzahirkan/ memperkenalkan akan adanya Roh.
Andai diri jasad itu TIDAK ADA/TIDAK WUJUD.. bagaimanakah ROH itu bisa dikenal.. bagaimanakah rupa paras Roh.. tubuh Roh.. bentuk roh..
Roh itu sesuatu perkara hal yg berkaitan ttg Batin (Ghaib) yg tidak nampak.
Bagai mana nak mengenal sesuatu yg tidak nampak? Sesuatu yg Batin?
Adakah bisa yg Zahir ini mengenal yg Batin.. Yg Batin hanya dpt di kenal dgn Batin.
Bagai mana Batin (Roh) nak di kenal.. maka tercipta Zahir untk mempekenalkan adanya Batin.
Makanya wujud Diri Jasad /Makluk bagi menzahirkan adanya ROH.
Bilamana sudah memahami Haqiqat sebenar di dalam Tubuh Jasad itu ada suatu kuasa yg menzahirkan segala2nya ttg Hidup Jasad iaitu KUASA ROH.
Maka faham lah bahawa jasad itu sbnrnya Kaku, Mati TANPA ada haqiqat Roh. (Mati Sebelum Mati)
Jasad itu tetap ada tetapi barang Mati.. Tanpa Roh.
Maka Roh lah yg harus di pandang/di lihat akan kenyataanNya yg sebenar.
Tubuh hanya mengikut apa yg Roh itu berkehendak.
Ini lah Mati Sebelum Mati yg menjadi ISTILAH bagi mempelajari ilmu Makrifat (Tok Kenali).
Setelah sedar, memgetauhi bahawa yang sebenar jasad itu mati, dan yg hendak di kenal itu adalah Roh..
Maka belajar lah akan Hal Roh yg cuma sedikit..
Yang ada jua segelintir memanggil ianya sebagai ZAT. ZAT atau ROH hanya berlainan NAMA tetapi pada maksud yg Sama.
Bila mana org yg suda mengenal Roh ia secara tdk langsung telah mengenal Allah..
Kenal Garam.. Masin dtg sendiri.
Kenal Gula.. Manis dtg sendiri
Bila mana jasadnya telah mati. Jasad hanya menyerahkan sgalanya kepada kerja Roh@ Allah.
Bila mengenal Allah..
"Rahmat Mendahului Kemungkaran.. "
Jelas terzahir akan kelakuan Jasad itu.. kerana Allah itu Rahmatan Alamin.. Allah itu Rahman & Rahim..
Amiin2, semoga Allah memberi faham kpf sesiapa yg di kehendakiNya.

Senin, 29 Mei 2017

41 keutamaan dan keuntungan dari bershalawat kepada Nabi Saw.

Menurut Ahmad bin ‘Ujaibah dalam Haqaa’iqul-Anwar, setidaknya ada 41 keutamaan dan keuntungan dari bershalawat kepada Nabi Saw.
1. Menaati perintah Allah untuk bershalawat.
2. Meneladani Allah dalam bershalawat.
3. Meneladani para malaikat Allah dalam bershalawat.
4. Memperoleh sepuluh shalawat dari Allah untuk satu kali bershalawat pada Nabi Saw.
5. Meninggikan sepuluh derajat.
6. Mendapatkan sepuluh kebaikan.
7. Menghaspus sepuluh keburukan.
8. Memudahkan terkabulnya do’a.
9. menjadi jaminan syafaat Nabi Saw.
10. Menjadi factor diampuninya dosa dan di tutupnya aib.
11. Menjadi sebab tercukupinya kepentingan hamba.
12. Menjadi perekat kedekatan kepada Nabi Saw.
13. Mengantarkan kepada maqam kejujuran.
14. Membantu pemenuhan kebutuhan.
15. Menjadi sebab curahan rahmat Allah dan permohonan do’a para malaikat.
16. Menyucikan pembacanya.
17. Pemberi kabar gembira tentang surga sebelum meninggal dunia.
18. Menyelamatkan dari masa-masa berat di akhirat.
19. Mendapatkan balasan shalawat dan salam dari Nabi Saw.
20. Memperkuat ingatan atau membuat ingat apa yang di lupakan pembacanya.
21. Mewangikan majelis atau memperindah pertemuan dan menghindarkan kita dari menyesal karena merugi pada hari kiamat.
22. Menghilangkan kefakiran.
23. Menghilangkan sifat kikir.
24. Menimbulkan kecintaan orang dan mengantarkan kepada dengan Rasul dalam mimpi.
25. Menjadi teman perjalanan menuju surga.
26. menyelamatkan dari derita kekurangan karena sepinya shalawat dalam suatu majelis.
27. Penyempurna pembicaraan setelah pujian kepada Allah Swt.
28. Menjadi sebab suksesnya hamba meniti shirat.
29. Membebaskan hamba dari mengentengkan shalawat nabi.
30. Menjadi sebab turunnya pujian baik dari Allah diantara langit dan bumi.
31. Meraih kasih sayang Allah.
32. Menjadi sumber keberkahan hidup.
33. Mengukuhkan keimanan dengan kian karibnya dengan Nabi Saw.
34. Meraih cinta Rasulullah dan menjadi kekasihnya.
35. Menjadi sumber hidayah dan menghidupkan hati.
36. Memperbaiki perangai pembacanya.
37. memperkukuh pijakan hidup dan memperkuat sikap optimis.
38. Menunaikan shalawat sebagai hak Nabi dan mensyukuri ke hadirannya sebagai nikmat terbesar bagi kita.
39. Mangandung dzikir kepada Allah, mensyukuri dan mengenal nikmat-Nya.
40. Shalawat Nabi merupakan do’a bagi kita dan di perintah oleh Allah Swt. Jadi, bershalawat meningkatkan kualitas penghambaan kita.
41. Terbentuknya pribadi luhur Nabi dalam diri. Inilah keuntung terbesar dan mulia.
Saudaraku, memang tidak sederhana menyelami ke agungan shalawat Nabi. Karena setiap kata dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfer ruhani yang sangat dahsyat. Kedahsyatan itu, tentu, karena posisi Nabi Muhammad Saw, sebagai hamba Allah, Nabi-Nya, Rasul-Nya, Kekasih-Nya dan Cahaya-Nya. Dan, semesta raya ini di ciptakan dari Cahaya Muhammad. Maka setiap detak huruf dalam shalawat pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa.
“Shalawat adalah cahaya penerang sanubari, kekuatan bagi hati, ketenangan bagi jiwa, kesejukan bagi mata, wangi kasturi bagi mejelis pertemuan, kenikmatan bagi hidup, zakat bagi umur, keindahan bagi hari-hari, dan merupakan penghilang kesedihan dan kesusahan.Shalawat bisa mendatangkan kebahagiaan, kelapangan dada, kesempurnaan nikmat dan keagungan cahaya”.

Pagar yang Berwibawa


Ada seorang wahabi dari kota Riyadh, pembenci nomor wahid terhadap alMaghfur lahu abuya sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani, diperintahkan oleh tokoh-tokoh wahabi lainnya untuk membunuh abuya. Dengan pikirannya yang licik, ia berpura-pura mengikuti pelajaran alMaghfur lahu Abuya di kediamaan beliau di Rushaifah.
Demi melaksanakan tugas jahatnya itu, dengan tanpa ragu si wahabi langsung mengabulkan permintaan tokoh-tokoh seniornya itu. Terlebih setelah ia di iming-imingi dengan harta yang amat banyak dan tidak ada batasnya, asal ia dapat menunaikan tugasnya itu dengan sempurna.
Subhanallah, kisah ini hamper sama dengan cerita Baginda Rosulullah Shollahu ‘alaihi wasallam dengan orang-orang quraisy saat beliau hijrah ke Madinah.
Akhirnya, pada hari yang ditentukan, ia mendatangi kota Mekkah. Dan diwaktu alMaghfur lahu membuka pintu rumahnya untuk taklim, ia takut masuk ke rumah beliau seperti jama’ah yang lain meski niatnya tidak sama. Dan, subhanallah. Begitu si wahabi memasuki kediaman abuya dan melihat pagar rumah beliau, tiba-tiba berubahlah niatnya itu. Yang tadinya ia dating dengan amarah dan wajah penuh kebencian, tentu ia sudah menyelipkan senjata tajam di dalam pakaiannya, tiba-tiba hatinya berbalik dua ratus derajat. Rasa marah dan benci yang membuncah pada dirinya tiba-tiba luntur entah kemana. Padahal, itu masih belum bertemu dengan alMaghfur lau.
Dan setelah bertemu dengan beliau, si wahabi itu berubah delapan ratus derajat. Tiba-tiba, ia menangis tersedu-sedu sambil memeluk abuya. Ia berkata dengan sangat heran. “bagaimana orang-orang bias membenci dan memusuhi orang seperti ini? Seorang tokoh yang dihiasi dengan ilmu dan kesholehah dan ketaqwaan?” Akhirnya, si wahabai mengungkapkan penyesalan-nya yang mendalam seraya meminta maaf kepada beliau.

Siapakah hamba yang dekat dengan Tuhan


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sungguh celaka orang yang tidak berilmu.
Sungguh celaka orang yang beramal tanpa ilmu
Sungguh celaka orang yang berilmu tetapi tidak beramal
Sungguh celaka orang yang berilmu dan beramal tetapi tidak menjadikannya muslim yang berakhlak baik atau muslim yang ihsan.
Urutannya adalah ilmu, amal, akhlak (ihsan)
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah ta’ala. Sebaliknya seorang ahli ilmu (ulama) yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla semakin dekat sehingga meraih maqom (derajat) disisiNya dan dibuktikan dengan dapat menyaksikanNya dengan hati (ain bashiroh).
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Para ulama tasawuf atau kaum sufi mengatakan bahwa hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah, sampai karomah juga bisa menjadi hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi , Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Allah berfirman, Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya”. (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. Barang siapa menentang-Ku, maka Aku akan mengadzabnya.” (HR Muslim)
Seorang lelaki bertanya pada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Musllim yang bagaimana yang paling baik?” “Ketika orang lain tidak (terancam) disakiti oleh tangan dan lisannya” Jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda “Tiada lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Sayyidina Umar ra menasehatkan, “Jangan pernah tertipu oleh teriakan seseorang (dakwah bersuara / bernada keras). Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
Sayyidina Umar ra juga menasehatkan “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram / terlarang; dan akhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)“.
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28).

Makanan Roh


Roh -seperti tubuh-juga dapat berada dalam berbagai keadaan. Imam Ali kw berkata, ‘Sesungguhnya tubuh mengalami enam keadaan; sehat, sakit, mati, hidup, tidur, dan bangun. Demikian pula roh. Hidupnya adalah ilmunya, matinya adalah kebodohannya., sakitnya adalah keraguannya, dan sehatnya adalah keyakinannya, tidurnya adalah kelalaiannya, dan bangunnya ialah penjagaannya.’ (BiharAl-Anwar 61:40)
Seperti tubuh, roh pun memerlukan makanan. Mulla Shadra tidak menyebutnya makanan. Ia menyebutnya rezeki. Ia berkata, ‘Setiap yang hidup perlu rezeki, dan rezeki arwah adalah cahaya-cahaya ilahiah dan ilmu-ilmu rabbaniah.’ (Mafatih AI-Ghaib 545)
Untuk meningkatkan kualitas roh, supaya ia sehat dan kuat, kita perlu memberikan kepadanya cahaya-cahaya ilahiah dalam bentuk zikir, doa, dan ibadat-ibadat lainnya seperti salat, puasa, dan haji. Pada Bulan Ramadhan, kita berusaha menerangi roh kita dengan berbagai makanan rohani. Kita mandikan roh kita dengan proses pensucian batin, seperti istighfar, mengendalikan hawa nafsu, dan menjauhi kemaksiatan. Karena itu Nabi saw bersabda, ‘Bulan Ramadhan adalah bulan yang diwajibkan atas kamu puasanya dan disunnahkan bagimu bangun malamnya. Barangsiapa yang berpuasa dan melakukan salat malamnya dengan iman dan ikhlas, Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (Dalam riwayat lain) la akan keluar dari dosa-dosanya seperti ketika ia keluar dari perut ibunya.’
Kita menghidupkan roh dengan ilmu-ilmu rabbaniah. Inilah yang kita maksud dengan dimensi intelektual dari keberagamaan kita. Ada ilmu-ilmu yang membantu kita untuk memelihara kesehatan tubuh kita seperti ilmu gizi, kedokteran, ekologi, dan sebagainya. Di samping itu, ada ilmu-ilmu yang menolong kita untuk menyehatkan roh kita: ilmu-ilmu tentang Al-Quran dan Sunnah (syariat), ilmu-ilmu tentang cara mendekatkan diri kita kepada Allah (thariqat), dan ilmu-ilmu berkenaan dengan pengalaman rohaniah (haqiqat).
Seperti tubuh, roh yang tidak diperhatikan dan dipelihara, roh yang kekurangan makanan akan menjadi roh yang lemah, sakit-sakitan, dan akan dikuasai setan. Roh yang sakit tampak dalam gejala-gejala seperti kegelisahan, keresahan, kebingungan, hidup yang tidak bermakna, hidup tanpa tujuan, kosongan eksistensial (existential vacuum). Pendeknya, roh yang sakit tampak dalam hidup yang tidak tentram. Al-Quran melukiskannya, ‘Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan kami menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha 124); “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan diberikan kepadanya pet-unjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.’ (QS. Al-An’am 120).

Keindahan Roh


Seperti tubuh, arwah mempunyai rupa yang bermacam-macam: buruk atau indah; juga mempunyai bau yang berbeda: busuk atau harum. Rupa roh jauh lebih beragam dari rupa tubuh. Berkenaan dengan wajah lahiriah, kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi pasti ia bukan binatang. Roh dapat betul-betul berupa binatang -babi atau kera. Tuhan berkata, ‘Katakanlah: apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk kedudukannya di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi dan penyembah Thagut? Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah 60)
Al-Ghazali menulis: ‘Al-Khuluq dan Al-Khalq kedua-duanya digunakan. Misalnya si Fulan mempunyai khuluq dan khalq yang indah -yakni indah lahir dan batin. Yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahir, yang dimaksud dengan khuluq adalah bentuk batin. Karena manusia terdiri dari tubuh yang mencerap dengan mata lahir dan roh yang mencerap dengan mata batin. Keduanya mempunyai rupa dan bentuk baik jelek maupun indah. Roh yang mencerap dengan mata batin memiliki kemampuan yang lebih besar dari tubuh yang mencerap dengan mata lahir. Karena itulah Allah memuliakan roh dengan menisbahkan kepada diri-Nya. Ia bersabda, ‘Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku menjadikan manusia dan’ tanah. Maka apabila telah kusempurna kan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya rohku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’(QS. Shad 71-72). Allah menunjukkan bahwa jasad berasal dari tanah dan roh dari Tuhan semesta alam. (Ihya Ulum Al-Din, 3:58).
Khuluq -dalam bahasa Arab- berarti akhlak. Roh kita menjadi indah dengan akhlak yang baik dan menjadi buruk dengan akhlak yang buruk. Dalam teori akhlak dari Al-Ghazali, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, akan memiliki roh yang berbentuk babi; orang yang pendengki dan pendendam akan memiliki roh yang berbentuk binatang buas; orang yang selalu mencari dalih buat membenarkan kemaksiatannya akan mempunyai roh yang berbentuk setan (monster) dan seterusnya.
Ketika turun ke bumi, karena berasal dari Mahasuci, roh kita dalam keadaan suci. Ketika kita kembali kepadanya, roh kita datang dalam bentuk bermacam-macam. Ketika pohon pisang lahir ke dunia, ia lahir sebagai pohon pisang. Ketika mati, ia kembali sebagai pohon pisang lagi. Ketika manusia lahir, ia lahir sebagai manusia. Ketika mati, ia kembali kepada Tuhan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk manusia saja. Ia dapat kembali dalam bentuk binatang, setan, atau cahaya.
Walhasil, untuk memperindah bentuk roh kita, kita harus melatihkan akhlak yang baik. Meningkatkan kualitas spiritual, berarti mernperindah akhlak kita. Kita menyimpulkan prinsip ini dalam doa ketika bercermin. “Allahumma kama ahsanta khalqi fa hassin khuluqi.’ (Ya Allah, sebagaimana Engkau indahkan tubuhku, indahkan juga akhlakku).

Minggu, 28 Mei 2017

KAJIAN KITAB RISALATU ADABI SULUKIL MURID Bagian XIX


Karya : Al Habib Abdullah Alwi Al Haddad
وَاعلَم أَنَّ الشَيخَ الكَامِلَ هُوَ الذِّي يُفِيدُهُ بِهِمَّتِهِ وَفِعلهِ وَقَولِهِ وَيحَفَظُهُ في حُضورِهِ وَغَيبَتِهِ وَإِن كانَ المُريدُ بَعيداً عَن شَيخِهِ مِن حَيثُ المَكانُ، فَليَطلُب مِنهُ إِشارَةً كُلِّيَةً فِيما يَأتي مِن أَمرِهِ وَيترُكُ.
Ketahuilah bahwa Syaikh yang kamil ialah seorang Syaikh yang selalu memberi faedah pada muridnya, dengan penuh kesungguhan dalam perbuatannya dan perkataannya.
Dia memelihara muridnya sewaktu berada dihadapannya, dan juga dimasa murid berada jauh daripadanya.
Sekiranya sang murid jauh dari tempat Syaikh berada, maka Sang murid hendaklah mencari darinya isyarat-isyarat yang menyeluruh tentang hal apa saja yang akan dikerjakan si murid maupun yang ditinggalkannya.
وَأَضرُّ شَيءٌ عَلى المُريدِ تَغَيُّرِ قَلبَ شَيخِهِ عَليهِ وَلَو اجتَمعَ علَى إصلاحِهِ بَعدَ ذَلِكَ مَشايخُ المَشرِقِ وَالمَغرِبِ لمَ يَستَطيعُوهُ إِلاَّ أَن يَرضَى عَنهُ شَيخُهُ.
Adapun perkara yang sangat membahayakan sang Murid, apabila hati sang Syaikh berubah, dan tidak memandang padanya. Dalam hal ini bila dikumpulkan seluruh Syaikh-Syaikh yang lain dari timur sampai ke barat untuk memperbaikinya, Niscaya akan sia-sia dan tidak akan berhasil, kecuali sang syekh sendiri yg meridloinya.
وَاعلَم أَنَّهُ يَنبَغي لِلمُريدِ الذَّي يَطُلبُ شَيخاً أَن لا يُحَكِّمَ في نَفسِهِ كُلَّ مَن يُذكَرُ بِالمَشيَخَةِ وَتَسلِيكِ المُريدينَ حَتَّى يَعرِفَ أَهلِيَّتَهُ وَيَجتمِعَ عَليهِ قَلبُهُ،
وَكذَلِكَ لا يَنبَغي للِشَيخِ إِذا جاءَ المُريدُ يَطلُبُ الطَّرِيقَ أَن يَسمَحَ لَهُ بِها مِن قَبلِ أَن يَختَبِر صِدقَهُ في طَلَبِهِ، وَشِدَّةِ تَعَطُّشِهِ إِلى مَن يَدُلُّهُ علَى رَبِّهِ.
Ketahuilah bahwa sebaiknya sang murid yang sedang mencari Syaikh sejati untuk menuntut ilmu padanya, Tidak boleh mengambil sembarang orang yang dapat diakui sebagai Syaikh, yang boleh memimpin murid-murid ke jalan Allah Ta'ala, dan menjadi Syaikhnya, sehingga ia harus menyelidiki terlebih dahulu, dan ia kenal benar-benar keahlian Syaikh tersebut, dan hatinya menerima orang itu sebagai Syaikhnya.
Demikian sebaliknya seorang Syaikh tidak boleh menerima sembarang murid yang datang padanya minta dituntun ke jalan Allah, sebelum ia menguji kesungguhan si murid untuk menunjukkan keinginannya yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan seorang pemimpin yang akan menunjukkan ke jalan Tuhannya.
وَهذَا كُلُّهُ في شَيخِ التَّحكِيمِ، وَقَد شَرَطُوا عَلى المُريدِ أَن يَكونَ مَعهُ كَالَمِّيتِ بَينَ يَدَيِّ الغَاسِلِ وَكالطِّفلِ مَعَ أُمَّهِ، وَلا يَجرِي هَذا في شَيخِ التَّبَرُّكِ، وَمَهمَا كَانَ قَصدُ المُريدِ التَّبَرُّكَ دُونَ التَّحكِيمِ فَكُلَّما أَكثَرَ مِن لِقاءِ المَشايِخِ وَزِيارَتِهم وَالتَّبرُّكَ بِهم كَان أَحسَنَ.
Syarat-syarat ini harus berlaku bagi murid-murid yang akan menuntut ilmu kepada Syaikh Tahkim (Syaikh yang dalam tangannya terserah segala putusan).
Murid yang menuntut ilmu pada Syaikh Tahkim ini, harus menganggap dirinya seperti mayat yang sedang dibersihkan oleh tangan-tangan yang memandikannya, atau laksana seorang bayi yang berada dalam pemeliharaan ibunya
, syarat-syarat serupa ini tidak berlaku pada Syaikh Tabarruk (Syaikh yang biasa dimohon keberkatan daripada-nya).
Apabila seorang murid bermaksud untuk mendapat­kan keberkatan seorang Syaikh, bukan tahkim-nya, maka diperbolehkan menemui sebanyak mungkin Syaikh dan menziarahi mereka adalah lebih baik dan utama untuk memperoleh barokah itu.
وَإذا لَم يَجِدِ المُريدُ شَيخاً فَعَليهِ بِمُلازَمَةِ الجِدِّ وَالاجتِهادِ مَعَ كَمالِ الصِّدقِ في الاِلتِجاءِ إِلى الله وَالاِفتِقارِ إِليهِ في أَن يُقَيِّضَ لَهُ مَنْ يُرشِدُهُ، فَسَوفَ يُجِيبُهُ مَن يُجِيبُ المُضطَرَّ، وَيَسُوقُ إِليهِ مَن يَأخُذُ بِيَدِهِ مِن عِبادِهِ.
Apabila murid belum menda­patkan Syaikh, maka dia harus dengan tekun dan rajin menunjukkan harapan dan keperluannya kepada Allah SWT, dengan kebenaran yang sempurna agar Dia menunjukkan kepada seorang pemimpin yang boleh memimpinnya kejalan Allah SWT.
Jika ia bersungguh akan keinginannya pasti Allah akan mengabulkan permohonannya. Sebagaimana Allah akan mengabulkan permohonan orang-orang yang terdesak (dipaksa oleh keadaan), niscaya Allah akan memimpin dan mendorong pada salah seorang diantara hamba-hamba-Nya.
وَقَد يَحسِبُ بَعضُ المُريدينَ أَنَّهُ لا شَيخَ لَهُ فَتَجِدَهُ يَطلُبُ الشَّيخَ وَلَهُ شَيخٌ لَم يَرَهُ، يُرَبِّيهِ بِنَظَرِهِ وَيُرَاعيهِ بِعَينِ عِنايَتِهِ وَهُوَ لا يَشعُرُ، وَعِندَ التَناصُفِ مَا ذَهبَ إِلاَّ الصِّدقُ، وَإِلاَّ فَالمَشايِخُ المُحَقِّقُونَ مَوجُودونَ،
وَلكِن سُبحانَ مَن لَم يَجعلِ الدَّلِيلَ عَلى أَولِيَائِه إِلاَّ مِن حَيثُ الدَّليِلُ عَليهِ وَلمَ يُوصِل إِليهِم إِلاَّ مَن أَرادَ أَن يُوصِلَهُ إِليهِ.
Setengah murid menyangka dirinya tiada mempunyai Syaikh, dan sepanjang masa ia berusaha mencari Syaikh, padahal Allah telah mentakdirkan seorang Syaikh untuknya. Sedang ia tidak pernah melihat Syaikh tersebut.
Syaikh tersebut memelihara murid-murid dengan pandangan bathinnya, dan menjaga dengan penuh perhatian sedang si murid tidak merasakan semua sama sekali.
Jika murid yang mengatakan tidak ada Syaikh pada jamannya, sebenarnya ia keliru. Atau mungkin Syaikh itu tidak benar. Dan pada hakekatnya Syaikh-Syaikh agung memang banyak sekali, akan tetapi maha suci Allah yang tidak menunjukkan bukti kepada para Auliya'Nya kecuali menjadikan bukti untuk mengenal Zatnya dan Allah tidak akan menunjukkan seorang murid pada Auliya'Nya kecuali kepada orang yang Allah kehendaki untuk dipertemukan kepadanya .
Wallohu a'lam.

Relaksasi


Saat ini, Hamdun sedang duduk di hadapanmu. Bayangkanlah senyumannya. Sosok lelaki tua, berusia 72 tahun, bertubuh agak kurus dan tinggi sekitar 168 sentimeter, berkumis dan berjenggot yang semuanya telah beruban dan panjangnya hingga di atas dada, berjubah putih. Wajahnya bercahaya. Duduk di hadapanmu. Sambil tersenyum. Dia ingin berdialog denganmu. Dan, dia mulai berbicara kepadamu. Silakan kamu menjawab dengan jujur dan turutilah, atau abaikan saja dia.
Hamdun: “Sudahkah kamu berzikir hari ini?”
Pembaca: …
Hamdun: “Baiklah. Zikir apa yang paling kamu senangi?”
Pembaca: …
Hamdun: “Sebutkan kepadaku sekali lagi zikir pendek yang paling kamu senangi.”
Pembaca: …
Hamdun: “Cobalah tenangkan pikiranmu, lemaskan tubuhmu dan ucapkan kembali zikir itu dengan perlahan, dengan bersuara, jangan hanya di dalam hati, ucapkan dengan perlahan, dengan bersuara...”
Pembaca: …
Hamdun: “Apakah kamu tahu arti dari zikir yang kamu baca?”
Pembaca: …
Hamdun: “Cobalah kamu tenangkan lagi pikiranmu, semakin lemaslah tubuhmu dan ucapkan kembali zikir itu dengan perlahan, dengan perlahan, dengan perlahan, ulangi terus, ulangi terus, jangan berhenti…”
Pembaca: …
Hamdun: “Bayangkan saat ini kamu berada dalam sebuah lingkaran jamaah yang sedang berzikir seperti yang kamu zikirkan.”
Pembaca:
Hamdun: “Dengarkan jamaah yang berzikir bersama-sama denganmu, dengan perlahan, dengan perlahan, dan terus menerus, dengan bersuara.”
Pembaca:
Hamdun: “Dengarkan dengung suara-suara jamaah zikir itu dan dengarkan pula suara yang kamu zikirkan, semakin cepat, semakin cepat, berirama, berirama, semakin cepat...”
Pembaca:
Hamdun: “Ikuti irama zikir bersama jamaah zikir itu, bersama-sama, bersatu dalam irama, semakin cepat, rasakan detak jantungmu yang ikut berzikir, rasakan, rasakan, biarkan detak jantungmu ikut berzikir…”
Pembaca:
Hamdun: “Semakin cepat lagi, gerakkan tubuhmu ke kiri dan ke kanan, begitu juga dengan kepalamu, ke kiri dan ke kanan, mengikuti zikir dan dengung suara jamaah zikir, gerakkan perlahan, ikuti irama zikir.”
Pembaca:
Hamdun: “Rasakanlah bulu, kulit, urat, darah, daging, tulang dan sumsummu ikut berzikir, terus berzikir, terus berzikir, jangan berhenti, jika airmatamu mengalir, biarkanlah ia mengalir, karena kamu mencintai zikir itu, jamaah zikir juga mencintai zikir itu, dan Allah juga mencintai zikir itu, teruslah berzikir, gerakkan badanmu, dengarkan detak jantungmu yang ikut berzikir, rasakan bulu, kulit, urat, darah, daging, tulang dan sumsummu ikut berzikir, terus berzikir, terus berzikir…”
Pembaca:
Hamdun: “Rasakanlah cintamu kepada Allah itu sungguh-sungguh, lebih dari kamu mencintai yang lain, kamu lebih cinta kepada Allah, lebih daripada mencintai yang lain, rasakan perasaan cinta Allah pada dirimu, rasakan detak jantungmu menzikirkan asma-Nya, rasakan bulu, kulit, urat, darah, daging, tulang dan sumsum ikut berzikir, terus berzikir, terus berzikir, terus berzikir, …”
Pembaca:
Hamdun: “Rasakanlah bahwa Allah itu begitu dekat, sangat-sangat dekat, sangat-sangat dekat, mendengarkan asma-Nya dizikirkan, di tengah-tengah lingkaran jamaah zikir, terus berzikir, teruslah berzikir, jangan berhenti, dengarkan dengung-dengung suara itu melekat di pendengaranmu, dengarkan dan jangan sampai dengung itu menghilang, teruslah lekatkan zikir yang berdengung itu, rasakanlah kehadiran Allah, yang sangat-sangat dekat, yang sangat-sangat dekat, yang sangat-sangat dekat…”
Pembaca:
Hamdun: “Katakan dalam hatimu: Ya Allah Ya Hayyu Ya Qoyyum, tumbuhkanlah rasa cinta yang besar dalam hatiku, tumbuhkanlah rasa cinta yang besar kepada-Mu, hanya kepada-Mu, hanya kepada-Mu, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang ingat kepada-Mu, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang sedikit di antara umat Muhammad saw, yang berjalan menuju cinta-Mu di dunia hingga di akhirat…”
Pembaca:
Hamdun: “Teruslah dengarkan dengung zikir itu dalam pendengaranmu, dengarkan dengung jamaah zikir, melekat dalam pendengaranmu, tidak akan pernah lenyap, tidak akan pernah lenyap, tidak akan pernah lenyap dengung zikir itu, teruslah berzikir, teruslah berirama, teruslah bersuara, teruskanlah…”
Pembaca:
Hamdun: “Sekarang zikirkan dengan perlahan, zikirkan dengan perlahan seperti dengung suara jamaah zikir itu, dengarkan dan lekatkan, ikuti irama zikir itu dengan perlahan, perlahan, perlahan…”
Pembaca:
Hamdun: “Sekarang, berhentilah berzikir dan diamlah sejenak, dengarkan dengung suara zikir itu yang melekat di pendengaranmu, dengarkan detak jantungmu yang masih berzikir, terus dengarkan dengung zikir itu, terus dengarkan, jangan berhenti mendengarkan, teruslah dengarkan dengung itu melekat dalam pendengaranmu,…”
Pembaca:
Hamdun: “Tariklah nafasmu perlahan, tahan nafasmu dalam tiga hitungan, telanlah sedikit nafasmu itu sampai terdengar bunyi di tenggorokanmu, kemudian bayangkan hembusan nafas yang putih itu masuk melalui ubun-ubunmu, menyelimuti kepalamu, badanmu, kedua tanganmu, sampai ujung kedua kakimu dan berakhir pula hembusan itu, bayangkan kau diselimuti cahaya yang benderang, bayangkan tubuhmu tak lagi kelihatan, hanya cahaya, hanya cahaya yang bersinar terang, tiada lagi dirimu, tiada lagi tubuhmu, tiada lagi kamu, hanya cahaya berkilauan, hanya cahaya berkilauan, hanya cahaya berkilauan, hanya cahaya berkilauan, tubuhmu sudah tiada lagi, jamaah zikir sudah tiada lagi, ruang sudah tiada lagi, hanya cahaya berkilauan, hanya cahaya, hanya cahaya, hanya cahaya, hanya cahaya, hanya cahaya, hanya cahaya berkilauan, hanya cahaya berkilauan, hanya cahaya, hanya cahaya, hanya cahaya, hanya cahaya yang bersinar benderang...”
Pembaca:
Hamdun: "Katakan: Laa maujuda illallaaahhhhhhhhh …. Laa maujuda illallaaahhhhhhhhh …. Laa maujuda illallaaahhhhhhhhh …

DZIKRULLOH PADA QOLBU


BIla hati ( qolbu ) sudah berdzikir maka hiduplah hati. Dzikrulloh ini dapat menghidupkan hati serta membuka pintu2 ilmu yg bermanfaat didunia dan akherat, juga membuka pintu Ilham yg datang dari Alloh Swt. Dzikrulloh dalam hati mengubah dari CAHAYA IMAN MANJADI CAHAYA KETAKWAAN, dari cahaya penerima ilmu menjadi penyampai ilmu.
Ada beberapa pengaruh Dziktulloh didalam qolbu:
1. Jika orang yg semula sulit menerima ilmu menjadi mudah dalam menerima ilmu
2. Jika orang sulit menyebarkan ilmu, maka menjadi mudah dalam menyampaikan atau menyebarkannya
3. Jika semula hanya menerima ilmu jadi suka memberikan ilmu walau hanya satu kalimat
4.Yang semula tertutup pd ilmu manjadi terbuka terhadapnya
5. Yang semula sulit menerima ilham menjadi mudah menerimanya dllnya.

Perubahan-perubahan itu terjadi karena adanya dzikrulloh yg dp menghidupkan pancaran cahaya qolbu. Terpancarnya cahaya qolbu ini dan tersingkapnya kotoran qolbu memudahkan kita dalam menangkap sinyal-sinyal Ketuhanan, sehingga kita dimudahkan diberi petunjuk atau hidayah sebagaimana yg tertulis dialam Alqur'an Surat At-Taghabun ayat 11 ( Tidak ada suatu musibah pun yg menimpa seseorang kecuali dg ijin Alloh; dan barangsiapa yg beriman kepd Alloh niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu )

DZIKRULLOH DALAM JASAD


Dzikrulloh dalam raga ini sangat berpengaruh kepada kesehatan manusia. Ketika manusia mau mengamalkan dzikir lisan, maka pengaruhnya berupa meningkatnya kekebalan tubuh, kokohnya daya tahan semakin cepatnya daya sembuh, semakin kuatnya daya tangkap pikiran dan daya pikir.
Pengaruh itu akan semakin lebih kuat lagi apabila dzikir dikembangkan keseluruh anggota tubuh lahir dan wilayah anggota tubuh batin. Dengan melakukan Dzikir maka musnahlah sifat2 jelek dan munculah sifat2 baik.
Kenapa Dzikrulloh itu bisa merasakan hidup lebih hidup.
1. Jika Dzikrulloh mengalir ke OTAK, maka cara berpikir kita akan lebih matang.
2. Jika Dzikrulloh mengalir di MULUT, maka kita dapat berbicara dg fasih, ketika mengajak kejalan kebaikan dan merasakan nikmat serta rasa syukur atas pemberian Alloh.
3. Jika Dzikrulloh mengalir di TELINGA, maka kita dp mendengar serta memilih yg baik dan buruk.
4. Jika Dzikrulloh mengalir ke KULIT, kita dapat merasa
5. Jika Dzikrulloh mengalir ke MATA, kita dp melihat mana sebenarnya yg harus dilihat.
6. Jika Dzikrulloh mengalir di HIDUNG, kita dapat bernafas Bernapas adlh kodrat sedangkan kodrat HIDUP adalah mengamalkan DZIKRULLOH sebagai tugas kehidupan yg dari Maha Agungdari Guru Agung. Berbahagialah orang yg sudah menghidupkan raganya dengan dzikrulloh, dengan demikian Ia meneteskan DZiKRULLOH lebih deras dan memancarkannya keseluruh tubuh lahir dan batin serta selalu bertaqwa kepada Alloh Swt.
Allahu a'lam ..

Ramadhan Dalam Rasa


Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas, bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahaya Allah).
Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang berbuat kebajikan.
Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.
Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:
Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).
Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.
Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.
Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).
Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.

Menuju Sang Pengendali


Mereka para pekerja (salik) yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar).
Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa: Puasa Hakiki.
Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa Tuqaatih”, takwa yang hakiki.
Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan, sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”, bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.
Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, – dalam Hadits Qudsi – “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng, manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang memakinya, katakanlah :
“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “
Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)
Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk berpaling pada selain Allah.
Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “
Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan, Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah dalam lembah bulan suci ini.
Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa, sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin, sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam jiwanya.

Menguak Rahasia Puasa Orang-orang Arif


Pentingnya Nilai Bulan Ramadhan
Satu perkara yang penting bagi pe-salik (kepada Allah SWT) adalah mengetahui hak dan nilai bulan Ramadhan, karena bulan puasa ini merupakan bulan undangan Allah SWT bagi mereka yang menitih jalan kepada-Nya. Bulan Ramadhan, merupakan tempat bertamu kepada Allah SWT, begitu juga makna yang tepat untuk orang berpuasa adalah tamu Allah SWT (dhiyafatullah), sekaligus sebagai bentuk usaha untuk mendapatkan keikhlasan dalam gerak dan diam, dengan dasar ridha kepada pemilik rumah, Allah SWT.
Nilai dan Faedah Lapar
(Wahai pencari maqam qarb-posisi dekat-) lapar bagi pesalik, keutamaannya adalah penyempurnaan jiwa (nafs) dan makrifah Allah SWT. Juga fadhailnya disebut dalam hadis begitu agung dan besar. Oleh karena itu kita mencari sebab, hikmat dan falsafahnya.
Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dimana beliau bersabda: ”Bukalah jiwa kamu menuju mujahidah dengan perantara lapar dan haus, karena tindakan ini sama dengan melaksanakan jihad dijalan Allah SWT, sebagaimana tidak ada amal yang lebih dicintai Allah SWT selain dari lapar dan haus.” Begitu juga dalam hadis lain bahwa: ”Dihari kiamat, posisi yang lebih dekat pada Allah SWT di antara kamu pada Allah SWT adalah mereka yang lebih banyak (menahan) lapar dan mereka yang banyak berpikir tantang Allah SWT.” Disabdakan pada Usamah: ”Kalau bisa, ketika malaikat maut hendak mengambil nyawamu, (adalah)ketika perutmu lapar dan tenggorokanmu haus, lakukanlah hal ini, karena perbuatan ini adalah posisi yang paling mulia. Kedudukan kamu yang dapat dibayangkan, adalah dekatnya posisi kamu dengan Rasul, para malaikat bersuka ria ketika ruh mu tiba serta Allah SWT mengucapkan salam dan salawat kepadamu.” Disabdakan juga: ”Laparkan perutmu dan keringkan badanmu, semoga Allah SWT akan melihat hatimu.” Dalam hadis mi’raj, Allah SWT berfirman kepada Rasulullah SAW : “Wahai Ahmad, apakah engkau mengetahui faedah dan hasil dari puasa?” Saya berkata: “Tidak wahai Ilahi.” Allah SWT berfirman: “Hasil dan faedah dari puasa adalah mengurangi makan dan bicara.” Kemudian Allah SWT menjelaskan hasil dari pada diam para pemikir dengan berfirman: “Diam mewariskan hikmat, dan hikmat mewariskan ma’rifat, dan ma’rifat mewariskan yakin, karena hamba sampai pada tingkatan yakin, tidak ada sisa lagi, untuknya tidak ada beda apakah kehidupannya susah atau mudah?! Ini adalah posisi shahib ridha. Bagi siapa yang beramal mencapai ridha Saya, maka tiga hasil yang akan pasti didapatkannya. Akan diajarkan kepadanya rasa syukur, sehingga tidak bercampur antara kejahilan dan kebodohan, zikir dan ingat tanpa ada kelupaan, kasih dan sayang akan diberikan kepadanya sehingga tidak akan didahulukan kasihnya kepada makhluk melebihi cintanya kepada Allah SWT karena Saya pemilik cinta, dan Saya akan mencintainya. Ciptaan Saya akan menuju pada kasihnya, mata dan hatinya selalu terpaku pada keagungan dan kemuliaan Diri-Ku, padanya ilmu sehingga kesumat hamba tidak tersembunyi.
Pada kegelapan malam dan terangnya siang Kami akan bermunajat sehingga hilang dan terputuslah bahaya makhluk yang ada bersamanya. Firman-Ku dan ucapan para malaikat akan sampai pada telinganya. Kebenaran dan rahasia-Ku yang tertutup atau tersembunyi dari semua makhluk akan jelas dan terang baginya.”
Kemudian difirmankan: “Akal dan idrak-nya akan tenggelam dalam pengetahuan marifat-Ku, dan Saya akan duduk di akalnya, kemudian kematian, tekanan, panas dan ketakutan akan menjadi ringan dan mudah, sehingga (dengan cepat dan selamat)akan masuk ke dalam surga.” Ketika malaikat maut turun kepadanya dan mengatakan: “Selamat padamu, berbahagialah!. Tuhanpun rindu padamu!” Sampai disitu disabdakan dan kemudian Allah SWT berfirman: “Ini adalah surga-Ku, tinggallah di situ, ini adalah lingkungan-Ku, tenanglah (dan tetaplah)! Maka ruh menjawab: “Wahai Sembahanku?! Engkau telah mengetahui aku, maka saya dengan-Mu tidak memerlukan semua makhluk. Demi Keagungan dan Kemuliaan-Mu aku bersumpah , kalau Engkau hendak memotong-motongku, dan hidup di antara hamba-MU dengan keadaan yang paling sengsara, dan tujuh puluh kali terbunuh, maka kesenangan dan ridha Engkau akan lebih aku cintai.” Hingga disini difirmankan, kemudian Allah SWT berfirman: “Demi Kemuliaan dan keagungan-Ku, Aku bersumpah, di antara Aku dan engkau tidak ada batasan masapun yang akan menjadi hijab atau penutup, ketika engkau menghendaki dan menginginkan datanglah kepada-Ku, inilah apa yang Aku perbuat pada kekasih-Ku.”
Pada riwayat ini telah ditunjukkan dengan jelas hikmat dan falsafah lapar dan keutamaannya. Kalau kita ingin mengetahui lebih jauh dan jelas tentang keutamaan dan faedah dari pada lapar dalam puasa ini, maka lihatlah pada ulama akhlak yang akan membawakan riwayat yang ada. Karena mereka akan menjelaskan tentang keutamaan besar dari lapar, diantaranya adalah penyembuh hati, karena kenyang akan memperbanyak uap di otak, jiwa akan lambat beraktivitas dalam berpikir dan menentukan, terjadinya rasa berat sehingga akan membutakan hati. Dan rasa lapar adalah lawannya, lapar akan mengobati hati dan kecepatannya, hati akan terus beraktivitas berpikir yang berkelanjutan dengan makrifat, kemudian selalu siap untuk menerima cahaya (Ilahi), sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah SAW : “Siapa yang membiarkan perutnya lapar, maka pikiran dan pemahamannya akan membesar.” Begitu banyak lagi faedah dari lapar.

Rahasia Perjamuan Pesalik dengan Lapar


Rahasia Allah SWT menentukan untuk menerima tamu-Nya adalah dengan lapar. Karena itu adalah untuk nikmat yang lebih baik dan tinggi dari nikmat makrifat, qurb– dekat- dan liqa’. Dan rasa lapar adalah paling dekatnya sebab untuk itu.Puasa adalah jamuan Allah SWT untuk hamba-Nya.
Bagi seorang pesalik dijalan Allah SWT, lapar dan puasa bukan sekedar taklif, tapi adalah jamuan yang wajib disyukuri dan dilakukannya. Keinginan Allah SWT inilah yang perlu diketahui kedudukannya serta mendalami nilai yang terdapat dari ayat panggilan Ilahi dari ayat suci-Nya. Karena itu adalah panggilan dan undangan kepada kalian untuk sampai pada tempat pertemuan. Dari nikmatnya kebaikan dan kefahaman dari hikmah dan falsafah tasyri’i puasa tersebut adalah mengurangi makan dan dan melemahkan kekuatan badan, sehingga dari sisi ini, puasa yang dilakukan di siang hari dapat dilakukan pula di malam hari. Puasa bukan hanya sekedar untuk tidak makan dan minum, tapi harus bersama puasa telinga, mata, mulut, dan sebagian kabar mengatakan bahwa kulit dan rambutpun harus berpuasa.
Niat dan Tujuan Pesalik dalam Puasa
Wahai para pesalik, untuk amal (puasa) ini tidak layak hanya dengan berniat untuk menghilangkan/mencegah murka Ilahi, sebagaimana tidak layak hanya dengan tujuan untuk mendapatkan pahala dan masuk kedalam nikmat surga sekalipun dengannya semua itu bisa didapat. Tapi haruslah berniat bahwa dengan puasa akan mendekatkan diri kepada Allah SWT, mendekatkan diri pada ridha Allah SWT. Dengan ini, maka akan dijauhkan dari syifat syaithani dan mendekat pada sifat malaikatiyah.
Ketika ini sudah diketahui, dengan pemahaman pengetahuan agar menjauhi semua tindakan dan perkataan yang menjauhkan diri saat hadir dihadapan Allah SWT. Karena tindakan yang menjauhkan diri dari Allah SWT itu bertentangan dengan keinginan-Nya dalam perjamuan di perhelatan ini maka, janganlah bergembira di saat engkau datang, kedekatan dan kehadiran pada dar-al-dhiyafah (tempat perjamuan) yang sebagai istana Mun’im (Allah SWT) karena semua rahasia dan apa yang ada di hati hamba-hamba-Nya telah diketahui oleh-Nya. Jangan melupakan Allah SWT karena Dia memperhatikan kamu, jangan sekali-kali kita melakukan protes, sementara Dia ada dihadapan kamu. Demi jiwaku aku besumpah, bahwa ini dalam hukum akal merupakan perbuatan qabaih ‘adhimah (keburukan/cela yang agung), dimana akal tidak akan ridha jika dengan sahabatnya berlaku demikian, (apakah lagi dengan Tuhannya).
Tapi karena kita berada di tempat yang sempurna dan Fadhl Ilahi, maka semua kealpaan ini tidak menjadikan kita terusir, karena Dia telah mengampuni hamba-Nya sehingga tidak keluar dari lingkungan taklif. Tapi juga hamba haruslah memahami kadar Tuan dan Sayyidnya untuk tidak bertindak hanya sebanding halal dan haram, tapi haruslah sebanding Ketuanan dan KeSayyidan-Nya, bertindak dengan ubudiyah pada-Nya atau lebih rendah dari ini, yaitu tindakan orang yang hina dan dina.
Dengan kata lain, hamba haruslah berlaku sebagaimana yang dipesankan oleh Imam Shadiq Beliau berkata: “Ketika engkau berpuasa hendaknya, memandang bahwa dirimu diundang dan dekat dengan akhirat [kematian]. Keadaanmu dalam keadaan tunduk, khusyu’,rendah dan hina dalam keadaan ketakutan dihadapan Tuhannya, bersihkan hatimu dari cela dan jauhkan batinmu dari makar dan tipu muslihat serta semua bentuk perbuatan yang keluar dari Ilahi.”
Tetapkanlah dalam puasa untuk meletakkan kekuasaan hanya pada Allah SWT dengan ikhlas (mengetahui hanya Allah SWT yang pantas disembah). Berharaplah sepenuhnya pada Allah SWT, hati dan badan hanya untuk Allah SWT. Pada hari-hari puasamu, jadikan hati untuk cinta dan zikir, badan beramal untuk ridha-Nya, hilangkan semua dari apa yang tidak diperlukan dalam undangan (perjamuan) itu. Imam menasehatkan juga (dimana kita harus bersedia untuk melakukannya) bahwa kita harus menjaga agar semua anggota badan jauh dari bahaya, penentangan dan larangan Allah SWT, terutama “lidah”, sehingga debat dan sumpahpun perlu dihindari.
Kemudian diakhir riwayatnya beliau bersabda: “Apabila kalian mengamalkan pesanku tentang semua hal yang pantas bagi orang orang yang puasa, maka (puasanya) telah benar, kalau tidak demikian, maka fadhilah dan pahalanyapun akan kurang.”
Maka pikirkanlah apa yang telah dipesankan tentang kewajiban orang puasa, kemudian berharaplah dengan nilainya, maka ketahuilah bahwa diri diundang dan dekat dengan akhirat, hati akan keluar dari lingkungan duniawi dan tidak keluar dari kesiapan untuk lingkungan akhirat. Bagitu juga kalau hatinya hudhu’dan besih dari semua hal yang bukan Ilahi. Kalau saja hati dan badannya merendah hanya untuk Allah SWT dan menghindar dari semua hal yang bukan Ilahi, maka ruh,hati dan badan serta semua wujudnya ada pada zikir Allah SWT, mahabbah Allah SWT, tenggelam dalam ibadah Allah SWT maka puasanya menjadi puasa orang-orang “muqarribin” (orang orang yang dekat dengan Allah SWT).

Maqam Yakin

Oleh: Ayatullah Anshari Syirazi Hf

“Salah satu maqam akhlaq adalah maqam Yaqin. Yaitu manusia untuk mencapai kesempurnaan diharuskan untuk mencapai peringkat dimana dia tidak ada lagi keraguan, wahm (angan-angan) dan khayal dalam meyakini hukum-hukum dan akidah-akidah Islam. Yaqin mempunyai tiga tingkatan yaitu; pertama Ilmul yaqin, Kemudian ‘Ainul yaqin, dan terakhir adalah Haqqul yaqin. Al-Quran menyatakan: “Lau ta’lamuna ilmal yaqîn”, Kalau kamu menemukan keyakinan terhadap Mabda dan Ma’ad, surga dan neraka melalui ilmul yaqin, kamu akan menyaksikan neraka dan penduduknya itu dengan penglihatan batin. Kalau seorang manusia memandang kepada alam penciptaan ini dengan pandangan mata batin dan pandangan Ibrahim as “Wakadzalika nurî Ibrahima malakutassamâwâti wal ardhi” (Al-An’am : 75), sekarang ini dia akan menyaksikan orang-orang yang berada di neraka jahannam; yaitu kalau anda memperoleh derajat awal keyakinan itu, maka akan muncul dalam hati anda pengetahuan-pengetahuan dan ilmu-ilmu (makrifat Ilahi). Sekarang, jika seseorang naik dan memperoleh tingkat keyakinan selanjutnya yaitu ‘Ainul yaqin dan Haqqul yaqin, maka ilmu dan pengetahuan yang lebih dahsyat lagi akan muncul dan terbit dalam jiwa dan hatinya.
Orang-orang, khususnya kaum penganut mazhab Islam pecinta keluarga Rasul diharuskan dalam memperoleh tingkatan-tingkatan keyakinan itu menggunakan metode yang benar yaitu menggunakan dalil-dalil burhan (argumen), Al-Quran dan sunnah. Salah seorang tokoh menukilkan perkataan dari anak almarhum Sayyid Ali Aghai Qadhi bahwasanya ayahnya berkata: meskipun keraguan dan kebimbangan dalam agama ada sampai ajal tiba di tenggorokan dan kalau tidak, setelah kematian, segala sesuatunya nanti akan nampak dan keyakinan yang sebenarnya pun akan tercapai. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Quran: “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Al-Qaf : 22).
Jika setiap manusia betul-betul menjaga hukum-hukum Allah, yaitu melaksanakan yang wajib dan menjauhi segala yang dilarangnya serta keyakinannya terhadap Mabda’ dan Ma’ad dan sebagainya mencapai pada maqam Yaqin, maka dia akan memperoleh sebuah kondisi dan pengalaman spiritual yang hal-hal itu tidak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata dan dialog. Dan ini dinyatakan dalam Al-Quran : “Niscaya kamu melihat neraka jahim” atau dalam ayat 12 surat al-Hujurat dinyatakan : “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat : 12).
Kalam wahyu itu bukanlah sesuatu yang majazi. Kenapa kalam wahyu itu kita predikasikan kepada sebuah ungkapan majazi?! Tariklah diri kita ini ke arah yang lebih tinggi mendekati maqam ishmat, sehingga semua hakikat itu tersingkap bagi kita. Dan selama kita masih terkurung dan berada di sangkar badan dan materi ini, kita tidak akan mampu dan mau menerima rahasia-rahasia Al-Quran itu dan bahkan kita akan selalu mempredikasikannya (Al-Quran) itu ke dalam bentuk yang majazi.
Ada sekelompok manusia yang terbebas dari kurungan badannya dan memperoleh karunia penglihatan Ibrahim as, manusia-manusia langitan ini, menyaksikan dengan jelas bahwa berghibah itu seperti memakan daging saudara sendiri dan begitupun, mereka mampu melihat dan mendengar dengan mata batinnya kondisi penghuni kubur.

Hakikat Wali


Dalam tradisi keilmuan Nusantara, dikenal istilah wali. Diantara kata wali yang paling populer adalah ‘walisanga’ yang berarti wali sembilan sebagai penyebar Islam pertama di Nusantara. Wali juga biasa diidentikkan dengan seseorang yang memilki kelebihan (karomah). Sebagian dari masyarakat muslim mempercayai keberadaan dan ‘kelebihan’ yang dimiliki para wali dan sangat menaruh hormat kepada mereka.
Kepercayaan itu diungkapkan dalam bentuk mengunjungi maqbaroh untuk bertawassul kepada mereka. Akan tetapi sebagian masyarakat yang lain tidak percaya dengan keberadaan wali bahkan menganggap para wali sebagai sarang ke-bid’ah-an. Hal ini terjadi karena miskinnya pengetahuan atau seringnya pemaknaan kata wali yang merujuk pada hal-hal negatif.
Menurut bahasa, kata wali itu kebalikan dari ‘aduw, musuh. Bisa jadi berarti sahabat, kawan atau kekasih. Umumnya wali Allah diartikan kekasih Allah.
Menurut istilah ahli hakikat, wali mempunyai dua pengertian. Pertama, orang yang dijaga dan dilindungi Allah, sehingga dia tidak dan tidak perlu menyandarkan diri dan mengandalkan pada dirinya sendiri. Seperti dalam al-Qur’an surah al-A’raf 196 ;
Artinya : Sesungguhnya pelindungku ialah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.
Kedua, orang yang melaksanakan ibadah kepada Allah dan menanti-Nya secara tekun terus menerus tak pernah kendur dan tidak diselingi dengan berbuat maksiat, maka Allah pun mencintainya.
Kedua-duanya merupakan syarat kewalian. Wali haruslah orang yang terpelihara (mahfudz) dari melanggar syara’ dan karenanya dilindungi oleh Allah, sebagaimana nabi adalah orang yang terjaga (ma’shum) dari berbuat dosa dan dijaga oleh-Nya. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penanda bagi wali Allah ;
a. Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah
b. Tujuannya hanya kepada Allah
c. Kesibukannya hanya kepada Allah
Ada juga yang mengatakan tanda wali Allah adalah senantiasa memandang rendah dan kecil kepada diri sendiri serta khawatir jatuh dari kedudukannya (di mata Allah) di mana ia berada. (baca Jamharatul Auliya wa A’lamu Ahlit Tatsawwuf, hal 73-110).
Kalau menurut al-Qur’an, ini tentu saja paling benar, wali Allah adalah orang-orang mu’min yang senantiasa bertakqwa dan karenanya mendapat karunia tidak mempunyai rasa takut (kecuali kepada Allah) dan tidak pernah bersedih. Seperti dalam al-Qur’an surah Yunus : 62-63 ;
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Artinya: Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, (Yaitu mereka) adalah orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa.
Atau dengan kata lain, wali Allah adalah orang mu’min yang senantiasa mendekat (taqarrub) kepada Allah dengan terus mematuhi-Nya dan mematuhi Rasul-Nya. Sehingga akhirnya dia dianugrahi karomah, semacam ‘sifat ilmu linuwih’ (Seperti mukjizat Nabi. Bedanya, mu’jizat nabi melalui pengakuan –dan sebagai bukti- kenabian ; sedang karomah wali tidak mengikuti pengakuan kewalian).
Dalam sebuah hadits qudsi (hadits Nabi saw. yang menceritakan firman Allah) yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Shahabat Abu Hurairah r.a Rasulullah saw bersabda :
إن الله تعالى قال: من عادى لي وليا فقد أذنته بالحرب وما تقرب إلـي عبدى بشيئ أحب إلـي مما افترضته عليه ولايزال عبدى يتقرب الـي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع به وبصره الذى يبصربه ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها وإن سألنى لأعطينه وإن استعاذنـي لأعيذنه
Artinya : Allah Ta’ala telah berfirman: Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku benar-benar mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak berdekat-dekat, taqarrub, kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah aku fardhukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya dengan apa ia mendengar. Akulah penglihatannya dengan apa ia melihat. Akulah tangannya dengan apa ia memukul. Akulah kakinya dengan apa ia berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.
Boleh saja orang mempunyai ‘sifat linuwih’ misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan binatang atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, atau kesaktian-kesaktian lainnya, tetapi tentu saja dia tidak otomatis bisa disebut wali. Sebab dajjal, dukun, tukang sihir, ‘ahli hikmah’ tukang sulap atau paranormal pun bisa memperlihatkan kesaktian semacam itu.
Sebaliknya bisa saja seorang wali dalam kehidupannya sama sekali tidak tampak lain dari orang-orang biasa. Lihat saja dari kesembilan wali Tanah Jawa, yang terkenal punya kesaktian hanya Sunan Kalijogo yang mempunyai kesaktian membuat soko guru masjid Demak dari tatal dan Sunan Bonang yang mengubah buah pinang tampak menjadi emas. Jadi kewalian seseorang tidak diukur dengan keanehan dan kesaktiannya, perilaku ataupun pakaiannya melainkan kedekatan dan ketakwaan kepada Allah. ***

Surga Dan Neraka


Surga dan Neraka Hanya Tempat Menuju Allah.
Siksa dan Nikmat Adalah Sifat.
Jangan Campur Aduk
Penekanan-penekanan kata Naar dalam Al-Qur’an juga memiliki struktur hubungan yang berbeda. Naar disebutkan untuk orang kafir, memiliki tekanan berbeda dengan orang munafik, orang fasik, dan orang beriman yang ahli maksiat. Itu berarti berhubungan dengan kata Naar, yang disandarkan pada macam-macam ruang neraka: Ada Neraka Jahim, Neraka Jahanam, Neraka Sa’ir, Neraka Saqar, Neraka Abadi, dan penyebutan kata Naar yang tidak disandarkan pada sifat dan karakter neraka tertentu.
Jika Naar kita maknai secara gradual, justru menjadi zalim, karena faktanya tidak demikian. Hal yang sama jika para Sufi memahami Naar dari segi hakikatnya neraka, juga tidak bisa disalahkan. Apalagi jika seseorang memahami neraka itu sebagai api yang berkobar.
Kalimat Naar tanpa disandari oleh Azab, juga berbeda dengan Neraka yang ansickh belaka. Misalnya kalimat dalam ayat di surat Al-Baqarah, “Wattaqun Naar al-llaty waquduhannaasu wal-Hijarah” dengan ayat yang sering kita baca, “Waqinaa ‘adzaban-Naar,” memiliki dimensi berbeda. Ayat pertama, menunjukkan betapa pada umumnya manusia, karena didahului dengan panggilan Ilahi ”Wahai manusia”. Maka Allah langsung membuat ancaman serius dengan menyebutkan kata Naar. Tetapi pada doa seorang beriman, “Lindungi kami dari siksa neraka,” maknanya sangat berbeda. Karena yang terakhir ini berhubungan dengan kualifikasi keimanan hamba kepada Allah, bahwa yang ditakuti adalah Azabnya neraka, bukan apinya. Sebab api tanpa azab, jelas tidak panas, seperti api yang membakar Ibrahim as.
Oleh sebab itu, jika seorang Sufi menegaskan keikhlasan ubudiyahnya hanya kepada Allah, memang demikian perintah dan kehendak Allah. Bahwa seorang mukmin menyembah Allah dengan harapan syurga dan ingin dijauhkan neraka, dengan perpekstifnya sendiri, tentu kualifikasi keikhlasannya di bawah yang pertama. Dalam berbagai ayat mengenai Ikhlas, sebagai Ruh amal, disebutkan agar kita hanya menyembah Lillahi Ta’ala. Tetapi kalau punya harapan lain selain Allah termasuk di sana harapan syurga dan neraka, sebagai bentuk kenikmatan fisik dan siksa fisik, itu juga diterima oleh Allah. Namun, kualifikasinya adalah bentuk responsi mukmin pada syurga dan neraka paling rendah.
Semua mengenal bagaimana Allah membangun contoh dan perumpamaan, baik untuk menjelaskan dirinya, syurga maupun neraka. Kaum Sufi memilih perumpamaan paling hakiki, karena perumpamaan neraka yang paling rendah sudah dilampauinya. Sebagaimana kualitas moral seorang pekerja di perusahaan juga berbeda-beda, walau pun teknis dan cara kerjanya sama.
Orang yang bekerja hanya mencari uang dan untung, tidak boleh mencaci dan mengecam orang yang bekerja dengan motivasi mencintai pekerjaan dan mencintai direktur perusahaan tersebut. Walau pun cara bekerjanya sama, namun kualitas moral dan etos kerjanya yang berbeda. Bagi seorang direktur yang bijaksana, pasti ia lebih mencintai pekerja yang didasari oleh motivasi cinta yang luhur pada pekerjaan, perusahaan dan mencintai dirinya, disbanding para pekerja yang hanya mencari untung be laka, sehingga mereka bekerja tanpa ruh dan spirit yang luhur.
Karena itu syurga pun demikian. Persepsi syurga bagi kaum Sufi memiliki kualifikasi ruhani dan spiritual yang berbeda dengan persepsi syurga kaum awam biasa. Hal yang sama persepsi mengenai bidadari. Bagi kaum Sufi bidadari yang digambarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, adalah Tajalli (penampakan) sifat-sfat dan Asma Kemahaindahan Ilahi, yang tentu saja berbeda dengan kaum awam yang dipersepsi sebagai kenikmatan bilogis seksual-hewani.
Syurga bagi kaum Sufi adalah Ma’rifatullah dengan derajat kema’rifatan yang berbeda-beda. Karena nikmat tertinggi di syurga adalah Ma’rifat Dzatullah. Jadi kalimat Rabi’ah Adawiyah tentang ibadah tanpa keinginan syurga adalah syurga fisik dengan kenikmatan fisik yang selama ini kita persepsikan. Dan hal demikian memang bisa menjadi penghalang (hijab) antara hamba dengan Allah dalam prosesi kema’rifatan.
Bahkan Allah pun membagi-bagi syurga dengan symbol berbeda-beda, ada Jannatul Ma’wa, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Firdaus, yang tentu saja menunjukkan kualifikasi yang bersifat lahiriyah maupun bathiniyah. Bagi orang beriman yang masih bergelimang dengan nafsunya, maka perspesi tentang nikmat syurga, adalah pantulan nafsu hewaninya dan syahwatnya, lalu persepsi kesenangan duniawi ingin dikorelasikan dengan rasa nikmat syurgawi yang identik dengan syahwatiyah.
Rabi’ah Adawiyah dan para Sufi lainnya ingin membersihkan jiwa dan hatinya dari segala bentuk dan motivasi selain Allah yang bisa menghambat perjalanan menuju kepada Allah. Dengan bahasa seni yang indah dan tajam, mereka hanya menginginkan Allah, bukan menginginkan makhluk Allah. Amaliyah di dunia sebagi visa syurga hanyalah untuk menentukan kualifikasi kesyurgawiannya, bukan sebagai kunci masuk syurganya. Karena hanya Fadhal dan RahmatNya saja yang menyebabkan kita masuk syurga. “karena Fadhal dan Rahmat itulah kamu sekalian bergembira…” Demikian dalam Al-Qur’an. Bukan gembira karena syurgaNya.
Syurga dan neraka adalah makhluk Allah. Apakah seseorang bisa wushul (sampai kepada) Allah, manakala perjalanannya dari makhluk menuju makhluk? Apakah itu tidak lebih dari sapi atau khimar yang menjalankan roda gilingan, yang berputar-putar terus menerus tanpa tujuan?
Nah anda bisa merenungkan sendiri, betapa tudingan-tudingan mereka yang anti tasawuf soal persepsi syurga dan neraka ini, bisa terbantahkan dengan sendirinya, tanpa harus berdebat lebih panjang.
Hanya mereka yang tolol dan bodoh saja, jika ada ucapan seperti ini dikecam habis, “Tuhanku, hanya engkau tujuanku, dan hanya ridloMulah yang kucari. Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…” Ucapan yang menjadi munajat para Sufi. Lalu mereka mengecam ucapan ini, sebagai bentuk anti syurga dan tak takut neraka?

Taubat Dan Terbukanya Hijab


Tidak ada puasa padaku dan tidak ada pula salat. Tidak ada linangan air mata atau semangat di hati. Yang ada hanyalah sikap ria dalam berdakwah. Meski demikian, aku tidak bisa meninggalkan pintu ini.
Itu adalah teriakan hati setiap orang yang terluka melihat dirinya diliputi kehampaan dari semua sisi. Itu bukan pertanyaan, tetapi semacam pengakuan yang berlaku bagi kita semua. Seorang tokoh besar sering mengulang bait berikut:
Aku tidak memiliki apa-apa, baik ilmu maupun amal
Aku juga tidak bersabar dalam taat dan kebajikan
Tenggelam dalam maksiat… dosaku begitu banyak
Bagaimana gerangan kondisiku di Hari Kebangkitan?
Di sini tangisan dan rintihan merupakan proses pengosongan yang dilakukan kaum ikhlas dan jujur yang hati mereka senantiasa berkobar. Seolah-olah hati mereka berisi kerikil api neraka yang membakar dada sehingga perasaan mereka ini tidak menemukan jalan keluar kecuali dengan air mata. Karena itu, kita melihat Rasulullah saw. membangun sebuah keberimbangan antara neraka dan air mata. Beliau saw. bersabda, “Tidaklah hamba mukmin meneteskan air mata meski hanya sebesar kepala lalat karena takut kepada Allah kemudian air mata itu mengalir ke wajahnya, kecuali Allah mengharamkannya dari neraka.”[1]
Ya. Yang bisa memadamkan api neraka hanya air mata. Dalam hadis lain, beliau mengungkapkan keberimbangan tersebut lewat sabdanya: “Dua mata yang tidak terkena api neraka adalah mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tidak tidur karena berjaga di jalan Allah.”[2] Dalam hadis ini—dan hadis-hadis lain—beliau melihat dengan pandangan yang sama kepada orang yang berjihad melawan pihak lain dan kepada orang yang berjihad melawan dirinya sendiri hingga meneteskan air mata.
Al-Quran juga menyebutkan kondisi sejumlah orang yang tersungkur bersujud dan menangis, sebagaimana dalam ayat yang lain ia mengajak untuk sedikit tertawa dan banyak menangis karena menyesal. Air mata menjadi saksi atas kehalusan jiwa dan kebaikan rohani. Setiap tetesnya menyamai air telaga Kautsar di surga. Keringnya air mata merupakan musibah besar sehingga Rasul saw. berlindung kepada Allah Swt. dari kondisi tersebut. Sungguh indah seandainya setiap mukmin dapat mencermati dirinya dan mengakui kenyataan pahit tersebut dengan berkata, “Aku tidak memiliki ilmu dan amal. Aku juga tidak bisa bersabar dalam berbuat taat dan kebaikan. Air mata pun tidak berlinang. Tidak ada kemampuan dalam hati. Aku tidak memiliki cahaya kehendak.”
Betapa indah seandainya setiap mukmin dapat meyakinkan dirinya bahwa ia tidak memiliki apa-apa, bahwa kalaupun ia menampilkan sejumlah karunia Allah, itu bukanlah karena kelayakannya tetapi karena kebutuhannya. Kepapaan dan ketidakberdayaannya itulah yang mendatangkan rahmat Allah Swt. Itulah sebab adanya karunia Allah Swt. Jalan pertama agar manusia bisa keluar dari aib dan kekurangannya adalah mengenali seluruh cacatnya lalu diikuti dengan perasaan menyesal dan sedih agar ia berusaha untuk terlepas dari aibnya itu.
Di antara nikmat terpenting yang Allah Swt. berikan kepada mukmin adalah kecintaannya kepada segala hal yang terkait dengan iman serta kebenciannya kepada segala hal yang terkait dengan kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Dengan kecintaan dan kebencian tersebut, manusia dapat naik ke puncak kemanusiaan dan puncak iman, seraya berlepas diri dari segala sesuatu yang berupaya menariknya ke bawah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat: “Tetapi Allah membuat kalian cinta kepada keimanan dan membuat keimanan indah dalam hati kalian serta membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itulah orangorang yang mendapat petunjuk sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana.”[3]
Jadi, Allah menanamkan cinta kepada iman sekaligus menghiasnya di dalam hati kaum beriman. Ketika kaum beriman melihat melalui lensa keimanan, seolah-olah mereka menyaksikan surga berikut bidadarinya. Namun, yang lebih penting, mereka merasa dekat dengan Allah Swt.
Yang dimaksud oleh ayat di atas adalah para sahabat. Perilaku tersebut menjadi tabiat mereka secara umum yang tidak pernah berubah. Mereka sangat mencintai segala hal yang terkait dengan keimanan dan seluruh hukum yang terkait dengan ibadah. Di sisi lain, mereka lari dari serta benci kepada kekafiran dan setiap hal yang menjurus kepadanya. Berkat keimanan mereka, meski berada di dunia, mereka seolah-olah hidup di surga dan dalam nuansa surga. Mereka lebih memilih dilempar ke dalam api dan tidak kembali kepada kekafiran. Seandainya mereka diberi pilihan antara hidup mewah dalam kekafiran dan dibakar dalam api sebagai mukmin, tentu mereka memilih yang terakhir. Karena itu, mereka telah sampai ke tingkatan petunjuk. Ini adalah karunia dan nikmat Allah Swt.
Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa jika manusia bisa menyadari dan merasakan kekurangannya, ini merupakan langkah pertama untuk keluar dari kekurangannya. Adapun jika ia merasa sempurna dan menganggap semua yang dikerjakannya untuk Islam sempurna, ketahuilah bahwa sedikit demi sedikit ia akan tenggelam. Imam al-Qasthalani menceritakan kepada kita bahwa 14 sahabat merasa gelisah karena takut kepada sifat munafik dan khawatir tercatat dalam golongan munafik. Rasa takut dan cemas tersebut merupakan tanda lain yang menunjukkan ketinggian iman mereka. Umar ibn Khattab dan Ummul Mukminin, Aisyah r.a., termasuk di antara para sahabat itu.