Laman

Senin, 23 Mei 2016

ILMU SEJATI

ILMU SEJATI
Syekh Siti Jenar satu di antara yang tahu akan kematiannya –walau bab kematian ini ada dua versi. Versi pertama menyebut lehernya ditebas para wali. Versi kedua menulis Siti Jenar menghendaki kematiannya sendiri dengan cara menutup jalan pernapasan.
Hingga kini, ajaran Siti Jenar tetap dianggap kontroversial. Ia dituding berseberangan dengan Wali Songo, dan karena itu harus dilenyapkan sebelum ”meracuni” umat Islam. Walau diancam, ia tetap kukuh dengan pemahamannya manunggaling kawulo Gusti –menyatunya Tuhan dengan manusia.
Ia hanya membabar ilmu hakikat hidup.
Ia merasa kehadiran Allah sangat dekat. Allah lebih dekat daripada urat leher. Ia menganggap hidup adalah kematian, sedangkan mati adalah kehidupan. Hidup yang tak tersentuh oleh kematian, itulah kehidupan sejati.
Untuk mendapatkan ilmu sejati, manusia harus sunyi dari pamrih. Tak boleh dengki. Bebas dari kekalutan dan kecemburuan. Hati dan pikiran jadi satu, tak ada konflik batin. Hening atau diam adalah usaha manusia untuk tidak menimbulkan riak kenegatifan dalam hidup.
Bila manusia sudah mampu mewujudkan pribadinya seperti itu, dia tak akan merasa lelah atau sakit dalam menempuh kehidupan. Suka-duka yang dialami, itu karena manusia kehilangan jati dirinya. Jiwanya lagi kosong. Belum bersih dan pasrah.
Syekh Siti Jenar satu di antara yang tahu akan kematiannya –walau bab kematian ini ada dua versi. Versi pertama menyebut lehernya ditebas para wali. Versi kedua menulis Siti Jenar menghendaki kematiannya sendiri dengan cara menutup jalan pernapasan.
Hingga kini, ajaran Siti Jenar tetap dianggap kontroversial. Ia dituding berseberangan dengan Wali Songo, dan karena itu harus dilenyapkan sebelum ”meracuni” umat Islam. Walau diancam, ia tetap kukuh dengan pemahamannya manunggaling kawulo Gusti –menyatunya Tuhan dengan manusia.
Ia hanya membabar ilmu hakikat hidup.
Ia merasa kehadiran Allah sangat dekat. Allah lebih dekat daripada urat leher. Ia menganggap hidup adalah kematian, sedangkan mati adalah kehidupan. Hidup yang tak tersentuh oleh kematian, itulah kehidupan sejati.
Untuk mendapatkan ilmu sejati, manusia harus sunyi dari pamrih. Tak boleh dengki. Bebas dari kekalutan dan kecemburuan. Hati dan pikiran jadi satu, tak ada konflik batin. Hening atau diam adalah usaha manusia untuk tidak menimbulkan riak kenegatifan dalam hidup.
Bila manusia sudah mampu mewujudkan pribadinya seperti itu, dia tak akan merasa lelah atau sakit dalam menempuh kehidupan. Suka-duka yang dialami, itu karena manusia kehilangan jati dirinya. Jiwanya lagi kosong. Belum bersih dan pasrah.

MURID2 SYEH SITI JENAR


Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan. Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana, maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi kaya dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini. Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu, hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya, membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at, jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!” “Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”. (Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 9-20).
“Tiada usah merasa enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi. Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu, mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu terus-teruskan, sebab itu palsu.” (Serat Syaikh Siti Jenar, Ki Sastrawijaya, Pupuh XI Pangkur, 25-36).
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang gemar dengan kesejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain. Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta dan Maha Memelihara. Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak atau menerima yang halal atau haram. Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif, Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa ilaaha illallah.” .
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya, pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati. Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya di neraka agung.”
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila saya besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba, pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an. Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama : Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan. Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua : Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan, dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang ilmu.”
“Itu semua disebabkan karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana. Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin, al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi. Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka, Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun. Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa, sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung, tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib, disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba. Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya, tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan, sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh V Pangkur, 22-45).
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20. Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma (memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja. Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.

AJARAN SYEH SITI JENAR MENURUT PANGERAN


Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong, sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta. Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma, karena sukmaitu adalah Allah.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2).
” Waktu shalat merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan. Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan dan kiri.”
“Adapun waktu yang lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh, yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia, berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”. Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar, dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan, dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat, Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat ‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.” (Serat Suluk Malang Sumirang, Pupuh 2).
“Menurut pemahaman saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua. Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir Gusti.”
“Anasir roh, ada empat perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya. Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api, angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar, angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya bergerak tarik menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang anasir.

Membuka hijab ruh suci dalam diri dengan istighfar


Dan manusia bertanya kepadamu tentang ruh.. katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al Isra; : 85)
Selanjutnya Allah menjelaskan dalam ayat lainnya : Apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan ruhKu, maka hendaklah kamu tersungkur sujud kepadanya. ( QS Shad : 72 )
Karena itulah, dalam proses penciptaan
Adam as, setelah ditiupkan ruhNya, malaikatpun sujud kepadanya. “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka semua kecuali Iblis ; ia enggan dan takabbur dan ia adalah termasuk orang-orang yang kafir ( QS.Al
Baqarah : 34 )
Sujudnya Malaikat kepada Adam (manusia), karena dalam diri manusia yang telah disempurnakanNya sebenarnya mengandung Zat Tuhan atau “Energi Ilahiyah” – yaitu yang disebut “ruh Ku” dalam surat Shad ayat 72, bukan kepada sifat kemanusiannya. Kita sebagai keturunan Adam as juga diberikan ruhNya.
Ruh yang diturunkan Allah kepada tanah yang diberi rupa adalah berasal dari tiupan Ilahi yang suci, yang membawa misi memelihara serta mengendalikan bumi (khalifah).
Namun, ketika pikiran dan perasaan manusia, mengikuti bisikan qalbunya yang sakit serta hawa nafsunya yang tidak terkendali, maka “unsur yang sangat mulia” itu mulai terbungkus, sehingga kualitas insan mengalami degradasi.
Akhirnya kesadaran dirinya jatuh kedalam lumpur tanah, sehingga ruh suci itu tampak gelap dan tidak bersinar. Ia tidak mampu mengendalikan tubuhnya, sehingga yang mengendalikan tubuhnya adalah setan. Tinggallah kini, ruh tak dapat berbuat apa-apa. Setanlah yang menggantikan kedudukan nurani sebagai pengendali pikiran, perasaan, dan bathin manusia.
Dengan demikian, yang mengendalikan pikiran dan tubuh bukan kesadaran jiwa, akan tetapi dorongan-dorongan seperti rasa lapar, rasa haus, seks, rasa marah, dan malas. Semua itu timbul karena aktivitas tubuh.
“…tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpaannya seperti anjing” (QS. A’Raf : 176). Inilah yang dinamakan jiwa yang mengikuti nafsu binatang.
Pada kondisi seperti inilah RUH berada dilubuk hati yang paling dalam, seolah ruh berada jauh didasar sekali. Ini menunjukkan ruh tidak dapat melakukan tugasnya sebagai utusan Allah , yang mengatur anggota tubuhnya dengan sinar keilahian untuk menata kehidupan sesuai dengan fitrah ilahi.
Secara hakekat, Ruh suci inilah Al qur’an sejati yang tidak tertulis dengan tinta dan tidak berupa suara, sehingga keabadian firmanNya tetap terjaga karena tersimpan dalam kalam yang suci…..
Sesungguhnya.. Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim ( QS : Al-Ankabuut 29:49 )
Manusia harus berjuang menemukan kembali unsur yang akan menjadikannya sebagai makhluk yang paling mulia di alam semesta. Jika manusia belum mengenal ruhnya, kedudukan manusia sama seperti hewan, yang memiliki kesadaran jiwa yang rendah.
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, atau bahkan lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu. (QS.Furqan : 44)
Pada kondisi ini sifat-sifat manusia sangat didominasi oleh sifat-sifat hewani, yaitu : makan, minum, tidur, seks dan egois. Dominasi ego dan nafsu sangat kuat mempengaruhi kehidupan manusia. Ego adalah produk pikiran (alam akal). Manusia dengan kesadaran rendah masih belum mampu melakukan kontrol terhadap panca indera yang dimilikinya, sehingga dia pun tidak dapat melakukan kontrol terhadap egonya.
Apabila hati telah dikuasai Ego, maka dapat dipastikan manusia tersebut tidak akan dapat mendengar suara Rabbnya. Suara/Petunjuk Allah hanya dapat didengar atau diketahui manusia melalui alam rasa (hati nurani). Karena itu, pada kenyataanya banyak manusia yang hatinya telah diselubungi oleh ego beranggapan bahwa suara ego tersebut adalah suara/petunjuk Tuhan yang diberikan pada dirinya.
Kekeliruan manusia yang menganggap ego sebagai petunjuk Allah akan timbul akibat sebagai berikut :
1. Munculnya sifat serakah, mau menang sendiri, merasa paling suci, sombong dll
2.Hatinya tidak akan merasakan tenang dan damai. Karena ego tidak mengenal batasan “cukup”, hingga hidupnya selalu dipenuhi dengan kecemasan.
3.Merasa hidupnya selalu dipenuhi oleh berbagai masalah, bahkan rahmat Allah pun seringkali dirasakan sebagai masalah, dan sulit untuk bersyukur pada kehendak Allah swt. Pikiran dan perasaannya selalu dihantui oleh rasa takut yang tak berkesudahan, takut ditinggal oleh Tuhan-tuhan palsu yang telah hidup dalam hatiNya.
Manusia yang RUHnya masih terselubung (masih rendah kesadarannya), melaksanakan ibadah hanya karena mengejar pahala, menggapai surga dan takut akan neraka. Seluruh pelaksanaan ibadah dilaksanakan hanya terbatas pada pelaksanaan hukum-hukum, rukun, dan belum menyentuh maknanya. Karena itu, kebanyakan manusia yang berkesadaran rendah pada akhirnya, disadari atau tidak, akan menjadikan hukum-hukum syariat sebagai tuhan-tuhan palsu dihatinya ” yang mereka sembah sebenarnya adalah ajarannya bukan Allah swt sebagai pencipta dan pemilik ajaran-ajaran itu sendiri “.
Kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa beribadah sebenarnya bukanlah bertujuan mengejar pahala, tetapi sebagai training/latihan untuk mencapai derajat taqwa atau kesejatian diri yang sesungguhnya, sehingga menjadi manusia yang mampu menjalankan hidup didalam pimpinan ruh yang hidup.
Untuk dapat meningkatkan kualitas kesadaran rendah menjadi kualitas kesadaran yang lebih tinggi, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah menurunkan dominasi ego yang ada dalam diri kita. Apabila ego sudah tidak menguasai hati, maka suara hati merupakan suara/petunjuk dari Allah, dapat didengar dengan jelas. Selanjutnya, yang bertindak sebagai pengendali tubuh adalah jiwa yang berserah kepada Allah (mukhlisin). Allah menggambarkan, setan pun tidak mampu menjangkau keadaan jiwa yang berserah diri kepada Allah : “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka” (QS Shad : 82-83)
Jelas sudah ruh merupakan pimpinan bagi jasad dan jiwa. Lalu sudahkah hidup kita dipimpin oleh ruh yang hidup ? Maka penyingkapan misteri ruh merupakan langkah awal yang harus kita lakukan. Lalu bagaimana caranya membuka hijab atau tabir ruh ?
Ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menyibak hijab ruh. Terapi Istighfar , suatu lembaga kajian hikmah dan dzikir yang menggiring ummat untuk memiliki kesadaran akan pentingnya ruh suci, yang merupakan zat tuhan yang ada pada diri kita sebagai pemimpin jasad dan jiwa dalam menjalankan hidup dan kehidupan.
Pada tahap awal, ruh suci (zat tuhan) yang terhijab dalam selubung qalb dan nafs harus dibuka tabirnya, membuka hijab versi Terapi Istighfar diistilahkan dengan sebutan “ waris ” dengan terbukanya tabir ruh, maka RUH akan kembali menjalankan fungsinya sebagai “ unsur yang mulia ” yaitu bersifat Energi Ilahiyah. Energi Ilahiyah ini bukan saja berfungsi sebagai “ zat hidup ”, namun juga sebagi energi yang memberikan kehidupan. pada tahap selanjutnya, Energi Ilahiyah ini kemudian diselaraskan dengan energi alam semesta (energi sunatullah).
Adapun manfaat yang dapat diperoleh setelah membuka tabir “ruh” adalah :
1. Membantu menyelaraskan alam akal dan alam rasa lewat praktek dan latihan di Terapi Istighfar. Apabila alam akal dan alam rasa telah terbiasa dalam keadaan selaras, maka prilaku seseorang tidak lagi dikuasai/dikontrol oleh ego.
2. Sebagai problem solving, dimana energi ilahiyah (zat tuhan) dalam diri dapat digunakan untuk upaya pengobatan bagi diri sendiri maupun orang lain, secara lahir maupun bathin.
3.Meningkatkan kekhusyu’an dalam beribadah.
4.Membersihkan hati sebagai tempat bersemayamnya Zat Allah ada pada tubuh manusia melalui praktek/latihan (lewat dzikir, meditasi, khalwat, dll) Hal ini akan meredam timbulnya sifat-sifat negatif manusia.
5.Menambah tingkat keimanan kepada Allah, dengan belajar dan terus belajar berserah diri kepadaNya lewat pasrah, ikhlas dan syukur. Senang, susah, suka, duka, rindu dan cinta, bukan karena dirinya, bukan pula karena dunianya, tetapi semuanya lillahi ta’ala (karena Allah).
Namun semua manfaat tersebut tidaklah serta merta didapat begitu saja setelah RUH dibuka tabirnya, melainkan semua itu butuh proses dan juga izinNya.
Katakanlah :
Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan
Kau beri kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
Dan Kau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki
Kau muliakan orang dari orang yang Engkau kehendaki
Dan Kau hinakan orang yang Engkau kehendaki
Ditangan Engkaulah segala kebaikan
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu
Engkau masukkan malam kedalam siang
Dan Engkau masukkan siang kedalam malam
Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati
Dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup
Dan Engkau beri rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan
Mudah-mudahan kami termasuk orang-orang yang Kau sukai
Amin Ya Rabb…
Allahu Akbar (3x)… Lillahi Ta’ala
Terapi Istighfar untuk memperbaiki syahadatnya, dan membuka hijab RUH nya, agar RUHnya menjadi pemimpin bagi jasad dan jiwanya dan menjadi manusia yang mampu menjalankan hidup didalam pimpinan ruh yang hidup, untuk mencapai ma’rifatNya.

RATU ADIL (Jangka Jayabaya)


Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal -usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keaslianya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabaya-lah yg membuat ramalan-ramalan tersebut.
“Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.”
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut dalam kitab-kitab mereka: Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya, bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha. Sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu Beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.[sunting] Analisa
Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut “Kitab Asrar” Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Silam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedatan”. Giri Kedatan ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun, demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai “Ratu Bobodo”) ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan “JANGKA JAYABAYA” dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.
Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama “REPUBLIK INDONESIA”!. Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini. (Kitab Musasar Jayabaya)
Asmarandana
1. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
2. Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
3. Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
4. Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana.
5. Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
6. Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu menge.nai Kitab Musarar.
7. Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata.
8. Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis 3 kali.
9. Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
10. Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
11. Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
12. Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
13. Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu.
14. Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
15. Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
16. Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
17. Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
18. Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
19. Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
20. Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
21. Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.
Sinom
1. Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
2. Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada jaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang Jaman Catur semune segara asat.
3. Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
4. Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada jaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
5. Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada jaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
6. Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
7. Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti jaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
8. Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
9. Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti jaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
10. Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
11. Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti jaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
12. Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti jaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
13. Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
14. Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
15. Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
16. Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. Jaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
17. Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
18. Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
19. Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
20. Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
21. Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar(( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
22. Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
23. Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
24. Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
25. Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
26. Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
27. Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
28. Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
29. Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
Isi Ramalan
1. Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
2. Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi.
3. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa.
4. Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
5. Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara.
6. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
7. Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut.
8. Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
9. Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
10. Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
11. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
12. Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
13. keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
14. Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan.
15. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
16. Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung.
17. Barang suci dibenci— Yang suci (justru) dibenci.
18. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
19. Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
20. Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
21. Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
22. Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
23. Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
24. Nantang bapa— Menantang ayah.
25. Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
26. Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
27. Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
28. Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
29. Ukuman Ratu ora adil — Hukuman Raja tidak adil
30. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil— Banyak pejabat jahat dan ganjil
31. Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat ganjil
32. Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
33. Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
34. Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
35. Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
36. Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
37. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
38. Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu.
39. Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
40. Wong apik ditampik-tampik— Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
41. Wong jahat munggah pangkat— Orang (yang) jahat naik pangkat.
42. Wong agung kasinggung— Orang (yang) mulia dilecehkan
43. Wong ala kapuja— Orang (yang) jahat dipuji-puji.
44. Wong wadon ilang kawirangane— perempuan hilang malu.
45. Wong lanang ilang kaprawirane— Laki-laki hilang perwira/kejantanan
46. Akeh wong lanang ora duwe bojo— Banyak laki-laki tak mau beristri.
47. Akeh wong wadon ora setya marang bojone— Banyak perempuan ingkar pada suami.
48. Akeh ibu padha ngedol anake— Banyak ibu menjual anak.
49. Akeh wong wadon ngedol awake— Banyak perempuan menjual diri.
50. Akeh wong ijol bebojo— Banyak orang tukar istri/suami.
51. Wong wadon nunggang jaran— Perempuan menunggang kuda.
52. Wong lanang linggih plangki— Laki-laki naik tandu.
53. Randha seuang loro— Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
54. Prawan seaga lima— Lima perawan lima picis.
55. Dhudha pincang laku sembilan uang— Duda pincang laku sembilan uang.
56. Akeh wong ngedol ngelmu— Banyak orang berdagang ilmu.
57. Akeh wong ngaku-aku— Banyak orang mengaku diri.
58. Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
59. Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
60. Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
61. Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
62. Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
63. Akeh randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi.
64. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne— Banyak anak lahir mencari bapaknya.
65. Agama akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
66. Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
67. Omah suci dibenci— Rumah suci dijauhi.
68. Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
69. Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan lacur dimana-mana.
70. Akeh laknat— Banyak kutukan
71. Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
72. Anak mangan bapak—Anak makan bapak.
73. Sedulur mangan sedulur—Saudara makan saudara.
74. Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
75. Guru disatru—Guru dimusuhi.
76. Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
77. Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
78. Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
79. Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
80. Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
81. Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
82. Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
83. Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
84. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
85. Wong salah dianggep bener—Orang salah dipandang benar.
86. Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
87. Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
88. Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
89. Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
90. Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
91. Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
92. Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
93. Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
94. Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
95. Akeh barang haram—Banyak barang haram.
96. Akeh anak haram—Banyak anak haram.
97. Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
98. Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
99. Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
100. Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
101. Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
102. Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
103. Wong golek pangan kaya gabah diinteri—Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
104. Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
105. Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
106. Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
107. Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
108. Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
109. Sing wedi mati—Yang takut mati.
110. Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
111. Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih
112. Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur
113. Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
114. Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
115. Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
116. Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
117. Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
118. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane—Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
119. Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
120. Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
121. Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
122. Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
123. Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
124. Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
125. Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
126. Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
127. Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
128. Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
129. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan—Banyak orang mati lapar di samping makanan.
130. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
131. Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
132. Sing bengkong bisa nggalang gedhong—Si bengkok membangun mahligai.
133. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil—Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
134. Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
135. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham—Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
136. Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
137. Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
138. Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
139. Akeh wong mati jalaran saka peperangan—Banyak orang mati karena perang.
140. Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
141. Wong bener saya thenger-thenger—Si benar makin tertegun.
142. Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
143. Akeh bandha musna ora karuan lungane—Banyak harta hilang entah ke mana
144. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe—Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
145. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram—Banyak barang haram, banyak anak haram.
146. Bejane sing lali, bejane sing eling—Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
147. Nanging sauntung-untunge sing lali—Tapi betapapun beruntung si lupa.
148. Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
149. Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
150. Kana-kene saya bingung—Di sana-sini makin bingung.
151. Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
152. Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
153. Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
154. Sing suwarane seru oleh pengaruh—Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
155. Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
156. Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
157. Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
158. Bandha dadi memala—Hartabenda menjadi penyakit
159. Pangkat dadi pemikat—Pangkat menjadi pemukau.
160. Sing sawenang-wenang rumangsa menang — Yang sewenang-wenang merasa menang
161. Sing ngalah rumangsa kabeh salah—Yang mengalah merasa serba salah.
162. Ana Bupati saka wong sing asor imane—Ada raja berasal orang beriman rendah.
163. Patihe kepala judhi—Maha menterinya benggol judi.
164. Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
165. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
166. Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
167. Maling lungguh wetenge mblenduk — Pencuri duduk berperut gendut.
168. Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
169. Maling wani nantang sing duwe omah—Pencuri menantang si empunya rumah.
170. Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
171. Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
172. Wong momong mitenah sing diemong—Si pengasuh memfitnah yang diasuh
173. Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
174. Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
175. Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
176. Kana-kene rebutan unggul—Di mana-mana berebut menang.
177. Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
178. Agama ditantang—Agama ditantang.
179. Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
180. Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
181. Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
182. Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
183. Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
184. Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi—Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
185. Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
186. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil—Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
187. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit—Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
188. Lan duwe prajurit—Dan punya prajurit.
189. Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
190. Tukang mangan suap saya ndadra—Pemakan suap semakin merajalela.
191. Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
192. Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
193. Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
194. Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga
195. Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
196. Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
197. Wong cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
198. Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
199. Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
200. Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
201. Buruh mangluh—Buruh menangis.
202. Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
203. Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
204. Senenge wong jahat—Berbahagialah si jahat.
205. Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
206. Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
207. Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
208. Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
209. Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
210. Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
211. Akeh wong ijir, akeh wong cethil—Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
212. Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
213. Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
214. Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
215. Akeh wong limbung—Banyak orang limbung.
216. Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Suluk Padang Bulan


Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim
Ya Allah, tanamkanlah cinta di hati saudara-saudaraku, ajarilah mereka untuk tidak membenci sesama, rengkuhlah mereka dalam samudera ketakterhinggaan keridhaan-Mu.
Ya Allah, buailah saudara-saudaraku untuk senantiasa menatap wajah keindahan-Mu, lupakanlah akal mereka untuk terus-menerus berebut dunia yang akan meninggalkan mereka. Ajarilah mereka untuk bisa berbagi kebahagiaan, kedamaian, kententeraman, dan kerendahan hati.
Ya Allah, ya Fattah, ya ‘Alam
Ya Allah, bukakanlah pintu pengetahuan-Mu kepada saudara-saudaraku, perlihatkan kepada mereka bahwa sesungguhnya apapun yang tercipta di dunia ini berasal dari Yang Satu.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada saudara-saudaraku bahwa ada sesuatu yang lebih esensial untuk diperjuangkan ketimbang mencari kesementaraan, ada sesuatu yang lebih abadi untuk terus dicari dan dicari ketimbang memperdebatkan ketiadaan yang hanya mempercepat pembusukan hati.
Ya Allah, ya Halim, ya ‘Azhim
Ya Allah, sirami dan sejukkanlah api dendam yang telah menguasai kebodohan hati saudara-saudaraku, lelehkanlah kebekuan jiwa mereka yang selama ini teramat sulit menerima cahaya kebenaran-Mu.
Ya Allah, berikanlah keagungan-Mu pada saudara-saudaraku, keagungan yang menjadikan mereka semakin arif dan bijaksana dalam memahami kehidupan, keagungan yang menjadikan mereka semakin tunduk dan takut pada keagungan-Mu.
Ya Allah, ya Karim, ya Hakim
Ya Allah, semayamkanlah embun kemulian-Mu di atas kebusukan nurani saudara-saudaraku yang selama ini telah mati, bersihkanlah kotoran-kotoran duniawi yang selama ini telah menutupi kejernihan akal pikiran mereka.
Ya Allah, didik dan asuhlah saudara-saudaraku dalam kebercahayaan hukum keadilan-Mu, ajarilah mereka bagaimana cara memperlakukan sesama, bagaimana cara untuk tidak mencuri dan merampok hak sesama, dan ajarilah mereka bagaimana Engkau memperlakukan makhluk yang telah Kau cipta.
Ya Allah, ya Ghafur, ya Syakur
Ya Allah, mereka yang selama ini terlanjur takabur, terlanjur kufur, bimbing dan arahkanlah jalan mereka untuk menuju pintu pengampunan-Mu, gandenglah tangan mereka untuk dapat memegang kunci kasih sayang-Mu.
Ya Allah, mereka yang selama ini terlalu lama melupakan-Mu, terlalu mudah menyepelekan-Mu, penuhilah jiwa dan hati mereka untuk senantiasa dapat memuji dan mengagungkan kebesaran serta keindahan-Mu, berilah sepercik cahaya-Mu agar mereka mampu bersyukur dalam setiap tafakur

MARTABAT TUJUH


Martabat 7, Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi, seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan ke-insan-kamil-an. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “ Tiga aspek batin terdiri dari
Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak),
Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah
(kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan
aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal. Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah , tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.
Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub , yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian
ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud . Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha . Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin . Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf , kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat , asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar , Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali . Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat) , dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.

Suluk Malang Sumirang


Sunan Panggung Sunan Panggung dihukum oleh kraton Demak dengan dibakar hidup-hidup karena dianggap telah melanggar sarak dan menyebarkan ajaran sesat. Saat itu Sunan Panggung memang memimpin barisan oposisi yang selalu mengkritik kebijaksanaan Sultan Demak yang selalu didukung oleh para wali. Kraton Demak berdiri kokoh salah satunya karena sokongan cendekiawan yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga. Kitab-kitab yang terbit pada jaman ini yaitu:
1) Suluk Sunan Bonang,
2) Suluk Sukarsa,
3) Suluk Malang Sumirang,
4) Koja-Kojahan, dan
5) Niti Sruti.
Pengertian Wali Sanga dapat dipahami secara denotatif maupun konotatif. Dalam pengertian denotatif nama Wali Sanga berarti sejumlah guru besar atau ulama yang diberi tugas untuk dakwah dalam wilayah tertentu. Dalam pengertian konotatif bahwa seseorang yang mampu mengendalikan babahan hawa sanga (9 lubang pada diri manusia), maka dia akan memperoleh predikat kewalian yang mulia dan Selamat dunia akhirat.
Tanggab Sasmita Tanggap sasmita adalah responsif terhadap informasi simbolik. Orang yang tanggap sasmita mempunyai perasaan yang halus sehingga dirinya mudah menyesuaikan diri. Tanda-tanda yang bersifat semiotis memerlukan ketajaman perasaan untuk menangkap maknanya. Tinggi rendahnya kepemimpinan Jawa salah satunya ditandai dengan kemampuannya dalam mengolah isyarat alamiah. Bahkan untuk memberi instruksi pun kadang-kadang lebih mengena dengan pasemon atau perlambang. Semiotika Jawa mengandung makna yang menekankan pada perasaan. Ada ungkapan ing sasmita amrih lantip berarti supaya dapat menangkap arti simbolik dengan ketajaman batin.
Suluk Malang Sumirang adalah ajaran Sunan panggung dari Kasultanan Demak. Ajaran ini berupa kritik atau sindiran kepada para ahli Sariat. Selanjutnya Sunan Panggung dihukum denga cara dibakar sebab dianggep menyebarkab aliran sesat.Beliau di bakar…tapi tdk terbakar,para wali hanya tertegun kagum..
Berikut ini petikan Suluk Malang Sumirang :
PUPUH DHANDHANGGULA
01 Malang sumirang amurang niti, anrang baya dènira mong gita, raryw anom akèh duduné, anggelar ujar luput, anrang baya tan wruh ing wisthi, angucap tan wruh ing trap, kaduk andalurung, pangucapé lalaluya, ambalasar dhahat amalangsengiti, tan kena winikalpa.
02 Andaluya kadadawan angling, tan apatut lan ujar ing sastra, lan murang dadalan gedhé, ambawur tatar-tutur, anut marga kang dèn-singkiri, anasar ambalasar, amegat kekuncung, tan ana ujar kerasa, liwang-liwung pangucapé burak barik, nulya kaya wong édan.
03 Idhep-idhepé kadya raryalit, tan angrasa dosa yèn dinosan, tan angricik tan angroncé, datan ahitang-hitung, batal karam tan dèn-singgahi, wus manjing abirawa, liwung tanpa tutur, anganggé sawenang-wenang, sampun kèrem makamé wong kupur kapir, tan ana dèn-sèntaha.
04 Angrusak sarak ujar sarèhing, acawengah lan ajar ing sastra, asuwala lan wong akèh, winangsitan andarung, kedah anut lampah tan yukti, mulané ambalasar, wus amanggé antuk, jatining apurohita, marminipun tan ana dèn-walangati, sakèhing pringgabaya.
05 Pangucapé wus tanpa kekering, oranana bayané kang wikan, dhateng kawula jatiné, tan ana bayanipun, anging tan wruh jatinirêki, pan jatining sarira, tan roro tetelu, kady angganing reringgitan, duk sang Panjy asusupan rahina wengi, kesah saking nagara.
06 Anêng Gegelang lumampah carmin, anukma aran dhalang Jaruman, dèn-pendhem kulabangsané, ndatan ana kang weruh, lamun Panji ingkang angringgit, baloboken ing rupa, pan jatine tan wruh, akèh ngarani dhadhalang, dhahat tan wruh yen sira putra ing Ke1ing, kang amindha dhadhalang.
07 Adoh kadohan tingalirêki, aparek reké tan kaparekan, yèn sang Panji rupané, dèn-senggèh baya dudu, lamun sira Panji angringgit, balokloken ing tingal, pan jatining kawruh, lir Wisnu kelayan Kresna, ora Wisnu anging Kresna Dwarawati, amumpuni nagara.
08 Wisésa Kresna jati tan sipi, kang pinujyêng jagad pramudita, tan ana wruh ing polahé, lir Kresna jati Wisnu, kang amanggih datan pinanggih, pan iya déning nyata, kajatenirêku, mulané lumbrah ing jagad, angestoken kawignyan sang Wisnumurti, nyatané arya Kresna.
09 Mangkana kang wus awas ing jati, oranana jatining pangéran, anging kawula jatiné, kang tan wruh kéngar korup, pan kabandhang idhepirêki, katimpur déning sastra, milu kapiluyu, ing wartaning wong akathah, pangèstiné dèn-senggèh wonten kakalih, kang murba kang wisésa.
10 Yèn ingsun masih ngucap kang lair, angur matiya duk lagi jabang, ora ngangka ora ngamé, akèh wong angrempelu, tata lapal kang dèn-rasani, sembayang lan puwasa, dèn-gunggung tan surud, den-senggèh anelamna, tambuh gawé awuwuh kadya raragi, akèh dadi brahala.
11 Pangrungunisun duk raré alit, nora selam déning wong sembayang, nora selam déning anggèn, tan selam déning saum, nora selam déning kulambi, tan selam déning dhestar, ing pangrungunisun, éwuh tegesé wong selam, nora selam déning anampik amilih, ing karam lawan kalal.
12 Kang wus prapta ing selamé singgih, kang wisésa tuwin adi mulya, sampun teka ing omahé, wulu salembar iku, brestha geseng tan ana kari, angganing anêng donya, kadya adedunung, lir sang Panji angumbara, sajatiné yèn mantuk ing gunung urip, mulya putrêng Jenggala.
13 Akèh wong korup déning sejati, sotaning wong dèrèng purohita, dèn-pisah-pisah jatiné, dèn-senggèh seos wujud, sajatiné kang dèn-rasani, umbang ing kapiran, tambuh kang den-temu, iku ora iki ilang, mider-mider jatiné kang dèn-ulati, tan wruh kang ingulatan.
14 Brahalane den-gendong den-indit malah kabotan dening daadapen mangke dereng wruh jatine dening wong tanga guru amungakĕn wartaning tulis kang ketang jatining lyan den-tutur anggalur den-turut kadya dadalan kajatene deweke nora kalingling lali pejah min-Wang.
15 Dosa gung alit kang den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-ucap iku wong anom kawruhe sembayang tan surud puwasane den ati-ati tan ayun kaselanan kalimput ing hukum kang sampun tekeng kasidan sembah puji puwasa tan den-wigati nora rasa-rinasan.
16 Sakeh ing doss tan den-singgahi ujar kupur-kapir tan den-tulak wus liwang-liwung polahe tan andulu dinulu tan angrasa tan den-rasani tan amaran pinaran wus jatining suwung ing suwunge iku ana ing anane iku surasa sejati tan kĕna den-ucapna.
17 Dudu rasa kang kĕraseng lati dudu rasa rasaning pacuwan dudu rasa kang ginawe dudu rasa rasaning guyu dudu rasa rasaning lati dudu rasa rĕrasan rasaku amengku salir ing rasa surasa. mulya putreng Jènggala rasa jati kang kerasa jiwa jisim rasa mulya wisesa.
18 Kang wus tumeka ing rasa jati panĕmbahe da tanpa lawanan lir banyu mili pujine ing ĕnĕnge anebut ing unine iya amuji solahe raganira dadi pujinipun tĕkeng wulune salĕmbar ing osike tan sipi dadi pamuji pamuji dawakira.
19 Ingkang tan awas puniku pasti dadi kawulane kang wus awas tĕka ing sĕmbah pujine amung jatining wĕruh pamujine rahina wĕngi mantĕp paran kang awas ujar iku luput ananging aran tokidan lawan ujar kupur-kapir iku kaki aja masih rĕrasan.
20 Yen tan wruha ujar k„p„r-”pir pasti woog iku durung ~”„, maksih bakai pangawruhe pan kupur-kapir iku iya iku sampurna jati pan wèkas ing kasidan kupur-kapir iku iya sadat iya salat iya idĕp iya urip iya jati iku jatining salat.
21 Sun-marenana angedarneling sun-sapiye ta bok kadĕdawan mĕnawa mèdal cucude ajana milu-milu mapan iku ujar tan yakti pan mangkana ing lampah anrang baya iku rare anom ambĕlasar tanpa gawe gawene sok murmg niti anggung malang sumirang.
Salah satu kitab suluk yang mengajarkan pendidikan budi pekerti adalah Suluk Sujinah. Seperti layimnya jenis kitab-kitab suluk, Suluk sujinah dituangkan dalam bentuk dialog, antara Syekh Purwaduksina dengan istrinya Dyah Ayu Sujinah mengenai asal asal mula, kewajiban, tujuan, dan hakikat hidup menurut agama Islam, khususnya ajaran tasawuf. Diterangkan juga tahap-tahap yang harus dilalui manusia dalam upayanya agar bisa luluh kembali kepada Tuhan.
Tidak mudah untuk menemukan pendidikan budi pekerti dalam Suluk Sujinah yang sebagaian besar isinya membentangkan masalah jati diri manusia, apa saja yang akan dialami anak manusia menjelang dan sesudah mati, Dzat Yang Kekal dan lain-lain, hal yang tidak mudah dipahami, karena dituangkan dalam bahasa yang sarat lambang. Di bawah ini ungkapan beberapa bait yang berisi pendidikan budi pekerti dalam Suluk Sujinah sebagai berikut :
Sifat Perbuatan Lahiriyah
1. Agampang janma sembayang, nora angel wong angaji, pakewuhe wong agesang, angadu sukma lan jisim, salang surup urip, akeh wong bisa celathu, sajatine tan wikan, lir wong dagang madu gendhis, iya iku wong kandheng ahli sarengat.
Terjemahan :
Adalah mudah manusia sembahyang, tidaklah sesulit orang memuji, rintangan hidup adalah mengadu sukma dan tubuh, salah paham kehidupan, banyak orang bisa bicara, nyatanya tidak mengetahui, sperti orang berdagang madu gula, orang yang terhenti sebagai ahli syariat.
2. Sang Dyah kasmaran ing ngelmi, tan nyipta pinundhut garwa, amaguru ing batine, kalangkung bekti ing priya.
Terjemahan :
Si cantih gemar belajar ilmu, tidak mengira akan diperistri, dalam hati ia berguru dan sangat berbakti kepada suami.
3. Mung tuwan panutan ulun, pangeran dunya ngakerat.
Terjemahan :
Hanya tuan yang kuanut, pujaan di dunia dan akhirat.
4. Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan ………, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.
Terjemahan :
Ketiga disebut banyuara, yakni tapa istri utama, artinya mampu menyaring kata, tutur kata sanak saudara, tidak mudah mematuhi dan meniru, dalam hati hanya bertekad mematuhi nasehat suami.
5. Dyah Ayu Sujinah lon aturnya, adhuh tuwan nyuwun sihnya sang yogi, tan darbe guru lyanipun, kajawi mung paduka, dunya ngakir tuwan guru laki ulun.
Terjemahan :
Dyah Ayu Sujinah berkata perlahan, “aduhai, aku mohan belas kasihan, aku tidak mempunyai guru lain, kecuali hanya paduka, di dunia dan akhirat, tuanlah guruku”.
6. Dyah Ayu Sujinah umatur ngabekti, langkung nuwun pangandika tuwan, kapundhi ing jro kalbune, dados panancang emut, karumatan sajroning budi.
Terjemahan :
Dyah Ayu Sujinah berkata dengan hormat, “sangat berterimakasih atas penjelasanmu, kuingat dalam hati baik-baik, dan kulakukan”.
Seseorang yang hanya terhenti pada tahap syariat diibaratkan sebagai berdagang madu gula. Dalam mengarungi samudera kehidupan, manusia pasti akan mengalami berbagai rintangan yang tidak cukup diatasi dengan banyak bicara saja tanpa disertai laku amal.
Dalam hubungan suami istri, dilukiskan bahwa keutamaan seorang istri ialah wajib setia bakti patuh kepada suami. Suami diibaratkan sebagai guru yang harus dianut tanpa kecuali, dan sebagai pujaan di dunia dan akhirat. Istri yang dipandang utama ialah istri yang mampu menyaring tutur kata orang lain, tidak mudah terpengaruh siapapun, hanya patuh dan tunduk kepada nasihat suami.
Mati Dalam hidup
Laku ahli tarikat, ibarat mati di dalam hidup, semata-mata hanya mematuhi kehendak Tuhan. Kemudia dijelaskan tentang empat macam tapa, yaitu tapa ngeli : “berserah diri dan mematuhi sembarang kehendak Tuhan,
tapa geniara : “tidak sakit hati apabila dipercakapkan orang”, tapa banyuara:
“mampu menyaring kata dan tutur kata sanak saudara, tidak terpengaruh orang lain, hanya mematuhi nasehat suami”, dan tapa Ngluwat : “tidak membanggakan kebaikan, jasa maupun amalanya”.
Terhadap sesama selalu bersikap rendah hati dan tidak gemar cekcok, lagi pula ia menyadari bahwa setiap harinya manusia selalu harus pandai-pandai memerangi gejolak hawa nafsu yang akan menjerumuskan dalam kesesatan. Mempunyai pengertian yang mendalam bahwa pada hakikatnya manusia sebagai makhluk Tuhan, adalah sama, setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan.
1. Lakune ahli tarikat, atapa pucuking wukir, mungguh Hyang Suksma parenga, amati sajroning urip, angenytaken ragi, suwung tan ana kadulu, mulane amartapa, mrih punjul samining janmi, wus mangkana kang kandheg aneng tarekat.
Terjemahan :
Laku ahli tirakat adalah bertapa di puncak gunung, sekiranya Tuhan meridhoi mati di dalam hidup, menghanyutkan diri, kosong tidak ada yang terlihat, oleh karena itu bertapa agar melebihi sesamayan, demikianlah barang siapa yang terhenti pada tarikat.
2. Dhihing ingkang aran tapa, iya ngeli lire pasrah ing Widi, apa karsane Hyang Agung, iya manut kewala, kadya sarah kang aneng tengahing laut, apa karsaning Pangeran, manungsa darma nglakoni.
Terjemahan :
Pertama, yang disebut tapa ngeli yakni, mengahayutkang diri, artinya berserah diri kepada Tuhan, sebarang kehendak-Nya patuhi sajalah, ibarat sampah di tengah laut, sebarang kehendak Tuhan manusia hanya pelaksana semata.
3. Ping kalih kang aran tapa , geniara adadi laku ugi, ana dene artinipun, malebu dahana, lire lamun kabrangas ing ujar …. den ucap ing tangga, apan ta nora sak serik.
Terjemahan :
Kedua, yang disebut tapa geniara menjadi laku juga, adapun artinya ialah masuk kedlam api, maksudnya jika terbakar oleh kata-kata dan dipercakapkan tetangga tidak sakit hati.
4. Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan gumampang anggugu, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.
Terjemahan :
Ketiga, disebut banyuara, yakni tapanya istri utama, artinya mampu menyaring kata-kata atau tutur kata sanak saudara, tidak mudah mengikuti dan meniru orang lain, dalam hati bertekad mematuhi nasehat suami.
5. Tapa kang kaping sekawan, tapa ngluwat mendhem sajroning bumi, mengkene ing tegesipun, aja ngatonken uga, marang kabecikane dhewe puniku, miwah marang ngamalira, pendhemen dipun arumit.
Terjemahan :
Tapa yang keempat adalah tapa ngluwat, memendam diri di dalam tanah, beginilah maksudnya ; jangan memperlihatkan juga kebaikan diri sendiri, demikian pula amalmu pemdamlah dalam-dalam.
6. Lawan malih yayi sira, dipun andhap asor marang sasami, nyingkirana para padu, utamane kang lampah, tarlen amung wong bekti marang Hyang Agung, iku lakuning manungsa, kang menang perang lan iblis.
Terjemahan :
Lagi pula dinda, bersikaplah rendah hati terhadap sesama, jauhilah sifat gemar cekcok, seyogyanya laku itu tiada lain hanya hanya berbakti kepada Tuhan Yang Maha Agung, itulah laku manusia yang menang berperang dengan iblis.
7. Iku benjang pinaringan, ganjaran gung kang menang lawan iblis, langkung dening adiluhung, suwargane ing benjang, wus mangkono karsane Hyang Mahaluhur, perang lan iblis punika, sajatining perang sabil.
Terjemahan :
Kelak akan mendapat annugerah besar, barang siap menang melawan iblis, sangat indah mulia surga firdausnya kelak, memang demikianlah kehendak Tuhan yang Mahaluhur, perang melawan iblis itu nyata-nyata perang sabil.
8. Yayi perang sabil punika, nora lawan si kopar lawan si kapir, sajroning dhadha punika, ana prang bratayudha, langkung rame aganti pupuh-pinupuh, iya lawan dhewekira, iku latining prang sabil.
Terjemahan :
Dinda, perang sabil itu bakan melawan kafir saja, di dalam dada itu ada perang baratayuda, ramai sekali saling pukul-memukul yaitu perang melawan dirinya nafsu, itulah sesungguhnya perang sabil.
Kutipan diatas bermakna bahwa sebagai hamba Tuhan sikapnya hendaklah selalu sadar percaya, dan taat kepada-Nya. Dalam mengarungi samudra kehidupan, agar tidak sesat. Kecuali itu, karena menurut kodratnya manusia bukan makhluk soliter, yang dapat hidup sendiri, memenuhi segala kebutuhan sendiri, melainkan adalah makhluk sosial. Dalam tata pergaulan hidup bermasyarakat hendaklah mematuhi nilai-nilai hidup dan mempunyai watak terpuji, ialah sabar penuh pengertian, berbudi luhur, rendah hati, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan orang lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh maupun congkak, tidak iri maupun dengki dan bersyukur atas barang apa yang telah dicapai berkat ridla Tuhan. Di samping itu hendaklah sadar bahwa manusia itu bersifat lemah, ibarat wayang yang hanya dapat bergerak atas kuasa dalang.
Sifat Ahli Hakikat
1. Lakune ahli hakekat, sabar lila ing donyeki, laku sirik tan kanggonan, wus elok melok kaeksi, rarasan dadi jati, ingkang jati dadi suwung, swuh sirna dadi iya, janma mulya kang sejati, pun pinasthi donya ngakir manggih beja.
Terjemahan :
Laku ahli ahli hakikat adalah, sabar ikhlas di dunia, tidak musrik, nyata-nyata telah tampak jelas, pembicaraan menjadi kesejatian, yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada, manusia mulia yang sejati, telah dipastikan ia didunia akhirat mendapat kebahagian.
2. Sang wiku dhawuh ing garwa, ingkang aran bumi pitung prakawis, kang aneng manungsa iku, pan wajib kaniwruhan, iku yayi minangka pepaking kawruh, yen sira nora weruha, cacad jenenge wong urip.
Terjemahan :
Sang pertapa berkata kepada istrinya, yang dinamai tujuh lapis bumi, yang ada pada diri manusia itu, wajib diketahui, dinda itu sebagai kelengkapan ilmu, jika kau tidak mengetahuinya, cacad namanya bagi orang hidup.
3. Bumi iku kawruhana, ingkang aneng badan manungsa iki, sapisan bumi ranipun, ingaranan bumi retna, kapindho ingkang aran bumi kalbu, bumi jantung kaping tiga, kaping catur bumi budi.
Terjemahan :
Katahuilah bumi, yang ada pada tubuh manusia itu, pertama namanya bumi retna, yang kedua bernama bumi kalbu, ketiga bumi jantung, keempat bumi budi.
4. Ingkang kaping lima ika, bumi jinem arane iku yayi, kaping nenem puniku, ingaranan bumi suksma, ping pitune bumi rahmat aranipun, dhuh yayi pupujan ingwang, tegese ingsun jarwani.
Terjemahan :
Yang kelima, bumi jinem namanya, yang keenam dinda, dinamai bumi sukma, ketujuh bumi rahmat namanya, aduhai dinda pujaanku, artinya ku jelaskan begini.
5. Ingkang aran bumi retna, sajatine dhadhanira maskwari, bumine manungsa tuhu, iku gedhong kang mulya, iya iku astanane islamipun, dene kaping kalihira, bumi kalbu iku yayi.
Terjemahan :
Yang dinamai bumi retna, sesungguhnya dadamu dinda, benar-benar bumi manusia, itu gedung mulia, menurut islam itu istana, adapun yang kedua, itu bumi kalbu dinda.
6. Iku yayi tegesira, astanane iman iknag sejati kaping tiga bumi jantung, yaiku ingaranan, astanane anenggih sakehing kawruh, lan malih kaping patira, kang ingaranan bumi budi.
Terjemahan :
Adapun artinya, istana iman sejati ketiga bumi jantung, yaitu dinamai istana semua ilmu, dan lagi yang keempat, yang dinamai bumi budi.
7. Iku yayi, tegesira, astanane puji kalawan dzikir, dene kaping gangsalipun, bumi jenem puniku, iya iku astane saih satuhu, nulya kang kaping nemira, bumi suksma sun wastani.
Terjemahan :
Dinda, itu artinya istana puji dan dzikir, adapun yang kelima , bumi jinem itu, istana kasih sejati, kemudian yang keenam, kunamai bumi sukma.
8. Ana pun tegesira, astananing sabar sukur ing Widi, anenggih kang kaping pitu, ingaranan bumi rahmat, kawruhana emas mirah tegesipun, astananing rasa mulya, gantya pipitu kang langit.
Terjemahan :
Adapun artinya, istana kesabaran dan rasa syukur kepada Tuhan, adapun yang ketujuh, dinamai bumi rahmat, dinda sayang, ketahuilah artinya, istana rasa mulia, kemudian berganti tujuh langit.
9. Kang aneng jroning manungsa, kang kaping pisan ingaranan roh jasmani, dene kaping kalihipun, roh rabani ping tiga, roh rahmani nenggih ingkang kaping catur roh rohani aranira, kaping gangsal ingkang langit.
Terjemahan :
Yang ada dalam diri manusia, yang pertama disebur roh jasmani, adapun yang kedua roh rohani, ketiga roh rahmani, yang keempat roh rohani namanya, langit yang kelima.
10. Roh nurani aranira, ingkang kaping nenem arane yayi, iya roh nabati iku, langit kang kaping sapta, eroh kapi iku yayi aranipun, tegese sira weruha, langit roh satunggil-tunggil.
Terjemahan :
Roh nurani namanya, yang keenam dinda, ialah roh nabati, langit yang ketujuh, roh kapi itu dinda namanya, ketahuilah artinya langit roh masing-masing.
11. Tegese langit kapisan, roh jasmani mepeki ing ngaurip, aneng jasad manggonipun, langit roh rabaninya, amepeki uripe badan sakojur, roh rahmani manggonira, mepeki karsanireki.
Terjemahan :
Arti langit pertama, roh jasmani memenuhi kehidupan, di tubuh tempatnya, langitroh rabani, memenuhi hidup sekujur tubuh, roh rahmani tempatnya, memenuhi pada kehendakmu.
12. Langit roh rohani ika, amepeki ing ngelminira yayi, langit roh nurani iku, mepeki cahya badan, roh nabati amepeki idhepipun, iya ing badan sedaya, langit roh kapi winilis.
Terjemahan :
Langit roh rohani itu, memenuhi dalam dirimu, langit roh nurani itu, memenuhi cahaya tubuh, roh nabati memenuhi pikiranmu, dan seluruh tubuh, langit roh kapi disebut-sebut.
13. Mepeki wijiling sabda, pan wus jangkep cacahing pitung langit, eling-elingen ing kalbu, apa kang wus kawedhar, amuwuhi kandeling iman, ……….
Terjemahan :
Memenuhi terbabarnya sabda, telah lengkaplah jumlah tujuh langit, ingat-ingatlah dalam hati, apa yang telah terungkap, menambah tebalnya iman.
Laku ahli hakikat adalah sabar, tawakal, tulus iklas. Pada tahap ini manusia telah mengenal jati dirinya, yang dilambangkan terdiri dari atas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit sebagai kelengkapan ilmu. Kesemuanya berasal dari Tuhan, dan semua itu menambah tebalnya iman. Wujudnya sebagai wadah ilmu, dan ilmunya ada pada Tuhan. Manusia yang telah memahami ilmu Tuhan, tidak berpikiran sempit, kerdil atau fanatik, dan tidak pula takabur. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat-menghormati keyakinan orang lain, karena tahu bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersember satu itu, hakikatnya sama. Ibarat sungai-sungai dari gunung manapun mata airnya, pasti akan bermuara ke laut juga. Sebaliknya jikalau ia memperdebatkan kulit luarnya, berarti beranggapan benar sendiri, dan belum sampai pada inti ajaran yang dicari. Orang yang telah sampai tahap hakikat, tidak munafik dan tidak mempersekutukan Tuhan.
14. Inkang ana jroning badan kabeh, pan punika saking Hyang Widi, wujud ingkang pasthi, wawadhahing ngelmu.
Terjemahan :
Semua yang ada di dalam tubuh, itu dari Tuhan, wujud yang pasti, sebagai tempat ilmu.
15. Iya ngelmu ingkang denwadhahi, ana ing Hyang Manon, poma iku weling ingsun angger, den agemi lawan den nastiti, tegese wong gemi, ywa kongsi kawetu.
Terjemahan :
Ilmu yang diwadahi, ada pada Tuhan, teristimewa sekali pesanku nak, hemat dan telitilah, arti orang hemat, jangan sampai keluar.
16. Dene ta tegese wong nastiti, saprentah Hyang Manon, den waspada sabarang ngelmune, terusana lahir tekeng batin, ywa padudon ngelmu, lan wong liya iku.
Terjemahan :
Adapun arti orang teliti, akan semua perintah Tuhan, hendaknya waspada terhadap sabarang ilmu, seyogyanya teruskanlah lahir sampai batin, jangan bercekcok tentang ilmu, dengan orang lain.
17. Yen tan weruh ngelmune Hyang Widi, tuna jenenging wong, upamane kaya kali akeh, ana kali gedhe kali cilik, karsanira sami, anjog samudra gung.
Terjemahan :
Jika tidak mengetahui ilmu Tuhan, berarti rugi sebagai manusia, ibarat seperti sungai banyak, ada sungai besar ada sungai kecil, kehendaknya sama, bermuara di samudra raya.
18. Sasenengan nggennya budhal margi, ngetan ana ngulon, ngalor ngidul saparan-parane, suprandene samyanjog jaladri, ywa maido ngelmi, tan ana kang luput.
Terjemahan :
Sesuka hati orang mencari jalan, ada yang ketimur, kebarat ke utara ke selatan dan kemana saja perginya, tetapi semua bermuara di laut, jangan mempercayai ilmu, tak ada yang keliru.
19. Lir kowangan kang cupet ing budi, sok pradondi kawruh, sisih sapa ingkang nisihake, bener sapa kang mbeneraken yayi, densarwea pasthi, amung ngajak gelut.
Terjemahan :
Ibarat kumbang air yang berbudi picik, kadang bertengkar ilmu, bila salah siapakah yang menyalahkan, bila benar siapa yang membenarkan dinda, jika singgung pasti, hanya mengajak bergelut.
10. Papindhane wong sumuci suci, iku kaya endhog, wujud putih amung jaba bae, njero kuning pangrasane suci, iku saking warih, warna cilam-cilum.
Terjemahan :
Ibarat orang yang mengaku suci, seperti telur, berwujud putih hanya luarnya saja, dalamnya kuning menurut perasaannya suci, itu dari air, berubah-ubah.
11. Wong mangkana tan patut tiniru, yayah kayu growong, isinira tan liyan mung telek, nadyan bisa tokak-tokek muni, tan pisan mangerti, ucape puniku.
Terjemahan :
Orang seperti itu tidak patut dicontoh, seperti kayu berlubang, isinya tidak lain hanya tokek, sekalipun bisa berbunyi tekek-tekek, sama sekali tidak mengerti, apa ucapanya itu.
12. Poma yayi den angati-ati, ujar kang mangkono, den karasa punika rasane, rinasakna sucine wong ngelmi, kang kasebut ngarsi, lir sucining kontul.
Terjemahan :
Teristemewa sekali dinda berhati-hatilah, kata seperti itu, rasakanlah hahekatnya, rasakanlah kesucian orang berilmu, yang tersebut didepan, seperti kesucian burung bagau.
13. Kicah-kicih anggung saba wirih, angupaya kodhok, lamun oleh pinangan ing enggen, wus mangkono watak kontul peksi, sandhange putih, panganane rusuh.
Terjemahan :
Berulangkali selalu pergi di tempat berair, mencari katak, jika telah dapat dimakan ditempat, memang demikian perangai burung bagau, pakaiannya putih, makanannya kotor.
14. Ywa mangkono yayi wong ngaurip, poma wekas ingong, den prayitna rumeksa badane, aywa kadi watak kontul peksi, mundhak niniwasi, dadi tanpa dunung.
Terjemahan :
Dinda, janganlah demikian orang hidup, teristemewa sekali pesan ku, berhati-hatilah menjaga tubuh, jangan seperti perangai burung bangau, karena menyebabkan celaka, sehingga tanpa tujuan.
15. Mituhua pitutur kang becik, yayi den kalakon, nyingkir ana jubriya kibire, lan sumungah aja anglakoni.
Terjemahan :
Patuhilah nasihat utama dinda, semoga terlaksana, singkirkan watak congkak dan takabur, dan jangan pula angkuh.