Laman

Selasa, 15 Oktober 2013

Cerita Kisah Nabi Luth As | Kisah Nabi Luth As


Luth adalah anak dari saudara Nabi Ibrahim. Luth ikut pindah ke Palestina bersama-sama Nabi Ibrahim dan pengikutnya.
Sesudah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Nabi Luth ditugaskan untuk berdakwah di negeri Sadum (Sodom). Penduduk kaum Sadum ini sangat durhaa dan sangat bejad moralnya....

Bangsa Sadum tidak menyetujui adanya perkawinan. Mereka menyukai laki-laki sama lelakinya. Dan yang perempuan menyukai sesame perempuan. Inilah kebiasaan bejad yang disebut Homo Seks dan Lesbian. Jadi janganlah mengira homo seksual dan lesbian itu perilaku manusia modern. Ini sudah ada sejak dahulu kala dan sangat kuno, bejad, mesum dan sesat lebih hina daripada binatang, karena binatang saja hanya mau menggauli lawan jenisnya.
Disamping itu mereka suka merampok dan menyamun. Mencegat orang ditengah jalan untuk merampas hartanya dan menculik para pemuda utnuk diperkosa.
Nabi Luth memberikan nasihat yang baik tapi mereka tidak mau menerimanya. Malah mengejek dan memaki-makinya. Jika mereka diingatkan adanya hari pembalasan dan adzab Allah yang sangat pedih, mereka malah menantang Nabi Luth dengan berkata : “Hai Luth, datangkanlah siksaan Allah itu, Hai Luth sekiranya kau orang yang benar.”  
Pada suatu hari ada 3 tamu laki-laki datang ke rumah Nabi Luth. Tiga lelaki itu wajahnya tampan dan kulitnya lembut.
Adalah kebiasan kaum Sadum utnuk merampas dan merebut lelaki tampan dan perkasa untuk diperkosa. Nabi Luth kuatir jika ketiga tamunya akan mengalami nasib tragis seperti itu.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah berbondong-bondong penduduk Sadum datang ke rumah Nabi Luth. Mereka berdiri di depan rumah Nabi Luth yang tertutup rapat. Mereka berteriak-teriak agar Nabi Luth menyerahkan ketiga tamunya.
Nabi Luth heran, sebab tidak ada seorang pun tahu tentang adanya tamu yang hadir dirumahnya. Tentu ada yang jadi pengkhianat di dalam keluarganya.
Berkata Nabi Luth : "Hai kaumku. Janganlah tamuku ini kau minta. Biarlah anak-anak perempuanku yang kuberikan !"
Jawab kaum Sadum : "Hai Luth ! Engkau sudah tahu maksud kami. Kami tidak menyukai perempuan. Kami hanya menghendaki laki-laki !".
Dengan sabar Nabi Luth mencoba menyadarkan kaumnya bahwa tindakannya itu tercela, namun kaumnya tidak mau peduli. Mereka tetap menuntut agar Nabi Luth menyerahkan tamunya.
Di saat yang genting itu ketiga pemuda tampan tadi berkata kepada Nabi Luth. "Hai Luth kami ini sebenarnya para malaikat yang diutus Tuhan. Tenangkanlah hatimu. Mereka tidak akan membahayakan kamu. Jika hari sudah malam keluarlah dari negeri ini bersama keluargamu, ingat janganlah kalian melihat ke belakang."
Maka keluarlah Nabi Luth dengan keluarganya melalui pintu belakang. Hari menjelang pagi. Penduduk Sadum yang menunggu di depan rumah tak sabar lagi. Mereka mendobrak pintu rumah Nabi Luth. Mereka bersorak begitu melihat tiga pemuda tampan di dalam rumah Nabi Luth. Tetapi maksud mereka untuk membawa tiga pemuda itu tak kesampaian. Tiba-tiba sepasang mata mereka tak dapat melihat lagi. Mereka diazab hingga menjadi buta.
Dan pagi-pagi sekali datanglah adzab Allah itu. Negeri Sadum ditimpa gempa bumi yang sangat dahsyat. Dan kaum durhaka itu dihujani batu yang sangat besar clan banyak sekali. sehingga tidak ada seorangpun yang hidup.
Nabi Luth, bersama istri dan kedua anaknya mendengar gemuruh hancurnya negeri Sadum mereka terus berjalan tanpa berani menoleh ke belakang. Namun istri Nabi Luth tergerak hatinya untuk, menoleh. Maka istri Nabi Luth mendadak berubah menjadi batu dan musnah bersama penduduk Sadum yang durhaka. Sesung­guhnya wanita itulah yang mengkhianati keluarganya memberitahukan perihal kedatangan tamu Nabi Luth kepada kaumnya.

Seputar Ibadah Qurban

سْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Seputar Ibadah Qurban 1

Alhamdulillah wa Sholatu wa Salamu ‘alaa Rosulillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam.
Beberapa saat lagi akan datang dimana ummat Islam akan melakukan sebuah ibadah yang agung di sisi Allah ‘Azza wa Jalla di Bulan Dzul Hijjah yang mulia pula. Ibadah tersebut adalah ibadah haji dan qurban. Namun yang akan menjadi topik pembahasan kita kali ini adalah seputar ibadah qurban atau dalam istilah fikih disebut dengan ‘udhiyah.
Pengertian Udhiyah
Udhiyah adalah sembelihan yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada hari nahar (hari yang disyariatkankan menyembelih –ed.) dengan syarat tertentu.
Dalil Disyari’atkannya
Dalil disyari’atkannya qurban atau udhiyah adalah Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’. Dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”. (QS. Al Kautsar [108] : 2)
Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (وَانْحَرْ) dalam ayat di atas adalah udhiyah/qurban yang dilaksanakan setelah sholat ‘Idul Adha.
Adapun dalil dari As Sunnah adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘anhu,

ضَحَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.

“Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam menyembelih dua ekor kambing kibas yang gemuk dan mempunyai dua tanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Ketika menyembelihnya beliau mengucapkan bismillah/menyebut nama Allah dan bertakbir serta menempatkan kakinya di atas leher kibas tersebut”[1].
Kaum muslimin ijma’/sepakat disyari’atkannya qurban atau udhiyah[2].
Hukum Qurban
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum qurban menjadi dua pendapat, yaitu :
Pendapat Pertama, wajib bagi yang memiliki kelapangan. Ulama yang memilih pendapat ini adalah Robi’ah, Al Auzaa’iy, Abu Hanifah, Al Laits dam sebagian ulama Mazhab Malikiyah. Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah :
  • Firman Allah Subhana wa Ta’ala,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”. (QS. Al Kautsar [108] : 2)
  • Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Jundab bin Sufyaan Rodhiyallahu ‘anhu,

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا , وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ…

“Barangsiapa yang berqurban sebelum sholat ‘iedul adha maka hendaklah ia menggantinya dengan yang lain. Barangsiapa yang belum berqurban maka berqurbanlah………”[3].
  • Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Al Barroo’ bahwasanya Abu Burdah Rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَبَحْتُ قَبْلَ أَنْ أُصَلِّيَ وَعِنْدِي جَذَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّةٍ فَقَالَ اجْعَلْهَا مَكَانَهَا وَلَنْ تَجْزِيَ أَوْ تُوفِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

‘Wahai Rosulullah aku telah menyembelih sebelum aku berangkat sholat ied. Dan aku memiliki seekor kambing jadz’ah yang lebih baik daripada musinnah’. Maka beliau menjawab, “Jadikanlah itu sebagai penggantinya dan hal ini tidak boleh bagi orang setelahmu”[4].
  • Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Sesungguhnya Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang punya kelapangan rizki dan belum berqurban maka janganlah dia mendekati tempat sholat kami ini”[5].
Pendapat Kedua, hukumnya sunnah dan tidak wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yaitu, Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaaq, Abu Tsaur, Al Muzaaniy, Ibnul Mundzir, Daud Adz Dzhori, Ibnu Hazm Rohimahumullah dan selainnya. Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah :
  • Hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Rodhiyallahu ‘anha,

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

“Jika telah masuk 10 hari awal Bulan Dzul Hijjah dan salah seorang kalian hendak berqurban maka janganlah dia memotong rambutnya dan bulunya sedikitpun”[6].
  • Telah sahih dinukil dari para sahabat bahwa tidak ditemukan salah seorang dari mereka yang menyatakan qurban hukumnya wajib. Dan tidak shahih jika dikatakan bahwa mereka memandang qurban adalah kewajiban. Al Maawardiy Rohimahullah mengatakan, “Telah diriwayatkan dari para sahabat yang derajatnya mencapai ijma’ bahwa qurban hukumnya tidak wajib”[7].
Diantaranya adalah perkataan Abu Mas’ud Al Anshoriy Rodhiyallahu ‘anhu,

إِنِّى لأَدَعُ الأَضْحَى وَإِنِّى لَمُوسِرٌ مَخَافَةَ أَنْ يَرَى جِيرَانِى أَنَّهُ حَتْمٌ عَلَىَّ.

“Sungguh aku (pada saat ini -ed) tidak berqurban, padahal sungguh aku adalah orang yang memiliki kelapangan rizki. Hal ini aku lakukan karena khawatir tetanggaku menganggap berqurban wajib bagiku”[8].
Penulis Shohih Fiqh Sunnah mengatakan, “Pendapat yang lebih jelas adalah dalil-dalil yang dibawakan para ulama yang mewajibkan qurban bagi yang memiliki kelapangan rizki tidak kuat sisi pendalilannya untuk menetapkan hukum wajib. Maka pendapat yang benar adalah pendapat para sahabat dan jumhur ulama”[9].
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin Rohimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa qurban hukumnya wajib lebih nampak kepada kebenaran namun dengan syarat adanya kemampuan. Sehingga orang yang tidak mampu yaitu orang yang tidak ada padanya kelebihan harta selain nafkah untuk keluarganya atau orang yang berhutang maka tidak wajib baginya berqurban”[10].
Penulis Kifayatul Akhyar mengatakan, “Hukum qurban adalah sunnah mu’akkadah/yang amat ditekankan”[11].

Jalan Masuk Syaithon Pada Jiwa Kita


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Jalan Masuk Syaithon Pada Jiwa Kita

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Syaithon tidaklah henti-hentinya menggoda anak keturunan Adam agar mereka masuk ke Neraka Jahannam. Jika ia tidak bisa menggoda kita agar kelak kita kekal di dalam neraka (dengan melakukan pembatal keislaman diantaranya syirik). Maka ia akan mencari jalan lain untuk menggoda kita agar kita melakukan perbuatan dosa walaupun dosa tersebut terlihat kecil di hadapan kita. Namun sebagaimana yang dikatakan para ulama dosa kecil apabila sering dilakukan maka ia akan menjadi dosa besar.
Untuk itulah kami nukilkan perkataan Ibnul Qoyyim rohimahullah seputar jalan-jalan yang ditempuh syaithon atas hamba-hamba Allah.
Beliau rohimahullah mengatakan,
كُلُّ ذِيْ لُبٍّ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا طَرِيْقَ لِلشَّيْطَانِ عَلَيْهِ إِلَّا مِنْ ثَلَاثِ جِهَاتٍ :
 أَحَدُهَا التَّزَيُّدُ وَالْإِسْرَافُ فَيَزِيْدُ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ فَتَصِيْرُ فَضْلَةً وَهِيَ حَظُّ الشَّيْطَانِ وَمَدْخَلُهُ إِلَى الْقَلْبِ.
وَطَرِيْقُ الْاِحْتِرَازِ مِنهُ إِعْطَاءُ النَّفْسِ تَمَامَ مَطْلُوْبِهَا مِنْ غِذَاءٍ أَوْ نَوْمٍ أَوْ لَذَّةٍ أَوْ رَاحَةٍ فَمَتَى أَغْلَقْتَ هَذَا البَابَ حَصَلَ الْأَمَانُ مِنْ دُخُوْلِ الْعَدُوِ مِنْهُ.
الثَّانِيَةُ الْغُفْلَةُ فَإِنَّ الذَّاكِرَ فِيْ حِصْنِ الذِّكْرِ فَمَتَى غَفَلَ فُتِحَ بَابُ الْحِصْنِ فَوَلَجَهُ اْلعَدُوُّ فَيَعْسُرُ عَلَيْهِ أَوْ يَصْعَبُ إِخْرَاجُهُ.
الثَّالِثَةُ تَكَلُّفُ مَالَا يَعْنِيْهِ مِنْ جَمِيْعِ الْأَشْيَاءِ
“Setiap yang memiliki hati/akal akan mengetahui bahwa sesungguhnya tidak ada jalan bagi syaithon atasnya kecuali melalui tiga cara :
Pertama, Menanbah-nambahi dan berlebihan, maka ia akan menambah (sesuatu yang ia butuhkan) melebihi kadar yang ia butuhkan. Sehingga jadilah tambahan (atas apa yang ia butuhkan tadi menjadi) langkah syaithon dan jalan masuknya menuju hatinya.
Cara agar terbebas darinya adalah dengan memberikan jiwa apa yang dimintanya secara lengkap (cukup, tidak berlebihan pent.) baik berupa makanan, tidur, kelezatan dan istirahat. Maka apabila engkau mengunci/menjaga pintu ini maka dirimu akan aman dari masuknya musuh (syaithon).
Kedua, kelalaian. Karena sesungguhnya orang yang mengingat Allah (dzikir yang syar’i) berada dalam lindungan perisai dzikir tersebut. Apabila ia lalai darinya maka akan terbukalah pintu perlindungannya, musuhnya pun akan masuk, menindas dirinya dan sukar untuk mengeluarkannya.
Ketiga, membebani diri dengan semua hal yang ia tidak sanggup menunaikannya”[1].
Maka benarlah apa yang beliau sampaikan ini, hampir seluruh dosa ketiga jalan masuk di atas ada di dalamnya. Mulai dari kemusyrikan, zina, korupsi, bid’ah, bohong dan maksiat-maksiat lainnya.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua sebagai bahan renungan yang akan melahirkan amal sehingga kita mampu menutup jalan-jalan syaithon masuk ke diri-diri kita.

Seorang Hamba, Diantara Dosa dan Ta’at

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Seorang Hamba, Diantara Dosa dan Ta’at

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.
Para pembaca, semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayahNya kepada kita, judul yang ada di atas merupakan keadaan yang seorang hamba tidak bisa lepas darinya, keadaan seorang hamba hanya berputar-putar dalam lingkaran tersebut. Jika ia sedang tidak berada dalam keta’atan maka ia akan berada dalam kemaksiatan. Dimana jika ia berada dalam keta’atan maka ketahuilah hal itu adalah sebuah nikmat yang teramat agung yang ia wajib untuk disyukuri. Jika ia sedang tidak dalam keadaan ini maka ia dalam keadaan berbuat dosa yang ia dituntut untuk bertaubat dan meminta ampunan kepada Pemilik dirinya dan Pemilik seluruh alam semesta yaitu, Allah ‘azza wa jalla.
Ada bergitu banyak tulisan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengenai hal yang demikian diantaranya adalah apa yang akan kami nukilkan terjemahannya sebagai berikut mudah-mudahan bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian.
Beliau rohimahullah mengatakan[1],
Diantara (perwujudan shifat Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala) jika Dia menginginkan kebaikan pada hambaNya maka Allah akan buat hambaNya tersebut lupa melihat keta’atan yang telah ia kerjakan[2]. Allah akan angkat hal tersebut dari hati dan lisannya. Jika Allah timpakan baginya musibah berupa dosa yang ia kerjakan di masa lalu maka ia manjadikan musibah yang berupa dosa tersebut selalu berada di pelupuk matanya, ia akan selalu mengingat-ingatnya[3] dan ia melupakan keta’atan yang ia kerjakan di masa lalu. Hal yang selalu ada di benaknya adalah ingatan akan dosa-dosanya yang telah berlalu. Maka bayangan berupa ingatan akan betapa dosa-dosanya yang telah lalu tersebut selalu ada di pelupuk matanya, tatkala ia berdiri maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu, tak kata ia duduk maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu demikian seterusnya tatkala ia pergi ke suatu tempat ataupun ketika ia sedang beristirahat maka yang ada di benaknya adalah betapa dosa-dosanya yang telah berlalu. Maka keadaan jiwanya yang demikian ini sesungguhnya telah menjadi rahmat Allah padanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan sebagaian salaf,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْذَنْبَ فَيَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ, وَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيَدْخُلُ بِهَا النَّارَ, قَالٌوْا وَكَيْفَ ذَالِكَ؟ قَالَ يَعْمَلُ الْخَطِئَةَ فَلَا تَزَالُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ, كُلَّمَا ذَكَرَهَا بَكَى وَ نَدَمَ وَ تَابَ.
“Sesungguhnya (ada) seorang hamba yang melakukan dosa akan tetapi dosa tersebut  menyebabkannya masuk surga, dan sesungguhnya (ada) seorang hamba yang melakukan kebaikan akan tetapi kebaikan yang telah ia kerjakan tersebut menyebabkannya masuk neraka”. Lalu orang-orang yang mendengar bertanya, “Apa maksud Anda?” Jawabnya, “Dia melakukan kesalahan, lalu kesalahan tersebit terus menerus diingatnya. Setiap kali dia mengingatnya dia menangis, menyesal, dan bertobat”[4].
Kemudian ia beristighfar, merendahkan dirinya dan kembali kepada Allah dengan penuh perendahan diri dan dengan hati yang tercabik-cabik karena penyesalannya. Kemudian dia mengiringi taubatnya dengan beramal dengan amalan-amalan sholeh maka jadilah dosa yang ia kerjakan dahulu pada hakikatnya menjadi sebab rahmat Allah baginya. Akan tetapi sebaliknya orang yang melakukan amalan-amalan yang dhohirnya amalan kebaikan namun ia senatiasa menjadikan amalan tersebut berada di pelupuk matanya, ia membangga-banggakannya, menunjuk-nujukkannya di hadapan Robbnya dan manusia, lalu ia menyombongkan diri dengannya. Dia menganggap bagaimana mungkin orang seperti dirinya tidak diangggap, tidak dimuliakan oleh manusia. Maka hal ini senantiasa menyertainya demikian juga dampak dari hal ini akan terus menerus ada pada dirinya hingga hal tersebut mengantarkannya ke neraka. Maka…
عَلَامَةُ السَّعَادَةِ أَنْ تَكُوْنَ حَسَنَاتُ الْعَبْدِ خَلْفَ ظَهْرِهِ وَسَيْئَاتُهُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ
وَعَلَامَةُ الشَّقَاوَةِ أَنْ يَجْعَلَ حَسَنَاتُهُ نُصْبَ عَيْنَيْهِ وَسَيْئَاتُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ وَاللهُ الْمُسْتَعَانُ
“Tanda Kebahagiaan (seorang hamba) adalah ketika ia menjadikan (amal-amal) kebaikannya di belakang punggunnya dan (amal-amal) keburukannya ia tempatkan di pelupuk matanya”.
“Sedangkan tanda kesengsaraan (seorang hamba) adalah ketika ia menjadikan (amal-amal) kebaikannya ia tempatkan di pelupuk matanya dan (amal-amal) keburukannya ia tempatkan di belakang punggunnya, Allahul Musta’an”.
Demikian nukilan berharga dari apa yang disampaikan seorang ulama yang tidak diragukan keilmuannya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah. Mudah-mudahan dengan nukilan ringkas ini kita bisa mengambil pelajaran dan merubah apa yang selama ini salah pada diri kita serta mengajarkan kebenaran kepada orang di sekitar kita.
Aku memohon kapadaMu ya Allah, Ya Robbal ‘Alamin, Jagalah diriku dan orang-orang yang mencintaiMu dan NabiMu shallallahu ‘alaihi was sallam agar jika telah waktunya malaikat maut menjemput tetap tegar dalam islam, iman dan sunnah yang merupakan sebaik-bai bekal ketika bertemu denganMu, Amin Ya Mujibas Saailin.
Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh,
16 Rojab 1431 H.
HambaNya yang Lemah dan Mengarap Ampunan Robbnya,
Aditya Budiman

[1] Lihat Miftah Daris Sa’adah wa Mansyur Walayati Ahli Ilmi wa Irodah oleh Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rohimahullah dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy hafidzahullah hal. 294-295, terbitan Dar Ibnu Affan Mesir. [2] Bukanlah yang dimaksudkan disini tidak memperhatikan cara ibadahnya, mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam atau tidak dan lain-lain hal yang semisal dengan ini. Akan tetapi yang beliau maksudkan di sini adalah ia tidak mengingat-ingat dalam rangka menyombongkan dirinya di hadapan mahluk. Allahu A’lam pent.
[3] Agar tidak terjerumus dalam dosa yang sama pent.
[4] Perkataan di atas diriwayatkan secara marfu’ sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam. Ibnul Mubarok menyebutkannya dalam Az Zuhd no. 162, demikian juga Ahmad dalam Az Zuhd no. 76/I, melalui jalurnya Al Mubarok bin Fadholah dari Al Hasan secara mursal, terdapat ‘an’anah (istilah ilmu hadits) Al Mubarok dan riwayatnya hasan jika mursal. Al ‘Iroqi meyebutkan syawahid/penguat-penguatnya namun beliau mendhoifkannya dalam takhrij beliau untuk Ihya’ ‘Ulumuddin hal. 14/IV. Diriwayatkan juga oleh Ahmad secara ringkas dalam Az Zuhd no. 164, Ibnul Mubarok no. 164, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Aulya’ hal. 158/II berupa perkataan Hasan Al Bashri. (takhrij ini kami nukil dari tahqiq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy untuk Kitab Miftah Daris Sa’adah hal. 294/II)