Laman

Minggu, 12 Juni 2016

Nasehat- Nasehat Para Ulama’ Sufi

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ

Nasehat- Nasehat Para Ulama’ Sufi
Tanda-tanda Ulama
لا يكمل عالم في مقام العلم حتى يبتلى بأربع: شماتة الأعداء، وملامة الأصدقاء، وطعن الجهال، وحسد العلماء. فإن صبر جعله الله إماماً يقتدى به
Seorang alim belum akan mencapai tingkat kesempurnaan ilmunya hingga mengalami 4 Ujian :
1. Kegembiraan musuh (sebab cobaan yg menimpanya),,
2. Celaan para sahabat,,
3. Hinaan orang orang bodoh,,
4. Iri hati kalangan ulama,,
Jika dia mampu bersabar terhadap itu semua, pasti Allah akan menjadikannya sebagai pemimpin yg diikuti.
(Imam Abu al-Hasan asy-Syadzily rahimahullah)
Nasehat- Nasehat Syeikh Ibrahim Bin Adham :
I. Ketika beliau sedang melaksanakan thowaf, beliau berkata kepada seorang laki laki :
"Ketahuilah bahwa kamu tidak akan mencapai tingkatan orang sholeh sebelum kau melalui 6 jalan yaitu :
1) Tutuplah pintu kesenangan dan bukalah pintu kesengsaraan.
2) Tutuplah pintu kesombongan dan bukalah pintu kerendahan.
3) Tutuplah pintu bersantai dan bukalah pintu perjuangan.
4) Tutuplah pintu tidur dan bukalah pintu bangun (sedikit) tidur.
5) Tutuplah pintu kekayaan dan bukalah pintu kemiskinan
6) Tutuplah pintu harapan dan bukalah pintu persiapan kematian "
II. Suatu ketika Syaikh Ibrahim Bin Adham pernah menjaga kebun anggur, kemudian lewatlah seorang prajurit dan berkata "Berilah kami anggur !!" Kemudian beliau-pun berkata " Maaf, pemiliknya tidak menyuruhku begitu. aku disuruh hanya untuk menjaga". mendengar jawaban Syaikh Ibrahim Bin Adham lantas prajurit tersebut memukul beliau dengan cambuk, sementara Syaikh Ibrahim Bin Adham-pun Hanya menganggukkan kepala beliau seraya berkata " PUKULLAH KEPALA INI SELAMA IA DURHAKA KEPADA ALLAH !!! " mendengar perkataan beliau prajurit itu pun lantas pergi meninggalkan beliau.
Cuplikan dari kitab Risalatul Qusyairiyyah (Induk Kitab Tasawuf)
Syaikh Ibrahim Bin Adham merupakan Guru dari Syaikh Syaqiq Al balkhi dimana beliau adalah gurunya Hatm Al Ashom Naffa'nallahu biulumihim ...
(5 Syarat Berbuat Maksiat
menurut Ulama Shufi Ibrahim Bin Adham)
Kisah taubatnya seorang pemuda di hadapan Ibrahim Bin Adham rodhiallohu anhu wa ardhoh..
Diriwayatkan bahwa Syaikh Ibrahim bin Adham didatangi oleh orang yang mengaku ahli maksiat. Ia mengutarakan niatnya untuk keluar dari kubangan dunia hitam. Ibrahim bin Adham memberikan nasihatnya seraya berkata: "Jika ingin menerima 5 syarat dan mampu melaksanakannya, maka tak mengapa kamu meneruskan kesukaanmu berbuat maksiat."
Mendengar perkataan Ibrahim, ahli maksiat dengan penasaran bertanya: "Ya Abu Ishaq (panggilan Ibrahim bin Adham), apa syarat-syaratnya?"
Ibrahim bin Adham berkata: "Pertama, jika ingin melakukan maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan rizkiNya."
Pemudian itu pun berkata "Lalu aku harus makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rizki Allah?" kata sang ahli maksiat keheranan
Ibrahim bin Adham berkata lagi: "Ya, kalau sudah menyadarinya, masih pantaskah kamu memakan rizkiNya, sedangkan kamu melanggar perintah-pertintahNya?"
Kemudian pemuda tersebut berkata“Apa syarat-syarat yang kedua ?”
Ibrahim bin Adham berkata "Jika kamu ingin bermaksiat kepadaNya, maka janganlah kamu tinggal di bumiNya."
Pemuda tersebut berkata “ Ini lebih berat dari yang pertama, Ya Aba Ishaq (panggilan syaikh Ibrahim bin adham) jika barat dan timur serta apa yang ada di antaranya adalah milik Allah, kalau-lah demikian aku akan tinggal di mana”
"Wahai hamba Allah renungkanlah olehmu, apakah masih pantas memakan rizkiNya dan Menempati Bumi-NYA sedang kamu tetap gemar melakukan “
Dengan tertunduk malu, Pemuda itupun berkata “Apa syarat-syarat yang ketiga?”
Ibrahim bin Adham berkata: " Jika kamu berbuat maksiat, sedang kamu (1) mau makan rizkiNya, (2) mau tinggal di bumiNya, maka CARILAH SUATU TEMPAT YANG TERSEMBUNYI DAN TIDAK DAPAT DILIHATNYA, DAN BERMAKSIATLAH DISANA!!! "
"Ya Abu Ishaq, mana mungkin Allah tidak melihat-ku sedang dia mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi dikehidupan ini?" Ujar lelaki tersebut
Sang ahli maksiat itu pun terdiam merenungkan petuah-petuah Ibrahim.
“Maka apakah pantas engkau bermaksiat kepada Allah sedang Allah senantiasa melihatmu” kata Ibrahim Bin adham.
Lalu pemuda itu kembali bertanya: "Ya Aba Ishaq, kini apa lagi syarat yang ke empat?"
Ibrahim bin Adham berkata: "Kalau malaikat maut datang hendak mencabut ruhmu, katakanlah: "Undurkanlah kematianku hingga aku bertaubat dengan sebenar benarNYA taubat dan melakukan amal sholeh."
"Ya Abu Ishaq, mana mungkin malaikat maut mau mengabulkan permintaanku itu?" jawab pemuda itu.
Ibrahim bin Adham berkata “JIKA KAU TAK SANGGUP MENOLAK KEMATIAN, DAN KAU MENGETAHUI BAHWA JIKA KEMATIAN DATANG MAKA TAK DAPAT DI UNDUR, MENGAPA KAU TETAP SUKA BERBUAT MAKSIAT ”
Pemuda tersebut berkata " Abu Ishaq, sekarang sebutkan apa syarat yang ke lima?"
Ibrahim Bin Adham berkata "Kalau malaikat Zabaniyah hendak membawamu ke neraka di hari kiamat, untuk mngantarkanmu ke neraka janganlah engkau mau ikut bersamanya."
Pemuda itu berkata "Ya Abu Ishaq, jelas saja dia (malaikat Zabaniyah) tidak akan mungkin membiarkan aku menolak kehendakNya."
Ibrahim Bin Adham berkata "Kalau demikian, jalan apa lagi yang dapat menyelamatkanmu wahai hamba Allah?"
Pemuda itu berkata "Ya abu Ishaq, cukuplah! Cukup! Jangan engkau teruskan lagi, mulai detik ini aku mau beristighfar dan mohon ampun kepada Allah. Aku benar-benar ingin bertaubat, aku akan senantiasa beribadah kepada Allah sehingga kematian mendekatiku "
KISAH HATIM AL ASHOM DAN GURUNYA SYAQIQ AL BALKHY
Dalam ihya' ulumuddin kitabul ilm diterangkan :
روي عن حاتم الأصم، تلميذ شقيق البلخي رضي الله عنهما أنه قال له شقيق: "مُنْذُ كَمْ صحبتَنِي؟"،
قال حاتم: "منذُ ثلاثٍ وثلاثين سنةً"، قال: "فَمَا تَعَلَّمْتَ مِنِّي في هذه المدة؟"، قال: "ثَماني مَسَائِلَ"، قال شقيق له: "إنا لله وإنا إليه راجعون، ذَهَبَ عُمْرِي مَعَكَ ولَم تَتَعَلَّمْ إِلاَّ ثَمَانِيَ مَسَائِلَ؟!"، قال: "يا أستاذُ، لَمْ أَتَعَلَّمْ غَيْرَهَا. وَإِنِّي لاَ أُحِبُّ أَنْ أَكْذِبَ"، فقال: "هَاتِ هَذِهِ الثَّمَانِي مسائلَ حَتَّى أَسْمَعَهَا"، قال حاتم: "نظرتُ إلى هذا الخلقِ فَرَأَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ يُحِبُّ مَحْبُوْبًا، فَهُوَ مَعَ مَحْبُوْبِهِ إِلَى القَبْرِ. فَإِذَا وَصَلَ إِلَى القَبْرِ فَارَقَهُ. فَجَعَلْتُ الحَسَنَاتِ مَحْبُوْبِي. فَإِذَا دَخَلْتُ القَبْرَ دَخَلَ مَحْبُوبي مَعِي"، فَقَالَ: "أَحْسَنْتَ يَا حَاتِمُ، فَمَا الثَّانِيَةُ؟"

فقال: "نظرتُ فِي قول الله عز وجل: "وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأْوَى"، فَعَلِمْتُ أَنَّ قولَه سبحانه وتعالى هُوَ الحَقُّ، فَأَجْهَدْتُ نَفْسِي فِي دَفْعِ الهَوَى حَتَّى اسْتَقَرْتُ على طاعةِ اللهِ تعالى؛
الثالثةُ أني نظرتُ إلى هذا الخلقِ فرأيتُ كلّ ممن معه شيءٌ له قيمةٌ ومقدارٌ رَفَعَه وَحَفِظَهُ، ثم نظرتُ إلى قول الله عز وجل: "مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ". فَكلما وقع معي شيءٌ له قيمةٌ ومقدارٌ وَجَّهْتُهُ إلى الله لِيَبْقَى عِنْدَه محفوظا؛
الرابعة أني نظرت إلى هذا الخلق فرأيت كلَّ واحدٍ منهم يرجِعُ إلى المالِ، وإلى الحسب، والشرف، والنسب، فنظرتُ فيها فإذا هي لا شيءَ، ثم نظرتُ إلى قول الله تعالى: "إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ"، فعملتُ فِي التَّقْوَى حتى أكونَ عند الله كريما؛
الخامسة أني نظرتُ إلى هذا الخلق، وهم يَطْعُن بعضُهم في بعضٍ ويُلْعِن بعضُهم بعضا. وأصلُ هذا كله الحسدُ، ثم نظرتُ إلى قول الله عز وجل: "نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا"، فتركتُ الحسدَ وَاجْتَنَبْتُ الخلقَ وَعَلِمْتُ أَنَّ القسمةَ مِن عِنْدِ اللهِ سبحانه وتعالى، فَتَرَكْتُ عَدَاوَةَ الخلقِ عَنِّي؛
السادسة نظرتُ إلى هذا الخلقِ يَبْغِي بَعْضُهم على بعضٍ وَيُقَاتِل بعضُهم بعضا، فرجعتُ إلى قول الله عز وجل: "إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا"، فعاديتُه وحدَه وَاجْتَهَدْتُ فِي أَخذ حذري منه لأن اللهَ تعالى شهِد عليه أَنَّهُ عَدُوٌّ لِي، فَتَرَكْتُ عَدَاوَةَ الخَلْقِ غَيْرَهُ؛
السابعة نظرتُ إلى هذا الخلقِ فَرَأَيْتُ كلَّ واحدٍ منهم يطلب هذه الكسرةَ فَيذِلُّ فِيها نفسه ويدخل فيما لا يَحِلُّ له، ثم نظرتُ إلى قوله تعالى: "وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا"، فَعَلِمْتُ أني واحدٌ من هذه الدوابِ الَّتِي على الله رزقُها، فاشتغلتُ بما لله تعالى عليَّ وَتَرَكْتُ ما لي عنده؛
الثامنة نظرت إلى هذا الخلق فرأيتُهم كلَّهم مُتَوَكِّلِينَ على مخلوقٍ: هذا على ضَيْعَته، وهذا على تِجَارتِه، وهذا على صِنَاعته، وهذا على صحة بَدَنِه. وكل مخلوق متوكل على مخلوقٍ مثلَه. فرجعت إلى قوله تعالى: "وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ"، فتوكلتُ على الله عز وجل فهو حسبي.قال شقيق: "يا حاتم، وفقك الله تعالى…"
Terjemah :
Syeikh Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada muridnya, Hatim al-Asham:
“Berapa lama kamu nyantri kepadaku?”Hatim menjawab: “Sudah sejak 33 tahun…”Syaqiq bertanya lagi: “Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?”Hatim menjawab: “Ada delapan perkara…”Syaqiq berkata: “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Aku habiskan umurku bersamamu selama itu, dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!”Hatim menjawab: “Guru, aku tidak belajar selainnya. Sungguh aku tidak bohong…”Syaqiq kemudian berkata lagi: “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari…”Hatim menjawab:
“Pertama, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyukai kekasihnya hingga ke kuburannya. Tapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya… Maka saya kemudian menjadikan amal kebaikan sebagai kekasih saya, yang apabila saya meninggal dan masuk ke liang kubur, dia akan ikut bersama saya…Syaqiq berkata: “Pinter kamu Hatim. Sekarang apa yang kedua?”
Kedua, saya memperhatikan firman Allah Ta’ala
:وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأْوَى
(Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).) [Surat an-Nazi’at (79): 40-41]Maka saya ketahui bahwa firman Allah-lah yang benar. Karena itu saya meneguhkan diri saya dalam menolak hawa nafsu, hingga saya mampu menetapi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Ketiga, saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala
:مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
(Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal) [Surat an-Nahl (16): 96]Dari situ, apabila saya memiliki sesuatu yang berharga, maka segera saja saya serahkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersamaNya tidak hilang.
Keempat, saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan harta, kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala :إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
(Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian) [Surat al-Hujurat (49): 13]Maka saya takwa, hingga menjadikan saya mulia di sisi Allah Ta’ala.
Kelima, saya memperhatikan manusia, dan (saya tahu) mereka mencela dan mencaci antara satu dengan yang lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati. Maka saya kemudian membaca firman Allah Ta’ala
:نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الحَيَاةِ
الدُّنْيَا
(Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia) [Surat az-Zukhruf (43): 32]Maka saya kemudian menanggalkan sifat iri hati dan menghindar dari manusia, karena saya tahu bahwa pembagian rizki itu benar-benar dari Allah Ta’ala, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang lain.
Keenam, saya memperhatikan manusia, yang mereka saling menganiaya dan memerangi antara satu dengan yang lainnya. Kemudian saya melihat firman Allah Ta’ala
:إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
(Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian).) [Surat Fatir (35): 6]Maka kemudian saya menghindar dari memusuhi orang lain, dan sebaliknya saya berusaha fokus dan penuh waspada dalam menghadapi permusuhan syaitan.
Ketujuh, saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing menghinakan diri mereka sendiri dalam mencari rizki. Bahkan ada di antara mereka yang berani menerjang hal-hal yang tidak halal. Saya kemudian melihat kepada firman Allah Ta’ala :وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
(Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya) [Surat Hud (11): 6]Saya kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari binatang yang Allah telah menanggung rizkinya. Maka saya kemudian menyibukkan dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan sebaliknya saya meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku.
Kedelapan, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyerahkan diri kepada makhluk lain seumpamanya: sebagian karena sawah ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, dan sebagian lain karena kesehatan badannya. Maka saya melihat kepada firman Allah Ta’ala :وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ (Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya.) [Surat al-Thalaq (65): 3]Maka saya kemudian menyerahkan diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah Ta’ala, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku..
Wallohu a'lam

Hikmah Sufi di Bulan Suci

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ

Hikmah Sufi di Bulan Suci
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas,
bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahayaAllah).
Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang berbuat kebajikan.
Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.
Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa: Puasa Hakiki.
Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa Tuqaatih”, takwa yang hakiki.
Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan, sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”, bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.
Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, - dalam Hadits Qudsi - “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng, manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang memakinya, katakanlah :
“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “
Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)
Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk berpaling pada selain Allah.
Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “
Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan, Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah dalam lembah bulan suci ini.
Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa, sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin, sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam jiwanya.
Dalam tradisi Rasulullah SAW, bulan puasa merupakan bulan ubudiyah. Jika siang hari beliau menahan dari dari segala hal selain Allah, maka di malam hari beliau melakukan Qiyamul Lail, yang kelak disebut dengan tarawih, sebagai upaya bangkit dalam ma ‘rifatulla
Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:
Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).
Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.
Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.
Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).
Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.
Mereka yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar)

Wudlu'nya para sufi

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Wudlu'nya para sufi
Wudlu' kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudlu' diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam
Wudlu'lah segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan
kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.
Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa memiliki Wudlu' secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…"
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudlu' jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.
Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki "Sholat" hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.
Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.
Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut kita adalah mulut syetan.
Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, betapa berlimpah ruahnya fatwa amar ma'ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena yang mendorong amar ma'ruf nahi mungkarnya bukan Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.
Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah Kuasa Yang Menolongku.
Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.
Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…
Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.
Selanjutnya:
"Basuhlah wajah-wajahmu…"
Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu' membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah, tidak "Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…" (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta'ala? Ini semua karena kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan ma'rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.
Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita, flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.
Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.
Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah musuhMu.
Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…
"Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…"
Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.
Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.
Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma'rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.
Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…
Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.
Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada Allah Ta'ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.
Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali, tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan mendongak.
Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh, Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…
Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?
Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama hamba-hambaMu yang baik.
Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.
Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:
Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.
Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa, pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A'lam.