Laman

Jumat, 14 Agustus 2015

TUJUAN HIDUP HAKIKI

TUJUAN HIDUP HAKIKI

Sepanjang perjalanan hidup dan kehidupan, seorang hamba senantiasa dituntut untuk berusaha menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan dalam menghambakan diri kepada Allah swt. Di mana mereka harus sadar akan posisi dirinya sebagai hamba Allah (‘abid) yang harus taat dan tunduk terhadap segala titah-Nya, sebagai yang disembah (al-ma’bud) dalam kondisi apa pun adanya. Dalam menuju kesana banyak cara yang ditempuh sesuai dengan cara dan pendekatan bermacam-macam dan berbeda-beda, antara lain, dengan mengasingkan diri dari keramaian, menjauhkan diri dari kehidupan materi, memilih hidup sederhana. Aktifitas-aktifitas semacam itu kemudian disebut dengan kehidupan asketis (zuhud). Semua perjalanan yang dilalui itu adalah semata-mata dalam rangka menemukan tujuan hidup hakiki yang merupakan kebahagiaan yang kekal dan abadi.
Dalam perkembangan selanjutnya, perjalanan spiritual yang demikian itu kemudian dikenal dengan perjalanan dan pengalaman sufistik. Sedangkan tujuan dari perjalanan sufistik tersebut adalah semata-mata untuk memperoleh hubungan langsung dan didasari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di Hadirat Allah swt. Intisari dari ajaran sufisme ini adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Allah dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Adapun kesadaran berada dengan Allah itu dapat mengambil bentuk ittihad (penyatuan diri dengan Tuhan), hulul (manifestasi Tuhan dalam diri manusia), ma’rifat (Melihat-Nya) ataupun mahabbah (Mencintai-Nya).
Dengan berbagai metode dan pendekatan yang ditempuh seorang sufi seperti itu, maka dalam kaitan ini, Imam Jakfar Ash-Shadiq pernah mengatakan, bahwa dalam beribadah kepada Allah akan ditemui tiga macam bentuk: Pertama, kaum yang menyembah Allah karena takut. Yang demikian itu adalah ibadahnya hamba sahaya; Kedua, kaum yang menyembah Allah kerena untuk mengharapkan imbalan. Yang demikian adalah ibadahnya para pedagang; dan Ketiga, kaum yang menyembah Allah karena rasa cinta (mahabbah). Yang demikian adalah ibadahnya orang merdeka. Inilah ibadah yang paling utama. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyembah Allah karena cinta adalah ibadah tingkat tinggi dalam rangka mencari ridha Allah swt.
Pada dasarnya tuntunan dan ajaran tasawuf adalah menekankan pada asfek esoteris (batin) dan bukan pada eksoteris (lahir), maka dalam praksisnya seseorang salik (pelaku tasawuf) senantiasa ingin mensucikan dirinya dari hal-hal yang kotor yang masih melekat pada hati dan jiwanya. Dia berusaha mengisinya dengan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidaklah berlebihan apabila seorang salik hatinya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendekat kepada kekasihnya, yaitu Allah swt. Banyak jalan yang ditempuh olehnya, antara lain dengan banyak berdzikir kepada Allah, maupun memperbanyak amalan-amalan shalih lainnya.
Oleh karena itu, terdapat ungkapan yang berbunyi, “Apabila Islam dipisahkan dari aspek esoterisme-nya, maka ia hanya menjadi kerangka formalitas saja, sehingga orang-orang yang rasionalistik hanya menerima Islam sebagai keformalan semata. Apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan, sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Dalam tradisi keberagamaan ummat Islam, motivasi ibadah ummat awam lebih cenderung bersifat simbolistik-formalistik. Mereka beribadah hanya bermotifkan mencari pahala surga dan menjauhi neraka. Mereka menganggap surga dan neraka adalah tujuan akhirnya. Mereka tidak tahu bahwa tujuan yang lebih berarti dan bermakna dari ibadah tersebut. Ibarat seorang anak kecil yang dipaksa masuk sekolah (SD) oleh ibunya, karena sang anak tidak tahu tujuan dari pendidikan maka ibu memberikan motivasi berupa hadiah, kalau anaknya mau masuk sekolah akan diberikan baju baru, dan kalau naik kelas akan diberikan sepeda mini, dan terus sampai anaknya tamat SD masih tetap dimotivasi dengan hadiah-hadiah dan kalau sang anak tidak mau sekolah akan diancam dengan hukuman. Ketika sang anak sudah masuk SMP, dia sudah mulai tahu hakikat sekolah, dia mulai mengerti untuk apa sekolah, tujuannya bukan untuk mendapatkan sepeda mini, bukan untuk menghindari hukuman, tapi tidak lain untuk mencerdaskan dirinya sebagai bekal dalam menempuh kehidupan. Sungguh, betapa banyak ummat Islam beragama seperti anak kecil yang masuk sekolah karena hadiah, dan sangat disayangkan akan terus demikian tanpa tahu hakikat beragama.
Tentang hakikat beragama, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kitab ibarat tongkat yang diperlukan untuk berlatih agar bisa  berjalan, ketika sudah pandai berjalan maka tongkat itu tidak diperlukan lagi dan justru akan memperlambat perjalanan. Betapa banyak orang yang terus memeluk dengan erat kitab/buku, terus asyik dengan dalil sampai akhir hayatnya, merasa sudah pandai barjalan padahal tidak pernah menempuh perjalanan.
Tujuan hidup yang hakiki adalah menemukan Allah, memandang keindahan wajah-Nya yang kekal abadi, barulah kemudian menghambakan diri dan mencintainya dengan sebenar-benar cinta, dari sanalah sumber hikmah dan karunia mengalir dengan deras, laksana guyuran air hujan dari langit.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah merupakan benih kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah swt (ma’rifatullah).
Menurut Jalaluddin Rumi, kebahagiaan tertinggi dalam perjalanan hidup adalah terletak pada pengetahuan sejati tentang Allah swt (Ma’rifatullah). Yang dapat diperoleh langsung melalui pengalaman bathin, yaitu hati (intuisi) yang bersih dan jernih akan materi-materi lewat bimbingan seorang Guru Mursyid yang Kamil dan sangat pengerti keadaan spiritual muridnya. Bukan dengan pendekatan intelektual-teologi, filsafat, atau indera lahiriah semata.
Rumi juga memandang bahwa ma’rifat adalah buah dari fana’. Dengan kata lain, ke-fana’-an adalah ma’rifat itu sendiri. Disinilah Rumi menemukan kebahagiaan tertinggi, yaitu ketika ia sampai pada tahap ke-fana’-an atau penyaksiaan kesatuan.
Sesaat engkau fana pada-Ku, lebih baik itu pada dari engkau beramal seribu bulan”, fana’  itulah hakikat dari Lailatul Qadar, apabila orang menemukan malam itu lebih baik dari beribadah selama 1000 bulan.
Adapun bagi Rabi’ah al-Adawiyah, kebahagiaan tertinggi adalah terletak pada kasyf (terbuka hijab untuk bisa melihat Allah), yang terungkap dalam syairnya tentang cintanya, yaitu :
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu
Mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
Dengan demikian, tujuan cinta Rabi’ah adalah pencarian Kasyf (dapat melihat Allah) itu sendiri, sehingga tak tampak sedikitpun selain-Nya. Seperti yang di Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 113:
“….dimanapun engkau memandang disitulah Wajah Allah
Al-Qur’an telah menggambarkan kepada kita betapa Maha dasyatnya memandang wajah Allah swt, surga dan seluruh isinya tidak akan bisa mengalahkan kebahagiaan memandang wajah-Nya, bahkan digambarkan kebahagiaan tertinggi penduduk surga adalah memandang wajah-Nya.
Masihkah kita berusaha berebut kapling di surga kalau sudah tahu bahwa kebahagiaan itu bukan disana? Kebahagiaan itu adalah disaat kita bersama-Nya, menikmati perjamuan-Nya, memandang wajah-Nya, dari sanalah timbul rasa cinta yang menggelora, cinta yang menggetarkan seluruh jiwa dan raga, cinta yang tidak mampu ditulis walau seluruh air laut jadi tinta dan ranting kayu jadi pena. Cinta yang membuat Saidina Ali tidak merasakan pedih kakinya saat panah dicabut, cinta yang membuat Rabi’ah tidak merasakan pedih matanya tertusuk duri.
Inilah jalan kesufian, jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang benar-benar bisa merasakan kehadiran-Nya, merasakan getaran cinta-Nya setiap saat, inilah tujuan hidup hakiki…. Yaitu Berjumpa dengan SANG KEKASIH.

APA TANDA KITA DEKAT DENGAN TUHAN?

Ketika suluk berakhir, seorang Khalifah Senior (umur Beliau lebih kurang 65 tahun) duduk diantara para peserta suluk dengan gaya santai setelah selesai bergotong-royong membersihkan surau baik di bagian dalam maupun bagian luar. Selaku orang yang baru dalam Tarekat, pengalaman-pengalaman murid-murid senior dari Guru sangat menyenangkan untuk didengar dan banyak sekali pelajaran yang bisa diambil karena yang mereka ceritakan bukan hasil dari bacaan tapi merupakan pengalaman nyata. Dalam suasana penuh keakraban, khalifah senior bertanya kepada khalifah yang lain, “Abang-abang sekalian, apa tanda kita dekat dengan Tuhan?”.
Demikian khalifah senior bertanya kepada kami yang masih muda dan memang di surau sangat dijaga hadap (sopan santun) walaupun usia kita lebih tua tetap memanggil Abang kepada saudara seperguruan. Pertanyaan sederhana itu tidak ada yang bisa menjawab, semua diam dan memperhatikan dengan seksama wajah dari khalifah senior tersebut. Saya hadir disitu dan peristiwa itu lebih kurang 10 tahun yang lalu. Khalifah Senior dengan senyum berkata, “Semakin dekat kita dengan Tuhan maka semakin kita tidak bisa meminta kepada-Nya, seorang yang dekat dengan Tuhan ibarat seorang bayi dipangkuan ibunya, dia tidak pernah berprasangka buruk kepada ibunya, apakah ibunya memberikan makan atau tidak, membiarkan dia haus atau bahkan ibu membuangnya begitu saja, dia tetap pasrah dalam pangkuan ibunya
Kata-kata Khalifah Senior itu sangat berbekas dalam hati saya dan kata-kata ini memberikan sebuah kesadaran kepada saya bahwa sampai saat ini saya belum dekat dengan Tuhan karena begitu banyak permintaan dalam doa, begitu banyak pula hasrat untuk menggengam dunia ini. Keluhan kalau mengalami sakit dan derita menandakan kita belum dekat dengan Tuhan. Mungkin kita telah mengenal-Nya, telah bersimpuh dikaki-Nya, telah merasakan betapa nikmat memandang wajah-Nya namun kita masih tergolong orang-orang yang dekat dihati-Nya.
Lalu bagaimana dengan ucapan Nabi bahwa kita harus selalu meminta kepada Tuhan dan orang yang tidak mau meminta digolongkan kepada orang-orang yang sombong? Bagi orang yang jauh dari Tuhan maka dia akan selalu meminta untuk kepentingan dirinya, tidak pernah dia mau berdoa untuk orang lain.
Khalifah Senior tersenyum diantara kebingungan para jamaah suluk, kemudian saya memberanikan diri bertanya, “Abangda, kalau ukuran dekat dengan Tuhan tidak bisa meminta kepada-Nya, bagaimana dengan Guru kita yang selalu mendo’akan kita, bukankah Beliau juga meminta kepada Tuhan? Dan yang saya tahu Guru kita sangat dekat dengan Tuhan
Masih dengan senyum yang khas Beliau berkata, “Anak Muda, Seorang yang dekat dengan Tuhan itu tidak bisa meminta untuk dirinya tapi doanya sangat makbul untuk orang lain dan dia selalu berdoa untuk orang lain, seperti Guru kita. Guru kita hanya memikirkan murid-muridnya, mana pernah Beliau berdoa agar diri nya kaya? Sudah puluhan tahun saya mengikuti Beliau dan saya tahu persis bahwa yang Beliau doakan hanya muridnya, ya… kita-kita ini yang selalu menjadi beban Beliau dan terkadang tidak tahu diri….” Ucapan terakhir tidak lagi disertai senyum namun dengan wajah sedih dan linangan air mata.
Beliau melanjutkan, “Kita ini lah yang harus mendoakan Guru kita, agar semua cita-citanya dikabulkan Tuhan, itulah bukti rasa cinta dan kasih kita kepada Beliau….
Berulang kali saya berbuat kesalahan kepada Beliau, tapi selalu Beliau memaafkannya ….
Kemudian Khalifah Senior melanjutkan nasehatnya, “Jangan pernah abang-abang sekalian durhaka kepada Guru kita karena kalau durhaka kepada Guru tidak akan beruntung selama-lamanya…
Setelah saya memahami hakikat Ketuhanan dan kebenaran dari Tariqatullah dan saya meyakini bahwa betapa hebatnya Ilmu zikir yang dapat mengantarkan orang kepada Allah, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Guru, “Guru, begitu hebatnya ilmu zikir dalam tarekat ini, kenapa tidak semua manusia mau mengikuti jalan ini?
Guru tersenyum dan berkata, “Hanya sedikit orang yang bisa bersyukur….
Saat itu saya tidak begitu paham dengan apa yang beliau sampaikan baru sekarang saya memahaminya, bahwa begitu banyak karunia diberikan oleh Allah kepada manusia namun sedikit sekali yang mau menyembah-Nya dengan cara yang benar, sedikit sekali orang yang sungguh-sungguh mencari jalan untuk kembali kepada-Nya, sedikit sekali orang yang bersyukur. Saya jadi ingat kisah Nabi yang shalat semalaman dan ketika ditanya oleh Aisyah kenapa Beliau shalat begitu banyak sampai kaki bengkak padahal Beliau sudah dijamin masuk surga dan nabi menjawab, “Aku ingin menjadi ABDAN SYAKURA (hamba yang pandai bersyukur)

Memandang Tuhan dalam Segelas Kopi

Saya termasuk salah seorang penggemar dan penikmat kopi, dengan segelas kopi akan lebih mudah bagi saya untuk menulis dan menuangkan ide tentang apa saja. Biasanya saya menulis tulisan-tulisan untuk sufimuda antara 5-15 menit dan ditemani oleh segelas kopi. Pada umumnya para penikmat kopi sekaligus perokok tapi saya bukan termasuk jenis perokok. Saya sejak kecil berusaha menjadi perokok agar bisa disebut Lelaki Sejati yang gagah he he , tapi sayangnya ketika merokok kelas 1 SMP dada sakit dan nafas sesak, sejak saat itu sampai sekarang saya tidak pernah merokok lagi kecuali terpaksa dan dipaksa oleh kawan-kawan. Syukur Alhamdulillah sampai saat ini Lembaga Ulama tidak memberikan fatwa apa-apa tentang kopi artinya minum secangkir atau dua cangkir kopi dalam sehari tidak was was merasa bersalah dan berdosa. Seperti halnya rokok, bisa jadi suatu saat ada pihak-pihak yang membisikkan kepada Lembaga Ulama agar kopi di haramkan dan tentu saja ulama yang bergabung dalam lembaga tersebut biasanya suka mencari perhatian layaknya ABG dan senang mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversi yang membuat ummat seringkali kaget dan bingung.
Andai ulama yang tergabung dalam Lembaga tersebut mengeluarkan fatwa haram minum kopi saya akan tetap minum kopi sama halnya ketika ulama mengerluarkan fatwa haram mengggunakan Facebook, saya tetap memakai facebook sebagai alat dakwah menyampaikan kebenaran.
Sambil menikmati segelas kopi yang alhamdulillah masih halal, saya ingin membahas tentang Tuhan dengan segala misteri-Nya. Lalu apa hubungan menum segelas kopi dengan memandang wajah Tuhan?
Alam dan seluruh isinya adalah wujud dari cahaya Tuhan, karya Agung yang tidak terlepas dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya sebagian orang menemukan Tuhan dari kehebatan dan keagungan Alam yang mengangumkan manusia, menyadarkan manusia betapa Maha Hebat nya sosok di atas sana yang menciptakan alam sedemikian teratur.
Sebagian manusia lain menemukan Tuhan lewat filsafat dan perenungan diri. Kehebatan akal manusia akan menuntun kepada Sang Maha Hebat yaitu sosok yang menciptakan akal itu sendiri secara luar biasa. Descartes seorang Filosof berkata, “Aku berfikir karena itu aku ada”, dengan pernyataannya yang terkenal itu Descartes telah membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai ‘ada’. Keberadaan kita didunia ini disadarkan oleh akal, tanpa akal maka manusia tidak akan mengenal apa-apa, tidak akan mengenal Alam, Agama dan Tuhan.
Pencarian tentang Tuhan lewat akal kadang kala mengalami jalan buntu dan putus asa sehingga orang yang paling cerdas pun akhirnya menyerah dan mengambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada. Dengan tanpa rasa bersalah Karl Mark mengatakan bahwa Agama adalah Candu Masyarakat. Baginya, agama di zamannya tidak lebih dari sesuatu yang hanya menawarkan kesenangan sesaat tanpa memberikan banyak solusi berarti terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya di zaman itu. Dengan janji-janji surga, penebusan yang akan segera datang, agama hanya berperan seperti candu yang memberikan kenyamanan sesaat namun tidak pernah bisa menyelesaikan masalah apapun. Agama yang seperti ini tentu saja hanya akan mampu mengakomodir kepentingan kelas-kelas borjuis dan penguasa. Kelas-kelas berjuis dan penguasa pada hakekatnya sudah hidup dengan cukup mapan dan tidak mengalami ketertindasan apapun. Oleh sebabnya, mereka tidak lagi membutuhkan apa yang disebut dengan “hiburan semu”. Lain halnya jika agama ini dilihat dari kacamata mereka yang tertindas secara ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Bagi mereka, agama ini berperan sebagai penyelamat yang nantinya akan membebaskan mereka dari ketertindasan dan melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang telah menindas mereka. Daripada bergulat dengan kejamnya hidup, mereka lebih memilih untuk menyandarkan diri kepada agama yang dinilai dapat memberikan sebuah penghiburan terhadap ketertindasan.
Karen Amstrong bahkan dengan berani menulis buku yang sangat terkenal yaitu “History of God”, buku yang mengupas sejarah Tuhan. Memangnya Tuhan punya sejarah? Dari buku tersebut kita mengetahui bahwa sejarah Tuhan di setiap peradaban hampir sama dan persepsi orang tentang Tuhan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan zaman dimana manusia berada.
Berbicara tentang Tuhan, Agama adalah sumber yang paling bisa dipercaya karena tujuan manusia beragama adalah untuk mengenal Tuhan dan menyembah-Nya sampai ajal menjemput. Nabi Muhammad SAW bernah berkata, “Aku melihat wajah Allah dalam rupa seorang pemuda”, dan perkataan serupa pernah dikemukakan oleh seorang tokoh sufi Ibnu Arabi ketika tawaf di ka’bah beliau berkata, “Aku melihat Allah dalam wajah seorang wanita”.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, “…dimanapun engkau memandang disitu Wajah Allah”. Lalu bagaimana manusia bisa memandang wajah Allah di alam kalau belum pernah mengenal dan melihat-Nya dalam Kegaiban-Nya? Disinilah diperlukan seorang pembimbing sebagaimana Rasulullah SAW di bimbing oleh Jibril as dan Ibnu ‘Arabi dibimbing oleh Gurunya sehingga setelah mengenal Allah dengan benar maka dimanapun mereka memandang akan bisa menemukan wajah Tuhan disana.
Pun tidak terkecuali ketika tulisan ini saya tulis dan ditemani oleh segelas kopi, saya merasakan ketenangan dan kedamaian di tengah hiruk pikuk warung kopi, ditengah riuh kendaraan lalu lalang, sayang merasakan “Sunyi dalam Keramaian” karena saya merasakan ada getaran Tuhan hadir setiap saat kapan dan dimana saja.  Saya melihat kopi dalam gelas yang tinggal setengah, saya tersenyum karena saya bisa memandang wajah Tuhan disana…

Selamat Idul Fitri, sMoga Mencapai Derajat Taqwa dan Ikhlas.

Hari ini adalah hari terakhir kita berada di bulan suci Ramadhan, bulan ampunan, rahmat dan pembebasan dari siksa neraka. Ramadhan mengajarkan kepada kita banyak hal, tentang hikmah lapar dan dahaga, tentang saling berbagai kepada saudara dan yang terpenting adalah tentang keikhlasan dalam beribadah kepada Allah SWT. Derajat Taqwa sebagai buah dari pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan mudah-mudahan bisa kita raih.
Taqwa dalam arti sederhana adalah patuh melaksanakan perintah Allah dalam kondisi tanpa beban. Selepas Ramadhan ibadah kita semakin berkualitas, ruh ibadah hadir dalam diri kita semua sehingga tidak ada yang memberatkan sama sekali. Dalam bulan Ramadhan kita telah berlatih shalat di malam hari, berpuasa di siang hari, memperbanyak membaca al-Qur’an, Zikir dan memperbanyak ibadah sunnah karena nilai pahala diberikan Allah sangat besar, itulah motivasi awal kita.
Selanjutnya setelah Ramadhan, latihan yang telah kita laksanakan membuat kita semakin bergairah dalam ibadah walaupun tidak mendapat pahala sebesar di bulan Ramadhan. Karena hakikat hidup menjadi hamba Allah, tentu kedudukan itu tidak dengan serta merta di capai oleh seluruh manusia. Diperlukan latihan yang tekun dan sungguh-sungguh, secara istiqamah sehingga kita semua benar-benar menjadi seorang hamba Allah.
Seorang hamba adalah milik tuannya, hidup dan mati terserah kepada tuannya, diperlakukan bagaimana pun tetap wajib diterima. Belajar menjadi seorang hamba kemudian naik derajat menjadi seorang pecinta yang beribadah tanpa mengharapkan apa-apa. Derajat pecinta ini yang harus kita capai, karena apapun yang dilakukan atas dasar cinta, semua menjadi indah.
Setelah mencapai maqam taqwa buah dari Ramadhan, selanjutnya mendaki kepada maqam Ikhlas di luar Ramadhan, beribadah dengan senang hati, tanpa mengharapkan apa-apa. Seseorang hanya bisa menjadi ikhlas kalau dalam dirinya telah ada Nur Ilahi yang menyinari hari dan seluruh tubuhnya. Nur tersebut terpancar dari seluruh badannya dan apapun yang bersentuhan denganya akan ikut merasakan bahagia, ikut merasakan getaran Allah SWT.
Di penghujung Ramadhan ini, saya mengucapkan selamat kepada sahabat semua atas perjuangannya yang tanpa henti dan tanpa mengenal lelah beribadah di bulan mulia ini, semoga kita semua benar-benar dinaikkan derajat oleh Allah kepada maqam Taqwa dan dibimbing-Nya menjadi seorang yang ikhlas.
ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR,  ALLAHU AKBAR, LAA ILAA HA ILLA ALLAHU WA ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR WA LILLAAHILHAMD
Artinya : Allah Maha besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan segala puji hanya milik Allah.
Dengan linangan air mata kita kumandangkan takbir menyambut kemenangan, rasa bahagia yang begitu dalam, menyambut suasana baru, menjalani hidup baru kita. Rasa gembira dan semangat beribadah ini menjadi modal besar dalam mengarungi kehidupan di bulan-bulan selanjutnya. Kehidupan yang selalu dalam rahmat dan karunia-Nya.
Saya, Sufimuda, mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1436 H, mohon maaf kepada sahabat semua atas kesalahan dan kekhilafan dari saya, mohon maaf atas ketidaksempurnaan saya dalam menyampaikan kata lewat tulisan-tulisan yang selama ini sahabat baca.
Semoga Allah SWT senantiasa mengampuni kita semua, melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, menjadikan kita semua sebagai saudara, dari dunia sampai akhirat kelak, amin ya Rabbal ‘Alamin.

Bahaya di Balik slogan “Kembali ke al-Qur’an dan Sunnah”

alquranAnda mungkin sering mendengar kata-kata seperti judul di atas, anda di nasehati untuk kembali ke Al-Qur’an dan Hadist. Sekilas nasehat tersebut baik, tentu saja baik karena kita dianjurkan untuk menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup, tapi kalau direnung lebih dalam kita juga wajib bertanya, apakah semua orang diberi kebebasan untuk menafsirkan al-Qur’an? Kalau anda ada persoalan kemudian buka al-Qur’an dan Hadist kemudian memahami sendiri? Lalu dimana anda mau letakkan pendapat para ulama yang telah menyusun tafsir dan penjelasan lengkap selama 1400 tahun?
Ciri khas aliran yang muncul 100 tahun lalu di tanah arab tidak lain menjauhkan ummat dengan Ulama dengan berbagai cara, mulai dengan menghancurkan kuburan ulama dengan dalih syirik, melarang menghormati ulama dengan alasan dalam ajaran Islam dilarang mengkultuskan manusia, termasuk slogan di atas, “Kembali ke al-Qur’an dan Hadist” dengan slogan itu ummat tidak lagi perlu bertanya ke ulama, setiap manusia diberi kedudukan yang sama di hadapan Allah termasuk dalam menafsirkan al-Qur’an.
Slogan ini kemudian melahirkan orang-orang yang “sok tahu” tentang al-qur’an, kemudian dengan mudah menvonis orang dengan ayat-ayat yang dipahami dengan keterbatasan ilmunya. Saya sendiri sudah kenyang melihat jenis ulama gadungan, baru rajin shalat 3 bulan dan membaca al-Qur’an terjemahan, kemudian dengan mudah mengeluarkan “fatwa”, yang ini sesat, ini bid’ah, ini tidak sesuai al-Qur’an dan Hadist dst.
Lahirnya orang-orang yang dangkal memahami agama ini memang dirancang oleh kelompok tertentu, saya tidak berani menuduh mereka Yahudi atau orientalis, anda bisa menyebut mereka dengan sebutan yang anda sukai, dengan tujuan agar ummat ini mudah di ombang ambing seperti buih di lautan. Terputusnya ummat dengan Ulama Pewaris Nabi akan mudah bagi mereka kemudian menyodorkan ulama versi mereka, andai pun memahami al-Qur’an hanya sebatas tekstual, yang tertulis semata.
Selama 100 tahun ummat Islam telah berhasil di perdaya, coba anda lihat hasilnya, ayat-ayat tentang jihad dimaknai apa adanya, maka lahirnya al-Qaida, kemudian ISIS dan lain-lain, diantara sesama muslim jadi saling mencurigai, ini hasil unggul produk “Kembali ke al-Qur’an dan Hadist” yang di dengungkan 100 tahun lalu, slogan yang tidak pernah ada sebelumnya.
Tulisan ini tolong dipahami dengan kepala dingin, saya tidak sedang mengkritik al-Qur’an dan Sunnah dan tidak pula melarang orang berpedoman kepada keduanya, yang saya kritik adalah cara orang memahami keduanya, memahami tanpa dengan bimbingan. Menafsirkan al-Qur’an dengan akal pikiran akan membuat manusia tersesat, Nabi memberikan nasehat :
“Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka” (HR. Muslim)
Dari awal Nabi sudah khawatir akan muncul suatu generasi yang dengan sekehendak hatinya menafsirkan ayat al-Qur’an. Siapa yang paling paham dengan firman Allah? Tentu saja Nabi dan siapa orang paling paham dengan Nabi? Tentu sahabat, dan siapa yang paling paham dengan sahabat? Tentu saja orang yang pernah hidup dengan sahabat Nabi, hubungan berantai itu yang menyebabkan Islam lestari hingga hari ini.
Paham yang di usung 100 tahun lalu tersebut kemudian menafikan mazhab, dengan alasan karena mazhab ummat ini terpecah, kemudian dengan alasan ini pula slogan “Kembali ke al-Qur’an dan Sunnah” terasa sangat masuk akal, akhirnya seluruh orang dengan gaya masing-masing menartikan al-Qur’an menurut akal pikirannya, hasilnya TERSESAT!.
Pemikiran paham yang muncul 100 tahun lalu tersebut memang rancu, satu sisi anda di suruh mengikuti al-Qur’an dan Sunnah, mengikuti ulama salaf, tapi sisi lain anda dilarang mengikuti mazhab, bukankah Imam Mazhab tersebut termasuk ulama salaf?
Imam Mazhab menurut saya ibarat ahli masak, Koki terkenal yang mempunyai resep masak, kemudian resep itu diwariskan dan dipakai sekian lama dan terbukti memang sangat enak. Ibarat masak kambing, ada berbagai jenis seperti: kari, rendang, sop dan sate, ke empat jenis ini mempunyai keungulan dan kelemahan masing-masing, silahkan anda mengikuti menurut kebutuhan masing-masing. Bagi sebagian orang kari kambing adalah makanan yang sangat cocok untuk mereka, bahan-bahan pendukung seperti kelapa dan rempah-rempah kebetulan banyak di daerahnya, sebagian yang tinggal didaerah tanpa buah kelapa, sate atau sop adalah pilihan paling bagus. Semua jenis masakan berdasarkan resep warisan koki terkenal tersebut sangat baik, karena telah diteliti oleh mereka.
Kemudian muncul satu golongan (100 tahun lalu) yang menolak bahkan membuang resep-resep bagus ahli masak yang telah terbukti selama 1000 tahun ampuh dan hebat, mereka membuang semua resep, bagi mereka gara-gara resep masakan kita jadi tidak kompak, semua orang harus kembali ke alamiah, tidak perlu bumbu-bumbu, itu semua bid’ah. Akhirnya orang disuruh makan daging mentah, hasilnya: hambar dan sakit perut!
Cara terbaik agar kita selalu mendapat bimbingan dari Allah adalah berguru kepada orang yang mempunyai hubungan baik dan dekat dengan Allah, orang-orang yang memahami firman Allah dengan hati yang disinari oleh cahaya-Nya. Menutup tulisan ini saya kutip firman Allah dalam surat an-Nahl 43 :
“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]

Cobaan Tuhan???

Cobaan Tuhan???

Tuhan menciptakan Alam dan seluruh isinya dan kemudian Tuhan juga menciptakan hukum-hukum di alam yang disebut dengan Sunatullah. Sunatullah itu bersifat universal dan berlaku untuk semua tanpa membedakan orang per orang.
Tuhan menciptakan udara dan air sebagai sumber kehidupan, siapun yang hidup di dunia ini apakah dia beriman atau tidak, menyembah Allah atau tidak tetap bisa menikmati yang namanya air dan udara.
Tuhan menciptakan bumi, menciptakan tanah beserta hukum hukumnya, siapa yang menabur biji dia akan menuai. Kalau yang ditanam padi maka sesuai hukum Alam apabila rawat sesuai rukun dan syaratnya akan mendapatkan hasil berpuluh atau beratus kali lipat.
Siapun yang menanam, apakah dia Islam, Kristen, Yahudi atau bahkan penyembah berhala sekalipun apabila memenuhi syarat syarat yang telah ditentukan oleh Allah sebagai pencipta dan pemilik alam akan mendapatkan hasil.
Sunatullah tidak ada hubungan dengan yakin atau tidak kepada Tuhan, taat atau lalai, beriman atau kafir.
Tidak hanya hukum alam, hal hal lain juga Tuhan telah mengatur sesuai dengan aturannya.
Sebagai contoh sederhana misalnya untuk menanak beras agar bisa menjadi nasi agar bisa dimakan harus memenuhi rukun syaratnya. Hal2 yang harus dipenuhi dalam menanak nasi :
  • Ada beras, tanpa beras apa yang mau dimasak?
  • Ada wadah (periuk, belanga, dll) tanpa wadah maka beras akan berserakan tidak akan pernah bisa di masak.
  • Ada air, tanpa air maka beras akan menjadi gosong tak akan pernah menjadi nasi.
  • Ada api (listrik) tanpa ada api atau alat untuk memanaskan maka sampai kiamat beras tidak akan pernah menjadi nasi.
  • Ada ahli masak (orang yang memasak), 4 syarat telah terpenuhi (beras, wadah, air dan api) kalau tidak ada yang memasak maka beras tidak akan bisa berubah menjadi nasi.
Pertanyaannya apakah menanak nasi ada hubungan dengan akidah, keyakinan, keimanan?
Jawabannya: TIDAK?
Orang yang taat ibadah sekalipun kalau tidak paham cara menanak nasi maka sampai kiamat pun nasi itu tidak akan jadi sebaliknya orang jahat, atheis atau penyembah berhala sekalipun kalau dia mengetahui ilmu menanak nasi maka dia akan mendapatkam nasi.
Begitu juga dengan hal lain, semua ada aturan dan hukum hukumnya.
Itulah sebabnya kenapa orang orang yang ahli di dunia ini kebanyakan non muslim, karena mereka belajar, menyelidiki dengan sungguh2 tentang hukum hukum yang berlaku di alam.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan sempurna dan memberikan manusia kemampuan untuk berfikir sehingga manusia bisa memahami hukum yang ada di alam dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Orang yang menjaga kesehatan pasti akan mendapatkan kesehatan sebaliknya orang yang tidak menjaga kesehatan akan mengalami sakit, ini tidak ada hubungan dengan ibadah.
Rasulullah SAW junjungan kita termasuk orang yang sehat sepanjang hidup bahkan Beliau hanya pernah sakit satu kali. Kenapa? Karena dalam keseharian Beliau menerapkan pola hidup sehat. Pola makan Nabi juga sehat, Beliau bersabda, “”Perut itu rumah (sumber) penyakit. Dan obatnya adalah pencegahan” dalam riwayat lain Nabi menganjurkan agar perut kita isinya dibagi menjadi 3 yaitu sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara atau anjuran Beliau makanlah sesudah lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Cara makan Nabi juga ada adab atau kesopanan yang selalu diterapkan oleh Nabi setiap saat.  Pertama-tama, makan dalam keadaan bersih, setidaknya, tangan harus sudah dicuci bersih. Makanan agar jangan terlalu panas. Selanjutnya membaca basmalah. Kemudian memakan sedikit garam. Makan dengan tangan kanan dan jangan menyuap makanan dalam jumlah yang banyak ke dalam mulut. Melainkan sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam mulut.
Selanjutnya, harus mengunyah makanan sampai halus, jangan minum di tengah-tengah makan, duduk yang lama, mengambil makanan yang lebih dekat, jangan menatap mata, dan disunnahkan setiap kali suapan, dalam pikiran kita mengucapkan rasa syukur atas rezeki dari Allah swt.
Adab makan lainnya adalah menggunakan jari dan sebisa mungkin tidak menggunakan sendok atau garpu kecuali makanan yang mengharuskan untuk itu. Nabi juga menganjurkan melengkapi makanan dengan sayur mayur. Sebelum minum, hendaknya makan sedikit garam lagi. Selesai makan, mengelus perut dari atas ke bawah. Jika ada sisa makan pada jari, dianjurkan untuk dijilat. Dan terakhir, mencuci tangan. Siapapun yang mengikuti pola hidup sehat seperti Nabi akan bisa sehat walaupun ibadahnya kurang bahkan tidak beribadah sama sekali.
Saya pernah membaca, seorang dokter non muslim sejak umur 20 tahun sampai umur 70 tahun, selama 50 tahun tidak pernah mengalami sakit walaupun hanya sekali sementara orang yang ibadahnya sangat rajin karena tidak mengetahui ilmu bagaimana menjaga kesehatan dengan baik sering kali mengalami sakit. Sekali lagi masalah kesehatan tidak ada hubungan sama sekali dengan ibadah atau keimanan.
Sering kali kita mengatakan sebagai “cobaan Tuhan” ketika kita gagal, padahal kegagalan itu terjadi karena kita tidak mengetahui hukum-hukum yang telah ditetapkan Tuhan atau salah menerapkan hukum yang telah dibuat oleh Tuhan. Seorang Guru Sufi mengatakan, “Tuhan hanya memberikan cobaan dan ujian kepada Wali-Nya, sedangkan orang awam apa yang dialami akibat kesalahannya sendiri”. Dari pada kita fokus kepada cobaan yang belum tentu itu sebuah cobaan, lebih baik kita merenungi, memperbaiki hal-hal yang membuat kita gagal dalam segala aspek kehidupan. “Salah dulu baru Benar” begitu nasehat Guru kepada saya, nasehat itu menjadikan semangat bagi kita untuk terus belajar, belajar dan belajar dalam segala hal agar kita terus bertumbuh, berkembang menjadi manusia yang lebih sempurna.
Tulisan ini mudah-mudahan bisa menjadi renungan kita semua agar tidak dengan mudah menyalahkan Tuhan ketika kita mengalami hal-hal buruk dalam hidup atau mengalami kegagalan.