Laman

Selasa, 01 September 2015

Pertemuan Nabi Khidir dengan Rasulullah dan Para Sahabat


1. Nabi Khidir dengan Rasulullah saw.
Ketika Rasulullah saw sedang berada didalam masjid, beliau mendengar orang berdoa, ”Ya Allah, tolonglah aku atas apa yang bisa menyelamatkan aku dari apa yang paling kutakuti”. Lalu Rasulullah bersabda, ”Mengapa orang itu tidak menyertakan pasangan doa’nya yang seperti ini, Ya Allah berilah kepadaku kerinduan orang-orang shalih yang paling mereka rindukan”. Kemudian Rasulullah saw menyuruh sahabatnya Anas untuk menyampaikan pasangan do’a tersebut kepada orang yang sedang berdo’a tadi.
Setelah Anas menyampaikan kepada orang tersebut perihal pasangan do’a dari Rasulullah saw, maka orang itu berkata, ”Ya Anas, katakan kepada Rasulullah saw bahwa Allah telah memberi kelebihan karunia kepadanya diatas para nabi seperti kelebihan kepada ummatnya di atas ummat para nabi lain, seperti kelebihan bulan Ramadhan atas bulan-bulan lainnya dan memberi kelebihan hari Jum’at atas hari-hari yang lain. Anas terperanjat pada saat lelaki itu menoleh ke arah Anas, karena yang nampak adalah Khidir as. Lalu orang itu berdo’a, ”Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan ummat yang dimuliakan ini”.
(Riwayat Ibnu Addi dalam Al-Kamil, Thabrani dalam Al Ausath, Ibnu Askir dalam Tarikh Damsyq dan Ibnu Abiddunya dari Anas. Riwayat Hakim dalam Al Mustadrak)
---------------------------------------------------------------------------
2. Nabi Khidir dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Pada waktu wafatnya Rasulullah saw, ketika di tengah-tengah kesedihan para sahabat yang menangis mengelilingi jenazah beliau, tiba-tiba ada seorang laki-laki berjenggot lebat dan bertubuh tegap masuk ke dalam majelis takziah, lalu ia menundukkan kepalanya sambil mencucurkan air mata. Kemudian segera ia menemui para sahabat Nabi dan berkata, “sesungguhnya Allah telah menyediakan balasan pada setiap musibah, pengganti pada setiap yang hilang dan khalifah pada setiap yang tiada. Maka kembalikanlah segalanya kepada Allah dan berharaplah kepada-Nya. Allah telah mempersiapkan segalanya untuk kalian dan ketahuilah bahwasanya yang ditimpa musibah adalah orang yang tidak terpaksa”.
Lalu orang itu pergi. Para sahabat saling bertanya siapakah gerangan orang tersebut, tetapi Abu Bakar segera menjawab, “dia adalah Khidir, saudara Rasulullah saw”.
(Riwayat Baihaqi dari Anas bin Malik)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
3. Nabi Khidir dengan Umar bin Khattab
Pada waktu Umar akan menshalati jenazah, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari belakang, ”tunggu saya, wahai Umar...”. Maka Umar menunggu dia hingga dia masuk ke dalam shaf dan Umar pun mulai bertakbir. Setelah sholat, Umar mendo’akan jenazah tersebut, ”Ya Allah, Jika Engkau mengadzabnya berarti dia durhaka kepada-Mu, tapi jika Engkau mengampuni dia, maka sesungguhnya dia sangat membutuhkan rahmat-Mu, Ya Allah”. Setelah jenazah dimakamkan, seorang laki-laki memperbaiki tanah kuburannya sambil berkata, ”beruntunglah kamu, wahai penghuni kubur jika kamu tidak menjadi orang yang mengaku, menyimpan atau menentukan”.
Umar kemudian menyuruh untuk memanggilkan orang tersebut, ”bawalah orang itu kemari, akan kutanyakan tentang shalatnya dan pembicaraannya itu”. Maka seorang lelaki pergi mencarinya, tetapi orang itu sudah tidak ada, kecuali hanya bekas telapak kakinya di tanah yang besarnya kira-kira satu hasta.
Lalu Umar berkata lagi, ”Demi Allah, dia itu Khidir yang pernah diceritakan oleh Rasulullah kepadaku”.
(Riwayat Muhammad bin Munkadir)
Salam sayang.

TUHAN mu LAISHAL KAMISHLIHIL SYAIUN.

Bismilahirahmanirahim.
Jangan kamu berpegang nyawa bahkan NAFAS, namun berpegang hanya TUHAN mu LAISHAL KAMISHLIHIL SYAIUN.
Sekalian alam penuh-kosong; kosong Maharuang. Jadi, terang, gelap, kabut, semua itu sesuatu atau baharu. Orang tauhid bukan memandang baharunya, melainkan memandang qadimnya. Orang tauhid memandang Kosong yang tidak ber-zat. Itulah yang dipandang.
Jika kita hendak mengetahui hakikat alam, renungkanlah titik awal. Mana titik awal itu? Kosong Zat-Mutlak. Itulah awal titik. Siapa dapat merenungkan awal titik ini, dapatlah ia mengetahui isi dunia.
Tuhan itu Rahasia Ahadiyat atau Rahasia Laa ta`yin. Renungkan betul-betul awal titik itu. Kalau kesadaran merenungkan titik awal itu men-"jadi", akan kita rasakan tenggelam sekalian alam kembali tiada; dan kita rasakan juga tenggelamnya diri kita. Kalau sudah kita rasakan tenggelam semua, barulah timbul rasa isbat. Ini pun yang merasakan hanya sirr di dalam hati. Barulah kita paham tentang tawajjuh danmuraqabah [= berhadap]. Keduanya itu sama, hanya berlainan bahasa saja.
Batin Muhammad itu Rahasia pada kita. Jadi, Muhammad itu berhimpun pada Rahasia. Kita disuruh mengenal, tentu matilah kita dalam pengenalan itu. Siapa mengenal Tuhannya, maka binasalah dirinya. Maksud binasa di sini bukan hancur lebur atau hilang, melainkan tiada merasa ada diri. Dalam shalat pun kita disuruh mengenal.
Yang dinamai Rahasia, itulah Zat. Untuk dapat lebih sempurna lagi, perlu kita mengetahui dan mengenal betul-betul sampai paham jalan musyahadah yang ada pada diri kita ini. Yang nyata adanya pada diri kita ini dan nyata pada sekalian alam, yaitu Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya.
Lakukanlah musyahadah, yakni pandangan hati yang berkekalan dengan Allah. Karena yang empat macam ini ada pada diri kita dan ada pada sekalian alam.
Lakukanlah muraqabah, jangan berpaling kepada yang lain atau jangan berpaling pada sesuatu. Tidak terlepas dari yang kira intai.
Lalukanlah mukasyafah, sampai terbuka tirai kita dengan Tuhan.
Dengan mukasyafah ini kita juga tahu bahwa lafal alif-lam-lam-ha itu hanya menunjukkan Nama. Nama menunjukkan adanya Zat. Adanya Tuhan itu bukan pada lafal alif-lam-lam-ha.
Kalau pada lafal alif-lam-lam-ha keyakinan seseorang, berarti ia bertuhankan lafal.
Sudah tahu lafal itu Nama-Nya. Nama-Nya itu bukan Tuhan. Kalau sudah paham tentang hakikat dan makrifat, segala apa pun yang kita kerjakan semua itu dari Allah kepada Allah dan kembali ke sumber pekerjaannya. Pekerjaan shalat, berzikir, dan lain-lain itu menunjukkan pekerjaan Yang Punya Rahasia. Simpulannya, pekerjaan Rahasia Allah.
Mengapa dikatakan pekerjaan Rahasia Tuhan?
Sebab terbitnya segala sesuatu dan lain-lain itu dari Allah kepada Allah. Kita telah mempelajari ilmu tauhid. Dari segi tauhid, yang kita lakukan: shalat, berzikir, dan lain-lain, semua itu menunjukkan Zat Allah yang bersifat Ta`sir [Kebesaran]. Sifat Ta`sir ini terdiri atas empat Sifat: Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat. Jangan disepelekan masalah tauhid.
Orang makrifat selalu berkekalan dengan Allah. Tetap dengan Allah. Dia tidak mengingat dirinya yang zahir maupun yang batin. Jelaslah, makrifat itu meraibkan yang batin, bukan meraibkan yang zahir.
Kalau batinnya tetap tertuju pada Allah, tentulah keadaanya yang zahir tidak ada yang mengendalikannya karena yang zahir itu dari yang batin. Maka lepaslah yang zahir itu akan dirinya yang batin--dikarenakan yang batin kekal dengan Allah. Itulah dikatakanfana.
Fana itu bukan memfana-fanakan diri atau merasa-rasakan diri tidak ada. Kekalkan saja batin dengan Allah. Itulah yang dikatakan fana fillah: tidak merasa ada zahir-batin; yang Ada Allah saja. Inilah juga rasa isbat. Maka dalam ibadah, berzikir, berbicara, dan apa saja, jangan lupa: Nama dengan Yang Punya Nama tidak becerai.
Kita berkata, Yang Punya Kata Berkata.
Kita melihat, Yang Punya Lihat Melihat.
Kalau semua kembali kepada Zat-Nya: tentulah kita sudah kembali `adam [tiada].
Ingatlah, zikir makrifat itu dengan perasaan. Pada perasaan: sudah Allah saja ADA. Tidak pakai baca-baca lagi, juga tidak dengan hati. Dibaca dengan Rabbani atau dengan makrifat, yaitu dirasakan.
Untuk lebih jelas lagi, perlu diketahui jalan musyahadah itu ada empat:
musyahadah Af`al;
musyahadah Asma;
musyahadah Sifat;
musyahadah Zat.
Jalan yang empat ini, kembali kepada hakikat Diri. Bukankah Allah itu dikenal dengan Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya?! Keempat ini juga meliputi sekalian alam dan diri kita, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan rahasia.
Hakikat diri insan:
zahirnya terdiri atas: tubuh-hati-nyawa-rahasia;
batinnya terdiri atas Zat-Sifat-Asma-Af`al.
Oleh sebab itu, berlakulah dua perkara zahir dan batin. Maka dikatakanlah oleh ahli makrifat:
Syariatun bila haqiqatun: atilatun; 'syariat tanpa hakikat: sia-sia';
Haqiqatun bila syariatun: bathilun; 'hakikat tanpa syariat: batal'.
Maka syariat dan hakikat tidak bisa becerai. Siapa bilang orang tauhid membunuh syariat? Hanya orang tasawuf buta yang berani meninggalkan syariat. Perkataan arif billah di atas itu sudah banyak orang ketahui, tetapi jalan cerita pengenalannya yang banyak orang tidak tahu, yaitu mengenai sebab syariat dan hakikat itu tidak bisa dipisahkan.
Adapun insan itu nama yang zahir;
Adapun Allah itu nama yang batin.
Nama yang zahir pada insan itu: tubuh-hati-nyawa-rahasia;
Nama yang batin pada Allah itu Zat Allah-Sifat Allah-Asma Allah-Af`al Allah.
Di sinilah baru kita dapat mengetahui bahwa huruf yang pertama dijadikan itu huruf ﻫ. Kemudian ﻫ menjadi ﺏ, kemudian ﺏ pecah menjadi sekalian alam. Dalam titik [.] sudah ada ا [alif]. Karena kuatnya tekanan ketuhanan, pecah titik, jadilah alif. [Nur Muhammad pecah, jadilah sekalian alam].
Di sinilah baru kita tahu, rupanya sifat yang zahir kenyataanya pada sifat napas. Kalau tidak ada napas tentu tidak dapat bergerak. Sifat napas kenyataannya pada sifat nyawa. Sifat nyawa kenyataannya pada Tuhan.
Janganlah berpegang pada napas atau pada nyawa. Berpeganglah pada Tuhan.
Tuhan tidak keluar-masuk, tidak naik-turun. Yang naik-turun itu napas, bukan Tuhan.Jangan dimain-mainkan napas itu! Masak napas keluar dijadikan Allah; napas masuk dijadikan Zat. Sebaiknya berpeganglah pada makrifatnya, yaitu pada Tuhan, bukan pada napas.
Salam sayang.

“ A Z A L I “


Ada suatu “waktu” dimana Tuhan hanya sendirian, pada waktu itu Tuhan belum bernama Allah, Arasy dan Qursy pun belum di jadikan, Saat itu belum ada apa-apa, belum ada siapa-siapa, jangankah binatang, jangankan tumbuhan, jangankan manusia, bahkan zat lain selain Tuhan pun belum ada. Belum ada malaikat, belum ada langit dan bumi, belum ada surga dan neraka, bahkan waktu itu pun belum ada “waktu”, belum ada zaman, belum ada sesuatu apapun jua. Pada saat itu, Tuhan masih bernama “Nuktah”, selanjutnya Nuktah melihat kepada dirinya sebagai Tuhan, tetapi siapakah hamba….? Selanjutnya Nuktah melihat kembali pada dirinya, lalu dinamainya-lah dirinya “Kun”. Kemudian Ia menamai dirinya adalah DZAT UL-HAQ, Dzat ini menurunkan kwalitas dirinya menjadi NUR ALLAH, dari Nur Allah kemudian menjadikan pula dirinya NUR MUHAMMAD, saat itu, Adam dan Muhammad belum juga ada, Allah pun belum juga nyata, yang ada hanya Nur Dzat yaitu Nur Muhammad, maka Nur Muhammad itulah bersifat “ILLA UL-HAQ” .
Berkata Tuhan : “Jika Engkau Haq, mengapa Engkau tidak melihat..? “ Nur Muhammad menjawab : “Jika Engkau Tuhan mengapa Aku tidak melihat?”.Tuhan menjawab

: “Penglihatanmu itu serahkan kepadaKu.” Tuhan berkata kepada Nur Muhammad, : Katakan olehmu :“LAA ILAHA ILLALLAH AKU MUHAMMAD RASULULLAH”
Selanjutnya Nur Muhammad berkata : “Kulihat diri Tuhan” tetapi “siapa hamba..?” dan “Kulihat diri hamba”, tetapi “siapa Tuhan..?”
Maka pada saat itu juga ALLAH pun menyatakan dirinya TUHAN, dan berkata : “Bahwasanya tiada Tuhan hanya Aku, bahwa kamu itu daripada NUR DZATKU” Berdirilah kamu, dan Allah berdiri tidak berbenda dan tidak ada bertempat.
Selanjutnya Allah berkata “Akulah Tuhanmu” setelah itu Nur Muhammad menjawab: “Akulah Tuhanmu”, dan dijawab oleh Allah Ta’ala : “Jika Engkau Tuhanku Nyatakanlah Dirimu” Pada waktu itu juga Nur Muhammad gaib, dan Nur Muhammad mengatakan : “Dirimu juga yang Aku lihat” Dan Allah pun menyatakan dirinya yang sudah nyata, “Alastu Birabbikum.?” (Siapa Tuhanmu…?) Nur Muhammad menjawab : “Qalu Balaa”. (Engkau juga Tuhanku) Allah berkata : “Syahadallahu annahu laa illaha” (Saksiku bagi Diriku, tidak ada Tuhan yang lain selain Aku) Maka sujudlah Nur Muhammad 5000 tahun lamanya, dan pada kelahiran berikutnya, dinamai ADAM, maka berdirilah ALIF = Adam Insan
Demikianlah, karena itu dalam pandangan Ilmu Hakekat Usul Diri mengatakan : Allah-pun kita, Adam-pun kita, Muhammad-pun kita, karena sekalian itu cuma nama-nama saja, yang dimaksud EMPUNYA nama itu adalah yang tidak mempunyai huruf dan suara. “La sautin wala harfun”
Salam

7 ZIKIR PEMBUKA PINTU REZEKI


1. Memperbanyak Membaca – La hawla Wala
Quwwata Illa billah – Barangsiapa yang
lambat datang Rezekinya hendaklah banyak
mengucapkan – La hawla Wala Quwwata Illa
billah (HR. At- Tabrani)


2. Membaca – La Ilaha Illallahul Malikul
Haqqul Mubin -
Barangsiapa setiap hari membaca La ilaha
illallahul malikul haqqul mubin maka bacaan
itu akan menjadi Keamanan dari Kefakiran dan
menjadi Penenteram dari rasa Takut dalam
Kubur (HR. Abu Nu’aim dan Ad Dailami).

3. Membaca – Subhanallah wabihamdihi
Subhanallahil adziim . Dari setiap Kalimat itu
seorang MALAIKAT yang BERTASBIH kepada
ALLAH Ta’ala sampai hari Kiamat yang
Pahala Tasbihnya itu diberikan Untukmu.
(HR. Al-Mustagfiri dalam Ad-Da’awat)

4. Membaca Surat Al-IKHLA S:
Barangsiapa membaca Surat AlIkhlas ketika
masuk rumah maka berkah bacaan
Menghilangkan Kefakiran dari penghuni rumah
dan tetangganya (HR. AtTabrani)

5. Membaca Surat Al-WAQIA’AH :
Barangsiapa membaca surat Al-Waqiaah
setiap malam…maka TIDAK akan diTimpa
Kesempitan Hidup” (HR. Al-Baihaqi dalam
Syu’ab Al-Iman)

6. Memperbanyak SELAWAT KEATAS NABI :
Dari Umar bin Khaththab dari Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
bersabda: Barangsiapa Berselawat kepadaku
satu kali Selawat maka ALLAH akan
membalas sepuluh kali Selawat dan
Mengangkatnya Sepuluh DARJAT.
(Dikeluarkan Imam Bukhari dalam Adabul
Mufrad, Ibnu Abu Syaibah…al-Bazzar….Ibnu
Syahiin dan al-Ismaili dengan sanad ma’lul)

7. Melazimkan BERISTIGHAFAR :
Barangsiapa melazimkan Beristighfar nescaya
ALLAH akan Mengeluarkan dia dari segala
Kesusahan dan Memberikan Rezki dari arah
yang tidak diDuga-Duga” (HR. Ahmad, Abu
Dawud dan Ibnu Majjah)
Ya ALLAH berikanlah kami Rezki yang Luas…
yang Halal lagi Baik tanpa Memberatkan
kami….Jika Rezki kami ada diLangit maka
Turunkanlah.
Jika ada diBumi maka
Keluarkanlah. Jika jauh maka Dekatkanlah.
Jika Dekat maka Mudahkan lah.
Jika sedikit maka Banyakanlah.
Jika banyak
maka BERKATI LAH agar kami dapat
menolong ANAK-ANAK YATIM – FAKIR
MISKIN – MEREKA YANG DALAM KESUSAHAN
& KEDHAIFAN.
YA ALLAH……Kabulkanlah doa kami…Aamiiin
YA ALLAH Ya Robbal ‘Alamin.
Semoga ALLAH Mengabulkan Do’a kita.
Semoga Bermanfaat. In shaa ALLAH.....
SEBARKANN...

Sufi Perempuan

Sufi Perempuan
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan….
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.
Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.
Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.
Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.
Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.
Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).
Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.
Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.
Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.
Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.
Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.
Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”
Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”
Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

CINTA ALLOH


“Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mendambakan surga. Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja.
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”
Ratusan tahun lalu sufi besar, Rabiah Al Adawiyah, mengungkapkan kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep ‘Mahabbah’-nya itu. Bukan apa-apa, memang. Bagi Rabiah, ibadah dilakoninya semata kasih sayang Tuhan kepada dirinya. Kasih sayang itu, kata Rabiah, mutiara paling berharga bagi manusia, jika saja manusia itu mengetahui rahasia di baliknya.
Dilahirkan di Basrah, Irak, pada tahun 713 M, Rabiah Basri, atau lebih dikenal dengan nama Rabiah Al Adawiyah, berasal dari keluarga yang hina dina. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Begitu pula ketiga kakaknya, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak seberapa. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya.
Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.
Praktis sejak itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah SWT. Berdoa dan berdzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basrah dan seorang suci-mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik menyudahi masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M, dalam usia 88 tahun.
Dalam perjalanan kesufiannya, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being).
Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal. Menjadi sufi dalam perjalanan Rabiah adalah ”berlalu dari sekadar Ada menjadi Benar-benar Ada”. Dan Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna.
Karena cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.
Itu sebabnya, Rabiah dipandang sebagai pelopor model tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul illah (mencintai tuhan Allah SWT). Bagi Rabiah, mahabbah tak lain sebagai martabat untuk mencapai tingkat makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperolehnya setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud (tapa) ke tingkat ridha (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya betul-betul hanya untuk Allah SWT.
Di mata Rabiah, dorongan mahabbah kepada Allah SWT berasal dari dirinya, juga lantaran hak Allah untuk dipuja dan dicinta. Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan cinta kasih Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya. Lantaran ini pula, puisi-puisi mahabbah kepada Allah yang banyak diciptakan sufi-sufi masyhur, seringkali dinisbahkan kepadanya.
Dengan pengembaraannya yang bagai tak bertepi dalam mengarungi dunia mistik itu, oleh banyak kalangan pengamal tarekat dan tasawuf Rabiah digolongkan sosok sufi yang fenomenal. Letak fenomenal seorang Rabiah, selain pada keyakinannya bahwa segala cinta hanya milik Allah, juga lantaran kerendah-hatian dirinya.
Soal kasih sayang Allah tadi misalnya, membuat dirinya tidak membenci setan. “Tidak! Kasih sayang Tuhan tidak mengenal kebencian terhadap setan,” jawab Rabiah ketika suatu kali ia ditanya apakah dirinya benci kepada setan.
Bukti cinta Rabiah yang begitu besar melampaui batas-batas segalanya, di antaranya terlihat dalam syairnya yang masyhur berikut :
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta; cinta karena diriku, dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku yang senantiasa mengingat-Mu.
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu yang mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mu lah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi; beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku; hatiku enggan mencintai selain Engkau.”
Suatu hari, Sufyan Tsauri datang kepada Rabiah. Di depan dirinya, Sufyan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa, “Tuhan Yang Mahakuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu.” Mendengar doa itu, Rabiah kontak menangis. Ditanya mengapa dirinya menangis, Rabiah menjawab, “Harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat Anda hanya mencarinya di dunia saja.”
Sementara itu, di saat lain, terbetik kabar seseorang mengirim uang 40 dinar kepada Rabiah. Ia menangis dan menengadahkan tangannya ke atas, “Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, sekalipun Kau-lah pencipta dunia ini. Lantas bagaimana aku menerima uang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?”
Tak hanya bagaimana kerendahan dan ketakberdayaan seorang hamba ia tunjukkan di hadapan Tuhannya, Rabiah juga senantiasa mengajarkan sifat dan sikap kerendah-hatian dan tawadhu kepada murid-muridnya.
Ia juga melarang para muridnya itu menunjukkan perbuatan baik mereka kepada siapa pun. Bahkan, Rabiah meminta murid-muridnya itu untuk menyembunyikan perbuatan baik mereka, sebagaimana menutupi-nutupi perbuatan jahat mereka.
Bagi Rabiah, segala penyakit dilihatnya sebagai cobaan yang datang dari Allah. Terhadap masalah ini, Rabiah selalu memikul setiap cobaan yang datang itu dengan penuh tabah dan kesabaran. Rasa sakit yang dahsyat sekalipun, tidak pernah mengganggunya dari perhatian dan pengabdiannya kepada Tuhannya. Bahkan, sering ia tidak menyadari ada bagian tubuhnya terluka sampai ia diberitahu orang lain.
Suatu saat misalnya, kepalanya terbentur batang pohon hingga berdarah. Seseorang yang melihat darah bercucuran itu, dengan hati-hati bertanya, “Apakah Anda tidak merasa sakit?”
“Aku dengan segala ragaku mengabdi kepada Allah SWT. Aku berhubungan erat dengan-Nya, aku disibukkan-Nya dengan hal-hal lain daripada hal-hal yang pada umumnya kalian rasakan,” jawab Rabiah.
Sekalipun penuh liku, banyak kalangan mengakui kehidupan Rabiah tak sedikit menyisakan keajaiban, yakni keajaiban milik orang-orang suci. Rabiah misalnya, mendapatkan makanan dari tamu-tamunya dengan cara yang aneh-aneh. Disebutkan, ketika Rabiah menghadapi maut, ia minta kepada teman-temannya untuk meninggalkannya.
Rabiah lalu menyilakan para utusan Tuhan lewat. Ketika teman-teman Rabiah keluar itu, mereka mendengar Rabiah mengucapkan syahadat, lantas terdengar suara menjawab, “Sukma, tenanglah, kembalilah kepada Tuhanmu, legakan hatimu pada-Nya. Ini akan memberikan kepuasan kepada-Nya.”

TIDAK ADA DERITA ATAS NAMA CINTA


Oleh : Abu Hafidzh Al Faruq

Pembaca yang budiman, berapa lamakah anda sebagai anak dibesarkan, diasuh, dididik, dibiayai… oleh orang tua anda? Apakah pernah terpikir betapa berat derita orang tua anda untuk membesarkan anda, berkorban perasaan, harta bahkan bersabung nyawa. Sebagai orang tua atau suami sudah berapa lamakah anda menanggung beban atas istri dan anak anak anda? Menafkahi lahir bathin… Saya mencoba mengambil hanya satu item menafkahi dari sekian banyak pengorbanan yang telah anda lakukan. Kepada para pembaca yang sudah mempunyai pengalaman sebagai suami atau orang tua (parents, not old man ; red), dari sekian lama menafkahi istri dan anak anak anda apakah terasa berat selama ini? Bagaimana kalau persepsi anda terhadap istri dan anak anak anda saya ganti sejenak, anda adalah budak istri dan budak anak anak anda yang harus banting tulang dan wajib setor gaji tiap bulan dan penghasilan apapun untuk mereka, bagaimana perasaan anda? Padahal apa yang anda berikan untuk istri dan anak anak anda tidak ada bedanya apakah sebelum atau sesudah persepsi anda diganti, tapi mengapa perasaan anda begitu sangat bertolak belakang ketika persepsi itu dibedakan? Sesungguhnya apa yang anda perjuangkan demi istri dan anak anak anda adalah sangat berat sebagaimana anda membayangkan beban orang tua anda ketika membesarkan anda, bahkan sebagian dari anda tidak mampu melakukannya, seberapa berat? Andalah yang paling mengetahuinya karena andalah yang menjalankannya. Tapi sampai sejauh ini mengapa anda sanggup melakukannya?
Para pembaca yang budiman, saya berfikir tentang hal ini setelah Guru saya yang sangat bersahaja berkata ‘tidak ada derita atas nama cinta’. …ya, selama ini anda sanggup melakukannya karena cinta, cinta yang anda berikan kepada istri dan anak anak anda. Contoh yang saya ambil tentang pengorbanan atas nama cinta kepada keluarga adalah analogi saya sendiri supaya saya yang bebal ini mudah memahami makna petuah Guru saya. Lalu apa sesungguhnya maksud Guru saya?
Pembaca budiman, saya membaca kisah kisah kesabaran Nabi Ayub Alaihissalam yang penuh penderitaan ketika saya kelas 3 SD, yang dimulai dari musnahnya seluruh harta benda, kehilangan seluruh anak dengan cara yang tragis, diterpa penyakit kronis yang tak berkesudahan, dicemooh dan dikucilkan dari masyarakatnya, hingga ditinggalkan oleh semua istrinya. Berdasarkan analogi yang telah saya jalani di atas, saya jadi ragu apakah Ayub benar benar menderita ketika itu. Lho kenapa? Dalam persepsi saya tidak ada satu manusiapun yang sanggup menahan derita seperti itu termasuk Ayub sekalipun! Lalu kenapa Dia mampu menghadapinya? Ayub mampu melewatinya karena Ayub beserta … (menurut anda?). Derita apa yang bisa dirasakan hamba bila telah beserta yang MAHA KASIH? Pembaca budiman, betapa dalam dan luas makna ucapan Guru saya sehingga anda bebas menafsirkan menurut anda sendiri berdasar kemampuan anda untuk diri anda sendiri. Lalu bagaimana pula beratnya bila tanpa yang MAHA KASIH? Saya kira inilah yang menjadi penyebab pada sebagian orang apabila putus cinta lalu minum baygon, tidak sanggup bayar hutang lalu tidur di rel kereta yang melintas, atau ditagih uang 20 ribu perak lalu membunuh sampe mutilasi segala. Kedengarannya sepele memang tapi bagi sebagian orang hal tersebut sudah merupakan masalah yang maha berat sehingga bunuh diri atau membunuh orang adalah jalan keluar yang sangat membahagiakan. Bagi saya itulah arti ‘beserta-Nya’ dengan ‘tanpa beserta-Nya’. …yang terbungkus balut, yang terikat simpul kuat, yang menyatu bersetubuh menyeluruh dengan CINTA, CINTA kepada TUHAN. Anda tidak akan sampai pada maqam cinta bila anda belum kenal Tuhan anda. Perlu anda renungi, bagaimana anda mencintai seseorang atau sesuatu yang belum anda kenal?
Pembaca sekalian, baru baru ini seorang teman mengirim email ke saya. Rupanya masalah ‘besertaNYA’ dan ‘tanpa besertaNYA’ ini pernah di gugat di kampus, apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Berikut petikannya yang konon berupa kisah nyata..
“Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”.
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”. “Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi.
“Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip Kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi Bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?” “Tentu saja,” jawab si Profesor. Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.
Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?”
Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.”
Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga Tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?”
Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.”
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan .Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.”
Profesor itu terdiam.
Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.” …

kuanyam tikar ku jalin rata
panjangnya depa kuukur hasta
ku kira benar dulu Ayub menderita
rupanya tiada jikalau TUHAN beserta
pucuk rebung si tunas buluh
masak di kuali ku bawa berlabuh
biar bersabung nyawa tercerai tubuh
tak ku perduli asal CINTA kekal bersetubuh

Di Balik Shalawat Nabi SAW


M. Luqman Hakiem
Apa hubungan Istighfar dengan Shalawat Nabi SAW? Mengapa dalam praktik sufi,senantiasa ada dzikir Istighfar dan Shalawat Nabi dalam setiap wirid -wiridnya? Hubungan Istighfar dan Shalawat, ibarat dua keping mata uang. Sebab orang yang bershalawat, mengakui dirinya sebagai hamba yang lebur dalam wahana Sunnah Nabi. Leburnya kehambaan itulah yang identik dengan kefanaan hamba ketika beristighfar.Shalawat Nabi, merupakan syari'at sekaligus mengandung hakikat. Disebut syari'at karena Allah SWT, memerintah kan kepada para hamba-Nya yangberiman, agar memohon kan Shalawat dan Salam kepada Nabi.
Dalam Firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya senantiasa bershalawat kepada Nabi.Wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam baginya." (QS. 33: 56)Beberapa hadits di bawah ini sangat mendukung firman Allah Ta'ala tersebut : Suatu hari Rasulullah SAW, datang dengan wajah tampak berseri-seri, danbersabda: "Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata, "Sangat menyenangkan untuk engkau ketahui wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat dari seseorang umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya."Dan sepuluh salam bagiku akan kubalas dengan sepuluh salam baginya." (HR.an-Nasa'i)Sabda Rasulullah SAW: "Kalau orang bershalawat kepadaku, maka malaikat juga akan mendoakan keselamatan yang sama baginya, untuk itu hendaknya dilakukan, meski sedikit atau banyak." (HR. Ibnu Majah dan Thabrani).
Sabda Nabi SAW, "Manusia yang paling uatama bagiku adalah yang paling banyak shalawatnya." (HR. at-Tirmidzi)Sabdanya, "Paling bakhilnya manusia, ketika ia mendengar namaku disebut, ia tidak mengucapkan shalawat bagiku." (HR. at-Tirmidzi). "Perbanyaklahshalawat bagiku di hari Jum'at" (HR. Abu Dawud).
Sabdanya, "Sesungguhnya di bumi ada malaikat yang berkeliling dengan tujuan menyampaikan shalawat umatku kepadaku." (HR. an-Nasa'i)Sabdanya, "Tak seorang pun yang bershalawat kepadaku melainkan Allah mengembalikan ke ruhku, sehingga aku menjawab salam kepadanya." (HR. AbuDawud). Tentu, tidak sederhana, menyelami keagungan Shalawat Nabi. Karena setiap kata dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfir ruhaniyang sangat dahsyat. Kedahsyatan itu, tentu, karena posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai hamba Allah, Nabiyullah, Rasulullah, Kekasih Allah dan Cahaya Allah.
Dan semesta raya ini diciptakan dari Nur Muhammad, sehingga setiap detak huruf dalam Shalawat pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa.Mengapa kita musti membaca Shalawat dan Salam kepada Nabi, sedangkan Nabi adalah manusia paripurna, sudah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu maupun yang akan datang? Beberapa alasan berikut ini sangat mendukung perintah Allah SWT. Nabi Muhammad SAW adalah sentral semesta fisik dan metafisik, karena itu seluruh elemen lahir dan batin makhluk ini merupakan refleksi dari cahayanya yang agung. Bershalawat dan bersalam yang berarti mendoakan beliau, adalah bentuk lain dari proses kita menuju jati diri kehambaan yang hakiki di hadapan Allah, melalui "titik pusat gravitasi" ruhani, yaitu Muhammad Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW, adalah manusia paripurna. Segala doa dan upaya untukmencintainya, berarti kembali kepada orang yang mendoakan, tanpa reserve.Ibarat gelas yang sudah penuh air, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut, pasti tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan Rahmat dan Anugerah-Nya melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad SAW.
Shalawat Nabi mengandung syafa'at dunia dan akhirat. Semata karena filosofi Kecintaan Ilahi kepada Kekasih-Nya itu, meruntuhkan Amarah-Nya. Sebagaimana dalam hadits Qudsi, "Sesungguhnya Rahmat-Ku, mengalahkan Amarah-Ku." Siksaan Allah tidak akan turun pada ahli Shalawat Nabi, karena kandungan kebajikannya yang begitu par-exellent.Shalawat Nabi, menjadi tawashul bagi perjalanan ruhani umat Islam. Getaran bibir dan detak jantung akan senantiasa membubung ke alam Samawat (alamruhani), ketika nama Muhammad SAW disebutnya. Karena itu, mereka yang hendak menuju kepada Allah (wushul) peran Shalawat sebagai pendampingnya, karena keparipurnaan Nabi itu menjadi jaminan bagi siapa pun yang hendak bertemu dengan Yang Maha Paripurna.
Muhammad, sebagai nama dan predikat, bukan sekadar lambang dari sifat-sifat terpuji, tetapi mengandung fakta tersembunyi yang universal, yang ada dalamJiwa Muhammad SAW. Dan dialah sentral satelit ruhani yang menghubungkan hamba-hamba Allah dengan Allah. Karena sebuah penghargaan Cinta yang agung, tidak akan memiliki nilai Cinta yang hakiki manakala, estetika di balik Cinta itu, hilang begitu saja. Estetika Cinta Ilahi, justru tercermin dalam Keagungan-Nya, dan Keagungan itu ada di balik desah doa yang disampaikan hamba-hamba-Nya buat Kekasih-Nya. Wallahu A'lam.Para sufi memberikan pengajaran sistematis kepada umat melalui Shalawat Nabi itu sendiri. Dan Shalawat Nabi yang berjumlah ratusan macam itu, lebih banyak justru dari ajaran Nabi sendiri. Model Shalawat yang diwiridkan para pengikut tarekat, juga memiliki sanad yang sampai kepada Nabi SAW. Oleh sebab itu, Shalawat adalah cermin Nabi Muhammad SAW yang memantul melalui jutaan bahkan milyaran hamba-hamba Allah bahkan bilyunan para malaikat-Nya.

Cinta Dalam Tasawuf


Inilah kecintaan kepada kesempurnaan sang Kekasih, dan kecintaan itu pasti bersumber dari kesadaran akan kebesaran dan keindahan Haq Ta’ala. Karena tanpa mengetahui dan sadar akan keagungan dan keindahan Tuhan, maka kecintaan itu mustahil akan tumbuh. Dan para arif meyakini bahwa keagunganNyalah yang menjadi sumber terciptanya alam semesta. Ketika keagungan tersebut hendak ditampakkan, maka cermin, jelmaan dan tajalli keagungan pun akan tanpak juga.
"Ilahi! Jika Engkau berikan kepadaku dunia, maka berikanlah itu kepada musuh-musuhku!, jika Engkau berikan akhirat kepadaku, maka berikanlah itu kepada sahabat-sahabatku!. Karena bagiku cukup DIRIMU
Jika cinta sudah sempuna maka dia adalah Allah ". (para urafa islam)
"Aku beragama dengan agama cinta, sungguh aku menghadap (dengan) tunggangannya, maka cinta adalah agama dan imanku". (Ibnu Arabi)
Walau cinta merupakan masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata:
“Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya.”
Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup bagi seseorang untuk bisa memahami rasa cinta, perjanan cinta adalah perjalanan yang tidak ada akhir dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Dalam bukunya ‘ Futuhat Al-makiah’ Ibnu Arabi dengan belajar kepada sang maha guru, wali Allah swt. Yang mencinta dan dicintai olehNya, ia belajar dari Ali as. kekasih Allah, menuliskan:
“Hati para pencinta Tuhan telah terbelah, mereka melihat keagungan dan kebesaran Tuhan dengan cahaya hatinya. Badan-badan mereka adalah alam ini, ruh-ruh mereka adalah alam malakut dan akal-akal mereka adalah langit. Mereka berbaris diantara barisan-barisan malaikat dan mereka menyaksikan dengan ainul yakin. Dengan kemampuannya yang mereka miliki, mereka menyembah-Nya, tapi itu bukan kerana rakus terhadap surga dan takut terhadap neraka, akan tetapi karena mereka mencintai-Nya.”
Ucapan terakhir Ibnu Arabi, menjelaskan tentang tanda dan ciri-ciri dasar ibadah dan riadhah (latihan bathin) para arif. Dikalangan para arif muslim (tanpa melihat para Maksumin as. yang merupakan maha guru mereka) Rabiah Adawiah (135 H) salah seorang wanita sufi yang pertama kali meraih tahapan ini dalam irfan islam berkata :
“ Tuhanku! Jika kami menyembahMu karena takut kepada api neraka, maka masukkanlah kami ke dalamnya!. Dan jika kami menyembahMu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah kami darinya. Akan tetapi jika kami menyembahMu karena kecintaan kami terhadapMu, maka abadikanlah KeindahanMu dengan kami!”
Ilahi! Jika Engkau berikan kepadaku dunia, maka berikanlah itu kepada musuh-musuhku!, jika Engkau berikan akhirat kepadaku, maka berikanlah itu kepada sahabat-sahabatku!. Karena bagiku cukup DIRIMU”. (Tadzkirah Al-Auliya, jilid 1, hal. 73)
Masalah ini sampai saat sekarang menjadi pembahasan di kalangan para arif islam, dimana setiap bertambah ibadah dan riadhah, maka semakin sedikit tujuan-tujuan selian Allah swt. Baik tujuan dunia maupun tujuan akherat tidak lagi menjadi harapan kaum arif hakiki, bagi mereka hanya satu tujuan yaitu untuk sampai ke haribaan yang maha Indah.
Inilah kecintaan kepada kesempurnaan sang Kekasih, dan kecintaan itu pasti bersumber dari kesadaran akan kebesaran dan keindahan Haq Ta’ala. Karena tanpa mengetahui dan sadar akan keagungan dan keindahan Tuhan, maka kecintaan itu mustahil akan tumbuh. Dan para arif meyakini bahwa keagunganNyalah yang menjadi sumber terciptanya alam semesta. Ketika keagungan tersebut hendak ditampakkan, maka cermin, jelmaan dan tajalli keagungan pun akan tanpak juga. sementara cinta adalah jelmaan dari keindahanNya, walau seandainya pun tidak ada wujud dan pencinta lain, akan tetapi cukuplah keindahan yang dimilikiNya menjadi yang dicintaNya.
Tentang masalah cinta, Dr. Qasim Ghani berkata: keyakinan para arif tentang cinta adalah, bahwa cinta merupakan gharizah ( insting ) Ilahi dan ilham dari langit. Dengan menelusurinya manusia akan mengetahui diri dan nasibnya. Ruh bersumber dari Tuhan, sebelum diciptakan dunia, ruh sudah berada disisi Tuhan, oleh karenanya kecintaan terhadap dunia adalah kecintaan yang asing dan jauh dari rumah aslinya, tempat asli dan rumahnya itu selalu menjadi pikiran dan dirindukan olehnya. Masalah cinta ini kita dapatkan pada kisah-kisah cinta dan syair-syair sufi, seperti kisah cinta Laila dan Majnun, Yusuf as. dan Julaiha, Wamiq dan Adzra, Syirin dan Farhad, Salaman dan Isal dan kisah cinta lainnya… (Tarikh Tasawus dar Islam, hal. 338-340)
Kecintaan terhadap Tuhan, melazimkan kita juga untuk mencintai para kekasih hakikiNya. Jelmaan dan dzuhur tertinggi dari wujud Haq yang maha Tinggi adalah wujud Rasulullah saww. dan para Imam as. Seorang arif mutaakhir berkata:
"sekiranya dadaku dibelah
Di tengahnya kan terlihat dua garis
Yang digoreskan tenpa seorang penulis
Tauhid dan keadilan pada garis yang satu
Dan cinta pada Ahlul Bayt pada garis yang lain."

Terserah Pada-Mu ya Allah…


Suatu hari Guru berkata, “Sebagian besar manusia berdoa agar diberi kekayaan duniawi, sebagian kecil orang-orang yang fokus kepada ibadah berdoa agar diberikan kekayaan akhirat, sedangkan aku tidak berdoa apa-apa tentang itu, aku terserah apa kehendak Allah”.
Di lain kesempatan Beliau berkata, “Orang awam mohon kepada Allah agar dijauhkan dari Bala, sedangkan bagi sebagian Wali/Nabi justru meminta bala atau cobaan dari Allah karena bagi mereka cobaan adalah bentuk dari perhatian dan kasih sayang Allah, sedangkan aku.. terserah kehendak Allah semata, diberi nikmat aku syukuri, diberi cobaan aku syukuri, bagi ku keduanya sama-sama berasal dari Allah Yang Maha Baik”.
Guru sedang berbicara tentang hakikat pasrah, hakikat dari La Haula Wala Quwwata Illa Billah, tiada daya upaya melainkan kekuatan Allah semata. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita, manusia hasil ciptaan-Nya dibandingkan siapapun, bahkan dibandingkan manusia paling cerdas siapapun. Manusia hanya diberi kemampuan oleh Allah untuk menggali hal-hal bersifat lahiriah, maka lahirlah berbagai cabang ilmu dengan tujuan agar manusia menjadi lebih baik, dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Pasrah dengan putus asa adalah dua hal yang berbeda, pasrah lahir dari keyakinan penuh kepada Allah karena dia sangat mengenal Allah, sangat yakin akan kebaikan Allah kepadanya maka dia serahkan semua kepada Allah sedangkan putus asa lahir dari bisikan setan dalam dada manusia, wujud protes dari keadaan yang tidak dikehendakinya. Seorang pecinta atau hamba yang baik akan selalu memanjatkan syukur terhadap apa yang diberikan bahkan terhadap apa yang tidak dimilikinya. Dalam hal ini Guru Sufi Junaidi al-Bahgdadi berkata, “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang tidak ada”. Beliau juga berkata, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang layak menerima nikmat”.
Hal ini yang selalu diingatkan oleh Guru kepada saya, bahwa karunia apapun diberikan Allah bukan karena derajat kita tapi karena kasih sayang Allah semata. Ketika Guru menaikkan derajat murid, menjadi petugas atau khalifahnya maka berulang kali Guru mengingatkan, sebenarnya kalian belum layak duduk di posisi itu, ibarat pepatah tak ada rotan akar pun jadi, tak ada akar tali pisang pun jadi, “Hai tali pisang, sadarlah selalu!”.
Kembali kepada meminta, ketika anda bermohon kepada Allah meminta sesuatu, kemudian berulang kali meminta, menunggu dengan sabar maka akhirnya lahirlah sikap putus asa, anda kemudian menyebutnya “aku pasrah saja”, padahal itu adalah wujud dari putus asa. Bagaimana anda bisa menyebut itu sebagai kepasrahan kalau anda sebelumnya meminta kepada Sang Maha Raja. Hamba yang baik tidak pernah meminta apapun, lapar dan kenyang diserahkan kepada Tuannya, senang dan susah sesuai kehendak Tuannya, kalau kesusahan membuat Sang Maha Raja Senang, maka dia pun senang dengan kondisinya. Pasrah ibarat bayi dalam gendongan Ibunya, tidak berkehendak sama sekali.
Pasrah lahir dari rasa cinta yang mendalam dan bergelora kepada kekasih, tidak pernah meminta apa-apa dari Sang Kekasih karena perjumpaan adalah pencerahan, perpisahan merupakan rindu tanpa atas. Bertemu dan berpisah tidak mempengaruhi kondisi rohaninya, keduanya mempunyai nilai sama. Ketika terpisah secara ragawi maka rohani terbang menuju kekasih, ketika berjumpa secara ragawi maka rohani tetap berjumpa, jauh dan dekat tidak mempengaruhi bagi para pecinta.
Para pecinta yang sedang mabuk tidak akan pernah bertanya tentang benar salah, susah senang, jauh dekat bahkan kematian pun tidak menjadi bahan perhatiannya, tidak mengalihkan pandangannya dari Sang Kekasih.
Cinta kepada Sang Kekasih ini telah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam bentuk doa Nabi Daud as. Beliau bersabda: “Di antara doa Nabi Daud ’alihis-salaam ialah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin.” Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alihis-salaam beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR Tirmidzi )
Pasrah yang merupakan buah dari cinta dan rindu kepada Allah melahirkan sikap kehati-hatian dalam bertindak, dunia sufi menyebutnya sebagai Wara’ melakukan apapun hanya atas izin Allah semata. Selalu ada rasa takut kehilangan dalam dirinya, takut kalau ucapan dan tindakannya tidak di ridhai oleh Allah, Sang Kakasih.
Suatu hari Guru berkata, “Sebagian besar manusia berdoa agar diberi kekayaan duniawi, sebagian kecil orang-orang yang fokus kepada ibadah berdoa agar diberikan kekayaan akhirat, sedangkan aku tidak berdoa apa-apa tentang itu, aku terserah apa kehendak Allah”.i mohon ampun dan mengharap bimbingan, setan menyusup kedalam hati, maka walaupun firman Allah dibacakan dengan merdu, pada hakikatnya tidak ada Allah disana, yang ada hanya setan yang menyusup dalam hati orang-orang yang mendengar, ini yang di khawatirkan oleh para Wali Allah. Seperti halnya sikap hati-hati dari Rabi’ah al-Adawiyah dalam doanya, “Aku mohon ampun kepada Allah oleh perkataanku yang kurang benar, aku mohon ampun, ya Allah”. Rasulullah SAW yang merupakan teladan kita selalu mohon ampun kepada Allah setiap saat, ”Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)

MATI SEBELUM MATI


Mengkaji Mati Sebelum Mati (Terlepasnya Ruh dari Jasad)
Mati Tabi’i
Mati tabi’I merupakan pintu pertama musyahadah dengan Allah. Mati ini berlangsung saat seseorang melakukan zikir Qalbi dalam zikir Lataif. Dengan karunia Allah, ia fana/lenyap pendengaran secara lahir, tapi secara bathin mendengar zikir Allah…Allah….
Pada tingkatan ini, mula-mula hati berzikir kemudian beralih ke mulut dan lidah, akhirnya berzikir dengan sendirinya. Dalam tahap ini perasaan mulai hilang/mati tabi’I, akal dan pikiran tak berfungsi lagi. Disini mulai masuknya ilham berupa Nur Ilahi dalam hati dan seolah-olah telah berhadapan dengan Allah. Telinga batin yang berfungsi disini dan hati mulai berbisik “ INNANII ANAA ALLAH”. Karena suara hati qalbi naik ke mulut, maka dengan sendirinya lidah bergerak mengucapkan ALLAH…ALLAH. Pada tanjakan-tanjakan batin seperti ini mulai memasuki pintu fana yang pertama yakni fana fil af’al dan tajali fil af’al. Hal ini disebabkan oleh tuntunan dari Allah, seperti dalam firmannya “Tiada perbuatan, gerak dan diam seseorang selain Allah”.
Mati Maknawi
Mati maknawi terjadi pada saat seseorang melakukan zikir Latifatul Roh dalam zikir Lataif. Dalam kondisi mati maknawi, penglihatan secara lahiriah hilang lenyap dan seolah-olah semua pendengaran telah di kuasai oleh mata hati. Maka zikir Allah pada tingkat ini semakin meresap ke seluruh tubuh hingga terasa panasnya di sekujur tubuh dan setiap bulu roma. Perasaan keinsanan mulai tercengang, persendian mulai bergetar yang dapat menyebabkan seseorang jatuh pingsan disebabkan oleh sifat keinsanannya telah lebur dan mulai di liputi oleh sifat kebaqa’an Allah. Pada tingkat ini menandakan seseorang telah memasuki fana fil sifat, sifat kebaharuan dan kekurangan serta perasaan telah lenyap yang ada hanyalah sifat ke Tuhanan yang sempurna dan Tajalli.
Mati Sirri
Mati ini terjadi saat seseorang melakukan zikir Latifatul Sirrih dalam zikir Lataif. Pada tahap ini seseorang akan memasuki yang di sebut dengan “MA’RIFATAN BIRABII”, yakni berhadapan langsung dengan Zat Yang Maha Pencipta. Rasa keinsanan telah lenyap dan dalam wujud yang gelap karena di telan oleh alam ghaib memasuki Nur Af-‘Allullah, Nur Sifatullah, Nur Asmaullah, Nur Zatullah, Nurul ‘Alaa Nurin..
Mati Hissi
Terjadi ketika melakukan zikir Latifatul Hafi dalam zikir Lataif. Pada zikir ini akan memasuki ke tingkat alam yang tertinggi yang di namakan “MA’ARIFA FII RABBI”, yang di sebabkan lenyapnya segala sifat-sifat ke insanan seseorang yang baharu dan tinggallah sifat-sifat Tuhan yang Qadim/Ajali, sehingga bersatulah antara “Abid dan Ma’bud, Khalik dan Makhluk, Jalal dan Jamal. Dalam keadaan ini akan mengalami keadaan yang tidak pernah di lihat oleh mata, tidak pernah terlintas dalam hati manusia.
Musyahadah dengan melalui mati, seperti Sabda Nabi SAW “Rasakanlah mati sebelum engkau mati”. Dalam kitab Hikam Abu Ma’jam berkata: “Barang siapa yang tidak merasakan mati, niscaya ia tidak dapat melihat Allah” Jadi maksud mati ialah hidupnya hati dan tiada saat kehidupan hati melainkan saat matinya nafsu. Selanjutnya dalam kitab Al-Hakim yang artinya: “Tiada jalan masuk/musyahadah dengan Allah kecuali dengan melalui pintu mati, salah satu dari pintu itu adalah Fanaul Akbar yaitu mati tabi”…

TAHAPAN MENGENAL ALLAH SWT


Berikut ini pandangan Al Habib Luthfi tentang tahapan mengenal Allah Swt. Hasil wawancara Crew habiblutfiyahya,net dengan beliau.
Hly.net: Bagaimana cara belajar mengenal Allah?
Al Habib: Kita mengenali tentang apa yang diciptakan oleh Allah terlebih dahulu. Dari mengenali ciptaanNya itulah, lantas kita mengenali siapa yang menciptakannya. Nah, disitulah kita akan melihat kebesaran-kebesaran Allah SWT yang ditunjukkan kepada kita semua.
Setelah kita sudah mengenalnya, lalu kita tingkatkan lagi. Sadarkah kita sebagai hamba, mengertikah kita sebagai hamba, tentang apa kewajiban kita sebagai seorang hamba? Lantas bagaimana seharusnya perilaku seorang hamba yang telah mengenal kepada Tuhannya? Setelah itu kita tingkatkan lagi ke atas. Kita ini sejatinya diundang oleh waktu. Maka kita harus menghormati waktu.
Begitu tingkat kesadarannya sudah tinggi, maka kalau waktu shalat sudah datang kenapa kita mesti menunda waktu untuk bergegas melakukannya? Seharusnya kita kan justru bersiap-siap untuk menunggu datangnya waktu tersebut, menghormat panggilan Allah SWT untuk shalat.
Bukankah setiap kali berkumandang adzan, itu merupakan panggilan yang telah memperingatkan kita? Sehingga ketika terdengar suara adzan, kita merasa senang dan gembira, lantas bersiap-siap untuk hormat akan datangnya panggilan Allah tersebut.
Hly.net: Tetapi dalam kenyataannya, hal demikian terasa sulit untuk dilakukan?
Al Habib: Untuk meraih tingkat demi tingkat semacam itu, memang bukan hal yang gampang. Oleh karnanya, kita perlu sering datang ke suatu majlis dengan para ulama’, para shalihin, untuk mendengarkan fatwa-fatwanya.
Kita harus seringa pula mendengarkan petuah dan pandangan-pandangan para auliyaus-shalihin. Rasanya terlalu sulit untuk dapat meraihnya lebih jauh, jika kita jauh dari beliau-beliau itu. Sebab mereka bagaikan ruang yang memiliki lentera, mempunyai batrainya, nah, kita ini bagian yang dioborinya. Semakin kita dekat kepada orang-orang sholihin, maka akan lebih jauh lagi kita dapat mengenal Allah SWT dan RasulNya.
Hly.net: Jalan tercepat yang bagaimanakah, sehingga manusia merasa dirinya senantiasa bersama dengan Allah SWT Dzat yang selalu membimbingnya?
Al Habib: Saya sendiri masih bingung, melihat bagaimana proses orang yang makan langsung sepiring sekali telan? Padahal seharusnya kita menelan sesuap demi sesuap. Yang pentingkan sepiring bisa habis. Namun apa jadinya dipencernaan, jika mulut kita tidak pernah mengunyah untuk membantu pancernaan? Apa hasilnya atau apa yang akan terjadi dalam proses pencernaan tersebut.
Memang menarik, waktu makan yang lebih singkat dan lebih cepat. Jalan yang paling cepat dan tepat untuk mencapai proses makanan, apa nasinya yang lebih baik dibubur saja biar lebih encer, supaya menelannya lebih mudah. Tapi nyatanya semua itu sudah ada tempatnya. Yang mempercepat dan sebagainya itu, sudah ada bagiannya masing-masing. Nah, maka dari itu, tahapan untuk secepat itu tidak mungkin mudah. Contohnya ya seperti orang yang makan sepiring langsung telan tadi.
Hly.net: Lalu apa yang mesti dilakukan, agar dalam beraktivitas kita masih tetap bisa mengingat Allah?
Al Habib: Kalau tidak dilatih ya mana mungkin? Pada awalnya hati itu harus dikasih latihan untuk senantiasa mengingatNya. Itu memang tak mudah. Terkadang sering lupa. Tetapi setelah terbiasa, maka bagian tubuh yang kita latih ini punya reflex sendiri sesuai dengan tempatnya masing-masing.
Gerak tangan saja yang tak berhenti, juga mengikuti gerak ruh. Apalagi dengan hati kita yang terbiasa dengan latihan-latihan. Insya-Allah hati kita tidak akan pernah lupa dzikir kepada Allah SWT. Sebab itu sudah terjadi secara refleks. Maka latihlah senantiasa hati kita. Sebab jika hati itu biasa memandang sesuatu yang baik, berpikir baik, berprasangka yang baik, selamanya hati kita akan timbul secara refleks dengan pandangan-pandangan yang baik sehinga akan selalu jernih.

CARA WUSHUL (SAMPAI) KEPADA ALLAH

CARA WUSHUL (SAMPAI) KEPADA ALLAH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Ketahuilah, bahwa hati memiliki dua mata yakni mata kecil dan mata besar. Mata kecil hanya mampu melihat Tajalli Sifat dengan cahaya Asma Ash-Shifat hingga ke alam-alam derajat (jannatul ma’wa, jannatun na’im dan jannatul firdaus). Sedangkan, mata besar mampu melihat cahaya Tajalli Dzat dengan cahaya tauhid yang Maha Tunggal di Alam Lahut dan Alam Al-Qurbah.
Cara untuk mencapai derajat ini adalah dengan kematian atau jika itu sebelum mati adalah dengan fana dari sifat hawa nafsu manusiawi. Dan, wushûl-nya hamba hingga ke alam itu sangat tergantung pada keterputusannya pada hawa nafsu manusiawi.
Dan, wushûl pada Allah SWT di sini tidak berarti bertemunya jasad dengan jasad. Tidak juga, seperti ilmu pengetahuan dengan tujuan pengetahuan atau bertemunya pemikiran dengan yang dipikirkan atau bertemunya dugaan terhadap yang diduga.
Adapun yang dimaksud wushûl kepada Allah SWT adalah putus dari selain Allah SWT, tidak dekat dan tidak jauh, tanpa arah dan berhadapan, tanpa bertemu dan berpisah. Maha Suci Allah SWT yang dalam penampakan-Nya, kesamaran-Nya, tajalli-Nya, ketertutupan-Nya, pengetahuan-Nya, terdapat hikmah yang agung.
Siapa saja yang telah mencapai derajat ini di alam dunia dan mampu mengetahui kadar dirinya sebelum ia dihitung orang lain, maka ia adalah manusia yang bahagia.
Seandainya manusia tidak mencapai derajat yang disebut tadi, maka kelak akan mengalami kesukaran-kesukaran, seperti siksa kubur, perhitungan amal, digiring ke Mahsyar, ditimbang amalnya, melewati Sirathal Mustaqim dan segala hal berat yang akan dihadapi di akhirat nanti.”

MABUK CINTA


Dikisahkan dalam sebuah kitab karangan Imam Al-Ghazali rahimahullah bahwa pada suatu hari Nabi Isa alaihis salam berjalan di adapan seorang pemuda yang sedang menyiram air di kebun. Dan pemuda yang sedang menyiram air itu melihat kepada Nabi Isa alaihis salam berada di hadapannya maka dia pun berkata, “Wahai Nabi Isa, mintalah dari Tuhanmu agar Dia memberi kepadaku seberat semut Zarrah [semut paling kecil] cintaku kepada-Nya.” Berkata Nabi Isa alaihis salam, “ Wahai saudaraku, kamu tidak akan kuat untuk seberat semut Zarrah itu.”
Berkata pemuda itu lagi, “Wahai Nabi Isa, kalau aku tidak kuat untuk satu semut Zarrah, maka mintakan untukku setengah berat semut Zarrah.” Karena keinginan pemuda itu untuk mendapatkan kecintaannya kepada Allah, maka Nabi Isa alaihis salam pun berdoa, “Ya Tuhanku, berikanlah dia setengah berat semut Zarrah cintanya Kepada-Mu.” Setelah Nabi Isa alaihis salam berdoa maka beliau pun berlalu dari situ. Selang beberapa lama Nabi Isa alaihis salam datang lagi ke tempat pemuda yang memintanya berdoa, tetapi Nabi Isa alaihis salam tidak dapat berjumpa dengan pemuda itu. Maka Nabi Isa alaihis salam pun bertanya kepada orang yang lalu-lalang di tempat tersebut, dan berkata kepada salah seorang yang berada di situ bahwa pemuda itu telah gila dan kini berada di atas gunung.
Setelah Nabi Isa alaihis salam mendengar penjelasan orang-orang itu maka beliau pun berdoa kepada Allah SWT, “Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku dimana pemuda itu.” Selesai saja Nabi Isa alaihis salam berdoa maka beliau pun dapat melihat pemuda itu yang berada di antara gunung-gunung dan sedang duduk di atas sebuah batu besar, matanya memandang ke langit.
Nabi Isa alaihis salam pun menghampiri pemuda itu dengan memberi salam, tetapi pemuda itu tidak menjawab salam Nabi Isa alaihis salam, lalu Nabi Isa berkata, “Aku ini Isa.”Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu yang berbunyi, “Wahai Isa, bagaimana dia dapat mendengar perbicaraan manusia, sebab dalam hatinya itu terdapat kadar setengah berat Zarrah cintanya kepada-Ku. Demi Keagungan dan Keluhuran-Ku, kalau engkau memotongnya dengan gergaji sekalipun tentu dia tidak mengetahuinya.”

MENYELAMI MAKNA KHUSYUK


Kata Arab kbusyu’ berasal dan kata khasya'a yang artinya takut’. Misalnya, disebutkan dalam Alquran, “Wa-jah-wajah pada hari itu ketakutan (khasyi'ah)” (Q.S. al-Ghasyiyah (88: 2). Kata khasyi'ah berarti hati yang di-penuhi rasa takut; takut kepada Allah Swt. dan takut bila masa hidupnya tak kan sempat untuk mengumpulkan bekal buat hari akhir nanti.
Khusyuk tidak sama dengan konsentrasi, karena konsentrasi lebih pada pikiran. Khusyuk juga bermakna rendah, merunduk, atau tunduk. Orang yang khusyuk dalam shalatnya berari orang yang menyadari sepenuhnya hakikat dan tujuan salatnya. Dan Alquran menyebutkan kata khusyuk tidak hanya berkaitan dengan shalat, tapi juga dengan berbagai aktifitas kehidupan di dunia, misalnya Allah berfirman “Suara-suara itu khusyu dihadapan yang Maha Rahman (Q.S: Thaha [20]: 128). Disini, Tuhan menyatakan bahwa suara-suara itu tunduk dan diam.
Diayat lain Allah berfirman “Seandainya kami turunkan Al Quran diatas gunung, maka engkau akan dapati gunung itu khusyuk .. (Al Hasyr [59]:21). Disini makna khusyuk tidak secara spiritual tapi khusyuk secara lahiriah, yakni gunung itu menjadi diam, tunduk dan runduk dihadapan Tuhan.
Dua Jenis Hati: ‘Isyqi dan Khawfi
Khusyuk berkaitan erat dengan hati. Menurut para sufi, untuk meraih hati yang khusyuk, pertama-tama harus melewati ilmu. Dalam konteks ini, kita harus benar-benar memahami fiingsi hati ketika akan menghadap Allah. Kaitannya dengan khusyuk, ada dua jenis kualitas hati: qalb 'isyqi (hati yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi(hati yang takut kepada Allah). Sebagian orang memperoleh kualitas kedua-duanya, sebagian lagi hanya isyqi atau khawft saja, dan sebagian besar tidak memiliki kedua-duanya. Hati yang rindu kepada Allah {isyqi) dan hati yang takut kepada-Nya (khawft) ini sebenarnya mengejar salah satu sifat jamaliah dan jalaliah Allah Swt. Kalau jamaliah itu sisi keindahan dan kasih sayang Allah, maka jalaliah adalah keperkasaan dan keagungan Allah.
Hati yang penuh kerinduan (qalb 'isyqi) mengejar keindahan Allah (Jamaliah). la merindukan untuk melakukan kebaikan, karena Allah Mahabaik. Rindu tidak akan diperoleh tanpa ada cinta. Maka dalam tasawuf ada yang dikenal dengan mazhab cinta. Mereka beribadah dengan cinta, menghampiri Allah melalaui pintu kasih-Nya. Bagaimana mengembangkan rasa rindu kepada Allah? Belajar mencintai Allah dan mencintai segala sesuatu yang ber-hubungan dengan-Nya!
Cinta kepada Allah memiliki beberapa tingkatan. Menurut Ibn 'Arabi, cinta ada tiga macam: cinta natural, cinta supranatural, dan cinta ilahi. Cinta natural tidak hanya dimiliki manusia. Hewan pun memilikinya. Cinta ini seperti cinta kita terhadap orang yang berbuat baik kepada kita. Cirinya bersifat sangat subjektif, karena kita mementing diri kita sendiri. Kita pun mencintai Allah karena Dia limpahkan rezekinya kepada kita. Bukankah seekor anjing mencintai tuannya lantaran setiap hari si tuan memberi makan dan merawatnya?
Cinta spiritual tidak dimiliki hewan tapi hanya oleh manusia. Orang yang mencintai dengan cinta ini tidak memikirkan kepentingan dirinya, tetapi kepentingan yang dicintainya. Ini seprti seorang ibu terhadap anaknya yang tanpa pamrih ia tidak pernah mengharap balasan, bahkan rela menderita asal anaknya bahagia. Kita harus mengembangkan cinta seperti ini kepada Allah, harus lebih dari hanya cinta natural. Misalnya Allah menyuruh kita untuk menginfakkan harta kita maka kita melakukannya, bukan untuk mengharap pahala melainkan mendambakan ridha-Nya. Cinta ini tumbuh bersamaan dengan kesadaran betapa banyaknya anugerah Allah yang telah kita terima. Apa pun yang kita lakukan tidak akan sebanding dengan apa yang kita peroleh.
Cinta ilahi lebih dalam lagi. Dengan cinta ini, orang bukan hanya mendahulukan kepentingan objek yang dicintai, tapi tidak lagi melihat dirinya sebagai sesuatu yang ia miliki. Semua dilihat sebagai milik Allah. Karenanya, tidak ada suatu aktivitas pun kecuali yang diinginkan Allah. Menurut Ibn 'Arabi, jenis cinta ketiga ini tidak bisa dibayangkan. Itulah cinta Nabi Muhammad saw. kepada Allah Swt. dan para kekasih-Nya.
Untuk memperoleh kekhusyukan, kita mesti mengembangkan kualitas hati yang penuh kerinduan kepada Allah. Sholat tidak lagi dipandang sebagai sebuah kewajiban, melainkan sarana penjumpaan dengan Allah. Sehingga, waktu shalat adalah saat-saat yang kita rindukan. Rasulullah bahkan menyebut sholat sebagai lahan nyawanya. Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “Cahaya mataku adalah sholat (Qurratu ‘aini al sholah)
Diantara ciri-ciri rindu adalah suka “menyendiri” dengan kekasih. Sekali-kali menyediakan waktu untuk berkhalwat-menjaga jarak dari anak dan istri, duduk bertafakur dan berdzikir kepada Allah. Waktu yang paling pas adalah di sepertiga malam terakhir. Maka itu sholat tahajud dianggap sebagai salah satu media yang paling efektif mengangkat manusia menuju Allah. Sebab saat itu dia sendirian (khalwat), hanya berduaan bersama Allah. Imam 'Ali k.w. bermunajat, “Ya Allah, di tengah malam ini, ketika semua orang mencari kekasihnya, ketika istri mencari suaminya, anak-anak bersama ibunya, aku bangun mencari kekasihku yang paling kasih, Engkau Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim.”
Kalau seseorang dapat mengembangkan kualitas hati demikian, ia akan meraih kedamaian. Dalam tasawuf di-kenal dengan uns, intimasi (keakraban). Dia akan merasa akrab dengan Allah. Dia akan merasa bahagia yang tak terkira ketika bersama Allah. Tidak hanya itu. Orang yang mencapai maqam ini, doanya dikabulkan oleh Allah. Bahkan dalam hadis qudsi, Allah menyatakan, “… bila ia melihat, Aku menjadi penglihatannya; bila ia mendengar, Aku menjadi pendengarannya; bila ia melangkah, Aku menjadi kakinya. Bila dia menghampiri-Ku sejengkal, Aku me-dekatinya sehasta; bila ia menuju Aku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”
Intinya, kualitas hati yang 'isyqi tidak hanya meng-antarkan kepada salat yang khusyuk, tetapi juga pada kehidupan yang damai dan merindukan perjumpaan dengan Allah Swt. Allah berfirman, “Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh salat itu berat sekali kecuali bagi mereka yang khusyuk. Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan berjumpa dengan Tuhan mereka dan kepada-Nya mereka kembali (Q.S. al-Baqarah [2]: 45).
Hati yang takut kepada Allah (qalb khawfi) mengejar keperkasaan dan keagungan Allah (Jalaliah). Sebagaimana cinta, takut juga ada tingkatannya. Pertama, takut yang paling rendah adalah takut kepada ancaman Allah, seperti pembantu takut pada ancaman tuannya. Dalam tingkat ini, salat dilakukan karena takut diazab Allah di alam kubur atau takut tidak memperoleh rezeki di dunia. Kalau kita beribadah karena takut akan ancaman siksa Allah, itu termasuk khauf yang positif. Mesinya kita mempunyai takut seperti itu, tetapi itu tingkatan takwa terendah.
Kedua, takut dalam pengertian hormat dan takzim terhadap orang yang kita agungkan. Misalnya takut kepada kedua orang tua. Kita takut bukan karena ancaman melainkan kita menghormati dan mentakzimkan mereka. Demikian juga takut kepada kepada Allah, setidaknya takut karena memang Allah Maha adil, Maha agung, dan sungguh jasanya tak terkira-kira. Itulah takutnya orang-orang saleh. Dalam sejarah diceritakan bahwa ketika Nabi mau salat, kadang-kadang tubuhnya bergetar, mukanya pucat pasi dan sebagainya. Bukan karena beliau takut diazab oleh Allah, tapi beliau memang melihat bahwa yang layak disembah demikian hanyalah Allah Swt.
Ketiga, takut dalam arti kesadaran penuh bahwa Allah adalah segala-galanya dalam dirinya. Oleh karena itu, ada sebuah doa yang sering dibaca oleh Nabi: Ya Allah perlakukanlah kami dengan rahmat-Mu, jangan perlakukan kami dengan keadilan-Mu. Makna doa ini sangat dalam. Kita memohon kepada Allah agar memperlakukan kita dengan rahmatNya, dengan anugerah-Nya, bukan keadilan Nya, sebab kalau Allah memperlakukan kita dengan adil , kita tidak akan bisa masuk surga. Bayangkan, bagaimana mungkin kita bisa menghitung secara adil limpahan rezeki dari Allah, sedangkan yang kita berikan sangatlah sedikit. Sejauh mana kita mensyukurinya? Apa yang kita berikan di jalan Allah sangat kecil dibandingkan dengan yang Allah berikan kepada kita. Karena itu, yang ditakuti oleh Nabi bukanlah ancaman Allah, melainkan keadilan-Nya.
Jadi, untuk memperoleh khusyuk, kembangkan kualitas hati yang khawfi, dengan menyadari sifat-sifat jalaliah Allah: Yang Maha Perkasa, Mahaadil, Mahabesar, Maha-agung, dan sebagainya.
Dalam tasawuf disebutkan: Sesungguhnya di dalam jamaliah Allah ada jalaliah’-Nya, dan di dalam jalaliah Allah ada jamaliah-Nya (inna ft kulli jalalin jamalun wa fi kulli jamalin jalalun). Artinya, di dalam sifat Mahaindah-Nya ada keperkasaan-Nya, dan di dalam sifat Mahaperkasa-Nya ada keindahan-Nya. Keduanya bukanlah sifat yang kontradiktif, tetapi saling melengkapi. Mana yang lebih dominan, tergantung kualitas hati. Rasulullah saw. memiliki qalb 'isyqi (hati yang rindu kepada Allah) dan qalb khawfi (hati yang takut kepada Allah) sekaligus. Kita juga mesti menyeimbangkan antara keduanya. Dengan demikian, kekhusyukan akan menjadi kenyataan.