Sufi Perempuan
 Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru 
saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, 
“anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di 
sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang 
membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari 
belitan kemiskinan….
 Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada
 Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat 
saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah 
Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara 
tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki 
itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas 
gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik 
yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani 
tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak 
kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima 
tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? 
Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” 
sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
 Memang ucapan sufi 
perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak 
memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi 
derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya 
literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam 
sajak-sajak berkualitas tinggi.
 Sesungguhnya ia lebih dikenal 
sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang 
sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa 
sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain
 ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai 
Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah 
(Irak), dari keluarga yang hina dina.
 Sebagai anak keempat. Itu 
sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya 
hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan
 kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping 
ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha 
meminta bantuan kepada para tetangganya.
 Namun, karena saat itu 
sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan 
lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu
 atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan
 perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya 
terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.
 
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa 
bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah 
datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu 
Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi 
kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. 
Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya 
yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang 
panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang 
Menciptakan Kehidupan.
 Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam 
lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di 
depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada
 Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu 
kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu 
kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam 
Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. 
Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu 
dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.
 Ketika Ismail 
mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa 
Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa 
mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam 
Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail 
diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang 
ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari 
tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota
 Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu 
agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak 
punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka 
cita selain dengan Allah.
 Ismail dan istrinya meninggal ketika 
Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika 
wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya 
Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai 
budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah 
bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.
 Setelah bebas, 
Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan 
bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di 
sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan
 sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani
 hidup kepertapaan.
 Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya 
hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan 
hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan 
duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, 
termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan 
Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal 
ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.
 Dalam 
perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga 
penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada 
Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ 
dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia 
jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga 
mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.
 Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada 
menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari 
jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam 
cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa
 cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa 
dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan 
pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya
 raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan 
duniawi, apalagi harta.
 Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai 
cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan 
mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi 
pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. 
Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu 
karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku
 menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku 
daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, 
maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk 
melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
 Perjalanan 
hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh 
keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, 
dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari 
perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai 
periode asketik Rabiah.
 Fariduddin al-Attar menceritakan dalam 
kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. 
Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. 
Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi
 yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada 
Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut 
malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin 
menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.
 Ia tidak lagi 
meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia 
menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini
 disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah 
mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji 
sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).
 Doris Lessing, 
seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa 
sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme 
yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme 
yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak 
berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh
 dengan sakramen.
 Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah 
pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah 
sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. 
Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi 
oleh orang-orang biasa.
 Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya 
sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan 
pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, 
kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan 
oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi 
Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia 
yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan 
untuk sebuah cinta.
 Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung 
linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, 
Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, 
seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada 
kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.
 Rabiah wafat
 dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. 
Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai 
‘makrifat’ hidup.
 Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang 
dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, 
bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan 
raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik 
masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama 
Engkau.”
 Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari
 cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah 
berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak 
pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu 
bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak 
aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena
 cintaku telah terikat dengan-Mu.”
 Lantas, jika Rabiah membuka 
jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun 
segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan 
burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang 
memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di 
pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang 
menjadi saksi atas keesaan-Mu.
 Tentang masa depannya ia pernah 
ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah 
mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai 
pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada 
Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” 
“Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa 
kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, 
“Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan 
cinta kepada Tuhan.”