Laman

Sabtu, 23 Februari 2019

"Dari ALIM ke ARIF"

PADA umumnya orang arif ialah alim, tetapi tidak semua orang alim itu arif. Penggunaannya dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut sering dipertukarkan (interchangible). Seolah-olah kedua kata ini sinonim, padahal keduanya amat berbeda.

Alim dari akar kata ’alima-ya’lam yang berarti mengetahui, mengerti. Memang arti dasarnya mirip dengan kata ’arafa-ya’rifu berarti memahami, mengetahui. Kalau sudah menjadi isim fa’il, alim dan arif sudah mulai dibedakan. Alim artinya orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan logika, sedangkan arif berarti orang yang memahami sesuatu dengan menggunakan kecerdasan batin atau spiritual.

Ada seorang ilmuwan, bahkan profesor, tetapi penampilan dan akhlaknya seperti ‘kurang ajar’. Sementara itu, orang arif mungkin pendidikan formalnya tidak terlalu tinggi, tetapi akhlaknya santun. Bahkan, orang arif jalan pikirannya pun lurus, hatinya tulus dan bersih, tidak riya’ dan tidak kasar.
Cara untuk menjadi alim tidak terlalu susah. Yang penting ada kesungguhan, punya biaya, dan rajin belajar, insya Allah pasti dapat menjadi alim.

Orang yang mengenyam pendidikan di bangku sekolah atau kuliah pasti memperoleh ilmu (‘alim). Namun, untuk meraih kearifan, lebih dari itu, harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhi larangan-Nya, dan menaati perintah-Nya.
Itu pun belum tentu dapat, makanya diperlukan kesabaran, kepasrahan diri, dan tawakal yang kuat serta senantiasa berdoa agar mendapatkan berkah itu.

Secara epistimologis, kealiman dapat diperoleh melalui ijtihad, yakni pengerahan segenap e­nergi akal pikiran untuk mencapai pengetahuan terhadap sesuatu. Sementara itu, kearifan diperoleh melalui mujahadat, yakni pengerahan segenap energi batin untuk memahami sesuatu.
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode yang pertama disebut ilmu, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi yang kedua disebut makrifat (ma’rifah).

Idealnya seorang muslim atau muslimah, ilmu dan ma’rifah menyatu secara utuh di dalam dirinya, seperti diisyaratkan dalam ayat yang pertama kali turun di dalam Alquran: Iqra’ bi ismi Rabbik (Bacalah dengan membaca nama Tuhanmu). Iqra’ simbol ilmu pengetahuan dan bismi Rabbik menjadi simbol ma’rifah dan pada saatnya nanti dengan mukasyafah (penyingkapan).
Dalam Alquran, kemampuan yang dapat dicakup i
lmu amat terbatas, seperti kata Alquran: Wama utitum minal ‘ilmi illa qalil (Kami tidak memberikan ilmu kepada kalian, kecuali hanya sedikit).

Yang biasa disepadankan dengan ma’rifah ialah hikmah, yaitu sesuatu yang unlimited, tanpa batas, sebagai mana dikatakan dalam Alquran: Yu’til hikmah man yasya’, wa man yutal hikmah faqad utiya khairan katsir (Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki (oleh Allah), barang siapa yang mendapatkan hikmah itu maka akan diberikan kebaikan yang lebih banyak).

Prototipe ideal seorang muslim sesungguhnya harus memiliki kedua-duanya, yakni ‘ilmu dan ma’rifah. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan-kemudahan duniawi, sedangkan ma’rifah akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan ukhrawi.
Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan ma’rifah banyak menolong kita untuk sukses menjadi hamba (ábid). Khalifah dan hamba kedua-duanya menjadi tanggung jawab manusia.

Manusia paripurna atau insan kamil ialah manusia yang menyandingkan keberhasilannya sebagai khalifah dan sebagai hamba.
Hubungan horizontal (hablun minannas) dengan sesama makhluk idealnya berban­ding lurus dengan hubungan vertikal (hablum minallah).

Jumat, 22 Februari 2019

JANGAN SEPELEKAN DOSA BATHIN


أسْتَغْفِرُ اللّهَ الْعَظيْم
Ketahuilah wahai Saudaraku yang seiman rahimakumullah, Rabbuna Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam kitab-Nya yang agung,
وَذَرُوا ظَاهِرَ الْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
“Dan tinggalkanlah dosa zahir maupun batin” (Al-An’aam :120).
Ya, maksiat (dosa) itu memang ada dua, kemaksiatan zahir (yang terlihat atau terdengar) dan kemaksiatan batin (hati). Ulama menjelaskan contoh kemaksiatan batin (hati) seperti: meninggalkan kewajiban hati, berupa meninggalkan ikhlas, tawakkal kepada Allah, mencintai-Nya, dan takut kepada-Nya, juga melakukan dosa riya’ (pamer ketaatan), hasad (dengki) dan ujub (bangga/takjub terhadap amal).
Alasan dosa batin itu lebih parah dari pada dosa zahir
Ulama pun menjelaskan bahwa kemaksiatan batin itu lebih parah dari pada kemaksiatan zahir ditinjau dari beberapa sisi. Mengapa demikian? Berikut ini beberapa sisi tinjauan yang menunjukkan bahwa dari sisi-sisi tersebut bisa dikatakan kemaksiatan batin lebih parah dari pada kemaksiatan zahir.

1. Kerusakan hati adalah pokok kerusakan zahir
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب
“…Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila ia baik, baiklah seluruh jasadnya dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati” (HR.Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini terdapat pelajaran yang berharga, bahwa hati itu bisa menjadi asas kebaikan dan kerusakan. Jika seseorang rusak hatinya, maka akan berdampak buruk pada kerusakan amal anggota tubuh yang zahir.
Oleh karena itu pantas jika yang Allah lihat dari diri kita adalah hati dan amal, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ الله لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada bentuk-bentuk tubuh dan harta-harta kalian, akan tetapi melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian” (HR. Muslim).

2. Dosa zahir penyebabnya adalah kerusakan batin dan dampak negatifnya sangatlah besar
Setiap kemaksiatan zahir yang terjadi penyebabnya adalah kerusakan dalam hati. Pengaruh rusaknya hati seseorang bisa menyebabkan lahirnya dosa “percontohan” yang diwarisi turun menurun oleh para ahli maksiat dari masa ke masa.
Perhatikan, para Pembaca, apakah yang menyebabkan terjadinya dosa pertama kali di langit dan di bumi.
Penyebab dosa pertama kali di langit dan di bumi:
Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir (9/276) rahimahullah berkata, “Hasad adalah (termasuk) tabiat yang terjelek dan penyebab maksiat kepada Allah yang pertama kali di langit adalah hasad iblis kepada Nabi Adam ‘alahis salam dan (dosa pertama kali) di bumi adalah hasad qobil kepada Habil”.
Jadi, iblis kafir kepada Allah karena hasad kepada Adam ‘alahis salam dan sombong (sebagaimana yang terdapat dalam Al-A’raaf:12 dan Al-Baqarah:34), dan Qobil membunuh Habil pun karena hasad (sebagaimana yang terdapat dalam Al-Maaidah:27-30), dan hasad adalah penyakit hati.
Bahkan lebih dari itu ,dosa hati bisa sampai menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran. Perhatikanlah dua sebab kekafiran berikut ini :
Kekafiran yahudi :

Yahudi kafir karena penyakit hati yang dinamakan hasad (dengki) sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 109, yang artinya, “Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”.
Kekafiran fir’aun:

Penyebabnya adalah penyakit hati yang dinamakan sombong, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Naml:14 -tentang fir’aun dan kaumnya yang kufur, mengingkari kebenaran yang datang dari Allah- ,yang artinya, ”Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya…”
Intinya, jika hati seseorang itu rusak, maka akan bisa menyebabkan ia terjerumus kepada seluruh kemaksiatan.

3. Taubat dari dosa batin lebih sulit daripada taubat dari dosa zahir
Kemaksiatan zahir, seperti zina, minum khamr, mencuri biasanya oleh pelakunya dan oleh orang yang melihatnya mudah diketahui bahwa itu adalah kemaksiatan. Banyak pelaku kemaksiatan zahir yang sadar kalau dirinya bersalah, demikian juga orang yang melihatnya,biasanya tahu kalau orang itu bermaksiat. Sehingga pelakunya yang sadar bahwa dirinya bermaksiat itu akan lebih mudah diharapkan bertaubat dari kemaksiatannya tersebut.

Contohnya, Nabi Adam ‘alaihis salam, beliau pernah melakukan dosa yang jenisnya zahir, yaitu makan buah pohon yang terlarang, kemudian dengan taufik Allah Nabi Adam ‘alaihis salam bertekad kuat untuk bertaubat, maka Allah mudahkan taubat beliau. Allah berfirman tentang penyesalan dan taubat beliau dan istrinya,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan Kami, Kami telah menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami termasuk orang-orang yang merugi” (Al-A’raf : 23).

Dan Allah terima taubatnya sebagaimana yang terdapat dalam surat Tha-ha: 122. Berbeda halnya dengan iblis, dosanya jenis dosa hati, sombong, maka berat baginya bertaubat.
Perhatikanlah sikap iblis dalam firman Allah berikut ini dan bandingkanlah dengan sikap bertaubatnya Nabi Adam ‘alaihis salam di atas,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah[1] kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (Al-Baqarah:34).

Dari sini marilah kita masing-masing memeriksa kemaksiatan batin maupun zahir yang kita lakukan dan marilah kita berusaha bertaubat darinya, maka barangsiapa yang Allah terima taubat dosa batinnya niscaya Allah akan membimbingnya untuk taubat dari kemaksiatan zahir.

4. Dosa besar (kabair) hati lebih besar daripada dosa besar zahir
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ketaatan batin itu lebih utama daripada ketaatan zahir. Di dalam Madarijus-Salikin (1/121), setelah menyebutkan beberapa contoh amalan hati, Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan bahwa,

“(Amalan) wajib hati lebih wajib daripada amalan wajib anggota tubuh zahir, adapun amalan sunnah hati lebih dicintai oleh Allah daripada amalan sunnah zahir”. Dari sini kita ambil pelajaran sebagaimana ketaatan batin lebih utama daripada ketaatan zahir, maka dosa besar hati lebih besar dari dosa besar zahir.

Ibnul Qoyyim rahimahullah juga menjelaskan : “Dosa-dosa besar, seperti riya’ (pamer keta’atan), ujub (bangga/takjub terhadap amal), kibr (sombong), fakhr (membanggakan amal), khuyala` (angkuh), putus asa, tidak mengharap rahmat Allah, merasa aman dari makar Allah, riang gembira atas penderitaan kaum Muslimin, senang atas musibah yang menimpa mereka, senang dengan tersebarnya fahisyah (maksiat) di tengah-tengah mereka, dengki terhadap anugerah Allah kepada mereka, berangan-angan anugerah tersebut hilang dari mereka, dan hal-hal yang mengikuti dosa-dosa ini yang statusnya lebih haram dari zina, meminum minuman keras, dan dosa-dosa besar yang zahir selain keduanya”

SIAPAKAH SUFI


بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – berkata: Adapun sifat sifat kaum Sufi dan siapa sebenarnya mereka, adalah sebagaimana yang pernah dijawab oleh Abdul Wahid bin Zaid – sebagaimana yang pernah saya terima – dimana ia adalah salah seorang yang sangat dekat dengan Hasan al-Bashri – rahimahullah – ketika ditanya, “Siapakah kaum Sufi itu menurut Anda?” Ia menjawab, “Adalah mereka yang menggunakan akalnya tatkala ditimpa kesedihan dan selalu menetapinya dengan hati nurani, selalu berpegang teguh pada Tuannya (Allah) dari kejelekan nafsunya. Maka merekalah kaum Sufi.”

Dzun Nun al-Mishri – rahimahullah – ditanya tentang Sufi, kemudian ia menjawab, “Seorang Sufi ialah orang yang tidak dibikin lelah oleh tuntutan, dan tidak dibuat gelisah oleh sesuatu yang hilang darinya.” DzunNun juga pernah mengemukakan, “Orang-orang Sufi adalah kaum yang lebih mengedepankan Allah daripada segala sesuatu. Maka dengan demikian Allah akan mengutamakan mereka di atas segala-galanya.”Pernah ditanyakan pada sebagian orang Sufi, “Siapa yang pantas menjadi sahabatku?” Maka ia menjawab, “Bertemanlah dengan kaum Sufi, karena di mata mereka kejelekan yang ada pasti memiliki berbagai alasan untuk dimaafkan. Sedangkan sesuatu yang banyak dalam pandangan mereka tak ada artinya, sehingga tak membuat Anda merasa bangga (ujub).”Al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, “Siapa mereka?” Ia menjawab, “Mereka adalah kaum pilihan Allah dari makhluk-Nya yang Dia sembunyikan tatkala Dia menyukai dan Dia tampakkan tatkala Dia menyukai pula.”Abu al-Husain Ahmad bin Muhammad an-Nuri – rahimahullah – ditanya tentang kaum Sufi, maka ia menjawab, “Kaum Sufi ialah orang yang mendengar sama’ (ekstase ketika dzikir) dan lebih memilih menggunakan sarana (sebab).”Orang-orang Syam menyebut kaum Sufi dengan sebutan fuqara’ (orang orang fakir kepada Allah). Dimana mereka memberikan alasan, bahwa Allah swt. telah menyebut mereka dengan fuqara’ dalam firman Nya:“(Juga) bagi orang-orang fakir yang berhijrah, dimana mereka diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang jujur (benar).” (Q.s. al Hasyr:8).Dan firman Nya pula:“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah.” (Q.s. al Baqarah: 273).

Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Nahya al-Jalla’ – rahimahullah – ditanya tentang seorang Sufi. Maka ia menjawab, “Kami tidak tahu akan adanya persyaratan ilmu, akan tetapi kami hanya tahu, bahwa ia adalah seorang fakir yang bersih dari berbagai sarana (sebab). Ia selalu bersama Allah Azza wajalla dengan tanpa batas tempat. Sementara itu al-Haq, Allah tidak menghalanginya untuk mengetahui segala tempat. Itulah yang disebut seorang Sufi.”Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kata Sufi awalnya berasal dari kata Shafawi (orang yang bersih), namun karena dianggap berat dalam mengucapkan, maka diganti menjadi Shufi.Abu Hasan al Qannad rahimahullah ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Kata itu berasal dari kata Shafa’, yang artinya adalah selalu berbuat hanya untuk Allah Azza wa jalla dalam setiap, waktu dengan penuh setia.”Sebagian yang lain berkata, “Sufi adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisi spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan paling utama.” Ada pula yang lain ditanya tentang makna Sufi, maka ia menjawab, “Makna Sufi adalah apabila seorang hamba telah mampu merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan oleh al-Haq sehingga bersih dari kotoran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan hukum-hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang Sufi. Karena ia telah dibersihkan.”

Syekh Abu Nashr – rahimahullah – berkata: jika Anda ditanya, “Siapa pada hakikatnya kaum Sufi itu?” Coba terangkan pada kami! Maka Syekh Abu Nashr as-Sarraj memberi jawaban, “Mereka adalah ulama yang tahu Allah dan hukum-hukum Nya, mengamalkan apa yang Allah ajarkan pada mereka, merealisasikan apa yang diperintah untuk mengamalkannya, menghayati apa yang telah mereka realisasikan dan hanyut (sirna) dengan apa yang mereka hayati. Sebab setiap, orang yang sanggup menghayati sesuatu ia akan hanyut (sirna) dengan apa yang ia hayati.”Abu Hasan al Qannad – rahimahullah – berkata, “Tasawuf adalah nama yang diberikan pada lahiriah pakaian. Sedangkan mereka berbeda beda dalam berbagai makna dan kondisi spiritual.”Abu Bakar Dulaf bin Jahdar asy-Syibli – rahimahullah – ditanya tentang mengapa para kaum Sufi disebut dengan nama demikian. Ia menjawab, “Karena masih ada bekas yang mengesan di jiwa mereka. Andaikan tidak ada bekas tersebut, tentu berbagai nama tidak akan bisa melekat dan bergantung pada mereka.” Disebutkan juga bahwa kaum Sufi adalah sisa-sisa orang-orang terbaik Ahlush-Shuffah (para penghuni masjid yang hidup pada zaman Nabi saw., pent.).Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahiriah pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwayat tentang orang orang yang mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para Nabi dan orang orang saleh memilih pakaian jenis ini. Sementara untuk membicarakan masalah ini akan cukup panjang. Banyak jawaban tentang tasawuf, dimana sekelompok orang telah memberikan jawaban yang berbeda beda. Di antaranya adalah Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi rahimahullah yang memberikan jawaban lebih dari seratus jawaban. Sedangkan yang kami sebutkan, kami rasa sudah cukup memadai.Ali bin Abdurrahim al-Qannad – rahimahullah – memberi jawaban tentang tasawuf dan lenyapnya orang-orang Sufi dalam untaian syairnya: Ketika Ahli Tasawuf telah berlalu, tasawuf menjadi keterasingan, jadi teriakan, ekstase dan riwayat.Ketika berbagai ilmu telah berlalu, maka tak ada lagi ilmu dan hati yang bersinar,Nafsumu telah mendustaimu, tak ada pijakan jalan nan indah,Hingga kau tampak pada manusia dengan ketajaman mata, mengalir rahasia yang ada di dalam dirimu terbuka Tampaklah aktivitas dan rahasia bergururan.

Di kalangan para guru (syekh) Sufi ada tiga jawaban tentang tasawuf. Pertama, jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran kotoran, berakhlak mulia dengan makhluk Allah dan mengikuti Rasulullah saw. dalam syariat. Kedua, jawaban dengan lisanul-haqiqah (bahasa hakikat), yaitu tidak merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata

mencukupkan diri dengan Sang Pencipta langit. Ketiga, jawaban dengan lisanul-Haq (bahasa al-Haq), yakni mereka yang Allah bersihkan dengan pembersihan sifat-sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut kaum Sufi.Saya pernah bertanya pada al-Hushri, “Siapakah sebenarnya seorang Sufi menurut pandangan Anda.” Ia menjawab, “Ia adalah seorang manusia yang tidak bertempat di atas bumi dan tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah-lah yang menempatkannya di atas bumi dan Dia pulaYang menaunginya dengan langit. Bukan bumi atau langit itu sendiri.”

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. diriwayatkan bahwa ia pernah berkata, “Bumi mana yang akan sanggup memberi tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya mengatakan tentang apa yang ada dalam Kitab Allah menurut pendapatku semata.”
Menurut saya SUFI adalah ULUL ALBAB

DI SISI KITA

Tidak mungkin lahir anak yang shalih jika orangtua tidak menshalihkan diri dulu.” Ini kalimat yang tampaknya benar, tetapi ada hal serius yang perlu kita khawatirkan.
Pertama, hendaklah kita tidak menafikan apa yang masih mungkin terjadi. Sama halnya, jangan memastikan apa-apa yang memang tidak dipastikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, jika tidak ada peluang bagi manusia untuk berubah, baik di masa kecil maupun sesudah dewasa, lalu apa gunanya pendidikan dan dakwah?

Berapa banyak orang-orang shalih yang tinggi kemuliaan imannya justru lahir dari orangtua yang salah dan bahkan amat besar kemungkarannya. Bukankah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalaam, bapak dari para nabi, justru lahir dari orangtua pembuat patung berhala? Bukankah kita juga mendapati di zaman kita maupun di masa silam orang-orang shalih yang juga terlahir dari keluarga yang salah? Ini semua menunjukkan bahwa harapan lahirnya anak-anak shalih dan bahkan menjadi pejuang dakwah yang paling gigih dari keluarga yang bahkan paling keras permusuhannya dengan agama kita ini, senantiasa terbuka lebar.

Ada yang berucap, kalau orangtuanya saja tidak membaca Al-Qur’an, bagaimana mungkin ia berharap anak-anaknya menjadi orang yang mencintai Al-Qur’an dan fasih membacanya? Ini sepintas benar, tetapi tidak berdasar. Banyak ‘alim dalam agama ini yang justru lahir dari keluarga yang sangat awam. Hampir-hampir tak mengenal agama ini.

Setiap kita memang harus berusaha untuk menjadi pribadi yang shalih. Dan kepada Allah Ta’ala kita berharap anak-anak yang shalih dan barakah. Kita perlu berjuang keras untuk menjadi orang yang shalih karena ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan semata agar anak sukses, meskipun tentu saja ini sangat kita harapkan.

“Kalau orangtuanya shalih, pasti dan pasti anak-anaknya akan shalih.”
Apakah kalian mengira Nabi Nuh dan Luth ‘alaihimas salam tidak shalih?
Keduanya adalah nabi. Ibadahnya sudah pasti bagus dan akhlaknya jelas terpuji. Teladan? Jangan ditanya lagi. Tetapi putra kedua Nabiyullah yang mulia itu terlepas dari iman dan jatuh pada kekafiran.
Aku nasehatkan kepada diriku sendiri yang bodoh ini, juga kepada para trainer yang amat memukau, jangan pastikan yang Allah Ta’ala tak pastikan! Jangan pula menisbikan apa-apa yang Allah Ta’ala sudah pastikan. Jika sesuatu itu dipastikan oleh Allah Ta’ala, maka tak patut kita meragukannya. Yang perlu kita pahami adalah sebab-sebab di balik buruknya keturunan dari orang-orang yang baik. Pun, baiknya keturunan dari orang buruk.

Bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Jangan bertawakkal kepada sebab. Sepintas sama, tapi keduanya sangat jauh berbeda. Do’a itu adalah pinta kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kita memohon penuh harap dan takut. Adakalanya dikabulkan seketika, adakalanya ditangguhkan dan adakalanya menjadi simpanan kebaikan di akhirat.

Di dunia tak dikabulkan, tetapi di akhirat menjadi kebaikan. Ini semua adalah hak mutlak Allah Ta’ala untuk menentukan. Bukan ditentukan oleh jenis ucapan do’a maupun teknik (yang belakangan berkembang). Maka bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Bukan kepada sebab. Apalagi yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Teringat perkataan seseorang di sebuah majelis yang memastikan sesuatu, padahal ia tidak punya kuasa untuk itu. Miris sekali mendengarnya. Ia berkata dalam sebuah majelis tentang jodoh,
“Seret jodoh, amalkan ini sekian kali, pasti jodohnya akan segera datang. Saya jamin.”
Tertegun saya mendengar perkataannya yang berani memastikan apa yang ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Dan terhenyaklah saya ketika mendengar ia bercerai dari suaminya. Betapa bertentangan apa yang ia katakan dengan apa yang menimpanya.
Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang demikian disebabkan kecerobohan kita bertutur. Di luar itu, ada masalah terkait dengan amalan yang disebut bersebab tidak jelas dasar dan tidak adanya tuntunan.

“Pengen punya anak tapi gak dapet-dapet?
Amalkan ini dan ini. Pasti deh…”
Ini termasuk perkataan bathil yang melampaui batas. Ia memastikan apa yang menjadi hak prerogatif Allah Ta’ala sepenuhnya dan termasuk perkara yangghaib. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi.
Lebih-lebih yang mengatakan sendiri tak kunjung punya anak, lalu bagaimana mungkin ia memastikannya?

Tentu saja tak punya anak disebabkan Allah Ta’ala tak menganugerahinya bukanlah aib.
Yang rusak adalah jika ia sendiri tak kuasa menentukan takdir atas dirinya, tetapi berani memastikan takdir atas orang lain. Na’udzubillahi mn dzaalik.
Jika ada di antara kalian yang berkata semacam itu dan Allah Ta’ala beri teguran langsung semisal perceraian, bersyukur dan bertaubatlah.
Bersyukur karena Allah Ta’ala memberi peringatan. Tidak membiarkan dalam kelalaian yang bertambah-tambah. Bertaubat atas salah yang terjadi.
Sepanjang pengetahuan yang terbatas, di antara tafsir
“يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي”
adalah Allah Ta’ala munculkan orang-orang shalih dari para pendahulunya yang ingkar; dan sebaliknya lahirnya orang-orang ingkar dari para pendahulunya yang shalih.
Teladan saja tidak cukup. Bukankah Nabi Luth dan Nabi Nuh ‘alaihimas salaam adalah sebaik-baik teladan bagi keluarganya?
Maka, kita perlu senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala perlindungan atas anak-anak kita dan keturunan kita seluruhnya. Juga atas diri kita. Kita berdo’a sepenuh pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menjaga adab-adabnya seraya bertawakkal kepada-Nya. Bukan kepada trik berdo’a.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala,
“رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Tuhanku, karuniailah aku (seorang) anak yang termasuk orang-orang shalih.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 100).
Kita juga memohon untuk diri kita kepada Allah Ta’ala istri/suami serta keturunan yang menjadi penyejuk mata; di dunia hingga akhirat:
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا”
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25: 74).
Sudahkah engkau do’akan istri dan anak-anakmu?
Kembali pada perbincangan awal.
Atas setiap perkataan, takarlah adakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau menyelisihinya?

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Janganlah karena ingin menunjukkan dirimu mampu memberi solusi yang pasti ampuh, lalu engkau melalaikan apa yang digariskan agama ini.
Jagalah lisanmu, wahai diriku, dan ingatkan saudaramu agar tak tergelincir pada perkataan indah yang menjerumuskan ke dalam api yang menyala. Ingatlah perkataan Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ”
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tak ia periksa (kebenarannya sebelum berucap), maka karena satu kata tersebut dia dapat terjerumus ke dalam neraka yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari & Muslim)

HARIMAU TERJEBAK


“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.”
Kata-kata itu merupakan perintah Baginda yang diucapkan dengan penuh tegas dan kegeraman. Dari bentuk mulutnya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Baginda menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang ajar. Perintah itu merupakan cara Baginda untuk dapat membunuh Abu Nawas.
“Ya tuanku Paduka,” jawab Abu Nawas. “Semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari.”

“Baik,” kata Baginda.
Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan diriku, agar terbalas dendamnya,” pikir Abu Nawas. “Jadi aku juga harus berhati-hati.”

Sesampainya di rumah dipanggilnya empat orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah. Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang kerumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu nanti, suruh dia masuk kedalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut. Ia kemudian bergegas pergi ke Mushala dengan membawa sajadah.
“Baik,” kata istrinya.

“Hai Abu Nawas, tumben shalat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu.
Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas. “Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah.”
“Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas tidur disini dan aku pergi kerumah Abu Nawas menemui istrinya, sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu.”
“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?”
“Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan.”
Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbunga-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding.
“Hai Adinda,,,” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat, lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan, lebih baik kamu jadi istriku, kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa.”

“Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu awas.
Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orang, ketukan itu membuat penghulu belingsatan, “Kemana aku harus bersembunyi ia bertanya kepada nyonya rumah.
“Tuan penghulu….” Jawab istri Abu Nawas, “Silahkan bersembunyi di dalam kandang itu,” ia lalu menunjuk kandang yang terletak di dalam kamar Abu Nawas.
Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan menutupnya dari dalam, sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu, sambil menengok ke kiri-kanan, Abu Nawas masuk ke dalam rumah.

“Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu.?” Tanya Abu Nawas.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Istrinya. “Apa putih-putih itu?” tanya Abu Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.
Setelah delapan hari Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul kandang itu ke Istana. Di Baghdad orang gempar ingin melihat Harimau berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat, mendengar harimau berjenggot pun belum pernah. Kini Abu Nawas malah dapat seekor. Mereka terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas. Tetapi begitu dilihat penghulu di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si penghulu malu bukan main, arang di muka kemana hendak disembunyikan. Tidak lama kemudian sampailah iring-iringan itu ke dalam Istana.
“Hai Abu Nawas, apa kabar?” tanya Baginda Baginda, “Apa kamu sudah berhasil mendapatkan harimau berjenggot?”

“Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil,” jawab Abu Nawas.
Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain dengan muka merah padam karena malu, akan tetapi kemanapun ia menoleh, kesitu pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla. Abu Nawas buru-buru menimpali, “Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot.”
Tapi baginda tidak cepat tanggap, beliau termenung sesaat, kenapa penghulu dikatakan harimau berjenggot, tiba-tiba baginda bergoyang kekiri dan ke kanan seperti orang berdoa. “Hm, hm, hm oh penghulu…”

“Ya Tuanku Paduka,” kata Abu Nawas, “Perlukah hamba memberitahukan kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba sendiri ?”
“Ya, ya,” ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. “ya aku maklum sudah.”

Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah berkhianat. Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu dari kandang dan diarak keliling pasar setelah sebelumnya di cukur segi empat, agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang berkhianat.

HALAL BUAT KAMI, HARAM BUAT TUAN


Adalah ulama Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi
Ulama terkenal di makkah yang menceritakan riwayat ini. Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur.

Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Ia mendengar percakapan mereka, “Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya. “Tujuh ratus ribu,” jawab malaikat lainnya. “Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?” “Tidak satupun” Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” ia menangis dalam mimpinya.
“Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”

Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu. “Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni . Berkat dia seluruh haji mereka diterima oleh Allah.” “Kok bisa” “Itu Kehendak Allah”

Siapa orang tersebut?
Sa’id bin Muhafa tukang sol sepatu di kota Damsyiq (damaskus sekarang) Mendengar ucapan itu, ulama itu langsung terbangun. Sepulang haji, ia tidak langsung pulang kerumah, tapi langsung menuju kota Damaskus, Siria.

Sampai disana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah. “Ada, ditepi kota” Jawab salah seorang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Sesampai disana ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh, “Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya Ulama itu “Betul, siapa tuan?” “Aku Abdullah bin Mubarak” Said pun terharu, "bapak adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?"

Sejenak Ulama itu kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaanya, akhirnya iapun menceritakan perihal mimpinya. “Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?” “Wah saya sendiri tidak tahu!” “Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini Maka Sa’id bin Muhafah bercerita. “Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar : Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka. Ya Allah, aku datang karena panggilanMu. Tiada sekutu bagiMu. Segala ni’mat dan puji adalah kepunyanMu dan kekuasaanMu. Tiada sekutu bagiMu.
 Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan.
Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji. “Saya sudah siap berhaji” “Tapi anda batal berangkat haji” “Benar” “Apa yang terjadi?” “Istri saya hamil, dan sering ngidam. Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat” “Suami ku, engkau mencium bau masakan yang nikmat ini? “ya sayang” “Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini. Mintalah sedikit untukku”

Ustadz, sayapun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya. Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan “tidak boleh tuan” “Dijual berapapun akan saya beli” “Makanan itu tidak dijual, tuan” katanya sambil berlinang mata.
Akhirnya saya tanya kenapa? Sambil menangis, janda itu berkata “daging ini halal intuk kami dan haram untuk tuan” katanya. Dalam hati saya: Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim?

Karena itu saya mendesaknya lagi “Kenapa?” “Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Dirumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak. “Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan.

Namun bagi Tuan, daging ini haram". Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang. Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis, kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu. “Ini masakan untuk mu” Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka.” Pakailah uang ini untuk mu sekeluarga. Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi” Ya Allah……… disinilah Hajiku Ya Allah……… disinilah Mekahku.
Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata. “Kalau begitu engkau memang patut mendapatkannya"

SALAM KOPI SORE untuk SAHABAT SUFI.


Bacalah secara seksama dengan tenang untuk dapat menangkap pesan nya dari sebuah cerita ini..
Suatu hari Raja Muzaffar yang masih kanak-kanak bertanya kepada bundanya tentang ALLAH.
“Bunda.. Dimana ALLAH dan bolehkah ananda melihatNya?”
“Oh.. ALLAH itu di Arasy wahai ananda dan ananda tidak dapat melihatNya karena ALLAH berada nun jauh diatas 7 lapisan langit. Sedangkan langit kedua pun manusia tidak nampak bagaimana hal keadaan zatnya lantas bagaimana mungkin ananda akan dapat melihat ALLAH yang berada di Arasy yang terletak lebih atas dan jauh daripada 7 lapisan langit?”
“Oh begitu… Bagaimana dengan dalilnya bunda?”
“Dalilnya begini.. “

Allah SWT berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ إِذْنِهِۦ ۚ ذٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
inna robbakumullohullazii kholaqos-samaawaati wal-ardho fii sittati ayyaamin summastawaa 'alal-'arsyi yudabbirul-amr, maa min syafii'in illaa mim ba'di iznih, zaalikumullohu robbukum fa'buduuh, a fa laa tazakkaruun
"Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan Bumi dalam enam masa kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?"
(QS. Yunus 10: Ayat 3)

Maka giranglah hati Raja Muzaffar karena telah mendapat jawaban dari persoalan yang selama ini sentiasa dibenak difikirannya.
Masa pun berlalu.....hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, maka telah remajalah Raja Muzaffar. Suatu hari Raja Muzaffar diperintahkan ayahandanya supaya belajar ilmu-ilmu agama dari Syeikh Abdullah selaku Mufti di negeri ayahandanya itu.
Maka tidak sabar-sabarnya lagi Raja Muzaffar mau berguru dengan Syeikh Abdullah sementara pelajaran agama adalah yang paling diminatinya.
Suatu hari sambil duduk-duduk santai dengan Syeikh Abdullah tiba-tiba Raja Muzaffar ditanyai Syeikh Abdullah dengan 2 persoalan yang tidak asing baginya.
“Wahai ananda Putera Raja..
Dimana ALLAH dan bolehkah ananda Putera
Raja melihatNya?”
Sambil tersenyum Raja Muzaffar menjawab sebagaimana yang telah diajarkan
bundanya dahulu.
“ALLAH itu di Arasy wahai Syeikh Guru dan aku tidak boleh melihatNya karena ALLAH berada nun jauh diatas 7 petala langit.”
Tersenyum kecil Syeikh Abdullah mendengar jawapan muridnya itu dan sejenak selepas menghela nafasnya Syeikh Abdullah lalu bersuara.....
“Begini ananda Putera Raja…...ALLAH itu bukannya makhluk seperti kita lantaran itu ALLAH tidak seperti kita. Apa saja hukum yang terjadi pada makhluk tidak berlaku seperti itu atas ALLAH. Oleh itu ALLAH tidak bertempat karena bertempat itu hukum bagi makhluk.”
“Lantas dimana ALLAH itu wahai Syeikh Guru?”
“ALLAH itu tidak bertempat karena Dia bersifat Qiammuhu Binafsihi yang bermaksud ALLAH tidak berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati. Jika kita mengatakan ALLAH berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati maka ketika itu kita telah menyerupakan ALLAH dengan keadaan makhluk.
Ketahuilah, ALLAH tidak serupa dengan makhluk berdasarkan kepada dalil dari
Allah SWT berfirman:
فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوٰجًا وَمِنَ الْأَنْعٰمِ أَزْوٰجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
faathirus-samaawaati wal-ardh, ja'ala lakum min anfusikum azwaajaw wa minal-an'aami azwaajaa, yazro`ukum fiih, laisa kamislihii syaii`, wa huwas-samii'ul-bashiir
"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 11)
“Dia tidak menyerupai segala sesuatu.” ALLAH tidak berdiam di Arasy karena Arasy itu adalah makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk dapat menanggung zat ALLAH sedang bukit dihadapan Nabi Musa pun hancur karena tidak dapat menanggung pentajalian ALLAH.”
Raja Muzaffar mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham. Kemudian Syeikh
Abdullah menambah....
“Berkenaan tentang ananda Putera Raja tidak boleh melihat ALLAH itu adalah betul namun bukanlah kerana ALLAH itu jauh maka ananda Putera Raja tidak boleh melihatNya.”
“Jika bukan begitu lantas bagaimana Syeikh Guru?” Tanya Raja Muzaffar berusaha ingin tahu.
“Sebenarnya kita tidak dapat melihat ALLAH bukanlah kerana faktor jarak tetapi karena keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia yang tidak mampu melihat zatNya. Ini bersesuai dengan
Allah SWT berfirman:
لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصٰرَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
laa tudrikuhul-abshooru wa huwa yudrikul-abshoor, wa huwal-lathiiful-khobiir
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Mengetahui."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 103)
Terdiam Raja Muzaffar mendengar hujah gurunya itu. Barulah beliau sadar bahwa apa yang menjadi pegangannya selama hari ini adalah salah. Pegangan yang mengatakan bahwa ALLAH itu di Arasy dan ALLAH tidak boleh dilihat karena faktor jarak adalah satu kesilapan.
Uraian daripada gurunya melalui ilmu Kalam membuat Raja Muzaffar begitu kagum dengan kekuasaan akal yang dapat menguraikan segala-galanya tentang Tuhan. Bermula dari hari itu Raja Muzaffar berpegang dengan hujah gurunya bahawa ALLAH itu tidak bertempat
dan manusia tidak boleh melihat ALLAH kerana keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia. Akhirnya dengan berkat ketekunan dan kesungguhan, Raja Muzaffar telah berhasil menguasai ilmu-ilmu ketuhanan menurut peraturan ilmu Kalam sebagaimana yang diajarkan oleh Syeikh Abdullah hingga mahir.

Masa terus berjalan dan kini Raja Muzaffar telah dewasa. Oleh karena begitu
minatnya yang mendalam tentang ilmu-ilmu ketuhanan maka beliau meminta izin
Kpd ayahandanya untuk menperdalamkan lagi ilmu pengetahuannya dengan belajar dari guru-guru yang berada diluar istana sementara Syeikh Abdullah telah meninggal dunia. Ayahandanya memberi izin lalu tanpa berlengah Raja Muzaffar menemui sahabat-sahabat sealiran almarhum Syeikh Gurunya untuk
melanjutkan pelajaran.

Raja Muzaffar mempunyai sikap yang pelik. Saban hari apabila beliau melalui pasar-pasar kecil untuk sampai ke rumah guru-gurunya, beliau akan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya dengan soalan yang pernah ditanya

kepada bundanya yaitu dimana ALLAH dan bolehkah manusia melihatNya?.
Bagi sesiapa yang menjawab soal itu sebagaimana yang pernah dijawab oleh
bundanya maka beliau akan membetulkan kefahaman orang itu dengan hujah
almarhum gurunya Syeikh Abdullah.

Jika orang itu tidak mau tunduk dengan
hujahnya maka orang itu akan dipukulnya sebelum diusir dari negerinya itu.
Begitulah sikap Raja Muzaffar setiap hari sehingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang tua yang sedang bertungkus-lumus menyediakan air minuman untuk diberi minum kepada orang yang lalu-lalang disebuah pasar tanpa mengambil upah. Melihat kelakuan orang tua itu lantas Raja Muzaffar mendekatinya.
“Hei orang tua.. mengapa kamu tidak mengambil upah atas usahamu itu?”
Tanya Raja Muzaffar tegas. Orang tua yang sedari tadi begitu khusyuk mengagih-agihkan minumannya itu terkejut dengan pertanyaan Raja Muzaffar lalu meminta Raja Muzaffar memperkenalkan dirinya.

“Siapakah tuan ini?” Tanya si Tua.
Aku adalah Putera Raja negeri ini!” Jawab Raja Muzaffar tegas.
“Oh kalau begitu tuan ini tentu Raja Muzaffar yang terkenal dengan ketinggian ilmu ketuhanan itu. Tapi sayang, tuan hanya tahu ilmu tentang ALLAH tetapi tuan sendiri belum mengenal ALLAH. Jika tuan telah mengenal

ALLAH sudah pasti tuan tidak akan bertanya kepada saya soal tuan tadi.”
Berkaca kaca mata Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Hatinya terpesona dengan ungkapan ‘mengenal ALLAH’ yang diucapkan orang tua itu.
Lantas beliau bertanya kepada orang tua itu.
“Kemudian apa bedanya antara ‘TAHU’ dengan ‘KENAL’?”
Dengan tenang si Tua itu menjawab..

“Ibarat seseorang yang datang kepada tuan lantas menceritakan kepada tuan tentang ciri-ciri buah nangka tanpa menunjukkan zat buah nangka, maka ini martabat ‘tahu’ karena ia hanya sekadar maklumat dan orang yang berada pada martabat ini mungkin akan menyangka bahwa buah cempedak itu adalah
nangka karena ciri-cirinya seakan sama.

Berbanding seseorang yang datang kepada tuan lantas menghulurkan sebiji buah nangka, maka ini mertabat ‘kenal’ karena zatnya terus dapat ditangkap dengan penglihatan mata dan
orang yang berada pada martabat ini pasti dapat mengenal mana cempedak dan
mana nangka dengan tepat.”
Raja Muzaffar mendengar dengan teliti uraian si Tua itu. Diam-diam, hatinya membenarkan apa yang diperkatakan si Tua itu. Kemudian terlintas
dihatinya untuk bertanya soal yang lazim ditanyakan kepada orang lain.
“Kalau begitu wahai orang tua silakan jawab persoalanku ini....Dimana ALLAH dan bolehkah manusia melihatNya?”

“ALLAH berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihatNya.” Jawab si Tua dengan tenang.
Tercengang Raja Muzaffar mendengar jawaban orang tua itu. Seketika kemudian terus saja orang tua itu dipukulnya sehingga jatuh tersungkur. Melihat orang tua itu tidak coba mengelak pukulannya bahkan langsung tidak

menunjukkan reaksi takut maka Raja Muzaffar pun lantas bertanya..
“Kenapa kamu tidak mengelak pukulanku wahai orang tua?”
“Bukankah tadi sudah saya bilang.. tuan ini hanya orang yang tahu tentang ALLAH tetapi bukannya orang yang benar-benar mengenal ALLAH.”
Terdiam Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Kemudian beliau menenangkan dirinya lantas bersegera duduk diatas tanah dihadapan orang tua itu.
“Baiklah orang tua. Silakan uraikan jawabanmu tadi sebab aku berpegang bahwa ALLAH itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh melihat ALLAH.”
“ALLAH itu tidak bertempat adalah menurut pandangan hukum akal saja sedang pada hakikatnya tidak begitu.”
Ujar orang tua itu sambil membersihkan bibirnya yang berdarah. Kemudian beliau menyambung....
“Bukankah ALLAH itu wujudNya esa?”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.
“Jika ALLAH itu wujudNya esa maka sudah barang tentu tidak ada wujud sesuatu bersertaNya.”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.

“Lantas bagaimanakah kedudukan wujud alam ini jika ALLAH itu diyakini wujud tanpa ada selain zat yang wujud bersertaNya dengan pandangan mata hati?”
Raja Muzaffar memejamkan matanya rapat-rapat lantas dikerahkan pandangan
mata hatinya untuk memahami persoalan yang ditanyai orang tua itu.
Tiba-tiba akalnya dapat menangkap dan memahami hakikat alam ini jika hanya
merujuk kepada ruang lingkup keesaan wujud ALLAH. Lantas beliau membuat satu kesimpulan..
“Jika dipandang dari sudut esanya wujud ALLAH maka alam ini tidak lain
melainkan diriNya sendiri… Tiba-tiba sahaja perkataan itu terpacul keluar dari bibirnya. Terkebil-kebil matanya apabila mendengar ucapannya sendiri. Maka lidahnya kelu dan akalnya lumpuh. Terkejut. Terpukai. Terbungkam.

“Jadi kalau begitu ketika tuan memandang alam ini, siapa yang tuan pandang pada hakikatnya?” pertanyaan kembali diajukan kepada Raja Muzaffar.
“Pada hakikatnya aku memandang ALLAH!”
“Nah kalau begitu bukankah ALLAH ada berfirman yang bermaksud :
Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وٰسِعٌ عَلِيمٌ
wa lillaahil-masyriqu wal-maghribu fa ainamaa tuwalluu fa samma waj-hulloh, innalloha waasi'un 'aliim
"Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 115)
Allah SWT berfirman:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْأَاخِرُ وَالظّٰهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
huwal-awwalu wal-aakhiru wazh-zhoohiru wal-baathin, wa huwa bikulli syai`in 'aliim
"Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. Al-Hadid 57: Ayat 3)
Kemudian orang tua itu bertanya lagi..
“Dan sekarang dapat atau tidak tuan melihat ALLAH saat ini”
“Ya.. aku menyaksikan dengan ainul basyiroh.”
Perlahan-lahan bercucuran air mata dari mata Raja Muzaffar. Beliau menahan sebak karena sekarang beliau sudah faham kenapa orang tua itu tidak mengambil upah atas usahanya dan tidak mengelak ketika dipukul. Semuanya
karena yang dipandangnya adalah pentajallian ALLAH. Dalam hati perlahan-lahan beliau berkata.... “Memang benar sesungguhnya pada sudut ini, ALLAH berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihat ALLAH.”

“Makanya wahai Putera Raja.... inilah yang dinamai sebagai Ilmu Hakikat.”
Semenjak hari itu, Raja Muzaffar terus mendampingi orang tua itu untuk mempelajari lebih dalam seluk-beluk ilmu hakikat hingga diangkat beliau oleh gurunya menduduki kedudukan Syeikh ilmu hakikat.
Demi mempraktikkan ilmu-ilmu hakikat yang halus, Raja Muzaffar telah menjadi seorang ahli
ibadah yang alim. Beliau tidak lagi berpegang dengan faham almarhum gurunya yaitu Syeikh Abdullah kerana baginya jalan yang boleh membuat seseorang itu dapat mengenal ALLAH dengan haqqul yaqin ialah dengan ilmu
hakikat.

Beliau telah menepikan duduk didalam peraturan hukum akal sama sekali dan mulai duduk didalam peraturan musyahadah. Bagi beliau, ilmu Kalam yang dituntutnya selama ini adalah semata-mata salah.

Setelah kemangkatan ayahandanya maka Raja Muzaffar diangkat menjadi sultan dinegerinya dan sekarang beliau menyandang gelar Sultan Muzaffar Syah pada usia 50 tahun. Beliau memerintah negerinya dengan adil dan
saksama namun sikap peliknya yang dahulu masih diteruskannya. Dimana saja beliau pergi beliau tetap akan bertanya soal yang lazim itu.
Jika orang yang ditanya tidak dapat menjawab maka akan diajarkan jawabannya menurut ilmu hakikat dan jika orang itu membangkang akan dihukum bunuh. Akhirnya kelaziman Sultan Muzaffar Syah ini membuat seluruh rakyat
jelatanya menganut faham hakikat. Justru itu rakyat jelata dinegerinya hidup aman dan makmur.
Suatu petang Sultan Muzaffar Syah yang terkenal sebagai Mursyid ilmu hakikat itu berjalan-jalan disebuah padang rumput yang luas dengan ditemani para pembesar istana. Pandangannya tertarik pada gelagat seorang pemuda pengembala kambing dalam lingkungan usia 30an yang sedang berusaha
menghalau seekor serigala yang coba memakan kambing gembalaannya.
Baginda mendatangi pemuda gembala itu. Kelihatan pemuda itu hanya memakai pakaian
Dari karung goni dan tidak mempunyai sandal sebagai alas kaki. Rambutnya kering berdebu, bibirnya kering dan badannya kurus.

“Wahai pemuda.. kenapa kamu menghalau serigala itu dari memakan kambing
itu, tidakkah kamu menyaksikan hakikat serigala itu? Maka biarkan saja ALLAH bertindak menurut kemauanNya.”

Mendengar kata-kata Sultan Muzaffar Syah itu sekonyong-konyong pemuda gembala itu menggenggam pasir lantas dilemparkannya pasir itu ke muka Sultan Muzaffar Syah. Kemudian pemuda gembala itu membongkok untuk mengambil segenggam pasir lagi lalu dilemparkan lagi ke muka Sultan Muzaffar Syah.
Sultan Muzaffar Syah hanya tercengang saja mungkin terkejut dengan tindakkan pemuda gembala itu. Pemuda gembala itu terus mau
mengambil segenggam pasir lagi dan melihat seorang pembesar istana yang berada disitu terus memukul pemuda gembala itu hingga pingsan.

Apabila sadar dari pingsan, pemuda gembala itu mendapati tangan dan lehernya telah dipasung dengan pasungan kayu didalam sebuah penjara. Tidak lama kemudian datang dua orang pengawal istana dengan kasar merenggut badannya dan membawanya ke suatu tempat yang amat asing baginya. Tidak lama berjalan akhirnya mereka sampai dihadapan singgahsana Sultan Muzaffar Syah.
“Mengapa kamu melempari mukaku dengan pasir?” Tenang saja pertanyaan Sultan Muzaffar Syah.
“Karena tuanku mengatakan bahwa serigala itu adalah ALLAH yakni Tuhan saya.”
“Bukankah hakikat serigala itu memangnya begitu?” Tanya Sultan Muzaffar Syah heran.
“Nampaknya dakwaan yang mengatakan bahwa tuanku ini adalah seorang yang mengenal ALLAH adalah bohong semata-mata.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”

“Sebab orang yang sudah sempurna mengenal ALLAH pasti merindui untuk ‘menemui’ ALLAH.”
Setelah 30 tahun, baru hari ini hati Sultan Muzaffar Syah terpesona lagi mendengar ungkapan ‘menemui ALLAH’ yang diucapkan oleh pemuda gembala itu. Dahulu hatinya pernah terpesona dengan ungkapan ‘mengenal

ALLAH’. Sejurus itu juga Sultan Muzaffar Syah memerintahkan agar pasung kayu yang dikenakan pada pemuda gembala itu ditanggalkan.
“Lantas apa utamanya ‘bertemu’ berbanding ‘kenal’?”
Tanya Sutan Muzaffar Syah.
“Adakah tuanku mengenali sifat-sifat Rasulullah?”
Tanya pemuda gembala itu tiba-tiba..

“Ya, aku kenal akan sifat-sifat Rasulullah.”
“Lantas apa keinginan tuanku terhadap Rasulullah?”
“Semestinyalah aku mau dan rindu untuk menemuinya karena baginda adalah kekasih ALLAH!”
“Nah begitulah… Orang yang sempurna pengenalannya terhadap sesuatu pasti
terbit rasa ingin bertemu dengan sesuatu yang telah dikenalinya itu dan bukannya hanya sekedar berputar-putar didaerah ‘mengenal’ semata-mata.”
Tiba-tiba saja Sultan Muzaffar Syah berteriak kuat dengan menyebut perkataan ‘Allahu Akbar’ sekuat-kuat hatinya lalu baginda jatuh pingsan.
Tidak lama kemudian setelah wajahnya disapukan dengan air dingin maka
baginda kembali sadar. Sultan Muzaffar Syah terus menangis teresak-esak hingga jubahnya dibasahi dengan air matanya.

Baginda memuhassabah dirinya..
“Memang.. memang selama ini aku mengenali ALLAH melalui ilmu hakikat tetapi tidak pernah hadir walau sekelumit rasa untuk bertemu denganNya.
Rupa-rupanya ilmu hakikat yang aku pegangi selama ini juga salah seperti ilmu bunda dan ilmu Syeikh Abdullah”.. bisik hatinya. Kemudian
terlintas difikiran Sultan Muzaffar Syah untuk menanyakan soal lazimnya kepada pemuda gembala itu.
“Kalau begitu wahai orang muda, silahkan jawab persoalanku ini.... Dimana
ALLAH?”
Dengan tenang pemuda gembala itu menjawab..
“ALLAH berada dimana Dia berada sekarang.”
“Kalau begitu, dimana ALLAH sekarang?
“Sekarang ALLAH berada dimana Dia berada dahulu.”
“Dimana ALLAH berada dahulu dan sekarang?”
“Dahulu dan sekarang Dia berada ditempat yang hanya Dia saja yang mengetahui.”
“Dimana tempat itu?”

“Didalam pengetahuan ilmu ALLAH.”
Sultan Muzaffar Syah terdiam sebentar sambil keningnya berkerut memikirkan jawapan yang diberi pemuda gembala itu. Kemudian baginda meneruskan pertanyaannya lagi.
“Bolehkah manusia melihat ALLAH?”
“Kunhi zatNya tidak boleh dicapai dengan pandangan mata kepala dan pandangan hati.”
“Silakan perjelaskan lagi wahai anak muda.” Pinta Sultan Muzaffar Syah.

1. “Begini tuanku.. adapun jawapan yang diberikan oleh bunda tuanku itu diatas
soal lazim yang tuanku berikan itu adalah sebenarnya betul menurut tahapan akal tuanku yang ketika itu dinilai masih kanak-kanak.

2. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Abdullah itu juga betul jika dinilai dari sudut hukum akal.

3. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Tua itu juga betul jika dinilai dari sudut pengamalan musyahadah terhadap ilmu
Hakikat.

Begitu jugalah dengan jawapan yang saya berikan juga betul jika dinilai dari sudut ilmu Ma’rifat. Tiada yang salah cuma ilmu itu
bertahap-tahap dan tuanku pun telah melalui tahapan-tahapan itu.
Dari tahapan jahil (ilmu bunda) ke tahapan awam (ilmu Kalam) kemudian ke tahapan
khusus (ilmu Hakikat) dan akhir sekali ke tahap khawasul khawas (ilmu Ma’rifat).”
Kemudian pemuda gembala itu terus menyambung kata-katanya..
“Jika ilmu Hakikat itu jalan fana karena menuju kepada zat ALLAH maka ilmu Ma’rifat pula jalan baqo’ karena menuju terus kepada Kunhi zat ALLAH.
Maka jawapan bagi persoalan tuanku itu secara yang dapat saya simpulkan ialah :
Tiada yang tahu dimana ALLAH melainkan ALLAH dan tiada sesiapa yang dapat
melihat ALLAH melainkan diriNya sendiri.”
Sultan Muzaffar Syah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham.
“Jadi bagaimana hendak sampai ke tahap mengenal ALLAH dengan sempurna
sehingga terbit rasa ingin untuk menemuiNya?”
“Jangan mengenal ALLAH dengan akal sebaliknya mengenal ALLAH dengan ALLAH.”
“Kemudian, apakah cara-caranya untuk dapat bertemu dengan ALLAH?”
“Sebagaimana firman ALLAH yang bermaksud
Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحٰىٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
qul innamaaa ana basyarum mislukum yuuhaaa ilayya annamaaa ilaahukum ilaahuw waahid, fa mang kaana yarjuu liqooo`a robbihii falya'mal 'amalan shoolihaw wa laa yusyrik bi'ibaadati robbihiii ahadaa
"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 110)

Mendengar penjelasan daripada pemuda gembala itu hati Sultan Muzaffar Syah
menjadi tenang dan akhirnya baginda diterima menjadi murid si pemuda gembala itu. Karena kesungguhan yang luarbiasa dalam menuntut ilmu Ma’rifat maka baginda mahsyur terkenal sebagai seorang Sultan yang arifbillah lagi
zuhud dan wara'.

Kemudian rakyatnya dibiarkan bebas untuk berpegang pada mana-mana faham apapun asalkan ajarannya masih didalam ruang lingkup yang mengikuti pegangan Ahlussunnah wal Jamaah.
Dan sekarang pada usia 70 tahun barulah Sultan Muzaffar Syah sadar dan faham bahwa untuk memahami tentang ALLAH maka seseorang itu harus melalui tahapan-tahapan yang tertentu sebelum seseorang itu layak dinobatkan sebagai Arifbillah.
Baginya sama saja bahwa ilmu Kalam, ilmu Hakikat atau ilmu Ma’rifat maka kesemuanya adalah sama penting untuk dipelajari bagi mewujudkan kesempurnaan untuk mencapai
kedudukan Insan Kamil yang Ma’rifatullah.
Kini Sultan Muzaffar Syah sudah memahami bagaimana rasanya rindu kepada ALLAH dan bagaimana rasanya benar-benar tidak sabar untuk bertemu ALLAH.
Sejak semalam mulutnya tidak henti-henti asyik mengucapkan kalimah ALLAH..ALLAH..ALLAH dan kadang-kadang terlihat deruan air mata jernih mengalir perlahan dipipinya sewaktu dipembaringan.

Perlahan-lahan pemuda gembala menghampiri Sultan Muzaffar Syah yang sejak 20 tahun lalu tinggal bersama dengannya dirumah usangnya lantas meletakkan kepala muridnya itu diribaan silanya dengan linangan air mata. Kini nafasnya mulai tersekat-sekat dan melihat itu, pemuda gembala merapatkan bibirnya ke telinga Sultan Muzaffar Syah lantas mentalqinkan baginda dengan dua kalimah syahadah seraya diikuti baginda dengan senyuman.
Sejurus kemudian Sultan muzaffar Syah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suasana hening… pemuda gembala menunduk saja dan sebentar kemudian dia berkata..
“Wahai alangkah beruntungnya.. sekarang tuanku benar-benar telah menemui ALLAH dan dapat mengenalNya dengan sebenar-benar kenal. Wahai ALLAH, masih belum layakkah untuk aku bertemu denganMu.. aku mencemburui Sultan Muzaffar Syah ini maka jemputlah aku menghadapMu Ya ALLAH…”.

Sebentar kemudian pemuda gembala itu pun turut rebah dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dan Suasana kembali hening.