Laman

Kamis, 23 Oktober 2014

AKHLAQ ALLAH


" Saya tidak faham. Kang Soleh, saya tidak mudeng, apa yang dimaksud dengan hadist Nabi, "Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah". Saya benar-benar tidak ngeh !" tanya Dulkamdi pada Kang Soleh.
Kang Soleh tidak menjawab. Ia angguk-anggukan lututnya sembari menikmati lagu-lagu di radio subuh itu. Asap rokoknya terus mengepul, sementara bibirnya kadang menyunggingkan sebuah senyum.
Dulkamdi terus penasaran, tapi ia tidak mau bertanya lagi, menunggu jawaban Kang Soleh. Sementara Pardi terus melototi arah Kang Soleh, siapa tahu ada pandangan gemulai yang bisa mencerahkan jiwanya. Dan nyatanya cukup lama Kang Soleh tidak menjawab. Ia nikmati betul lagu di radio pagi itu. begitu selesai lagu indah itu, baru ia bicara. "Allah menggesekkan biola semesta jagad raya ini, kamu sekalian yang menghayatinya. Itulah simpulan dari hadist Nabi SAW itu. "
" Bukannya kita membuat miniatur biola Tuhan, lalu kita ikut
menggeseknya, Kang ?" potong Pardi.
Kang Soleh hanya tersenyum. " Kalau kamu seperti itu, kamu akan terlempar ke lembah eksistensialisme, dan akhirnya kamu bisa menandingi Tuhan, minimal dirimu sendiri bisa menjadi penghalang bagi hubunganmu dengan Tuhan, karena keakuanmu akan tampak sebagai sosok hijab dirimu sendiri.
Semua yang ada di kedai Cak San terkaget sejenak. Tapi masuk akallah apa yang dikatakan Kang Soleh.
" Wah, jadi salah dong Kang Soleh, apa yang saya fahami hingga saat ini. Sebab, berakhlaqlah dengan Akhlaq Allah, menurut pemahaman saya, ya... kita meniru Allah, kita mengidentikkan diri dengan Allah, kita prototipe Allah di muka bumi. Saya membaca beberapa pandangan pemikir Islam, filosuf muslim juga begitu, lho...Kang. Jadi pandangan Kang Soleh membuat saya jadi gemetar. Pasalnya, pandangan ini bisa lebih revolusioner.." ungkap Dulmajid, seorang mahasiswa filsafat yang jadi kutu buku, kebetulan sedang liburan kampus, pulang kampung.
" Nah... nah... nah.... ! Saya kira juga lho Kang, praktiknya bagaimana sih ?" sela Pardi.
" Praktiknya yang seperti dalam tarekat sufi itu. Bagaimana kamu menghayati apa yang disebut dengan fana', lalu pertama kali kamu fana' pada Asma' Ilahi, lalu Af'al dari Sifat Ilahi, baru fana' pada Zat Ilahi. Tapi hati-hati, ketika kamu berkontemplasi tentang fana', kamu jangan terjebak pandangan seperti si Dulmajid tentang akhlaq Allah itu. "
" Kongkritnya... Kang, Kongkritnya...!"
" Begini saja, ketika kamu menyelami Asma Allah Yang Maha Lembut ( Al-Lathif ) misalnya, bukannya kamu berlembut-lembut diri. Tetapi Kemahalembutan Allah itu yang menghaguskan seluruh kemahakasaranmu, sehingga engkau sirna disana, engkau hanya seorang hamba yang fana. Bukan hamba yang mengaku-aku bisa lembut, bisa ini dan bisa itu, bisa begini dan bisa begitu dengan alasan meniru Allah. Bukan ! Misalnya lagi, ketika engkau mendengar Nama Allah Yang Maha Kuasa, maka dalam dirimu harus bersih dari apapun yang disebut kekuasaan. Kalau Allah Maha Kaya, maka dalam dirimu harus penuh dengan maha kemiskinan. Begitu seterusnya. Maka, Kyai Mursyid kan selalu membimbing hati kita agar kita tidak terjebur dalam tipu daya akal dan fikiran kita yang sering dikipasi setan itu. "
Lagu di radio pun mengalun kembali. Lagunya terasa lembut.
" Nah..... mari kita hayati lagu dan musik itu. Jangan dilihat siapa yang bernyanyi, jangan pula melihat bagaimana syair dalam lagu itu. Dengarkan musik itu sebagai suatu bunyi, dan simaklah syair sebagai kata-kata saja. Selebihnya, nyanyikan Asma'-asma' Ilahi dalam konser ruhani di hatimu. Sebab di hatimu juga ada suara biola, di jiwamu ada suara kemerduan nada, di kalbumu ada kamar yang penuh dengan drum dan akustik, di bilikmu ada seruling dan gitar. Bunyikan bersama dalam konser zikir yang sesungguhnya. Bukan zikir dalam musik, karena sesungguhnya tidak ada yang namanya musik zikir itu, " ungkap Kang Soleh mirip orasi di depan seniman-seniman yang sok Islami, tetapi hatinya tidak pernah bernyanyi dalam tarian bidadari dan bunyi - bunyi tasbih.

Ridha Allah


LELAKI gagah berjubah dan membawa seuntai tasbih, sambil komat-kamit. Wajahnya pucat menampakan style religius yang kuat. Jidatnya hampir gosong, entah kenapa. Mungkin terlalu banyak bersujud atau karena sengaja dihitam-hitamkan. Tiba-tiba nyeletuk pada si Pardi di kedai itu.
”Mas, yang sampean cari dalam hidup ini apa?”
”Apa ya? Saya juga nggak tahu. Saya hanya pengin jadi hamba Allah yang benar saja. Kalau sampean yang dicari apa?” Tanya Pardi.
Lelaki itu agak kaget.
”Saya harus memperbanyak ibadah, perbanyak pahala, perbanyak ganjaran biar kita nanti hebat di akhirat…” jawab lelaki itu.
”Kalau saya nggak butuh itu…”
”Haahhh…!” Ia semakin kaget.
”Apa nggak kebaretan pahala nanti di akhirat sampean ini. Kok pahala terus yang dipikir. Kelihatannya sampean nggak percaya pada janji yang Punya Pahala ya…?”
“Lho kok begitu ! Saya percaya pada Allah, percaya sekali. Karena itu saya totalkan hidup saya agar dapat imbalan diakhirat nanti”
“Apa sampean ini pedagang akhirat kok mencari laba melulu, imbalan terus, nanti sampean jadi konglomerat begitu, disana?”
“Wah, Mas… ikut saya aja… jalan keliling supaya banyak dapat pahala. Kita nanti kaya raya di akhirat…”
“Ada yang lebih kaya Mas dari sampean…”
“Siapa?”
“Saya!”
“Kok bisa?”
“Lha iya. Saya berada di sisi Yang Maha Kaya. Sampean masih memburu kekayaan pahala. Hayooo…”
Lelaki itu bingung dan mulai sebel pada Pardi.
“Terus yang sampean cari apa kalau begitu?”
“Kalau Gusti Allah Tanya saya, ya saya mencari ridha-Nya saja sudah cukup dan saya diridhai untuk jadi hamba-Nya, sudah lebih dari cukup…”
Lelaki itu kegerahan. Ia gunakan Koran untuk dijadikan kipas-kipas. Belum sempat ia minum kopi lalu ngeloyor pergi.
Usai kepergian itu Kang Soleh muncul. Lalu menegur Pardi.
“Kamu sudah tahu apa itu ridha Di…?”
“Lhadhalah… Baru saja saya mengenalkan ridha kepada tukang ibadah Kang…!”
“Kamu gak boleh sombong begitu…!”
“Katanya menyombongi orang sombong itu sedekah Kang. Ngomong-ngomong ridha itu apa sih Kang?”
“Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, rida hanyalah bahwa engkau tidak keberatan terhadap hukum dan qadha Allah SWT”.
Kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Allah SWT yang telah diperintahkan agar ia ridha dengan-Nya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau boleh rida dengan qadha tersebut, misalkan kemaksiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar, “Keridhaan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar”. Maksud mereka adalah, bahwa barang siapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi”.
Seorang murid bertanya kepada gurunya, apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?’ Sang guru menjawab, ‘Tidak’, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya ghaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! Jika aku mendapati hatiku ridha kepada Allah SWT, maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku’. Maka sang guru lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda’.
“Yang penting aku hanya ingin ridha-Nya dan kelak dapat cinta-Nya , Kang…”
“Keinginanmu seperti itu sudah lebih dari segalanya, Di…”
Pardi menghela nafas dalam-dalam dan secangkir kopi Cak San sudah di depannya.

MENGENAL ALLAH BERSAMA ALLAH


Semenjak Rasulullah menerima wahyu buat pertama kali di Gua Hira’ , saat itulah menurut Kyai Lukman, secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan “ Bacalah, dengan nama Tuhanmu.. dst” Rasulullah langsung membacanya.
Maksudnya, Jibril meminta membaca dengan dan bersama Tuhan. Nama Tuhan itu adalah Allah. Allah hanyalah sebuah nama bagi Tuhan. Maka Nabi pun membacanya dengan kalbunya, lalu bergemuruhlah dada Nabi dengan sebutan Allah… Allah.. Allah hingga bertahun – tahun, sampai mengalami istighraq atau jadzab , atau tenggalam dalam lautan Illahi, hingga tubuhnya menggigil. Rasulullah menyatukan dirinya denga Asma Allah itu dalam hatinya. Artinya Rasulullah membaca dengan kalbunya. Bacaan kalbu berbeda dengan bacaan lisan. Bacaan kalbu adalah hasrat dan seluruh fakta kebenaran ideal yang terus bergelora
Peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia tersebut sekaligus menandai peristiwa turunnya Alquran kali pertama di Gua Hira’. Pertemuan Rasulullah Sayyidina Muhammad SAW dengan Malaikat Jibril saat itu, bertepatan dengan Lailatul Qadr, merupakan representasi dari awal sekaligus akhir perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju Waktu Ilahi yang tiada hingga, azali dan abadi.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS memeluk beliau sambil mendiktekan bacaan, “Iqra’!,” lalu dijawabnya, “Maa anaa bi qaari’” (Aku tak bisa membaca). Sebuah jawaban teologis, filosofis, dan sekaligus sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah Tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam Tauhid sampai harus berkata, “Aku tak bisa membaca…”
Begitu juga sangat filosofis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu, sebagai landasan utama peradaban tauhid di muka bumi, dan setiap dimaknai filosofis, muncul pula cahaya baru di balik makna yang tersembunyi.
Bahkan, juga sangat sufistik, karena “Al-qaari al-haqiqi huwa Allah ta’ala”, Sang pembaca yang hakiki adalah Allah ta’ala. Karena Dialah Yang Berkalam dan Yang Maha Tahu makna kalam yang sesungguhnya.
Sampai ketiga kali, di saat Jibril AS meneruskan, Iqra’ bismi robbikalladzi khalaq…. dst Nabi Muhammad SAW baru bisa menirukan. Di sinilah rahasia asma Allah tersembunyi -dan dalam urgensi ma’rifatullah (mengenal Allah) terurai , bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan ayat kalimat pada ayat itu tebersit kalimat. Bismi Rabbik (Dengan asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, “Bacalah Alquran ini dengan nama Tuhanmu. Siapa nama Tuhanmu? “Allah!”, dengan kata lain, bacalah Alquran ini dengan Allah… Allah… Allah…”.
Memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan, bahkan menggambarkan dahsyatnya ilmu Allah dalam kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagat semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW, sampai beliau menggigil dalam fana’ul fana’. Karena Wayabqqo wajhu rabbika dzul-jalaali wal-ikraam, (Yang ada hanyalah wajah Tuhanmu Yang Maha Agung nan Mulia) ketika itu.
“Zammiluuni… Zammiluuni….” Selimuti aku…. selimuti aku…. Seakan Rasulullah SAW, berkata, “Selimuti aku…. selimuti… karena Cahaya dari Maha Cahaya-Mu yang memancar di seluruh jagat cerminku. Selimuti aku, selimuti…., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam Genggaman-Mu…. Selimuti… Oh, selimuti…. dan akulah sesungguhnya selimut-Mu…. Akulah Nama-Mu, akulah Ismu Rabbik itu… Oh…..”
Saat itu, dan mulai kala itu pula, tiada hari tanpa munajat, tiada kondisi dan waktu, melainkan adalah waktu-waktu penuh liqa’ Allah (pertemuan dengan Allah). Maka ismu Rabbik (nama Tuhanmu) itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis, dan terbayang, menjadi al-asma’ul husna, di antaranya asmaul husna dalam surat Al-Hasyr yang ada dalam Alquran.
Peristiwa Hira’ itu juga awal mula sebuah ajaran tentang zikrulah dimulai. Gemuruh zikrullah telah menyelimuti seluruh nadi, ruh, dan sirr (rahasia batin) Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman yang bisa menjadi istana ilahiyah.Bahkan, dari 99 al-asmaul husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan huquq ar-rubuiyyah (Hak-hak Ketuhahan) dan huqul ‘ibad wal ‘ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca asma-Nya, “Allah”, Ibnu ‘Araby bermunajat: Ya Allah, tunjukkan padaku, bersama-Mu, kepada-Mu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi Wujud-Mu, sepanjang diriku dengannya, untuk beradab di hadapan-Mu….
Yaa… Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmat-Mu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujian-Mu.
Yaa… Rahiim, sayangilah daku dengan memasukkan ke syurga-Mu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandang-Mu…
Yaa Maalik, Wahai…. Diraja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, jadikan diriku sampai di jannatun na’im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa… Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku golongan orang yang datang kepada-Mu dengan qalbun saliim.
Ya… Mu’min, amankanlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepada-Mu, sebagai bagianku.
Yaa… Muhaimin, jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaan-Mu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanah-Mu dan janji-janji-Mu.
Yaa…Aziz, jadikanlah daku dengan Perkasa-Mu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapan-Mu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisi-Mu.
Yaa… Jabbaar…, paksalah diriku untuk berselaras dengan kehendak-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hamba-Mu.
Yaa.. Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaran-Mu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusan-Mu.
Yaa… Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepadaM-u, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya di antara makhluk-makhluk-Mu.
Yaa… Baari’, jadikanlah diriku golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridai.
Yaa… Mushawwir, rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah pada-Mu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya makrifat-Mu. Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan nama Allah.
Itulah implementasi lain dari “Berakhlaqlah dengan akhlaq-akhlaq Allah”. Maka al-asmaul husna adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespons akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan Ibnu ‘Araby. Membaca, sekaligus aksentuasi dalam kehidupan nyata bahwa pada diri manusia harus “bersiap diri” untuk menjadi limpahan asma-Nya, agar mengenal-Nya. ***
Begini, Singkat saja ya.. Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi yang Sufi dan RAsul yang Sufi. Nubuwah dan Risalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini.

Meraih Esensi Keikhlasan


“Kita ini sudah salah kaprah ya. Masak orang mau menunjukan kehebatannya, malah mengatakan, kalau dirinya tidak sombong. ‘Saya tidak sombong, lho…’ Padahal itu juga sombong juga”. Kata Dulkamdi memancing pembicaraan pagi itu.
“Wah, kalau salah kaprah begitu banyak sekali Dul. Tapi itulah, kenyataan masyarakat kita. Ada yang menonjolkan diri, dan semakin bangga kalau ia menonjol dengan kesukuannya. Ada yang menonjolkan diri dengan ilmunya, dan semakin bangga kalau muncul decak-decak mulut padanya. Ada yang menonjolkan anunya, dan itunya, dan semakin bangga kalau dijadikan bahan berita”, kata Kang Soleh.
Tiba-tiba Pardi datang, tanpa basa-basi, ia bagi-bagikan uang kepada orang-orang yang hadir disana, tanpa pandang bulu.
“Ini untuk menunjukan syukur saya atas nikmat Allah. Saya ikhlas kok membagi-bagi ini… kebetulan saya dapat rejeki lumayan besar dari makelaran motor kemarin”.
“Nggak usah bilang ikhlas kenapa sih, jadinya duitmu ini terasa setengah ikhlas dan setengah tidak. Saya mau belanjakan jadi gamang Di…”.
“Jangan begitu to Dul, kamu ini namanya menolak rejeki…”.
“Lho, kalau uang ini tadi dari kamu kan…? Kamu kan bukan pemberi rejeki. Tapi kalau Allah memberi rejeki mestinya kan tidak seperti itu Di…”.
“Pokoknya kalau kamu tidak mau terima, ya… kembalikan ke saya, masih banyak fakir miskin yang membutuhkan,” jawab Pardi sambil ngedumel.
“Saya juga fakir lho Di…. Masak sudah diberikan diminta lagi. Kamu ini ikhlas atau tidak?”.
Pardi mencoba menahan emosinya, sementara Dulkamdi senyam-senyum sembari merasakan betapa Pardi terkena jebakannya.
“Sebenarnya ikhlas itu bagaimana sih kang…?” Tanya Cak San kepada Kang Soleh.
“Ikhlas itu adalah rahasia dari Rahasia Ilahi yang dititipkan pada hamba-Nya yang dicintai-Nya, lalu hamba itu terputus dari segala hal selain Allah saja”.
“Apa itu yang disebut Lillahi Ta’ala…”
“Ya, tapi masih banyak embel-embelnya, itu masih belum ikhlas”.
“Tapi kan kemampuan manusia berbeda-beda, hati manusia juga berbeda-beda, perasaan manusia juga berbeda-beda Kang” sela Pardi setengah protes.
“Oalahhh, mau ikhlas saja kok didiskusikan. Kalau mau memberi sesuatu pada orang lain malah jangan menunggu ikhlasmu. Bisa-bisa malah kamu tidak pernah memberi orang lain. Nggak usah mikir apakah kamu ikhlas atau tidak, yang penting memberi ya memberi. Kamu juga begitu Dul, kalau menerima sesuatu dari orang lain ya jangan dipikir, apakah pemberiannya ikhlas atau tidak. Kamu bisa mati kelaparan. Diberi ya kamu terima, nggak usah mikir bagaimana caranya membalas pemberian itu”.
“Wah…, kita masak tidak boleh balas budi”.
“Keinginanmu untuk membalas budi itu menunjukan bahwa kamu tidak ikhlas menerima pemberitaan orang lain. Sama saja nilainya dengan orang yang tidak ikhlas dalam beramal”. Mendengar uraian kang Soleh, Pardi dan Dulkamdi hanya manggut-manggut saja.
“Kalau ikhlasnya orang-orang saleh itu bagaimana kang?”.
“Untuk apa? Nggak usah ditanyakanlah. Praktikin saja, lama-lama kamu bisa menyamai mereka”.
“Ini perlu, agar saya bisa mengontrol jiwa saya Kang”.
“Oke, begini Dul, Di dan saudara-saudara sekalian. Ikhlas itu ada dua: Mukhlisin dan Mukhlasin. Yang pertama melakukan melalui segala bentuk upaya sampai bisa ikhlas benar. Yang kedua, tidak mencari ikhlas karena ikhlasnya sudah ditinggalkan jauh-jauh. Itu yang disebut Mukhlasin. Artinya ia ikhlas dari wacana dan kata-kata ikhlas itu sendiri. Ia bebas dari belenggu psikologis ikhlas. Dia tidak mau tahu tentang makna ikhlas, yang penting bisa total dengan Allah, beres”.
“Wah…, itu pasti tingkat tertinggi kang?”.
“Terserah, minimal ikhlas itu dibagi tiga: Ikhlasnya Mukhlisin, yaitu ikhlas untuk beramal, jauh dari makhluk, semata demi Allah. Kedua Ikhlasnya Muhhibbin (para pencita Allah) yaitu ikhlas tanpa pahala, surga, atau apa pun kecuali hanya demi cintanya kepada Rabb. Dan ketiga Ikhlasnya Muwahhidin, yaitu keikhlasan yang dari apa yang disebut ikhlas. Sang hamba merasa seakan-akan menyatu dengan-Nya, dan segalanya tidak lepas dari-Nya”.
“Jadi kalau saya tadi bilang, ‘Saya ikhlas lho, itu bagaimana…?” tanya Pardi.
“Itu tandanya kamu hanya ikhlas setengah hati. Masih ada unsur makhluknya, dan masih ada embel-embel pengakuan.
“Dalam Alqur’an disebutkan bahwa iblis tidak mampu menggoda orang-orang yangMukhlasin, kang?”.
“Benar. Itulah, makanya iblis angkat tangan, karena Mukhlasin itu adalah orang yang sudah melampaui keikhlasan itu sendiri. Bahkan sudah di atas apa yang disebut dengan cinta. Makanya, kamu yang serius ibadah, jangan pikiran melayang kemana-mana, nanti keikhlasn bisa jadi komoditi politik, sosial, dan bisnis. Gawat kan…?”.