Laman

Rabu, 15 Oktober 2014

JANGAN PUTUS ASA !

JANGAN PUTUS ASA !
"Janganlah membuatmu putus asa dalam mengulang doa doa, ketika Allah menunda ijabah doa itu"
Kata-kata itu terngiang betul di benak Dulkamdi, sampai ia thenger-thenger bersandar di kursi panjang kedai itu.
"Dul, kalau kamu sakit, mbok libur saja minum kopinya"
"Malah tambah sakit Di."
"Kamu ini aneh."
"Justru saya dapat obat disi kok...."
Pardi tertawa ngakak.
"Kenapa tertawa ngakak."
"Aku pucat bukan karena sakit. Aku pucat karena aku membenci diriku saat ini..."
"Nah, itu namanya mendzalimi diri sendiri...."
"Nggak tahulah. Pokoknya setelah semalam saya ikut ngaji baru terbuka. Betapa saya sering curiga kepada Tuhan, lalu ujungnya su'udzon kepadaNya..."
"Ada apa sih ?"
"Kamu ingat nggak Ibnu Athaillah as Sakandari mengingatkan kepada kita semua agar kita tidak berputus asa dalam berdoa. Mengapa demikian? Karena nafsu manusia seringkali muncul ketika Allah menunda ijabah atau pengabulan doa-doa kita. Dalam kondisi demikian manusia seringkali berputus asa, dan merasa bahwa doanya tidak dikabulkan. Sikap putus asa itu disebabkan karena manusia merasa bahwa apa yang dijalankan melalui doanya itu, akan benar-benar memunculkan pengabulan dari Allah. Tanpa disadari bahwa ijabah itu adalah hak Allah bukan hak hamba. Dalam situasi keputusasaan itulah hamba Allah cenderung mengabaikan munajatnya sehingga ia kehilangan hudbur [hadir] bersama Allah"
"Wah, benar-benar hebat kamu Dul. saya juga dapat pelajaran berharga Dul."
Dua orang itu terdiam. Merenungkan perjalanan doanya selama ini yang naik turun, kadang pasrah, kadang putus asa, kadang penuh dengan optimisme. Bahkan kadang penuh protes kepada Allah. Lalu kedua hamba Allah itu tersenyum bersama, lalu tertawa bersama-sama... Gila!
Kang Soleh masuk kedai itu dengan mengernyitkan jidatnya, begitu heran dua sahabatnya itu terpingkal-pingkal. Gerangan apa yang membuatnya begitu ? Tidak jelas. Samar-samar terdengar diantara mereka tadi ada yang nyelethuk soal putus asa. Tapi itu juga masih diraba-raba oleh Kang Soleh.
"Kang, kenapa kita diingatkan agar tidak putus asa ketika ijabah Allah itu ditunda?"
"Ha... ha.... ha.... Benar pula kalian. Itu menunjukkan betapa sangat lemahnya kita ini, dan sangat agungnya cintanya Allah kepada kita. Sampai kita seperti dielus-elus, dibelai-belai oleh Allah. Begini suadara-saudara, orang yang sedang bermunajat itu ada tiga :
Pertama, seseorang menuju kepada Tuhannya dengan kepasrahan total, sehingga ia meraih ridhaNya. Hamba ini senantiasa bergantung denganNya baik doa itu dikabulkan seketika maupun ditunda. Ia tidak peduli apakah doa itu akan dikabulkan dalam waktu yang panjang atau lainnya.
Kedua, seseorang tegak di depan pintuNya dengan harapan penuh pada janjiNya dan memandang aturanNya. Hamba ini masih kembali pada dirinya sendiri dengan pandangan yang teledor dan syarat-syarat yang tidak terpenuhi, sehingga mengarah pada keputusasaan dalam satu waktu, namun kadang-kadang penuh harapan optimis, Walaupun hasratnya sangat ringan, toh syariatnya menjadi besar dalah hatinya.
Ketiga, seseorang yang berdiri tegak di pintu Allah namun disertai dengan sejumlah cacfat jiwa dan kealpaan, dengan hanya mengingingkan keinginannya belaka tanpa mengikuti aturan dan hikmah. Orang ini sangat dekat dengan keputusaasaan, kadang-kadang terjebak dalam keragu raguan, kadang kadang terlempar di jurang kebimbangan, semoga Allah mengampuninya.
Syaikh Abu Muhammad Abdul Aziz Al Mahdawi mengatakan : "Siapa pun yang tidak menyerakan pilihannya dengan suka rela kepada Sang Allah Taala, maka orang tersebut terkena istidraj [sanjungan yang terhinakan]. Orang tersebut termasuk golongan mereka yang disebut oleh Allah. "Penuhilah kebutuhannya, karena Aku benci mendengarkan keluhannya." Tetapi jika seseorang memasrahkan pada pilihan ALlah, bukan pilihan dirinya, maka otomatis doanya telah terkabulakn walaupun belum terwujud bentuknya. Sebab amal itu sangat tergantung pada saat akhinya."
Nah itulah Ibnu Athaillah menegaskan lagi "Allah yang menjaminijabah doa itu menurut pilihanNya kepadamu, bukan menurut piliha seleramu, kelak pada waktu yang dikehendakiNya, bukan menurut waktu yang engkau kehendaki."
"Jadi pasi dikabulan dong doa kita?"
"Pasti Dul, Kita saja yang nggak sabaran. Maunya Allah kita bikin sesuai dengan selera kita. Nanti malah terbalik balik hidup kita ini.... Dalam hadists Rosulullah bersabda : "Tak seorang pun pendoa, melainkan ia berada diantara salah satu dari tiga kelompok ini : Kadang ia dipercepat sesuai dengan permintaannya, atau ditunda [pengabulannya] demi pahalanya, atau ia dihindarkan dari keburukan yang menimpanya" [HR. Imam Ahmad dan al Hakim].
Dalam hadist lain disebutkan : "Doa diantara kalian bakal diijabahi, sepanjang kalian tidak tergesa-gesa, [sampai akhirnya] seseorang mengatakan : "Aku telah berdoa, tapi tidak diijabah-i untukku" [HR. Bukhari-Muslim].
"Tapi apa rahasia penundaan ijabah itu Kang?" Tanya Pardi.
:"Karena kasih sayang dan pertolongan Allah pada hambaNya. Sebab Allah mahhmurah, Mahaasih dan Maha mengetahui. Dzat yang Mahamurah apabila dimohon oleh orang yang memuliakanNya, ia akan diberi ssuatu yang lebih utama menurut kemahatahuanNya. Sementara seorang hamba itu pada dasarnya bodoh terhadap mana yang baik dan yang lebih bermashlahat. Terkadang seorang hamba itu mencintai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk baginya, dan terkadang ia membenci susuatu padahal yang dibenci itu lebih baik baginya. Inilah yang seharusnya dipahami pendoa.
Doa itu sendiri adalah ubudiah. Rahasia doa adalah menunjukkan getapa seorang hamba itu serba kekurangan. Kalau saja ijabah doa ini menurut keinginanna talk[Kewajiban-ubudiah} menjadi kelihur itu sendiri.
Pardi dn dlkamdi hanya cengar-cengir kuda, seperti kuda, sambil mengelus kedua jidat masing masing. Kadang Kang sholeh tanya bahagia melihat sahabatnya yang konyol, lucu, lugu, dan spontan tampak puas...

Akhlak Mulia


“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (berjumpa dengan-Nya di) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS Al-Ahzab [33]:21)
Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman,”Bahwasanya Aku menerima shalat hanya dari orang yang bertawadhu dengan shalatnya kepada keagungan-Ku, yang tidak terus menerus mengerjakan perbuatan dosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk berdzikir kepada-Ku, bersikap kasih sayang kepada fakir miskin, ibn sabil, janda, serta mengasihi orang yang mendapat musibah.”(HR. Al-Bazzar)
Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”(HR. Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda,”Dua sifat jangan sampai berkumpul dalam diri seseorang Muslim, yaitu kikir dan akhlak yang buruk.”(HR. Al-Tirmidzi dari Abu Sai’id Al-Khudri)
Rasulullah Saw bersabda,”Tidak ada suatu amal perbuatan pun dalam timbangan yang lebih berat daripada akhlak yang baik.”(HR. Abu Dawud dan Al-Tirmidzi dari Abu Darda’ r.a)
Akhlak yang baik itu merupakan penghimpun kebaikan.
Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash r.a berkata,”Rasulullah Saw sama sekali bukanlah orang yang keji dan bukan pula orang yang jahat, dan bahwasanya beliau bersabda,’Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik budi pekertinya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah r.a berkata,”Rasulullah Saw ditanya tentang perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Beliau menjawab,’Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.’ Dan, beliau ditanya tentang perbuatan apakah yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka. Beliau menjawab,’Mulut dan kemaluan.'(HR. Al-Tirmidzi)
Rasulullah Saw bersabda,”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan orang yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.”(HR. Al-Tirmidzi)
‘Aisyah r.a berkata,”Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda,’Sesungguhnya orang mukmin itu dengan akhlaknya yang baik dapat mengejar derajat orang yang selalu berpuasa dan shalat malam.”(HR. Abu Dawud)
Dari Abu Hurairah r.a, dikatakan kepada Rasulullah Saw bahwa si fulanah adalah wanita yang rajin shalat malam, berpuasa, beramal kebajikan, dan bersedekah, tetapi ia sering menyakiti tetangganya. Rasulullah Saw bersabda,”Tidak ada kebaikan baginya dan ia termasuk calon penghuni neraka.” Para sahabat berkata,”Si fulanah adalah seorang wanita yang hanya shalat wajib, bersedekah dengan sepotong keju, tetapi tidak suka menyakiti siapapun.” Rasulullah Saw bersabda,”Ia termasuk calon penghuni surga.”(HR. Bukhari)
Rasulullah Saw bersabda,”Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku di Hari Kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.”(HR. Al-Tirmidzi);
Imam Al-Junaid berkata,”Ada 4 hal yang bisa mengangkat seorang hamba mencapai derajat paling tinggi, meskipun amal dan ilmunya amat sedikit, yakni : bijaksana, tawadhu’, dermawan dan budi pekerti yang baik.”
Imam Al-Ghazali mengatakan : “Kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan.” Jika manusia membiasakan perbuatan jahat, ia akan menjadi orang jahat. Karena itu, Al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, ia harus dibiasakan melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabiatnya yang mendarah daging.
“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturahim). Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di hati saudara (sesama) kita.”-(Syaikh Yusuf Makassari)
Seorang ‘arif berkata : “Tidaklah seorang mulia menjadi mulia karena banyak shalat atau banyak puasa, tidak pula karena banyak mujahadah. Seorang menjadi mulia dengan akhlak yang baik.”
Standar mulia seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya ibadah, banyaknya dzikir dan suluk, tapi oleh akhlak. Apabila akhlaknya buruk maka tidak ada kemuliaan pada diri orang tersebut.
Akhlak mulia adalah akhlak islami, yakni akhlak yang menggunakan tolok ukur ketentuan Allah Swt. Menurut M. Quraish Shihab, tolok ukur kelakuan baik mestilah merujuk pada ketentuan Allah. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Sebagai contoh, tidak mungkin Allah menilai kebohongan sebagai akhlak yang baik, karena kebohongan esensinya adalah buruk.
Dalam tahap tertentu, pembinaan akhlak lahiriah dapat dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan kata-kata yang bagus, misalnya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila pembiasaan ini sudah berlangsung lama, paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan.
Akhlak menyangkut perilaku yang bersifat individual dan sosial. Akhlak individual berarti kebersihan hati dan kepenuhan hati dengan rasa cinta dan kasih sayang, baik kepada Allah, sesama manusia, maupun seluruh unsur alam semesta selebihnya. Sedangkan akhlak sosial berarti amal shalih.[]

Al Hikam : Apabila Cahaya Yakin Telah Bersinar


Sebagaimana dimaklumi, bahwa bersahabat dengan orang-orang baik dalam agama di mana kita dapat menjadi orang baik pula, karena persahabatan itu
berarti pada hakikatnya kita bersahabat dengan Allah s.w.t. Demikian pula melihat Wali Allah, pada hakikatnya kita melihat Allah, sebab Wali-waliNya itu tidak ada sesuatu dalam hati mereka terikat dan bergantung kepada selain Alah. Dengan demikian, maka bercahayalah hati kita dengan cahaya yakin terhadap ajaran agama, dan segala tuntunan-tuntunannya. Dan bagaimanakah akibat daripada cahaya yakin dalam hati apabila telahbersinar cahaya tersebut?
Dalam hal ini, yang Mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menerangkan hal keadaan tersebut dalam rumusan Kalam Hikmahnya sebagai berikut:
"Jikalau cahaya yakin telah bersinar buat anda, pastilah anda melihat akhirat lebih dekat kepada anda dari anda berjalan kepada akhirat itu. Dan pastilah (pula) anda melihat kebaikan-kebaikan dunia di mana sungguh telah kelihatan perubahan kehancuran atas kebaikan-kebaikan tersebut."
Kalam Hikmah ini keterangannya sebagai berikut : "Ilmu yang tidak didesak-desak oleh waham tidak dicampuri oleh keraguan dan tidak disertai oleh kehancuran. Jadi arti yakin ialah ilmu (pengetahuan) yang telah mantap sedemikian rupa sehingga kita tidak ragu-ragu lagi dan tiak pula dicampuri oleh hal-hal yang tiak bersifat kepastian.
Ilmu yang tersebut itu ialah ilmu mengenai ketuhanan Allah s.w.t. baik tentang DzatNya maupun tentang sifat-sifatNya. Demikian juga ilmu yang berupa wahyu yang telah disampaikanNya kepada Rasul-rasulNya melalui Malaikat dan kitab-kitab suciNya. Ilmu itu apabila cahaya bathin telah bersinar sedemikian rupa, maka ia akan membawa efek-efek kebajikan lahiriah dan bathiniah.
Efek-efek kebajikan pada lahiriah, maksudnya kelihatan berbekas cahaya itu atas tindak-tanduk anggota-angota tubuhnya yang lain. Pada waktu itu timbullah kegemarannya kepada akhirat dan telah kurang perhatiannya kepada dunia yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kerohanian dan keagamaan.
Terdoronglah hatinya kepada Allah dan rindullah perasaanya untuk dapat melihat hakikat jombangnya Allah, disamping hatinya pula tenang dan tenteram dangan merendah di bawah keagungan dan kebesarannya Allah s.w.t. Bersegeralah dia menuntut keridhaanNya dan mencapai segala sesuatu yang dicintaiNya. Lidahnya bergerak menyebut Allah, hatinya penuh dengan berfikir pada kebesaran dan keagunganNya . Demikian juga rohnya haus untuk mendekat dengan Allah, di samping mabuk karena minum 'air cinta kasihNya'. Pada waktu itulah dia tenggelam dalam melihat bagaimana dekatnya dia dengan Allah s.w.t. Inilah tanda-tanda apabila cahaya yakin dalam hati telah bersinar sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan negeri akhirat dengan segala
ihwalnya lebih dekat kepada perasaanya, padahal akhirat itu masih jauh sebab
dia dalam perjalanan. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dengan kitab
suci Al-Quran:
"Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang. Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menolongnya." (Al_An'am:134)
Dan untuk pengertian itulah penyair ahli Tasawuf telah bersyair sebagai berikut:
"Janganlah anda rela memberikan cinta kepada selain Allah
Tetapi jadilah selamnya dimabuk rindu nestapa
Anda melihat sesuatu yang ghaib terang dan nyata
Anda beruntung sebab berhubung bertemu rasa"
Demikianlah apabila hati dan perasaan telah dipenuhi dengan cahaya yakin, yang berarti itulah cahaya iman.
kalaulah demikian maka kerinduan dan cinta itu mengakibatkan segala sesuatu yang jauh dalam kenyataan adalah dekat dalam perasaaan. Negeri akhirat adalah jauh, sebab harus menempuh sisa hidup, transisi kubur sebagai alam barzakh dan berkumpulnya manusia di hari kiamat. Teatapi hati para Wali
Allah menganggap semuanya itu adalah dekat dan selalu terlihat dalam ruang
matanya.
Demikian juga dunia sebagai ciptaan Allah di mana didalam dunia kita lihat secara lahir adanya keindahan yang bersifat alami atau keindahan yang dibuat oleh tangan manusia. Tetapi terhadap para Auliya' Allah tiada melihat lahiriahnya tetapi melihat hakikatnya. Mereka melihat bahwa dunia tidak akan kekal . Mereka melihat kegelapan dan kekacauan penuh berleluasa di mana-mana. Mereka melihat bahwa semuanya itu hanya membosankan mereka. Itulah yang menyebabkan ghairah hati dalam dada, mundur teratur melihat kerendahan-kerendahannya.
Sabda Rasulullah s.a.w.: " Bahwasanya cahaya iman apabila telah masuk ke dalam hati terbukalah dada seseorang dan lapanglah dadanya itu. Ditanyakan kepada Nabi, Wahai Rasulullah! Adakah sebagian dari tanda-tandanya untuk itu yang dapat dikenal? Nabi menjawab: Ada. (Tandanya ialah); renggang hatinya dari dunia sebagai kampung tempat tipuan, dan kembali hatinya condong kepada negeri yang kekal dan bersiap-siap untuk (bekalan) mati sebelum datangnya."
Kesimpulan :
Yakin apabila telah mantap dalam hati, maka hati akan melihat segala-galanya untuk kepentingan agama dan akhirat, dan segala hijab antara hatinya dan antara kepentingan agama dan akhirat akan hancur berantakan. Pada waktu itu terang benderanglah jalan yang dituju dan sampailah ia kepada tujuan utama yang hakiki. Ke arah itulah tujuan para Nabi dan para Rasul dan sekalian hamba-hamba Allah yang shaleh.
Ya Allah! Engkau kurniakanlah kepada kami hakikat yakin dan kemantapan makrifat kepadaMu. Engkau sinarkanlah yakin itu dalam hati kami sehingga tertunjuklah segala anggota badaniah kami lahir dan bathin menuju kepadaMu, ya Allah!.

Al Hikam : Pengertian Dekat Kepada Allah


Kita sudah maklum bahwa Allah s.w.t. adalah dekat dengan kita. Tetapi hamba-hamba Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah
s.w.t. Bagaimana pengertian hal keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia Maulana Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Dekat anda kepadaNya ialah bahwa anda melihat dekatNya. Jika tidak(demikian), maka di manakah anda dan di manakah wujud dekatNya?
Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti,
karena itu marilah kita jelaskan sebagai berikut:
I. Pengertian "dekat Allah s.w.t. dengan kita" ialah dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan paa kehendak (iradah).
DekatNya Allah dengan kita pada 'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan bathin, semuanya diketahui oleh Allah s.w.t. dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada ini belum diciptakanNya, selain yang ada hanya Dia, yakni Allah s.w.t.
Dekatnya Allah dengan kita pada 'kekuasaan' (qudrat), artinya segala sesuatu apa pun, baik yang adanya dari tiak ada atau kebalikannya, ataupun apa saja yang terjadi, sama sekali tidak l;uput dari kekuasaanNya atau qudratNya. Maka demikian pulalah dengan iradahNya (kehendakNya). Dan atas inilah semua tafsir dari dirman-firman Allah s.w.t. yang menggambarkan dekatNya kepada makhluk-makhlukNya sebagai berikut di bawah ini:
Pertama, ayat 16 dalam Surat Qaf juz 26:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf: 16)
Kedua, ayat 85 dalam Surat Al-Waqi'ah juz 27:
"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat." (Al-Waqi'ah: 85)
Ketiga, ayat 4 dalam Surat Al-Hadid juz 27:
"...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Al-Hadid: 4)
II. Pengertian dekat kita kepada Allah ialah kita merasakan dengan "Ilmul-Yaqin" bahwa: Alam mayapada ini pada hakikatnya tidak ada, yakni tidak ada padanya wujud yang hakiki, karena ia berasal dari tidak ada dan akan kembali kepada tiada. Atau asalnya tiada, kemudian ada dan seterusnya dengan kehedak Allah dan kekuasaanNya. Ia akan ada terus, seperti syurga dan neraka. Sedangkan wujud yang hakiki, yakni wujud yang tiada permulaannya dan tiada pula disudahi dengan tiada, ialah wujudnya Allah s.w.t. Dia tidak diliputi oleh tempat dan zaman atau masa. Bahkan Dia tidak seumpama dengan sesuatu apa pun dalam alam mayapada ini.
Apabila hal keadaan ini semua sudah merupakan Ilmul-Yaqin bagi kita, kemudian masuk meresap ke dalam bathin penghayatan kita, maka barulah ketika itu hati dan semua perasaan kita dapat melihat bahwa Allah s.w.t. dekat dengan kita. Dia melihat kita dan melihat segala gerak-gerik kita, lahiriah kita dan bathiniah kita. Barulah ketika itu kita merasakan cinta kepadaNya dengan melaksanakan apa-apa yang diridhaiNya, dan begitu takut padaNya apabila terkerjakan apa-apa yang tidak diridhaiNya. Dan pada ketika itu pula kita senantiasa menjaga dan memelihara adab dan akhlak terhadapNya dengan adab-adab kita sebagai hambaNya kepada Dia yang bersifat dengan kemahasempurnaan dalam sekalian sifat-sifatNya.
Penghayatan yang sedemikian rupa adalah merupakan zikrullah yang paling penting yakni ingatnya kita kepadaNya dalam segala pekerjaan lahiriah yang kita sedang kerjakan, apakah itu bersifat dunia atau bersifat agama. Dan apalagi jikalau penghayatan yang demikian itu kita bawa serta ke dalam shalat kita dan ibadat-ibadat kita lainnya.
Yang demikian itulah disebut dengan hakikat "Al-Ihsan", yakni keterpaduan antara "Al-Iman" dengan "Al-Islam", atau dengan kata lain keterpaduan antara kepercayaan kepada Allah s.w.t. dengan pelaksanaan jaran-ajaranNYa seperti apa yang Dia telah wahyukan kepada Nabi-nabiNya sepanjang zaman, sejak Adam a.s. hingga Nabi dan RasulNya terakhir Muhammad s.a.w.
III. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa pengertian "dekat" di sini bukanlah maksudnya pendekatan dalam arti biasa dan umum menurut kelaziman kita sebagai makhlukNya, tetapi adalah menurut arti dan makna seperti yang kita uraikan di atas.
Kesimpulan:
Apabila kita telah merasakan pendekatan seperti tersebut di atas berarti tingkatan Tauhid kita kepada Allah s.w.t. sudah berada dalam lingkungan daerah lapangan Tauhid buat hamba-hamba Allah yang shaleh, yakni para WaliNya menurut tingkatan nilai kemuliaan yang ditentukan olehNya. Mudah-mudahan kita semua dengan bantuan Allah dapat berjalan ke arah lapangan tersebut agar dapat dekat kepada Allah. Amin.

Al Hikam : Apabila Lidah Telah Ringan Berdoa


Manakala kita telah dekat dengan Allah dan telah ramah denganNya, pasti
Allah - menurut kebiasaan - tidak akan menahan-nahan permintaan hambaNya. Bahkan Allah menggerakkan pada hambaNya supaya terus bermohon dan berdoakepadaNya. Bagaimanakah apabila Allah s.w.t. telah meringankan lidahhambaNya, dan bagaimanakah selanjutnya? Dalam hal ini yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary telah memberikan kesimpulan dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Manakala Allah membukakan lidah anda dengan bermohon (kepadaNya), maka ketahuilah, sesungguhnya (Allah) berkehendak akan memperkenankan (permohonan) anda."
Penjelasan Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:
I. Yang dimaksud dengan Allah membukakan lidah kita, artinya Dia meringankan lidah kita pada berdoa dan memohonkan sesuatu yang kita hendaki kepadaNya. Dengan ringan lidah kita berdoa dan memohonkan kepada Allah, berarti kita telah mulai merasakan dan telah mulai menghayati kefakiran kita kepadaNya. Apabila kita sudah merasakan dan menghayati bahwa kita betul-betul berhajat kepadaNya , oleh karena Dia yang sanggup menyampaikan hajat-hajat mahlukNya. Maka ketika itu kita tidak boleh tertinggal dari menyampaikan apa saja hajat kita kepada Allah, bermohon kepadaNya supaya hajat jita itu disampaikan olehNya dan supaya maksud kita diberkahi pula
olehNya.
II. Apabila hal di atas telah kita rasakan pada diri kita, berarti Allah memberikan kapada kita doa, yakni menghendaki supaya kita bermohon kepadaNya. Ketika itulah, maka apa yang kita mohonkan kepada Allah akan diperkenankan olehNya. Adakala Allah memperkenankan maksud yang kita tuju dan yang kita kehendaki, atau selain itu, yang menurut Allah itu lebih baik daripada sesuatu yang kita mohonkan kepadaNya. Adakala permohonan kita itu diperkenankan Allah dengan segera ataupun ditangguh; yakni ditangguhkan waktunya oleh Allah s.w.t. kepada waktu yang sesuai menurut ilmuNya.
Yang sudah terang, bahwa kita berdoa dan bermohon kepada Allah s.w.t. adalah dengan kehendakNya. Buktinya bahwa Allah meringankan lidah kita untuk berdoa kepadaNYa. Dan ini pasti dibarengi dengan perasaan dan pengakuan yang sempurna bahwa kita sangat berhajat kepada Allah. Sebab segala sesuatu tidak akan berhasil jika tidak dengan seizin dan kehendakNya.
Apabila demikian keadaan permohonan kita kepada Allah, maka Allah memperkenankan doa kita sesuai dengan janjiNya, lebih-lebih apabila kita berdoa itu di waktu-waktu yang mustajab, di mana hati kita tidak lupa dan lalai kepadaNya. Yakni waktu mustajab menurut lahiriah, dan mustajab puladisebabkan dibarengi oleh keadaan kita tidak lupa kepadaNya.
III. Perlu diketahui bahwa gambaran kecintaan Allah kepada hambaNya, yang ada hubungannya dengan Allah, memperkenankan maksud dan permohonannya, adalah jauh berbeda antara hamba Allah biasa dengan hmba Allah yang telah diangkat martabatnya oleh Allah sebagai WaliNya dan orang yang begitu dekat denganNya. Misalnya saja, bagaimana Allah dengan WaliNya, dapat kita lihat dari Hadis Anas bin Malik r.a. yang dalam bahasa Indonesianya sebagai berikut:
Telah bersabda Rasulullah s.a.w.: "Apabila Allah telah mencintai hambaNya, maka Allah turunkan bala keatas hambaNya itu dan Allah ikatkan balaNya atas hamba tersebut. Apabila hamba itu berdoa, maka para malaikat berkata: Wahai Tuhanku, itu hambaMu si fulan, sampaikanlah hajatnya. Allah menjawab: Jangan campur tangan pada hambaKu itu. Karena sesungguhnya Aku cinta dan sayang mendengarkan suaranya berdoa dan bermunajat. Apabila si hamba berkata: Wahai Tuhanku! Maka Allah menjawab: Selamat wahai hambaKu dan bahagialah engkau. Tidak kamu seru sesuatu kepadaKu melainkan Aku
perkenankan buatmu. Dan tidak Engkau mohon sesuatu padaKu, melainkan Aku berikan dan Aku perkenankan buatmu. Ada kala Aku segerakan kepadamu apa yang kamu pinta. Ada kala Aku simpan disisiku sesuatu yang lebih baik buatmu. Dan ada kala Aku hindarkan bala darimu dengan doa tersebut, yaitu (dihindarkan)dari cubaan dan bala yang lebih besar dari yang tersebut."
Hadis ini merupakan suatu pengetahuan bagi kita bahwa demikianlah kehendak Allah dalam menanggapi doa para WaliNya. Tentu bagi hamba Allah yang belum sampai ke tingkat yang demikian, menggambarkan bahwa demi kita berdoa kepada Allah, maka terus saja doa kita itu akan diperkenankan olehNya. Perasaan ini mungkin saja boleh terjadi seperti itu. Tetapi berlainan dengan hamba-hambaNya yang saleh atau Wali-waliNya. Sebab kadang-kadang Allah memperlambatkan pada memperkenankan doa mereka, karena Allah sangat sayang dan cinta mendengar suara doa yang selalu diucapkan oleh hambaNya itu kepadaNya.
Yang sudah pasti, tidak ada doa hambaNya yang saleh yang tidak diperkenankan
olehNya. Bahkan Insya Allah pasti diperkenankanNya. Cuma apakah doa itu sesuai dengan apa yang dimohonkan hambaNya itu atau tidak. Apakah cepat diperkenankanNya atau tidak. Dan apakah diperkenakanNya didunia atau disimpan olehNya dengan jalan (sebagai gantinya) dijauhkannya bala dan petaka dari hambaNya, baik di dunia atau di akhirat. Allahlah yang Maha Mengetahui dan yang Maha Kuasa.
Kesimpulan:
Berdoa kepada Allah tidak sunyi dari salah satu dua gambaran. Ada kala berdoa kepada Allah dalam keadaan biasa, bukan karena gugahan hati dan dorongan ilham yang mendesak kita berdoa. Doa yang begini diperkenankan juga oleh Allah, tetapi belum dapat dipastikan, sebab tekanan kita berdoa belum sampai pada tingkat penghayatan keyakinan perasaan kefakiran kita kepada Allah s.w.t.
Ada kala berdoa kepada Allah memeang karena hobbi kita, hati kita menggugah untuk berdoa kepadaNya. Jadi apabila berdoa kepada Allah dengan tekanan demikian, maka ketahuilah bahwa Allah yang Maha Pemurah tidak akan melewati dan membiarkan doa kita begitu saja tanpa diperkenankan olehNya. Tetapi yakinlah bahwa nilai doa kita sama seperti nilai doa hamba-hambaNya yang sedang dalam keadaan darurat atau dalah kebutuhan yang sangat di mana tidak ada jalan lain selain hanya kepada Allah. Dengan penuh perasaan lahir batin, kontak ingatannya hanya kepada Allah, di samping khusyuk dan tawadhuknya kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah yang
dimaksud dengan syair Tauhid dan Tasawuf:
"Jikalau Engkau (ya Allah) tidak mahu memberikan permohonan yang aku harapkan,
Dari kelimpahan kemurahanMu, niscaya Engkau (ya Allah) tidak akan mengilhamkan padaku memohon permohonan."
Maksudnya, karena Allah telah mengilhamkan pada kita buat berdoa dan bermohon kepadaNya, maka tentu Allah dengan limpahan kurniaNya akan memperkenankan doa permohonan kita. Tetapi jika Allah tidak berkehendak memperkenankannya, maka tentu Dia tidak mengilhamkan kita untuk berdoa dan bermohon kepadaNya.
Alangkah indahnya syair ini. Alangkah mendalamnya perasaan keindahan yang terkandung di dalamnya. Perasaan keindahan kehampiran lahir dan batin antara manusia sebagai hambaNya dengan Allah s.w.t. sebagai Pencipta alam semesta dan yang bersifat dengan Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang.

Al Hikam : Perbuatan zahir dan suasana hati


Sebagian dari tanda bersandar kepada amal (perbuatan Zahir) adalah berkurang harapanya (suasana hati) tatkala berlaku padanya kesalahan .
Imam Ibnu Athaillah memulai Kalam Hikmat beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal boleh dibagikan pada dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati yang berhubung dengan perbuatan zahir itu.
Beberapa orang melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati berhubungan dengan perbuatan zahir itu tidak sama. Kesan amalan zahir kepada hati berbeda antara seorang dengan seorang yang lain.
Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun itu adalah amalan batin. Hati yang bebas daripada bersandar kepada amal degnan amal zahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sebarang amal, zahir atau batin, serta menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sebarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak menjadikan amalnya, zahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapapun dan sesuatu. Apa saja yang mengenai Allah s.w.t adalah mutlak, tiada batas. Oleh karana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sempadan yang mengongkong ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu.
Sebelum menjadi seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat. Kedua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahawa amalannya menentukan apa yang mereka akan perolehi baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat manusia hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan mereka hanyalah kepada amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur dengan keraguan. Seseorang manusia bisa memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah pergantungannya kepada Allah s.w.t.
Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi petunjuk mengenai hal tersebut. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan pertolongan Allah s.w.t itu tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya:
“Wahai anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf )
Ayat di atas menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan pergantungan kepada-Nya walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, dirancangkan dan diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan hajatnya. Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup, tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahawa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia.
Orang yang tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeda. Pergantungan mereka hanya tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kebolehan dan pengetahuan yang mereka ada, mereka mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya.
Jika orang kafir tidak bersandar kepada Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebahagian orang Islam juga ada yang demikian, bergantung setakat mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan amalan kerana kepentingan diri sendiri, bukan kerana Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan dengan amalannya itu dia dapat mengecapi kemakmuran hidup di dunia.Dia mengharapkan semoga amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya, kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebahagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat. Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga bagi menjauhkan azab api neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka mengharapkan perjalanan hidup mereka sentiasa selesa dan segala-segalanya berjalan menurut apa yang dirancangkan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkaan, mereka cepat naik panik dan gelisah. Bala bencana membuat mereka merasakan yang merekalah manusia yang paling malang di atas muka bumi ini. Bila berjaya memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan kepandaian dan kebolehan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong.
Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia berharap untuk mendapatkan kurniaan Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya. Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya seperti berzikir, bersembahyang sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tertinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia berasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan tarekat tasauf.
Jadi, ada golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada keberkesanan amal dalam mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal zahir, iaitu perbuatan zahir yang dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka tersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka hajatkan. Ahli tarekat yang masih diperingkat permulaan pula kuat bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika mereka tertinggal melakukan sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t.
Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuklah juga bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu zahir adalah ilmu pentadbiran dan pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula adalah ilmu yang menggunakan kekuatan dalaman bagi menyampaikan hajat. Ia termasuklah penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi. Kebanyakan orang meletakkan keberkesanan kepada ayat, jampi dan usaha, hinggakan mereka lupa kepada Allah s.w.t yang meletakkan keberkesanan kepada tiap sesuatu itu.
Seterusnya, sekiranya Tuhan izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya maksud kalimat:
Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah.
“Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat )
Orang yang di dalam makam ini tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap melihat bahawa semua amalan tersebut adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak kerana taufik dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t berfirman:
“Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) sesiapa yang bersyukur maka faedah syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan sesiapa yang tidak bersyukur (maka tidaklah menjadi masalah kepada Allah), kerana sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah an-Naml )
Dan tiadalah kamu berkemahuan (melakukan sesuatu perkara) melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana (mengaturkan sebarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan sesiapa yang kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak terperi sakitnya. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan )
Segala-galanya adalah kurniaan Allah s.w.t dan menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya keberkesanan perbuatan makhluk termasuklah perbuatan dirinya sendiri. Makam ini dinamakan makam ariffin iaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun, merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat.
Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, reda dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan sentiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan atau ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar kesan.
Di awal perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan itu sebagai kenderaan yang boleh membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal semakin besarlah harapannya untuk berjaya dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap, pandangan mata hatinya terhadap amal mula berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau penyebab. Pandangannya beralih kepada kurniaan Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga kurniaan-Nya. Seterusnya terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa, Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya, pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang menerajui segala sesuatu dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir.

Kisah Tawasul Arab Badui


Assalamualaikum.
Banyak sekali kisah tawasul yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah SAW.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini yakni bahwa Allah memerintahkan orang yang berbuat maksiat dan berdosa untuk datang kepada Rasulullah SAW., memohon ampunan Allaw didepannya dan meminta Rasulullah untuk mengampuni dosa mereka. Jika mereka melakukanya, Allah akan menerima tobat mereka, memberi rahmat kepada mereka dan mengampuni kesalahan mereka sebab Allah berfirman "tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tauabt lagi Maha Penyayang".
Abu Manshur Al Sabbagh dalam karyanya Al-Syamil mengutip hadits terkenal yang diriwayatkan Al-Utbi mengenai kisah seorang arab badui sebagai berikut:
“Suatu saat, aku pernah duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datanglah seorang a’rabi (Arab badui) dan berkata, ‘Salam sejahtera atasmu, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yaitu, pada surat An-Nisa`: 64).”
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nisa`: 64)
Dan inilah Aku datang kepadamu memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Rabb-ku.” Kemudian dia mengucapkan syair,
"Wahai yang terbaik diantara para penghuni kubur
Wahai kau, yang keharumanya membumbung luhur,
Menuju ketinggian dan menukil menyentuh kedalaman,
Mungkinkah aku jadi tebusan bagi makam yang kautinggali, yang didalamnya ada kemurnian, karunia dan kemurahan hati.
Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata, “Wahai Utbi, kejarlah si arabi tadi. Sampaikan kabar gembira kepadanya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengampuni dosanya.”
Inilah salah satu dalil dari hadis yang mulia. Hadis yang lain dikutip oleh para ahli hadis dari kalangan para imam, seperti Ibn Huzaimah dalam Shahih (yang setara dengan Shahih Muslim), al-Nasa'i dalam A'mal al-Yawm wa al-Laylahy al-Tirmidzi dalam Jami—seraya menyebutnya hadis hasan sahih garib, karena hanya diriwayatkan oleh Abu Ja'far Umair ibn Yazid al-Khutami al-Madani al-Bashri, yang menurut al-Nasa'i dan Ibn Ma'in dapat dipercaya. Bagaimanapun, fakta bahwa hadis itu hadis garib tidak menurunkan derajat kesahihannya. Ibn Majah juga meriwayatkan-nya dan mendukung Abu Ishaq (Ibn Rahawaih) yang menyebutnya sahih. Demikian pula al-Hakim dalam karyanya al-Mustadrak yang mengatakan, "Hadis itu sahih menurut kriteria al-Bukhari dan Muslim," dan al-Dzahabi mendukungnya: Dari Ustman ibn Hunaif yang tengah bersama Nabi saw. ketika seorang buta mendatanginya seraya mengeluhkan kebutaannya ... dst.
Inilah hadis sahih yang di dalamnya Nabi saw. dengan tegas memerintahkan orang-orang yang punya kebutuhan untuk ber-tawasul dan menyebut namanya meski ia tidak hadir di hadapan mereka—baik ketika beliau masih hidup maupun sesudah wafat-nya. Makna inilah yang diakui oleh para sahabat, sebab perintah Nabi saw. itu berlaku untuk seluruh kaum muslim di segala zaman selama tak ada petunjuk bahwa perintah itu hanya untuk segelintir orang tertentu. Bagaimana jika kemudian terdapat dalil yang bertentangan—yakni bahwa hadis itu memang berlaku untuk seseorang? Al-Tabrani meriwayatkan dalam Mu'jam al-Kabir dan Mu'jatn al-Shaghir bahwa seorang pria yang punya kebutuhan berusaha mendatangi Utsman sesering mungkin, dan seterusnya. Al-Tabrani mengatakan bahwa hadis itu sahih dan al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Dalail al-Nubuwwah dengan sanad yang baik.

Kisah Seorang Yang Mendapatkan Barokah Sholawat

Kisah Seorang Yang Mendapatkan Barokah Sholawat
Berkah Sholawat (Dikunjungi Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam dan Malaikat Mikail As)

Bacalah sebentar dan saya berharap yang membaca ini bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Sholallahu 'Alaihi Wasallam. aAmiin

Dimajelis dzikir yang dipimpin Pak Kiai, beliau menyuruh seorang Kiai untuk berceramah dihadapan para jama'ah. Kiai tersebut kemudian bercerita :

Disuatu daerah di Jawa Timur, ada seorang bernama Ahmad (insya Allah saat ini masih hidup).

Beliau adalah orang yang miskin tetapi tinggal didaerah yg semua tetangganya adalah orang kaya. 

Suatu ketika anaknya dikhitan, dan beliau mengundang seluruh tetangganya 50 orang untuk hadir dalam tasyakuran khitan anaknya untuk membaca Sholawat Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi wasallam. Berkat (nasi kotak) pun sudah disiapkan sebagai hadiah tetangga yg hadir sejumlah 50 kotak. Sungguh naas, pada waktu acara dimulai, tidak ada satu pun tetangganya yang datang ke acara tasyakuran khitan anaknya. 

Dengan sedih beliau berpikir akan dikemanakan nasi kotak yang sudah disiapkan ini, tiba2 didepan rumahnya berhenti sebuah bis yang didalamnya semua orang memakai jubah dan sorban putih. Ketua rombongan bis itu turun dan ditemui Pak Ahmad.

Ahmad :Bapak serombongan ini mau kemana???

Ketua rombongan : kami mau berziarah ke makam Sunan Kalijaga

Ahmad : jika berkenan maukah bapak beserta rombongan masuk kedalam rumah saya untuk membaca sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam karena kebetulan saat ini saya sedang mengadakan tasyakuran khitan anak saya

Ketua rombongan beserta seluruh penumpang bis itu pun masuk ke rumah pak ahmad. Kemudian acara tasyakuran pun dimulai, disaat sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam akan dibacakan, semua peserta berdiri kemudian membaca sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam.

Pada saat sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam dibacakan (tiba'-an), tiba2 masuk ke dalam rumah seorang laki2 berwajah tampan sangat berwibawa dan bercahaya. Ketika sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam selesai dibaca, laki2 tampan itu pun keluar rumah.

Setelah acara tasyakuran selesai, ketua rombongan itu berkata kepada Pak Ahmad

Ketua rombongan: Bapak tahu siapa laki2 tampan yang masuk kedalam rumah saat sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam dibacakan???

Pak Ahmad : saya tidak tahu

Ketua rombongan: beliau adalah Nabi Muhammad sholallohu alaihi wasallam, saya adalah malaikat Mikail, Allah tidak ridloo kalau acara tasyakuran khitan ini tidak ada yang hadir. (Malaikat Mikail mewujudkan dirinya sebagai wujud manusia tapi maaf, malaikat tercipta dari cahaya bukan berarti sama sperti manusia), rombongan tersebut tenyata para Malaikat Allah dan yang bercahaya wajahnya itu ternyata Baginda sayyidina Nabi Muhammad Sholallohu 'alaihi wasallam.

Kemudian rombongan Malaikat itu pun keluar rumah. Disaat tercengang atas kejadian yang menimpanya, pak ahmad kembali berfikir ‘berkat (nasi kotak) ini harus diapakan ya, soalnya malaikat itu tidak makan dan minum’. Kemudian pak ahmad membuka nasi kotak tersebut, dan dalam keadaan takjub dan heran serta tidak percaya apa yang dilihatnya ternyata nasi dalam kotak tersebut berubah menjadi emas murni yg cantik, karena indahnya emas tersebut sehingga ketika dijual pada orang malaisia dan brunai laku sangat mahal, dan dgn jumlah 50 buah, maka pak ahmad berubah menjadi sangat kaya.

Kiai pun melanjutkan ceramahnya kepada para jamaah majelis dzikir. Beliau berkata : “Dulu ketika saya memperhatikan KH Hamid Pasuruan yg wali Allah ketika membaca sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam, beliau selalu menundukkan kepalanya. Dari situ saya yakin bahwa Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam selalu mendatangi siapa saja yg membacakan sholawat kepada Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam.

wallahu a'lam..

oleh:Ustadz Abdul Qodir Al-Busthomi 

Majelis At-Thahiriyah Ahmad Showfi Shofwan Fina Af'idah Shofa Rif Sunnia Ventie Syekher Mania Zawiyah Mohid Ahmad Zamroni Bin Asy'ari Jati Ahmad Sujiat Wati Widi Utami Wiwi Arsyil Indrawati Jauharotun Nafisah Mbah Amir Al Jawi Hamim Jazuli Al Batawie Jasmine Rosalitha Yanthy Cahaya Kesaksian Sya'roni As Samfuriy Adhie S T Angga Konslet



Kisah Seorang Yang Mendapatkan Barokah Sholawat
Berkah Sholawat (Dikunjungi Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi Wasallam dan Malaikat Mikail As)
Bacalah sebentar dan saya berharap yang membaca ini bisa bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad Sholallahu 'Alaihi Wasallam. aAmiin
Dimajelis dzikir yang dipimpin Pak Kiai, beliau menyuruh seorang Kiai untuk berceramah dihadapan para jama'ah. Kiai tersebut kemudian bercerita :
Disuatu daerah di Jawa Timur, ada seorang bernama Ahmad (insya Allah saat ini masih hidup).
Beliau adalah orang yang miskin tetapi tinggal didaerah yg semua tetangganya adalah orang kaya.
Suatu ketika anaknya dikhitan, dan beliau mengundang seluruh tetangganya 50 orang untuk hadir dalam tasyakuran khitan anaknya untuk membaca Sholawat Nabi Muhammad Sholallohu 'Alaihi wasallam. Berkat (nasi kotak) pun sudah disiapkan sebagai hadiah tetangga yg hadir sejumlah 50 kotak. Sungguh naas, pada waktu acara dimulai, tidak ada satu pun tetangganya yang datang ke acara tasyakuran khitan anaknya.
Dengan sedih beliau berpikir akan dikemanakan nasi kotak yang sudah disiapkan ini, tiba2 didepan rumahnya berhenti sebuah bis yang didalamnya semua orang memakai jubah dan sorban putih. Ketua rombongan bis itu turun dan ditemui Pak Ahmad.
Ahmad :Bapak serombongan ini mau kemana???
Ketua rombongan : kami mau berziarah ke makam Sunan Kalijaga
Ahmad : jika berkenan maukah bapak beserta rombongan masuk kedalam rumah saya untuk membaca sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam karena kebetulan saat ini saya sedang mengadakan tasyakuran khitan anak saya
Ketua rombongan beserta seluruh penumpang bis itu pun masuk ke rumah pak ahmad. Kemudian acara tasyakuran pun dimulai, disaat sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam akan dibacakan, semua peserta berdiri kemudian membaca sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam.
Pada saat sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam dibacakan (tiba'-an), tiba2 masuk ke dalam rumah seorang laki2 berwajah tampan sangat berwibawa dan bercahaya. Ketika sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam selesai dibaca, laki2 tampan itu pun keluar rumah.
Setelah acara tasyakuran selesai, ketua rombongan itu berkata kepada Pak Ahmad
Ketua rombongan: Bapak tahu siapa laki2 tampan yang masuk kedalam rumah saat sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam dibacakan???
Pak Ahmad : saya tidak tahu
Ketua rombongan: beliau adalah Nabi Muhammad sholallohu alaihi wasallam, saya adalah malaikat Mikail, Allah tidak ridloo kalau acara tasyakuran khitan ini tidak ada yang hadir. (Malaikat Mikail mewujudkan dirinya sebagai wujud manusia tapi maaf, malaikat tercipta dari cahaya bukan berarti sama sperti manusia), rombongan tersebut tenyata para Malaikat Allah dan yang bercahaya wajahnya itu ternyata Baginda sayyidina Nabi Muhammad Sholallohu 'alaihi wasallam.
Kemudian rombongan Malaikat itu pun keluar rumah. Disaat tercengang atas kejadian yang menimpanya, pak ahmad kembali berfikir ‘berkat (nasi kotak) ini harus diapakan ya, soalnya malaikat itu tidak makan dan minum’. Kemudian pak ahmad membuka nasi kotak tersebut, dan dalam keadaan takjub dan heran serta tidak percaya apa yang dilihatnya ternyata nasi dalam kotak tersebut berubah menjadi emas murni yg cantik, karena indahnya emas tersebut sehingga ketika dijual pada orang malaisia dan brunai laku sangat mahal, dan dgn jumlah 50 buah, maka pak ahmad berubah menjadi sangat kaya.
Kiai pun melanjutkan ceramahnya kepada para jamaah majelis dzikir. Beliau berkata : “Dulu ketika saya memperhatikan KH Hamid Pasuruan yg wali Allah ketika membaca sholawat Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam, beliau selalu menundukkan kepalanya. Dari situ saya yakin bahwa Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam selalu mendatangi siapa saja yg membacakan sholawat kepada Nabi Muhammad sholallohu 'alaihi wasallam.
wallahu a'lam..
oleh:Ustadz Abdul Qodir Al-Busthomi

Akal, Nafs Dan Hawa


Mutiara Hikmah Kitab : Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn
Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf, 50:37)Dan ketika menyebut nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan…” (QS Yusuf, 12:53)
Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq dan hati yang takut.”
Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs pun memiliki hal serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga memberi nafs angan-angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ). Sebagaimana Allah memberi hati harapan (rojâ`), maka Allah memberi nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth). Perhatikan dan renungkan kata-kataku ini.
Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu adalah keadaan orang yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs. Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.
Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi sebagaimana orang jahat merasakan kenikmatan ketika menolak permohonan pertolongan. Demikian pula halnya dengan mereka yang mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain. Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada seseorang berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi, bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada tetangga.”
Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh nafs, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan hati.
Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan” untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati. Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal. Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan oleh nafs dan hawâ. Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di mana pun berada, hawâ akan selalu merusak.
Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ akan merendahkan dan menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawâ mampu merusak orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan mereka nanti?
Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena hawâ mempunyai tingkat setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!
Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta, tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-bandingkan keutamaan para imam.
Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.

Al Hikam : Sembahyang yang mensucikan Hati

Al Hikam : Sembahyang yang mensucikan Hati
Sembahyang apabila betul-betul kita mendirikannya, maka hakikat
sembahyang itu akan timbul nyata bagi yang mengerjakannya. Bagaimana hakikat-hakikat sembahyang yang betul-betul dikerjakan itu? Maka yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary berkata dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut:
"Sembahyang mensucikan buat semua hati manusia dari segala kotoran-kotoran dosa, dan membukakan baginya segala pintu yang ghaib (tersembunyi)."
Kejelasan dari Kalam Hikmah di atas adalah sebagai berikut:
I. Bahwa hakikat sembahyang itu apabila dikerjakan dengan betul, baik dan sempurna, maka sembahyang itu akan mensucikan hati kita dari segala macam kotoran, dan akan mensucikan pula dari segala sifat yang menjauhkan hati dari melihat Allah s.w.t. dengan segala kebesaranNya.
Betapa tidak, sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda dalam Hadis riwayat Muslim sebagai berikut:
"Perumpamaan shalat yang lima itu laksana sebuah sungai yang tawar airnya, di mana sungai itu meluap-meluap di pintu salah seorang yang mandi didalammnya tiap-tiap hari sebanyak lima kali. Apakah pendapatmu tentang orang tersebut? Apakah masih ada daki-daki di badannya? Mereka menjawab:
Tidak ada sesuatupun (ya Rasulullah). Sabda Rasulullah s.a.w. : Sesungguhnya
shalat yang lima itu dapat menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air yang
dapat menghilangkan segala kotoran."
Hadis ini menggambarkan dengan sembahyang yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya, maka pastilah hati kita suci pula dari segala kotoran-kotorannya. Sebab segala ucapan dan bacaan-bacaan yang kita baca dalam sembahyang tentu sekali mendekatkan hati dan perasaan kita kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah s.w.t. Karena itu pelajarilah dan dalamilah bacaan-bacaan yang kita baca dalam sembahyang terdapat pada setiap gerak perbuatan kita itu. I. Sembahyang juga merupakan kunci pembuka pintu-pintu segala yang ghaib berupa ilmu-ilmu ladunni, yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari keimanan dan keyakinan. Ilmu-ilmu itu merupakan rahasia yang datang dari Allah s.w.t.
Jadi apabila segala dosa sudah dapat dibersihkan dengan shalat, maka ia akan
menimbulkan hati yang suci bersih, dan akan terbukalah pintu hati untuk menerima rahasia-rahasia ketuhanan. Sebab hakikat shalat berarti sebagai jalan untuk mendapatkan atau untuk memperoleh ilmu-ilmu makrifat yang terkandung dalam hakikat Tauhid yang laksana laut yang sangat dalam yang tak ada pantainya. Oleh sebab itulah dalam satu Hadis dimana Imam Ghazali telah menuliskan dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, sabda Rasulullah s.a.w. sebagi berikut:
"Tiada sesuatu yang diwajibkan Allah kepada makhlukNya sesudah Tauhid yang lebih menyukakan kepadaNya selain daripada shalat. Andainya jikalau ada sesuatu yang lain (selain shalat), yang lebih menyukakan kepadaNya niscaya para Malaikat telah terlebih dahulu beribadat dengan sesuatu itu. Kepada para Malaikat itu sebagian dari mereka ada yang rukuk saja, sebagian yang lain ada yang sujud saja, dan sebagian yang lain lagi ada yang berdiri saja dan ada yang duduk saja."
Hadis ini terang dan jelas menunjukkan bagaimana mulianya shalat setelah Tauhid di sisi Allah s.w.t. Sebab dalam Hadis ini Rasulullah telah menjelaskan ibadat-ibadat para Malaikat pada umumnya disibukkan dengan sembahyang. Sama ada mereka itu sebagiannya yang pada rupanya rukuk saja, atau sujud saja, atau berdiri saja, atau duduk saja. Tetapi semua perbuatan mereka ini adalah merupakan cara khas dari sembahyangnya para Malaikat Allah s.w.t.
Jadi apabila kita rajin sembahyang, rajin serta tekun dan mengerjakannya dengan sesungguh hati, baik, serius dan sempurna, maka sembahyang adalah jalan untuk menerangkan hati kita dalam menerima ilmu-ilmu pengetahuan. Sebab apabila sembahyang yang demikian yang mana kita tidak pernah lupa mengerjakannya sebagai perintah Allah s.w.t., di samping itu kitapun selalu pula mengerjakan sembahyang-sembahyang sunnat, maka bertambah dekatlah hubungan kita dengan Allah. Dengan bertambah dekatnya hubungan kita kepada Allah, berarti tercapailah maksud dan cita-cita kita dengan kehendak-Nya,
dan dengan kasih sayangNya. Karena itu yakinlah dan jangan ragu-ragu lagi,
bahwa di samping sembahyang itu mempunyai banyak faedahnya sebagai tersebut
di atas, juga ada hikmatnya untuk memudahkan mencapai rezeki-rezeki yang
halal dari Allah s.w.t. Artinya usaha kita dalam mencapai rezeki-rezeki itu
akan dimudahkan Allah dan diberkati oleh-Nya apabila kita rajin
bersembahyang. Yakni biarlah sembahyang yang kita kerjakan itu baik lagi
sempurna, pula dengan terarahnya hati kita kepada Allah s.w.t. Itulah
sebabnya maka Al-Ghazali menukikkan sabda Nabi Muhammad s.a.w. di mana Nabi
telah bersabda sebagai berikut:
"Wahai Abu Hurairah! Perintahkanlah keluarga anda dengan mengerjakan sembahyang, karena bahwasanya Allah akan mendatangkan kepada anda rezekiNya dari (sumber-sumber dan jalan-jalan) di luar dugaan anda."
Hadis ini dan Hadis-Hadis sebelumnya adalah menggambarkan kelebihan sembahyang. Itulah sebabnya maka sebagian Ulama menyamakan antara orang yang sembahyang dengan pedagang. Mereka berkata: "Orang yang mengerjakan shalat adalah umpama saudagar yang tidak memperoleh keuntungan sebelum pokoknya betul-betul bersih dan kembali."
Jadi apabila pokok perdagangan tidak rugi sepeserpun berarti perdagangan itu telah beruntung, apalagi jika memang untung dan labanya terlihat pula dengan nyata. Alangkah bahagianya orang yang sembahyang di mana lahir dan batinnya turut bersembahyang sama menghadap Allah s.w.t. Insya Allah segala faedah dan nikmat di atas akan diperolehnya dengan izin Allah. Itulah kesimpulan yang jelas dan terang dari Kalam Hikmah ini.

Hakikat Mengikuti Rasulullah Saw. (menurut Syaikh Ibnu Athaillah)


“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali Imran : 31)
Ibnu Athaillah berkata,”Kau akan diremehkan jika tidak mengikuti Nabi Saw. Senaliknya, kau akan mendapat kedudukan mulia dan tinggi di sisi Allah jika mengikuti Sunnah Nabi. Mengikuti nabi terwujud dalam dua aspek : lahiriah dan batiniah.”
Aspek lahiriah meliputi shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah, serta berbagai ibadah lainnya.
Aspek batiniah meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah dalam shalat disertai perenungan terhadap bacaan-bacaannya. Ketika kau beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca Al-Qur’an, tetapi kau tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa merenung, berarti dirimu telah dijangkiti penyakit batin, baik penyakit sombong, ujub, atau sejenisnya.
Melalui lisan Ibrahim a.s Allah berfirman,”Siapa yang mengikutiku, ia termasuk golonganku.”(QS [14]:36) Artinya, barang siapa yang tidak mengikuti jejak Nabi maka ia tidak termasuk golongannya.
Makna mengikuti berarti seakan-akan kita menjadi bagian dari orang yang kita ikuti walaupun ia orang asing atau tidak punya hubungan kekerabatan dengannya.
Bukti mencintai Allah adalah menaati-Nya dan mengikuti Nabi-Nya.
Jalan yang benar dan lurus adalah meneladani pemilik syariat dan mencontohnya. Keadaan beliau, Rasulullah Saw, benar-benar sempurna tanpa cacat. Banyak orang mengarungi jalan zuhud dan membebani diri melampaui kemampuan mereka. Ketika usia beranjak semakin tua, baru muncul kesadaran dalam diri mereka. Ketika tubuh semakin uzur dan rapuh, baru mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kesempatan untuk melakukan hal-hal penting seperti menuntut ilmu dan sebagainya. Sebagian lainnya menyimpang ke jalan ilmu dengan mencarinya secara berlebihan. Pada akhir hayat mereka baru sadar bahwa mereka telah kehilangan kesempatan untuk memperbanyak amal.
Jalan yang sempurna adalah jalan yang ditempuh dan dicontohkan oleh Nabi Saw yaitu jalan ilmu, amal, dan memperhatikan keadaan diri.(Shayd al-Khatir, Ibn al-Jawzi, hlm 255)
Mengikuti Nabi Saw tak cukup hanya dengan menjalankan ibadah-ibadah lahiriah. Mengikuti Nabi Saw secara batiniah merupakan inti Islam sehingga orang yang menetapinya akan mendapatkan pahala dan sekaligus menjadi semakin dekat kepada Allah. Landasan utama yang dibutuhkan untuk menaati dan mengikuti Nabi Saw secara lahiriah dan batiniah adalah hati yang bersih dari sifat sombong. Orang yang mengagumi ibadah dan ketaatannya sendiri niscaya tidak akan menjadikan ridha Allah sebagai perhatian dan tujuannya. Ia hanya mengharapkan keridhaan dan pujian manusia lain. Orang seperti itu senang dipuji dan ditonton orang lain. Sikap riya semacam itu tentu saja akan merusak dan meruntuhkan amal.
Mengikuti Nabi Saw secara lahiriah dan batiniah adalah menunaikan berbagai kewajiban (lahiriah) dan mengikhlaskan amal untuk Allah semata (batiniah). Sikap ini niscaya akan meneguhkan hubungan hamba dengan Allah dan dengan nabi Saw. Sikap sebaliknya akan memutus hubungan hamba dengan Tuhan serta menjauhkannya dari Nabi Saw.
Ibnu Athaillah r.a berkata,”Allah mengumpulkan seluruh kebaikan pada sebuah rumah. Kunci rumah itu berupa mengikuti Nabi Saw. Ikutilah beliau dengan selalu merasa cukup terhadap segala karunia Allah, bersikap zuhud terhadap milik orang, tidak rakus kepada dunia, serta meninggalkan ucapan dan perbuatan tak berguna. Siapa yang dibukakan pintu oleh Allah untuk mengikuti Nabi berarti ia telah dicintai-Nya.”
Bila ingin mendapatkan seluruh kebaikan, berdoalah,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar bisa mengikuti Rasul-Mu, baik dalam ucapan dan tindakan.” Siapa yang memimpikan hal itu, hendaklah ia tidak menzalimi hamba-hamba Allah, baik berkaitan dengan kehormatan maupun nasab mereka. Dengan demikian, ia dapat bergegas menuju Allah. Jika tidak mengikuti jalan itu, ia akan terhalang seperti orang yang dililit banyak utang dan terus dikejar orang yang menagihnya.
Sebagaimana dituturkan Ibnu Athaillah r.a, mengikuti Nabi Saw mesti diwujudkan melalui perkataan dan perbuatan. Berikut ini beberapa cara yang semestinya ditempuh oleh orang yang mengaku mengikuti Nabi Saw :
1. Merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan. Kau tidak kesal dengan sedikitnya harta di tanganmu. Kau mampu merasa cukup ketika merasa yakin bahwa apa yang kau miliki merupakan jatah rezeki yang Allah tetapkan untukmu. Satu jiwa tidak akan mati sebelum menghabiskan rezekinya. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan tunjukkan sikap yang baik dalam meminta sesuai dengan teladan yang dicontohkan Nabi Saw.(HR. Ibnu Majah no. 2135)
2. Bersikap zuhud dan tidak rakus terhadap dunia. Maksud zuhud di sini bukanlah tidak mau merasakan nikmat serta mengabaikan pakaian dan perhiasan. Zuhud terwujud ketika kau lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah ketimbang apa yang ada di tanganmu. Kau dibolehkan memperbagus penampilanmu sebagaimana diperintahkan oleh Nabi Saw. Namun, letakkanlah dunia di tanganmu, bukan di dalam hatimu. Inilah zuhud yang sebenarnya. Fokuskan perhatianmu untuk membangun akhirat, bukan membangun dunia yang akan sirna.
Jika kita memelihara sikap zuhud terhadap dunia, niscaya kita akan dicintai oleh Allah. Jika kita bersikap zuhud terhadap harta di tangan manusia, kita akan dicintai manusia. Rasulullah Saw bersabda,”Zuhudlah terhadap dunia, kau pasti dicintai Allah. Zuhudlah terhadap milik manusia, niscaya kau dicintai mereka.”(HR. Ibnu Majah no. 4092).
Semakin memandang rendah dunia, semakin mudah dan ringan perhitunganmu di akhirat. Begitu pun sebaliknya. Sebab, sebagaimana ditegaskan Nabi Saw., tidaklah bergeser kedua kaki hamba pada hri kiamat sebelum ia ditanya mengenai 4 hal : (1) masa mudanya dihabiskan untuk apa, (2) usianya dipakai untuk apa, (3) hartanya dari mana diperoleh, dan (4) ke manakah hartanya disalurkan.(HR. al-Thabrani)
3. Meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak berguna. Nabi Saw bersabda,”Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna.” Orang yang berakal bisa menjaga waktunya dan tidak akan menghabiskannya untuk sesuatu yang tidak penting. Apa manfaat ucapan dan perbuatan yang tidak penting, selain membuat kita semakin jauh dari Allah dan semakin diremehkan manusia.
4. Tidak berbuat zalim kepada sesama. Nabi Saw tidak pernah bersikap zalim kepada siapapun. Allah mengharamkan kezaliman semata-mata demi kepentingan dan kebaikan manusia, bukan kepentingan Dia. Allah melarang kita berbuat zalim agar kita hidup aman sentosa, agar kita bisa tidur tenang tanpa mengkhawatirkan darah, harta, dan kehormatan kita. Jika manusia diliputi rasa cemas terhadap kehidupan, harta, dan kehormatannya, sudah pasti kehidupannya sarat dengan perasaan resah dan gelisah. Ia tidak akan bisa menunaikan tugas yang diamanahkan Allah, yaitu memakmurkan bumi sebagaimana firmannya dalam QS [11]:61.
Rasulullah Saw bersabda,”Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim haram atas muslim lainnya.”(HR. Muslim)
Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman,”Hamba-Ku, Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Kuharamkan pula kezaliman di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi.”
Allah memiliki sifat adil. Dia Mahaadil. Karena itu, sebagai hamba-Nya, semestinya kita juga bersikap adil. Dia berfirman,”Allah tidak zalim kepada para hamba.”(QS. [8]:51)
Sikap zalim akan membuahkan balasan yang buruk kepada kita kelak di hari kiamat. Sebab, di hari itu tidak ada seorang pun yang dapat menolong atau membela kita dari amuk Jahanam. Kezaliman akan mendatangkan kegelapan pada hari kiamat.
Allah berfirman,”Orang zalim tidak punya seorang pun teman setia dan tidak pula memiliki pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.”(QS. [40]:18), dan “Orang zalim tidak memiliki seorang pun penolong.”(QS. [22]:71)
Rasulullah saw bersabda,”Takutlah dari berbuat zalim, karena kezaliman akan mendatangkan kegelapan pada hari kiamat. Hindari sikap pelit, karena sikap pelit telah membinaskan orang-orang sebelum kalian. Sikap pelit membuat mereka menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan.”(HR. Muslim)
Sesungguhnya kezaliman yang kita lakukan akan menghapuskan amal kebaikan yang kita lakukan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada para sahabat,”Tahukah kalian siapa yang disebut bangkrut?” Mereka menjawab,”Orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki dirham dan harta.” Rasulullah Saw menlanjutkan,”Orang yang bangkrut di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ketika di dunia ia pernah mencela fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, serta memukul fulan. Maka, ia memberikan sebagian amal kebaikannya kepada fulan dan kepada fulan lainnya. Jika amal kebaikannya telah habis sementara belum semuanya dibayar, dosa mereka diambil dan diberikan kepadanya sehingga ia dilemparkan ke dalam neraka.”(HR. Muslim)
Karena itu, jangan sampai menistakan kehormatan atau harta orang lain

Sufi Road : Fana menurut sufi


Al-Harawi
yang nama lengkapnya, Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad al-Anshari, yang lahir di Herat, Khurasan. Al-Harawi adalah seorang faqih Hambaliyah. Karya Al-Harawi yang terkenal ialah Manazil as-Sa’irin ila Rabb al-’Alamin, di kitab tersebut dia ber kata, “Kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi . Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta keikutan terhadap as-Sunnah.” Manazil Sa’irin, mendapatkan syarah dan komentar dan Ibnu Qoyyim ( wafat pada 751 H ) dalam kitab Manarij Salikin. Serta dari al-Lakhmi ( wafat 650 H ) dan juga dari al-Farkawi (wafat pada 795 H ) .
Menurut al-Harawi, Fana‘ terdiri dari 3 tingkatan, “Kefanaan adalah luluhnya apa yang selain Yang Maha Benar, baik karena pengetahuan, penolakan, ataupun karena benar-benar luluh.”
Yang pertama ialah luluh dan tercerai berainya pengenalan terhadap Allah, sehingga seorang sufi yang mengalaminya sirna dalam Yang Diketahuinya dari pengenalan terhadap Dia.
Yang kedua, Penolakan terhadap hal yang normal sewaktu dalam keadaan fana‘, hal ini bukanlah pengingkaran yang hakiki.
Yang ketiga ialah keluluhan yang hakiki.ABU Yazid al-Busthami yang nama lengkapnya Thaifur ibn ‘Isa ibn Sarusyan, Beliau berasal dari Bustham. Meninggal pada tahun 261 H (riwayat lain 264 H ).
Beberapa Kitab yang mengisahkan tentang al-Bushami diantaranya: Thabaqat al-Shufiyyah karya dari al-Sulami, al-Luma’ karya dari al-Thusi, al-Risalah al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi.
al-Bustami begitu diliputi keadaan Fana’, tercermin dari banyak ungkapannya yang diriwayatkan berasal darinya dia berkata : ” Mahluk mempunyai berbagai keadaan. Tapi Seorang arif tidak mempunyai keadaan. Sebab ia mengabaikan aturan-aturannya sendiri. Identitasnya sirna pada identitas yang lainnya, dan bekas-bekasnya gaib pada bekas-bekas lainnya.” Hal ini mustahil terjadi kecuali dengan ketertarikan penuh seorang arif kepada Allah, sehingga dia tidak menyaksikan selain-Nya. Seorang arif, menurut Abu Yazid al-Bustami, “dalam tidurnya tidak melihat selain Allah, dan dalam jaganya pun tidak melihat selain Allah. Dia tidak seiring dengan yang selain Allah, dan tidak menelaah selain Allah.
Ibn ‘Atha’illah al-Syakandari: ” Ketahuilah! Sebagian orang berkata bahwa Abu Yazid ingin tidak berkeinginan, karena Allah mengingininya. Semua orang sepakat bahwa dia tidak mempunyai keinginan. Bersama-Nya , dia tidak menginginkan apa pun dan tidak mengingininya. Dalam kehendaknya, dia tidak ingin, seiring dengan kehendak Allah”.
Tentang Penyatuan al-Bustami mengungkapkan: “ Akupun keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru: duh, Engkau yang aku! Telah kuraih kini peringkat kefanaan.” Dan katanya yang lain, “Sejak tiga puluh tahun yang silam, Yang Maha Benar adalah cermin diriku. sebab kini aku tidak berasal dari diriku yang dahulu.”
al-Qusyairi, yang wafat pada tahun 465 H,ijriyyah Karya al-Qusyairi yang sangat Fenomenal adalah Risalah Qusyairiyyah. Dalam Kitabnya tersebut al-Qusyairi berpendapat tentang Fana‘ , “Barangsiapa menyaksikan terjadinya kemampuan diluar berbagai kondisi hukum maka dikatakan bahwa dia fana‘ dari apapun yang terjadi pada makhluk.”
Al-Qusyairi ber kata: “Jika seorang sufi fana’ dari angan-angan terhadap hal-hal yang menimbulkan rangsangan, ia kekal dalam sifat-sifat Yang Maha Benar. Dan barang siapa didominasi oleh daya hakekat, sehingga dia tidak lagi melihat hal-hal yang menimbulkan rangsangan, baik dalam bentuk benda, dampaknya, gambarnya, atau bayang-bayang, dikatakan bahwa dia fana dari makhluk dan kekal dalam Yang Maha Benar.” (al-Qusyairi)
Tentang hilangnya perasaan dan kesadaran, ketika seorang sufi tidak lagi merasakan yang terjadi pada organ tubuhnya tidak pula dirinya dan alam luasnya, al-Qusyairi ber kata: “Jika dikatakan bahwa ia fana dari dirinya, dan dia tanpa perasaan maupun kabar. Jadi dirinya masih tetap ada, begitupun halnya makhluk-makhluk yang masih ada, tapiia lupa terhadap dirinya dan semua makhluk, dan dia tidak merasakan dirinya dan semua makhluk.”
al-Qusyairi, berucap, “Terkadang Anda melihat seseorang datang menemui seorang penguasa atau seorang yang berpengaruh, dia terkadang lupa terhadap dirinya dan orang-orang yang disekitarnya karena perasaan bergolak yang dialaminya. Sehingga malah lupa terhadap orang yang berpengaruh itu. Sehingga kalau ditanya, setelah dia keluar dari pertemuan itu dan gejolak dalam dadanya telah mereda dan dirinya telah tenang, dia tidak bisa bercerita tentang yang dialaminya.
Menurut al-Qusyairi, untuk mencapai Fana’ seorang sufi harus melalui berbagai tahap:
Pertama, kefanaanya dari dirinya sendiri, dan sifat-sifatnya dan kekelannya dalam sifat-sifat Yang Maha Benar
kedua, kefanaannya dari sifat-sifat Yang Maha Benar karena melihat Yang Maha Benar.
ketiga, kefanaannya dari penyaksian terhadap kefanaannya sendiri dalam mempergunakannya terhadap wujud Yang Maha Benar.

Al Hikam : Kosongkanlah Hati dari Pengaruh Makhluk


Apabila kita bermaksud supaya hati kita dapat masuk ke dalamnya cahaya-cahaya Ilahi, cahaya-cahaya Al-Ihsan dan teranglah hati dengannya untuk dapat menangkap ilmu-ilmu ketuhanan dan sebagian rahasia alam makhluk ini, maka tidak ada jalan lain selain apa yang telah diungkapkan oleh Maulana Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut:
"Kosongkanlah hati anda dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Dia akan memenuhi hati anda itu dengan ilmu-ilmu makrifat (ilmu mengenal Allah dan rahasia-rahasia alam) ketuhanan."
Kalam Hikmah ini kejel;asannya sebagai berikut:
I. Kita diperbolehkan Allah bahkan dianjurkan olehNya menguasai dan memiliki alam ini sebanyak-banyaknya menurut pandangan lahiriah, walaupun pada hakikatnya semua itu adalah milik Allah s.w.t. dan Dia adalah penguasa, pemilik tunggal dan Maha Esa atas semuanya itu. Hal kedaan itu adalah menurut pandangan "syari'at". Sedangkan menurut pandangan "hakikat", di samping yang tadi, juga hati kita tidak boleh dipenuhi oleh alam makhluk ini, tidak boleh dipengaruhi hati kita oleh harta kekayaan kita, oleh pangkat kita, oleh isteri dan anak-anak kita dan lain-lain sebagainya. Tetapi yang boleh bahkan yang harus mempengaruhi hati kita ialah Allah s.w.t. atau dengan kata lain ialah agama kita yakni agama Islam. Selain daripada Allah, apakah itu alam atas, atau alam bawah, alam dunia, alam akhirat, alam hissy (yang dapat dijangkau pancaindera) ataupun alam maknawi (yang bukan hissy), tidak boleh mempengaruhi hati kita.
Apabila hati kita telah kosong dari pengaruh-pengaruh alam mayapada ini sehingga tidak ada dalam hati kita selain hanya "cinta pada Allah s.w.t.", barulah Allah mengisi hati kita bahkan memenuhi hati kita dengan ilmu makrifatNya sehingga hilanglah dari kita segala macam keraguan, naik kepada tingkat yakin terhadapNya dan apa-apa yang diciptakan dan yang telah ditentukan olehNya. Pada waktu itu berkumpulah dalam hati kita "Anwar Al-Malakut" dan "Asrar Al-Jabarut".
Anwar Al-Malakut artinya cahaya-cahaya alam malakut. Yakni alam bathin atau alam ghaib yang berhubungan dengan arwah dan jiwa manusia. Sedangkan yang dimaksudkan dengan "Asrar Al-Jabarut", ialah alam pertengahan yakni alam barzakh (alam kubur) dan alam-alam mahsyar. Jabarut artinya kekusaan danpaksaan. Sedangkan dalam alam barzakh dan mahsyar, segala sesuatu di dalamnya adalah menurut apa yang telah ditetapkan Allah dan tidak boleh dibantah oleh sesiapa pun, meskipun Rasul-rasulNya, semuanya lemah menghadapi apa yang terjadi.
II. Kalau sudah berkumpul dalam hati kita Anwar Al-Malakut dan Asrar Al-Jabarut, maka terbukalah segala-galanya ini, sebab segala sesuatu sudah beserta Allah, dengan Allah, dari Allah, kepada Allah, atas Allah, dalam Allah dan tida ada daya dan kekuatan melainkan dengan Allah (Laa haula walaa quwwata illa billaahil-'aliyyil 'azhim). Sebab kita dalah hambaNya dan yang dicintai olehNya, lahiriah kita dan bathiniah kita. Inilah makna wahyu Allah s.w.t. kepada Nabi Isa a.s.:
"Bahwasanya Aku apabila Aku lihat pada hati hambaKu, lantas Aku tidak mendapatkan dalam hatinya cinta pada dunia dan cinta pada akhirat, niscaya Aku penuhkan hatinya itu dari "cintaKu" (padanya)."
Kesimpulan:
(a) Ilmu makhrifat terhadap Allah s.w.t. sangat sulit kita dapatkan apabila hati kita masih dipengaruhi oleh kecintaan-kecintaan kepada selain Allah. Hal keadaan ini seperti kata penyair Tasawuf:
Jika alam telah hancur dari mata hatiku, Barulah rahasia dapat melihat ghaibnya dalam cahaya terang, Maka lemparkanlah alam itu dari pandanganmu, Dan hapuslah titik ghaibnya, jika anda ingin melihatKu.
(b) Karena itu, berjuang memerangi hawa nafsu adalah penting sekali. Kemudian barulah kita tingkatkan pendekatan kita kepada Allah s.w.t. dengan lahir dan bathin kita, sehingga sampai kita pada taraf bahwa dunia ini dan apa saja selain Allah sudah tidak mempengaruhi bathin kita lagi, meskipun kita mengahadapi dunia ini dengan serba macam permasalahannya, seperti Rasulullah, Muhammad s.a.w. di mana beliau telah diikuti pula oleh sahabat-sahabat dan hamab-hamba Allah yang shaleh.

sufi Road : Peran Thoriqoh Dalam Membersihkan Hati


Habib Lutfi bin Yahya
Bila kita mau melihat lebih jauh tentang filosofis atau makna‘ Al Mudghoh’ yang di sebutkan pada bahasan sebelumnya ((ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب) [البخاري ومسلم]). Hati sering digunakan dengan maksud makna jiwa, dan hati yang bermakna liver. Untuk menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati yang bermakna jiwa manusia saya akan menguraikan mudhgoh atau hati dalam hadis tersebut dengan makna liver. Ini analog saja untuk memudahkan pemahaman pada tujuan dari pembahasan kita ini.
Mudghoh atau hati letaknya di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia membutuhkan perhatian yang serius. Perlu kita ketahui bahwa penyakit-penyakit manusia bersumberkan dari hati . baik dan tidaknya metabolism tubuh seseorang tergantung pada baik dan tidaknya darah darah orang tersebut. Dan darah itu akan menjadi baik dan tidak tergantung dua hal:
Pertama; apa yang dimakan dan yang dan bagaimana cara memperoleh makanan itu. Apa yang dimakan adalah harus sehat, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daging-dagingan yang memperkuat stamina. Kemudian darimana yang kita makan atau bagaimana cara mendapatkan makanan itu. Yang jelas makanannya harus halal, halal disini sudak mencakup pengertian makanan itu diperoleh dengan cara yang benar.Kedua darah itu baik dan tidaknya adalah bersumber dari pencernaan. Pencernaan yang berfungsi dengan baik akan membuat darah baik dan begitu juga sebaliknya; jika pencernaannya tidak berfungsi dengan baik maka darah yang dihasilkannya juga tidak baik.
Upaya untuk membantu memperbaiki pencernaan biasa kita lakukan paling tidak satu tahun sekali; yaitu puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan diantara manfaatnya adalah membersihkan semua organ-organ manusia. Panasnya pencernaan orang-orang yang berpuasa akan membakar hal-hal yang negative dalam pencernaan seperti bachsil dan bakteri. Dan lain sebagainya. Dengan demikian pencernaan dapat kita analogikan seperti bejana yang kita gunakan untuk memasakn segala sesuatu.
Kita bayangkan seandainya bejana itu tidak pernah dicuci. Setalah kita gunakan untuk memasak ikan laut, kita gunakan untuk memasak telur, terus demikian silih beganti sehingga menimbulkan kerak pada bejana itu. Demikian pula pencernaan, kerak-kerak, imbas daripada yang kita makan lambat atau cepat mempengaruhi proses kerja perncernaan atas makanan yang kita konsumsi.
Sangat jelas sekali bahwa pencernaan tidak bisa bekerja sendiri. Hasil proses pencernaan dilimpahkan ke ginjal, pancreas sampai pada liver. Dari kerja sama yang kompak menghasilkan beberapa hal, diantaranya darah putih, darah merah, sperma, keringat, air kencing dan kotoran.
Dari hasil kerja sama yang baik antara organ tubuh manusia tersebut akan menghasilkan lima hal di atas yang baik pula. Bila akibat proses kerja pencernaan yang kurang baik sehingga terjadi darah kotor dalam tubuh manusia, maka sangat diperlukan sekali pembersih. Yang pertama untuk membersihkan pencernaan yang menjadi sumber pengelola makanan dalam tubuh. Kedua membersihkan apa yang telah di olah.
Tugas liver adalah menjatah atau menyalurkan darah ke jantung, ke otak kecil. Apakah tidak mungkin apabila darah atau kotoran akan mempengaruhi fisik otak manusia serta sarafnya. Sehingga kurang mampu untuk berfikir baik, membuka wawasan, dan pandangan yang jauh. Apalagi jelas kita tidak menginginkan pola fikir-pola fikir yang kurang baik. Yang tidak menguntungkan bagi pribadi kita, baik dalam urusan dunia dan maupun akhirat kita.
Dengan hasil darah yang baik, sehat, akan sangat membantu dalam kecerdasan; dari kecerdasan hati sampai kecrdasan akal. Sehingga menumbuhkan pola fikir dan wawasan serta pandangan yan jernih. Bisa memilah mana yang menguntungkan dalam dunia dan akhiratnya. Dan mana yang merugikan dalam kedua hal tersebut.
Secara fisik saja sangat memerlukan kesehatan dan kebersihan. Hati adalah bagian tubuh manusia yang sangat berperan dalam memberikan atau dalam mensuport pola fikir, wawasan dan pandangan manusia, karena hati adalah tempatnya iman dan tempatnya nafsu. Lalu apa yang terjadi jika kita tidak mempunyai alat untuk membersihkannya.
Kita harus memberikan makanan hati serta pembersihnya seperti ilmu ma’rifat dan lain sebagainya, yang terkait dengan keimanan serta pertumbuhannya. Paling tidak kita bisa memilih mana yang di dorong oleh imannya dan mana yang didorong oleh nafsunya.
Seperti masalah pencernaah diatas bukan sesuatu hal yang mustahil bilamana kita mendiamkan kotoran-kotoran hati maka akan mempengaruhi pola fikir yang pada dasarnya akan merugikan diri sendiri.

Al Hikam : Kemuliaan Wirid

Kemuliaan Wirid
Sekalian hamba-hamba Allah yang shaleh di mana lahiriah mereka dihiasi dengan syariat dan bathiniah mereka diisi dengan marifat, pastilah sekalian
waktu mereka dalam hidup tidak ada yang sia-sia, tetapi adalah penuh berisi dengan berbagai amal ibadat. Dan bagaimana dengan amal shaleh yang menghiasi waktu-waktu mereka itu, yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkan dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut:
"Tidaklah menganggap remeh akan wirid melainkan orang-orang yang jahil. Bermula Al-Waarid itu didapat di negeri akhirat. Sedangkan Al-Wirdu itu terlipat ia dengan sebab terlipatnya kampung dunia ini. Dan sepatut-sepatut sesuatu yang mementingkan seseorang dengannya ialah sesuatu yang tidak dapat menggantikan adanya Al-Wirdu yang Allah menuntut wirid bagi anda, sedangkan Al-Waarid anda yang memohonkan dari Allah. Dan dimanakah sesuatu yang Allah menuntutnya dari anda (apabila dibandingkan) dari sesuatu yang bermula dariNya itu tujuan anda pada sesuatu itu."
Dalam ilmu Tasawuf ada istilah Al-Wirdu, di mana dalam bahasa Indonesia
sering disebut dengan perkataan "wirid". Al-Wirdu itu ialah:
"Segala amal shaleh yang mendekatkan seseorang kepada Allah yang Maha Megah dan Maha Pengampun."
Atau dalam definisiyang lain adalah sebagai berikut:
"Segala amal shaleh yang terisilah segala waktu dengannya dan tercegah segala anggota dengan sebabnya pada jatuh ke dalam segala sesuatu yang tidak baik."
Jadi yang dimaksud dengan Al-Wirdu ialah amal shaleh apa saja yang bersifat ibadat atau yang dianggap baik untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menghampirkan diri kepada Allah s.w.t.
Apakah amal shaleh itu sifatnya lahiriah atau sifatnya bathiniah. Apabila amal-amal shaleh itu ditetapkan mengerjakannya pada waktu-waktu tertentu, berarti terisilah waktu-waktu itu dengan hal-hal yang baik dan jauh segala anggota kita pada mengerjakan segala sesuatu yang tidak diingini menurutagama.
Misalnya dari Al-Wirdu ialah, seperti menetapkan sembahyang Dhuha pada waktunya, menetapkan membaca Al-Quran sehari semalam sekian banyaknya, mengajar ilmu agama pada waktu-waktu tertentu dengan ikhlas tanpa memungut biaya, sembahyang malam sekian rakaat dan sebagainya.
Maka mengisi waktu dengan amalan shaleh secara kontiniu, tetap tekun dan yakin, sehingga tidak pernah tinggal, dan kalau tinggal diqadha'. Yang begitu itu adalah disebut dengan Al-Wirdu atau wirid.
Contoh yang bersifat bathin, seperti pada waktu khusus apakah di siang hari atau malam hari kita tafakur mengingat segala dosa yang telah kita kerjakan, kita minta ampun kepada Allah s.w.t. dan kita berzikir dalam hati mengingati Allah s.w.t. serta mengharapkan keridhaanNya. II. Istilah Tasawuf yang kedua yang kita lihat dalam Kalam Hikmah ini ialah perkataan "Al-Waarid". Yang dimaksud dengannya ialah :
"Sesuatu yang datang atas bathin si hamba berupa hal-hal yang halus dan nur,
maka dengannya menjadi lapanglah dadanya dan bersinarlah hatinya."
Maksudnya dengan sebab amal-amal shaleh yang kita kerjakan sehingga tidak pernah kita tinggalkan, adalah merupakan jalan di mana Allah s.w.t. akan mendatangkan (melimpahkan) ke dalam hati hambaNya nur-nur yang tak dapat dilihat oleh mata dan dijangkau oleh perasaan, tetapi yang terang, hati kita telah dilimpahkan ilmu ketuhanan sehingga iman kita terbuka melihat hakikat hikmah alam mayapada ini dan hati kita bersinar dengannya. Yang begini ini adalah disebut dengan "Al-Waarid". Jadi apabila Al-Wirdu merupakan amaliah manusia dan 'ubudiyahnya kepada Allah s.w.t., maka Al-Waarid berarti kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia dengan berkah amal shalehnya itu.
III. Al-Wirdu patut menjadi perhatian kita manusia sebagai hamba Allah.
Sebab hal keadaannya adalah karena dua hal:
(1). Al-Wirdu itu kesempatannya, waktunya dan tempatnya hanya khusus di dunia saja, tidak di akhirat. Sebab itu apabila dunia ini masih ada, maka masih ada kesempatanlah mengerjakan Al-Wirdu atau wirid, yakni masih ada kesempatan membaca Al-Quran, bersalawat, sembahyang, berzikir, berwaqaf, bersedekah dan sebagainya. Tetapi demi dunia ini sudah tidak ada lagi, ataudemi umur kita sudah sampai, atau demi waktu untuk menerima ibadat sudah tidak ada lagi, maka tidak ada artinya segala wirid yang tersebut tadi.
Oleh sebab itu sepantasnya bagi kita memperbanyak ibadat yang bersifat istiqamah di dunia ini selama masih ada kesempatan, karena kita masih hidup. Tetapi apabila waktu-waktu yang diharapkan untuk dapat beribadat di dalamnya telah berlalu dan telah
luput atau umur kita sudah sampai ajalnya, maka pastilah tidak akan mungkin untuk mengejar dan mengganti amal shaleh yang telah luput itu.
III. (2) Hak Tuhan atas kita ialah Al-Wirdu itu. Sedangkan hak kita pada
Allah ialah mendapat pahala dan kurnia dariNya atas amal shaleh yang kita
kerjakan itu. Karena itu yang lebih patut dan layak ialah supaya kita
melaksanakan hak Tuhan atas kita, karena dengan demikian pasti Allah dengan
sifatNya yang Maha Murah akan memperhatikan kita. Dan alangkah tidak patut
dan tidak kena pada tempatnya, kita mendahulukan diri kita memohon kepada
Allah supaya Allah memberikan kurniaNya atas kita sedangkan hak-hakNya tidak
menjadi perhatian kita dan kita tidak serius mengamalkannya.
Apabila demikian pentingnya Al-Wirdu sebagai jalan atas datangnya Al-Waarid, teranglah bagi kita bahwa orang-orang yang meremehkan Al-Wirdu, tidak memperhatikan dengan serius atau meninggalkan sama sekali adalah orang-orang bodoh dan orang-orang jahil, betul-betul jahil. Sebab orang-orang itu tidak sampai ilmunya atau tidak sampai perasaannya pada merasakan dengan keyakinan hikmah yang terkandung di dalam Al-Wirdu itu.
Tetapi apabila perasaannya sampai pada menanggapi bahwa Al-Wirdu itu menimbulkan kesucian bathin dan mendatangkan cahaya iman, yakin dan makrifat, pasti dia tidak akan memandang ringan dan meremehkan Al-Wirdu itu.
Oleh sebab itu cuma rindu semata-mata dan cuma ingin untuk mendapatkan Al-Waarid dari Allah tetapi tidak mau bersama mencari jalan-jalannya adalah jahil dan bodoh.
IV. Inilah sebabnya kita melihat para ulama besar dan hamba-hamba Allah yang shaleh selalu dalam istiqamah, tekun dan kontiniu dalam beramal dan beribadat, sehingga waktu-waktu mereka tidak sunyi dari terisi dangan amal-amal kebajikan.
Sebagai contoh Al-Junaid Al-Baghdady mewiridkan sembahyang sunnah hingga sampai keluar roh beliau dari dua kakinya, barulah sembahyang itu beliau hentikan. Dan banyak bukti bagi kita tentang istiqamahnya para ulama dan ketekunan mereka dalam beramal. Berkata Abu Thalib Al-Makky r.a.:
"Mengekalkan wirid-wirid adalah sebahagian dari akhlak orang-orang yang beriman dan jalan orang-orang yang ahli ibadat, dan mengekalkan wirid itu adalah menambah iman dan tanda yakin."
Dalam satu Hadis, Saiyidah Aisyah r.a. telah ditanyakan, mengenai amal Rasulullah s.a.w. Aisyah menjawab: "Amal Nabi adalah berkekalan!" Dan pada lafaz yang lain Aisyah berkata: "Nabi apabila mengamalkan sesuatu amalan, beliau memperbaguskan amalan beliau, dan beliau tetapkan amalan itu (secara kontiniu)."
Sebab itu dalam Hadis yang masyhur Nabi bersabda:
"Sebaik-baik amal pada Allah Ta'ala ialah amal yang kontiniu meskipun sedikit."
Kesimpulan:
Apabila kita bermaksud supaya hati kita dipimpin oleh Allah dengan
bertambah kuatnya iman, bertambah yakin dan bersinar hati di samping lapang
dada kita menghadapi segala sesuatu di dunia ini, maka jangan lupa berusaha
dengan ibadat dan amal amal-amal shaleh yang sifatnya istiqamah, tetap dan
kontiniu. Apabial demikian keadaannya Insya Allah s.w.t. tanpa kita sadari,
kita telah berjalan sedikit demi sedikit dekat kepada Allah dalam arti iman
dan yakin.
Mudah-mudahan kita semua dapat melaksanakan tuntutan agama ini dengan
izin Allah s.w.t.
Amin, ya Rabbal-'alamin

Rumi: Merdeka Ketika Berserah Diri


Semula ingin kuceritakan padamu
kisah hidupku,tetapi
gelombang kepedihan tenggelamkan suaraku.
Kucoba utarakan sesuatu,
tetapi pikiranku rawan dan remuk,
laksana kaca.
Bahkan kapal paling megah bisa karam
dalam gelombang-badai Laut Cinta
apalagi biduk rapuhku,
remuk berkeping-keping:
tinggalkan ku sendiri, hanyut,
hanya berpegangan ke sepotong papan.
Kecil dan tak berdaya
timbul tenggelam dalam terpaan ombak,
sampai tak kuketahui apakah aku ada atau tiada.
Ketika menurutku aku ada,
kudapati diriku tak berharga.
Saat ku tiada,
kudapati nilai-nilai sejati diriku.
Seturut pasang-surut akalku,
tiap hari mati aku, dan dihidupkan lagi;
karenanya tak kuragukan sedikit pun
adanya Hari Kebangkitan.
Ketika telah lelah,
ku berburu cinta di alam dunia ini,
akhirnya di Lembah Cinta ku berserah-diri:
dan aku merdeka.