Laman

Selasa, 11 Februari 2014

Keutamaan Wali di atas Alim


Penghargaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan sangatlah tinggi. Setinggi penghargaan mereka terhadap para pemiliknya (ulama). Betapa taat dan ta’dhimnya para santri kepada para ulama dapat dilihat ketika mereka berbondong-bondong mendengarkan petuah, pengajian dan ta’limnya. Hal ini sesuai dengan petunjuk agama untuk menghargai ilmu dan para pemegangnya.

Penghargaan yang serupa juga diberikan kepada para wali, bahkan penghormatan itu jauh lebih dalam ketika mereka telah tiada. Lihatlah beberapa makam para wali yang berada di Nusantara ini selalu penuh dengan peziarah. Sebagian masyarakat mampu memahamai fenomena ini dengan jernih. Dan membacanya sebagai bagian dari tradisi Islam. Tetapi sebagian orang tidak memahami hal ini, dan menganggap penghormatan kepada wali dan orang mati tidaklah pantas dilakukan. Mereka menganggap posisi seorang wali tidaklah lebih tinggi dari seorang ‘alim. Padahal tidak demikian, karena posisi wali ada di atas posisi alim.

Karena jika para alim adalah mereka yang menguasai masalah furu’ dan ushul dalam ajaran agama Islam yang membentang dari hal aqidah, syariah, tafsir, hadits dan seterusntya. Maka sesungguhnya para wali yang telah mencapai ma’rifat kepada Allah swt, dan membenamkan diri dalam pengabdian kepada-Nya setulus hati untuk selamanya dengan rela mengorbankan berbagai kesenangan duniawi dan syahwat rohani, maka sesungguhnya wali itu lebih utama posisinya dibandingkan para alim.

As-Syaikh Zainuddin al-Malibary mengatakan dalam Hidayatul Adzqiya’ sebagai berikut:

Dan mereka orang-orang yang mengenal (makrifat) Tuhannya lebih afdhal (utama) dibandingkan para ahli furu’ dan ahli ushul yang sempurna. Sesungguhnya satu raka’at yang dilakukan orang arif (wali) itu lebih utama dibandingkan seribu raka’at orang alim. Terimalah keterangan ini.

Begitu pula keterangan Sayyid al-Bakri Ibn Sajjid Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya Kifayatul Atqiya’ wa Minhajul Ashfiya’ beliau menjelaskan bahwa kemuliaan orang yang berilmu (alim) itu sangat tergantung dengan ilmunya dan fungsi dari ilmu tersebut yang sangat terbatas. Akan tetapi kemuliaan para wali (al’arifuuna billah)orang yang mengerti Allah swt itu tergantung kepada yang Maha Mengetahui yang pengetahuan-Nya sangat sempurna dan amat mulia (yang tanpa batas – tanpa tanding).

KHULAFA' RASYIDIN SEMUANYA DARI KETURUNAN QURAISY.



• NASAB SAYYIDINA ABU BAKR AS-SIDDIQ

Sayyidina abu bakr bin abi Quhafah bin amir bin amr bin ka'ab bin sa'd bin taim bin murrah bin ka'ab bin lu'ay bin ghalib bin fihr bin malik bin Nadr bin kinanah bin khuzaimah bin mudrikah bin ilyas bin mudor bin nizar bin ma'ad bin adnan. (Al fasawi. Al ma'rifah wattarikh: 3/225)

• NASAB SAYYIDINA UMAR BIN KHATTAB.

Sayyidina Umar bin khattab bin naufal bin abdul uzza bin riyah bin abdullah bin Qurt bin razah bin adi bin ka'ab bin lu'ay bin ghalib bin fihr bin malik bin Nadr bin kinanah bin khuzaimah bin mudrikah bin ilyas bin mudor bin nizar bin ma'ad bin adnan.
(ibnu katsair. Al bidayah wan nihayah: 7/150) (Al fasawi. Al ma'rifah wattarikh: 3/225)

• NASAB SAYYIDINA UTSMAN

Sayyidina utsman bin affan bin abil ash bin umayyah bin abdi syams bin abdi manaf bin Qusay bin kilab bin murrah bin ka'ab bin lu'ay bin ghalib bin fihr bin malik bin nadr bin kinanah bin khuzaimah bin mudrikah bin ilyas bin mudor bin nizar bin ma'ad bin Adnan
(Al fasawi. Al ma'rifah wattarikh: 3/225)

• NASAB SAYYIDINA ALI

Ali bin abi thalib bin abdul mutthalib bin bin hasyim bin abdi manaf bin Qusay bin kilab bin murrah bin ka'ab bin lu'ay bin ghalib bin fihr bin malik bin Nadr bin kinanah bin khuzaimah bin mudrikah bin ilyas bin mudor bin nizar bin ma'ad bin adnan. (Al fasawi. Al ma'rifah wattarikh: 3/225)

SAHKAH PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN DALAM KEADAAN SI WANITA TELAH HAMIL?


Saya menjalin hubungan dengan lelaki yang kurang disukai orangtua. Karena khilaf, saya hamil darinya. Oleh orangtua, kami dinikahkan (namun ayah saya tidak sanggup dan diserahkan kepada wali hakim) di KUA dengan syarat setelah menikah, kami tetap tinggal bersama orangtua masing-masing.

Pertanyaan saya adalah:
a. Apakah pernikahan kami sah?
b. Bagaimana dengan sikap ibu saya yang hanya memformalkan pernikahan?
Tantri, Jakarta Timur

Jawaban: Pada dasarnya, pria yang menikahi wanita yang pernah dizinai hukumnya sah-sah saja. Anak yang dikandungnya dinilai anaknya bila dia lahir setelah enam bulan dari masa akad nikahnya, dan bila kurang dari enam bulan si suami itu mengakui anak yang dikandung sebagai anaknya--tanpa berkata bahwa itu anak zina--pengakuannya pun dibenarkan sehingga anak itu dinisbahkan namanya kepada yang bersangkutan. Ini karena boleh jadi telah terlaksana perkawinan sah--tanpa diketahui sebelum kehamilan dan juga agar nama baik seseorang dapat terpelihara.

Dengan demikian, perkawinan Anda sah. Kendati demikian, hendaknya Anda banyak beristighfar dan memohon ampun kepada Allah Subhanahu Wa-Ta'ala, karena ketetapan hukum ini tidak membebaskan si pezina dari dosa besar akibat perzinahannya, ketetapan hukum ini hanya duniawi, sedangkan yang ukhrawi ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa-Ta'ala. Adapun menyangkut ibu Anda, berbaik-baiklah kepadanya dan berupayalah mendapat ridha-Nya semoga sikapnya dapat berubah. Demikian, WALLOOHU A'LAM.

Dikutip dari buku Prof Dr Muhammad Quraish Shihab MA menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui (bagian ketiga: Muamalah, halaman 529)

Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya

Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya

Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahaya-Nya menurut kadar kebeningan rahasia jiwa. Anugerah, berupa pahala dan ma’rifat serta yang lainnya, sesungguhnya tergantung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah Saw bersabda:

“Allah SWT berfirman di hari kiamat (kelak): “Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmat-Ku dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.” Lalu Rasulullah Saw, membaca firman Allah Ta’ala: “Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian amalkan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)

Adapan pancaran cahaya-cahaya-Nya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir seseorang.

Dalam kitabnya Latha'iful Minan, Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari menegaskan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba. Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…” Jangan keblinger dengan Cahaya atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepada-Nya.

Dalam kitab Al-Hikam dijelaskan: “Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasia-Nya, sedangkan ia tidak taubat dari kelengahannya?”

Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan kealpaannya. “Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir perjalanannya.” Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba, adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hamba-Nya, karena yang bersama Allah awalnya akan bersama Allah di akhirnya.

“Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk Cahaya Tawajjuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya, sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagi-Nya. Karena mereka hanya bagi Allah semata, bukan untuk lain-Nya. Sebagaimana dalam Al Qur’an, “Katakan, Allah” lalu tinggalkan mereka (selain Allah) terjun dalam permainan.” Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‘arifun, begitu jauh berbeda.

“Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hamba-Nya, maka Allah melimpahkan padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipu daya.”

Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah. “Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhluk-Nya. Dan Allah mencahayai rahasia batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya Sifat-Nya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.”

Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa
“Shalat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.” Karena itu cita dan hasrat anda, hendaknya pada penegakan shalat, bukan wujud shalatnya.

“Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana kefanaan pada dunia itu sendiri.” Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.

“Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari Sifat-sifat-Nya. Terkadang hati sejenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai oleh alam kasar dunia.” Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya Sifat-Nya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.

“Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas penampakan.” Itulah Cahaya yang melimpahi para ‘arifin, auliya’ dan para sufi, yang dikemas oleh cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah Saw, disebutkan , “Bukanlah Rasul itu melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian minum.” Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa Cahaya itu muncul karena upayanya.

Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana
Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului cahayanya.

“Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.” Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada negeri dunia penuh tipu daya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.

“Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya membias dan rahasia-rahasia-Nya tersembunyi.” Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.

“Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-sifat-Nya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.”

“Cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut. Sebagaimana Cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta” Orang yang mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam Malakut.

Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah.

Bacaan hendak tidur

Disunahkan ketika akan tidur membaca ayat Kursi, Qul huwAllahu Ahad, Al-Mu’awwidzatain dan akhir surat Al-Baqarah.
Ini amalan yang perlu diperhatikan.

Diriwayatkan berkenaan dengannya meneruskan dr hadits hadits sahih dari Abu Mas’ud Al-Badri ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah dalam suatu malam maka kedua ayat itu mencakupinya (melindungi)nya.”

Sejumlah pakar mengatakan, maksudnya mencukupinya dari sembahyang malam. Para ulamA lainnya berkata: yaitu melindunginya dari gangguan pada malam tersebut

Diriwayatkan dari Aisyah ra: “Bahwa Nabi saw setiap malam membaca Qul huwallahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.”

Kami telah mengemukakannya dalam bab meniup dengan membaca Al-Qur’an. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dawud dengan isnadnya dari Ali kwa, katanya: “Saya belum pernah melihat seorang berakal yang masuk Islam tidur seblum membaca ayat Qursyi.”

Dan diriwayatkan dari Ali ra, katanya: “Saya belum pernah melihat orang yang berakal tidur sebelum membaca tiga ayat terakhir dari surat Al-Baqarah.”

Isnadnya sahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, katanya: Rasulullah saw berkata kepadaku: “Janganlah engkau biarkan malam berlalu, kecuali engkau membaca di dalamnya Qul huwallaahu Ahad dan AlMu’awwidzatain. Maka tidaklah tiba suatu malam kepadaku terkecuali aku membacanya.”

Diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakha’I, katanya: “Mereka menganjurkan agar membaca surat-surat ini setiap malam tiga kali, yaitu Qul Huwallaahu Ahad dan Al-Mu’awwidzatain.” Isnadnya sahih berdasarkan syarat Muslim.

Diriwayatkan dari Ibrahim pula, mereka mengajari orang-orang apabila hendak tidur membaca Al-Mu’awwidzatain.

Diriwayatkan dari Aisyah ra: “Nabi saw tidak tidur hingga membaca surat Az-Zumar dan Bani Israil.” (Riwayat Tirmdizi dan dia berkata: Hadits Hasan

M A Q A M

Maqam adalah tahapan adab (etika)
seorang hamba dalam wushul kepada-Nya
dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan
suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.

Masing-masing berada dalam tahapannya
sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta
tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan
menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya
sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam
tersebut.

Barangsiapa yang belum sepeuhnya
qana’ah, belum bisa mencapai tahap
tawakkal.
Dan siapa yang belum bisa tawakal
tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertobat,
tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa
tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud .

Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana
kata al-wadkhal berarti idkhaal, dan al-
makhraj berarti al-ikhraaj.

Tidak seorang pun
sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan
penyaksian terhadap kedudukan Allah swt.
terhadap dirinya dengan maqam tersebut,
yang dengannya strutur bangunan ruhaninya
benar menurut pondasi yang shahih.

Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq
r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke
Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu
Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh
kalian kepada kalian? Mereka menjawab :
“Kami diperintah untuk menetapi taat serta
melihat dan meneliti penyimpangan di
dalamnya.” Maka al-Wasithy berkata, “Syeikh
kalian memerintah dengan cara Majusi murni?
Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri
kalian dengan hal yang gaib dengan
memandang ke pada Yang Memunculkan dan
Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy
dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri
dari posisi takjub.

Bukannya menaiki ke arah
wilayah penyimpangan atau keteledoran
(taqshir), karena yang demikian bisa
merusakkan adanya cacat dalam adab.