Laman

Minggu, 10 April 2016

Nasehat Ibnu Athailah tentang Dzikrullah

Nasehat Ibnu Athailah tentang Dzikrullah
“Jangan engkau tinggalkan zikir kepada Allah, sebab lalaimu terhadap Allah tanpa adanya zikir adalah lebih berbahaya daripada lalaimu kepada Allah dengan masih tertinggal zikir di hatinya. Mudah-mudahan Allah mengingat kamu untuk berzikir dari suka melalaikan kepada sadar melaksanakan zikir. Dari zikir yang sadar meniadi zikir yang penuh kehadiran hati. Dari zikir dengan hadimya hati kepada zikir yang masuk kepada kegaiban. Tidaklah ada kesukaran bagi Allah tentang hal-hal seperti itu.”
.Zikir itu sebenarnya tidak hanya dengan lisan. Setiap perilaku, tindakan untuk mengingatAllah boleh disebut zikir. Ada zikir dengan hati, ada dengan lisan, ada dengan pikiran dan ada dengan perbualgn. Boleh zikir dengan berjalan, dengan duduk, dengan bekerja, dengan berbaring, atau zikir dengan tegak, duduk, dan beberapa cara sehrnatidakbertentangan dengan sunah Nabi Muhammad Saw. Dijelaskan hal ini dalam surat Ali Imran ayat 191,
Zikir adalah jalan menuju Allah yang rahman, untuk mendalami wujud- Nya dengan mengingat dan menyebut sifat-sifat-Nya. Zikir dengan bermacam-macam cara, menghendaki agar zikir itu dilakukan dengan kehendak yang kuat, untuk mencari kekuatan yang dapat memberi ketenangan bagi manusia. Atau dapat menjadi’obat dan penawar bagi kesejukan hati sanubari. Allah Ta’ala menyebut zikir ini dalam Al Qur’an,
Ingat kepada Allah dengan sungguh-sungguh dengan konsentrasi jiwa dan hati, akan membentuk manusia yang tenang, dan hamba Allah yang istiqamah, dengan hidup yang tertempa, serta banyak lagi fadilah zikir yang akan diperoleh dan dirasakan oleh hamba yang suka berzikir (mengingat terus menerus). Maqam tertinggi yang diperoleh oleh hamba yang berzikir, adalah zikir yang hidup dengan sendirinya di dalam dirinya, yang sudah menjadi satu di sekujur anggota badannya. Setiap gerakannya adalah zikir, setiap ucapannya adalah zikir, senyum dan kerdipan mata, naikf turunnya napas adalah zikir. Antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya yang berzikir tidak ada batasnya, tidak dibatasi waktu, masa, jarak, antara si hamba dengan Allah Jalla Jalaluh.
Dalam suatu hadis Qudsi, Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang berzikir:
Ibnu Abbas ra. berkata,
Abu Qasim Al Qusairy mengingatkan,
Dalam salah satu hadits Qudsi disebutkan,
Zikir itu berjalan sepanjang masa tanpa batas wakfu atau halangan, sebab ia diperbolehkan pada semua waktu.

MAKNA MATI DALAM HIDUP


Rasulullah s.a.w bersabda:
Bila hati seorang sudah dimasuki Nur, maka itu akan menjadi lapang dan terbuka.” Setelah mendengar ucapan Rasulullah s.a.w. itu orang banyak bertanya: “Apakah tandanya hati yang lapang dan terbuka itu ya Rasulullah..? Rasulullah menjawab:
“Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” (H.R. Ibnu Jurair) Bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati adalah pelajaran luar biasa berhikmahnya dari hadits ini.
Statement ini mengisyaratkan kepada kita untuk berlatih mati dalam rangka menghadapi proses kematian, agar dapat mati dalam keadaan sukses. Lalu bagaimanakah bentuk sukses dari sebuah kematian itu? Berbicara mengenai hal ini, Nabi Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya: “Janganlah sampai kamu meninggal dunia padahal kamu tidak menyerahkan dirimu (Total Submission) kepada ALLAH.” (Q.S. Ibrahim : 152)
Orang yang menyerahkan diri secara total kepada ALLAH adalah orang yang dekat kepada-NYA, oleh karena itu kematiannya adalah sebuah kesuksesan. “Adapun bila yang meninggal itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri (kepada ALLAH). Maka (kematian baginya) adalah lega, semerbak dan nikmat sekali.” (QS. Waqi’ah : 89-90)
Ibrahim a.s. mengisyaratkan bahwa kematian yang sukses adalah kematian dalam keadaan “penyerahan diri secara total kepada ALLAH semata”. Karena memang: “Sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH semata. (QS. Al An’am : ) Tentang Sukses Kematian, Rasulullah bersabda: “Siapa yang suka menemui ALLAH, ALLAH suka menemuinya, dan barang siapa benci menemui ALLAH, ALLAH benci pula menemuinya.”
Setelah mendengar sabda Rasulullah ini banyak para sahabat yang menangis. Melihat itu Rasulullah bertanya kepada mereka, kenapa menangis..? Mereka menjawab: “Semua kami membenci mati ya Rasulullah. Maka berkatalah Rasulullah: “Bukan demikian yang dimaksud, tetapi adalah ketika menghadapi sakaratil maut.”
Sebagaimana kehidupan yang indah, kematian yang indah adalah kematian dengan kondisi jiwa penuh dengan ke-“Tauhid”-an. Jiwa yang dipenuhi dengan menafikan segala bentuk penuhanan terhadap sesuatu selain ALLAH dan terus-menerus meneguhkan (isbatkan) penuhanan kepada ALLAH semata-mata. Karena:
Lailaha ilalloh adalah ucapan AKU
Lailaha ilalloh adalah AKU
Lailaha ilalloh adalah benteng AKU.
Siapa yang masuk dalam benteng AKU dengan mengucap Lailaha ilalloh lepas dari aniaya-KU. (Hadits Qudsi)
Dalam hidup berbekal Tauhid, dalam menghadapi sakaratul maut berbekal Tauhid, jiwa pergi dari jasad membawa Tauhid. Jika kesadaran telah dipenuhi dengan “Tauhid” kehidupan kita akan bebas dari aniaya ALLAH, demikian juga dengan kematian kita. Oleh karena itu seperti diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’id Al-Khudri r.a beliau berkata : “Saya mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati di antara kamu dengan kalimat La ilaha illallah. Karena sesungguhnya, seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya, maka itulah bekalnya menuju surga.” Masuk ke dalam benteng SANG AKU: Lailaha ilalloh, tentunya bukan sekedar ucapan lisan saja. Akan tetapi telah diyakini dengan qalbu dan telah disaksikan dengan sepenuh jiwa.
Dengan kondisi kesadaran yang demikian maka qalbu menjadi terbersihkan dari segala kotoran-kotoran dosa, selalu terisi dengan keimanan, ingatan selalu tertuju kepada ALLAH dan sikap jiwa dalam keadaan berserah diri total kepada ALLAH, sebagai pemilik hidup kita. Penyerahan diri dengan kesadaran kepada ALLAH Yang Maha Esa.
Seperti dikatakan oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (wafat 1111): “At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai’in ilallah” (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Tuhan dalam segala sesuatu). Dengan Tauhid ini, manusia menjadi sadar kedudukannya bahwa tubuhnya adalah semata-mata bentuk Kuasa ALLAH (melihat Tuhan dalam tubuhnya), sebagaimana alam semesta raya.
Harus kembali kepada-NYA dalam posisi tunduk patuh sebagaimana tunduk patuhnya alam semesta. Semua adalah bentuk Kuasa ALLAH, Energi ALLAH, Daya ALLAH karena sesungguhnya: La haula walaa quwwata illa billahil aliyyil adziem. Dengan Tauhid pula manusia sadar bahwa, hidup yang ada didalam dirinya (melihat Tuhan tidak terpisahkan dari hidupnya),
yang menyebabkan badan bisa hidup bergerak serta membuatnya menjadi makhluk sadar adalah roh yang berasal dari-NYA – “Min Ruhi” atau Roh SANG AKU. Milik-NYA semata-mata dan aksioma akan kembali kepada-NYA. Tidak ada rasa peng-“aku” an atas hidup, jiwa dan roh yang ada di dalam badan ini. Ia adalah milik-NYA dan akan kembali kepada-NYA.
Dengan kondisi psikologis yang demikian orang akan lebih tenang dengan bertawakal kepada ALLAH semata dalam menghadapi situasi kritis saat ajal menjemput. Karena ia telah sadar bahwa: o Mati adalah untuk kembali ke Asal atau Sumber dari hidup, yaitu ALLAH o Mati adalah perjalanan menuju ALLAH o Mati adalah saat menemui ALLAH o Mati adalah Bersaksinya roh atas Wajah ALLAH o Mati adalah untuk Merasakan Kedekatan/ Kesatuan dengan ALLAH
Pelatihan Mati Sukses, Seperti Jawaban Rasulullah kepada para Sahabatnya: “Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” Jika kita simak hadits nabi tersebut, Rasulullah telah memberikan motivasi kepada kita tentang bagaimana hendaknya umatnya melakukan latihan untuk menghadapi mati sebelum datangnya kematian, agar dapat sukses ketika menghadapinya nanti.
Mengenai hal ini, Haji Slamet Oetomo Blambangan berkenan berbagi pengetahuan dan best practicenya kepada kita dalam menghadapi kematian. Saya senang menyebutnya dengan istilah pelatihan mati khusyuk. Proses pelatihan ini berangkat dari filosofi tentang Hakikat manusia yang diajarkan Tuhan melalui al qur’an.
- Yang pertama, kematian itu adalah proses kembali menemui Tuhan sama dengan sholat, dzikir atau itikaf. Oleh karena itu kita posisikan Kesadaran sesuai dengan surat: Al ‘Araf : 29 : ” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).”
Meluruskan muka atau diri adalah menumpahkan dan memusatkan seluruh perhatian kepada ALLAH semata. Dan dibekali dengan keikhlasan dengan tingkat kesadaran seperti dinyatakan qur’an : “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al An’am : 162).
Dan seperti dijadikan pada mulanya yaitu bayi lahir, bayi itu suci, tidak merasa bisa tidak merasa pandai bahkan dipanggil namanya tidak tahu/bodoh. Semua yang ada nikmat ALLAH, kepunyaan ALLAH harus kembali kepadaNYA seperti pada mulanya yaitu seperti bayi lahir suci, perasaan tidak bisa apa-apa. Berserah diri total.
- Yang kedua, Tahu Tujuan Kematian. Tidak lain adalah Tuhan Semesta Alam – ALLAH. Tuhan seperti yang dijelaskan dalam surat Al Iklash: “Tuhan ALLAH Yang Maha Esa. Tuhan ALLAH tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak pula dilahirkan sebagai anak. Dan tidak ada sesuatupun yang ada persamaannya dengan DIA.” (Al –Iklash ) Al Fajr 27-28 dan Tuhan yang dijelaskan dalam surat Fushilat : 54 : “Bukankah mereka masih dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhannya,,? Bukankah DIA-NYA meliputi segala sesuatu.”
- Yang ketiga, mati adalah proses menemui ALLAH. Tidak lain adalah proses mendekatkan diri kepada ALLAH. Proses mendekatkan diri kepada ALLAH adalah proses menjalankan jiwa kepada tujuannya , yaitu ALLAH. Dalam proses kematian, yang berjalan adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan pikiran atau hati. Seperti Firman ALLAH: “Wahai jiwa yang tenang masuklah kedalam Surga-KU”. Adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan badan, pikiran dan hati. Saat kematian, seyogya nya jiwa dijalankan kepada ALLAH dengan terus mengingat ALLAH .
Dengan ingat kepada ALLAH, jiwa akan semakin meluncur mendekat kepada ALLAH. Pada posisi in, dalam batin hendaknya juga dikembangkan “Baik Sangka” kepada ALLAH, sebab sikap yang demikian akan menuntun kepada keadaan yang menjadi persangkaan kita. Sesuai dengan rumus “AKU adalah menurut persangkaan hamba-KU tentang AKU dan AKU bersama dia bila dia memanggil AKU”.
- Yang Keempat, menyadari eksistensi sebagai manusia. Bahwa tubuh manusia sebagai prototipe alam semesta adalah bentuk Kekuasaan ALLAH yang Maha Dasyhat, Maha Luar Biasa. Sedangkan jiwa manusia dengan min ruhinya adalah berasal dari ALLAH, secara ilahiah adalah SATU dengan ALLAH.
Oleh karena itu harus disadari bahwa tubuh ini bukan tubuh milik kita akan tetapi Kuasa ALLAH, dan jiwa ini adalah min ruhi – Roh milik ALLAH. Disini kedirian menjadi lenyap karena yang ada hanya Kuasa ALLAH dan Roh ALLAH keduanya adalah milik ALLAH aspeknya ALLAH. Aksiomatis kembali kepada ALLAH.
- Yang kelima, lihatlah kembali ke diri kita manusia. Perhatikan keluar masuknya nafas itu adalah pertanda adanya hidup adanya roh dalam tubuh sehingga hidup bergerak, itu adalah kinerja-NYA ALLAH, perbuatan-NYA ALLAH. Keluar masuknya nafas adalah tanda adanya hidup-NYA ALLAH yang ada dalam tubuh, adanya min ruhi, Roh ALLAH yang meresapi seluruh tubuh ini. Roh ALLAH yang meresapi seluruh Qudrat ALLAH – tubuh.
Selanjutnya Perhatikan juga sang otak yang netral – sebagai jembatan antara roh yang metafisika dan tubuh yang fisika. Yang bertugas sebagai regulator kesadaran manusia, berikan informasi yang benar kepada otak, install informasi tentang kebenaran ketuhanan. Sehingga hiduplah manusia dengan kesadaran berketuhanan secara benar:”Tiada Tuhan selain ALLAH dan Muhammad adalah utusan ALLAH”.
- Yang Keenam, dengan kesadaran yang telah diperoleh kini serahkanlah, kembalikanlah, dudukkan pada posisi yang sebenarnya – segala eksisensi yang ada kepada SUMBER nya, kepada PUSAT nya, kepada ALLAH.
- Tubuh, Pikiran, Hati adalah Qudrat ALLAH kembali kepada pemilik Qudrat yaitu ALLAH
- Jiwa dengan minruhinya adalah milik ALLAH kembali kepada ALLAH
- Rasa Ingat/ Rasa Jati/ Rasa ber Tuhan kembali kepada ALLAH
- Semua kembali kepada ALLAH.