Laman

Jumat, 10 Maret 2017

Perjalan jiwa 2

Hisab Tuhan = perhitugan amal baik dan buruk
Hisab tidak harus menungu hancurnya alam semesta ini
Hisab Tuhan itu “cepat” dan “tepat” dan terjadi disini jua…,
Kalau-lah ada yang berpendapat bahwa hisab itu di tangguhkan hingga hari hancurnya alam semesta ini, maka bagaimana dengan orang yang sudah jutaan tahun meninggal dunia?, dan bagaimana juga dengan orang yang hidup menjelang kiamat?, tentunya yang satu lama menungu dan yang satunya lagi sebentar saja, ini suatu hal yang bertentangan dengan kasih sayang dan keadilan Tuhan.
Balasan dan imbalan dari Tuhan terhadap amalan manusia itu segera dan sangat adil seadil-adilnya.
“Barangsiapa yang beramal kebajikan sebesar zarah, maka buah amalnya itu akan dilihatnya, dan barangsiapa berbuat keburukan sebesar zarah, maka balasan amal buruknya itu pun akan dilihatnya.”
Tidak ada yang meleset, dan tidak ada yang “gratis” di bumi ini,
Ingat ini baik-baik..!, bahwa tidak ada yang bisa lolos dari hitung-hitungan ini, tidak ada yang dilupakan, semua yang diperbuat pasti dirasakan, bagi yang beramal keburukan sekecil debu pun akan merasakan balasannya. Sebaliknya, yang beramal kebaikan sekecil zarah pun akan merasakannya pula.
Berbuat di dunia = balasan juga didunia
Balasan cepat = balasan yang dapat dirasakan = balasan yang belangsung di dunia
Bagaimana caranya..?
Caranya saat ini juga dan melalui kelahiran kembali.
Hal ini disebutkan dalam QS 6:94,
“Bahwa manusia datang sendiri-sendiri sebagaimana kejadian pada mulanya”
Juga di dalam, QS 29: 19–21
“Dan, apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan pada awalnya dan mengulanginya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Katakanlah : “Berjalanlah di bumi, dan gunakan nalarmu untuk memahami bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, kemudian menciptakannya pada kali yang lain. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
“Allah mengazab orang yang menghendaki (azab) dan memberikan rahmat kepada yang menghendaki (rahmat). Dan, hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.”
Perhatikan dengan seksama ayat-ayat diatas,
Pertama, perhatikan cara Allah menciptakan manusia, perhatikan awal mula kejadian manusia, mulai dari pertemuan sel telur dan sperma, menjadi janin lalu lahir ke bumi sesuai dengan “nilai ijasahnya”, maka ada yang dilahirkan ditengah orang berada dan ada yang melalui keluarga papa.
Kalau sudah perhatikan dan paham maka perhatikan lagi caranya Allah mengulangi penciptaan itu, sunngguh kita diperintahkan untuk memperhatikan pada penciptaan ulangan agar kita “sadar”, kita “paham benar-benar”, bagaimana proses penciptaan manusia.
Kemudian kita diperintah untuk berjalan di muka bumi = “belajar dan berkembang biak”.
Untuk apa?
Untuk mengerti tentang bagaimana Allah menciptakan pada mulanya, dan menciptakan pada kali berikutnya.
Coba renungkan dalam-dalam..! Seandainya penciptaan pada kali lain itu terjadi setelah dunia ini hancur lebur, maka hal ini akan menjadi perintah yang salah.
Mengapa?
Hal ini tidak akan bisa diselidiki karena yang pergi tak kembali lagi,
Sesungguhnya, penyelidikan penciptaan itu cukup di bumi ini saja, baik penciptaan pada mulanya maupun pada kali yang lain.
(Maksudnya : kebangkitan itu di bumi = akhirat itu dibumi jua = kelahiran kembali, orang yang telah meninggal dan dibangkitkan kembali itulah kita) Kalau bumi sudah hancur, maka kita tidak akan dapat melakukan studi tentang kebangkitan. Kita tidak dapat memperoleh pemahaman tentang hal ini.
Di alam “akhirat” seorang manusia yang dibangkitkan/dilahirkan menerima azab atau mendapat rahmat.
Azab atau rahmat yang diterimanya itu berdasarkan kehendak orang yang dilahirkan kembali. Jadi, bukan karena kehendak Tuhan.
Mengapa?
Karena Tuhan sama sekali tidak merugikan hamba-Nya.
Dalam QS 3:117 disebutkan “Bahwa Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya diri mereka sendiri”
Sedangkan dalam QS 10:44 disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak mendzalimi manusia sedikitpun, akan tetapi manusia sendiri yang berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri.”
“Bahwa bukan Allah yang menghendaki azab bagi manusia”.
Allah hanya-lah menjalankan roda Hukum Alam yang telah ditetapkan-Nya.
Sedangkan manusia itu sendiri adalah bagian dari Hukum Alam yang telah ditetapkan Allah.
Karena Hukum Alam berjalan di bawah kehendak Tuhan, maka seakan-akan pahala dan balasan itu atas Kehendak-Nya. Hal ini terjadi karena kata ‘Man Yasyâ’ didalam Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘Allah menghendaki’. Tentu saja terjemahan demikian tidak sesuai dengan pernyataan Allah bahwa “Dia tidak merugikan hambaNya sedikitpun.”
Apabila kita memahami bahwa Allah tidak merugikan manusia sedikitpun, lalu siapa yang membuatnya hingga ada yang bernasib baik, dan ada yang bernasib buruk di dunia ini?
Lalu, mengapa ada orang yang mulus hidupnya dan ada yang sulit hidupnya?
Jawabnya, semua itu karena Amalan orang itu sendiri, baik atau buruknya yang dia terima.
Amalan kapan?
Yaitu, amal baik dan buruk yang pernah dikerjakan pada kehidupan yang lampau. (maksudnya : takdir baik dan buruk itu digoreskan oleh orang yang bersangkutan)
Jika takdir baik dan buruk itu ditetapkan oleh Tuhan di zaman azali, maka itu artinya Tuhan telah berbuat dzalim bagi sebagian hamba-Nya.
Jika sudah demikian, berarti Tuhan telah pilih kasih terhadap hamba-Nya. Padahal, Tuhan tidak merugikan sedikit pun kepada manusia.
Maka, jelas Tuhan tidak menetapkan takdir sebagaimana yang telah dipahami oleh sebagian orang selama ini.
Maka, kita sekarang ini bukanlah kita yang baru dicipta, tapi, kita sekarang ini adalah kita yang pernah dicipta.
Salam

Perjalanan Jiwa


Diri = tubuh + jiwa + nyawa
Tubuh = barang baru saja
Jiwa/roh = barang lama jua
Nyawa = pengikat tubuh + jiwa = unsur kehidupan
(Maksudnya : bilamana unsur yang membangun hidup itu rusak maka jiwa tak bisa beroperasi lagi, artinya tubuh akan ditinggalkan jiwa)
Berbicara tentang diri, ujung-ujungnya akan berbicara perjalanan jiwa yaitu Reinkarnasi..
Reikarnasi = migrasi jiwa = masuknya jiwa ke dalam tubuh = kelahiran kembali
Bagi yang tidak terbiasa dengan kata ini cobalah untuk berpikir jernih sejenak, dengan tidak merasa “alergi” dulu dengan kata reinkarnasi ini, hanya karena kata ini identik dengan golongan tertentu.
Didalam Al-Qur’an sebenarnya banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang reinkarnasi (maksudnya : Ayat-ayat reinkarnasi = ayat-ayat Mutasyabihat = ayat yang perlu di pahami maknanya dengan berpikir dan merenungkannya = yang tersirat)
Seperti :
An Nahl ayat 70 : “Allah menciptakan kamu. Kemudian, Allah mewafatkan kamu (mengakhiri hidupmu di bumi ini), dan di antara kamu ada yang dikembalikan pada umur yang paling lemah, agar dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.”
An Nahl ayat 77 : “Dan kepunyaan Allah-lah segala yang gaib di langit maupun di bumi. Dan, tidaklah perintah kebangkitan itu selain sekejap mata atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
An Nahl ayat 78 – “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan fuad agar kamu dapat bersyukur.”
Yasin ayat 68 : “Dan barangsiapa yang Kami panjangkan hidupnya niscaya Kami kembalikan pada kejadiannya. Apakah mereka itu tidak memikirkannya?”
…………………………..
Seandainya belum bisa juga menerima pemahaman ini, tentu bisa saja dimaklumi karena selama ini mungkin belum pernah diberikan pemahaman yang tepat tentang ayat-ayat diatas.
Namun ketahuilah bahwa reinkarnasi bukanlah sesuatu hal yang aneh.,
bukan juga suatu bentuk kepercayaan yang harus di yakini atau tidak diyakini, karena kita bukan berada di luar kepercayaan ini namun di dalamnya.
Hal ini hanyalah Hukum Alam biasa yang sudah menjadi ketetapan dari Tuhan, dan kita adalah komponen yang berada didalam Hukum Alam ini.
Bahwa, sama-sama telah kita ketahui yang namanya jiwa itu tidak mengenal mati, oleh karenanya jiwa ini akan mengalami reinkarnasi-reinkarnasi.
Permasaalahannya adalah mau sampai kapan ber-reinkarnasi?
Bahwa, segala sesuatu akan berakhir itu pasti..,
Namun semuanya itu dikembalikan lagi kepada diri yang menjalaninya, mau sampai kapan berakhirnya?
Bukan-lah Allah yang menentukan kapan berakhirnya namun kita-lah penentunya, bukan-lah wayang tergantung dari dalangnya namun dalang akan mengikuti bagaimana peran yang dibawakan si wayang.
Dunia adalah sekolahnya kehidupan, ibarat bersekolah maka kita perlu meningkatkan kwalitas hidup agar bisa melanjutkan ke kelas berikutnya, kelas/derajat akan mengikuti kwalitas diri, jadi jelas disini bahwa penentunya adalah kita.
Tuhan ibarat kepala sekolah yang mengeluarkan ijasahnya, namun nilai-nilai didalamnya adalah kita yang memberikan sendiri, ijasah inilah yang menentukan nasib ketika kita akan “mencari pekerjaan” pada kehidupan yang baru.
Hadist Nabi : “Dunia sekarang adalah ladang bagi kehidupan berikutnya, siapa yang menanam sekarang, ia pula yang menuainya nanti”
Al Mulk ayat 2 : “Dia yang menciptakan kematian dan kehidupan. Dengan cara itu Dia mendidik dan melatihmu, dan untuk memberikan nilai bagi siapa yang lebih baik amalannya. Dan, Dia itu Maha Perkasa dan Maha Melindungi”
(Maksudnya : prosess mati-hidup-mati-hidup-mati-hidup, di dunia ini untuk melatih manusia, agar manusia mau meningkatkan kwalitas dirinya)
Jadi mau sampai kapan..? semua tergantung “bagaimana” kita
Salam