Laman

Selasa, 28 November 2017

Kisah Anak Sufi Islami: Alam Semesta adalah Guru yang Bijak


Tatkala seorang Guru Sufi Besar Hasan, mendekati akhir masa hidupnya, seseorang bertanya kepadanya, “Hasan, siapakah gurumu?”
Dia menjawab, “Aku memiliki ribuan guru. Menyebut nama mereka satu-persatu akan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun dan sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Tetapi ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.

Pertama adalah seorang pencuri. Suatu saat aku tersesat di gurun pasir, dan ketika aku tiba di suatu desa, karena larut malam maka semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang melubangi dinding pada sebuah rumah.
Aku bertanya kepadanya dimana aku bisa menginap dan dia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”
Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan. Dan setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.”

Ketika dia telah kembali aku bertanya “apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.

Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan di akhir waktu tidak terjadi apapun, begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini.
Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”

Guruku yang kedua adalah seekor anjing. Tatkala aku pergi ke sungai karena haus, seekor anjing mendekatiku dan ia juga kehausan. Pada saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada anjing lainnya disana “bayangannya sendiri”, dan ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh. Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi.

Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.
Guruku yang ketiga adalah seorang anak kecil. Tatkala aku memasuki sebuah kota dan aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang liling yang menyala. Dia sedang menuju mesjid untuk meletakkan lilinnya disana.

“Sekedar bercanda”, kataku kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang menyalakan lilinnya?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana lilinnya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana lilinnya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada lilinnya?”
Anak kecil itu tertawa, lalu menghembuskan lilinnya, dan berkata, “Sekarang tuan telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”
Egoku remuk, seluruh pengetahuanku remuk. Pada saat itu aku menyadari kebodohanku sendiri. Sejak saat itu aku letakkan seluruh ilmu pengetahuanku.
Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon.
Seperti itulah aku belajar dari kehidupan. Aku tidak memiliki seorang guru karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber. Menjadi seorang murid adalah sebuah keharusan di jalan sufi. Apa maksud dari menjadi seorang murid?
 
Maksud dari menjadi seorang murid adalah untuk belajar. Bersedia belajar atas apa yang diajarkan oleh kehidupan. Melalui seorang guru engkau akan memulai pembelajaranmu.
Sang guru adalah sebuah kolam dimana engkau bisa belajar bagaimana untuk berenang. Dan tatkala engkau telah mahir berenang, seluruh Samudera adalah milikmu.

Nabi Khidir, Ajaran dan Jati dirinya

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Nabi Khidir merupakan Hamba Allah yang sangat khusus, karena beliau adalah salah satu hamba Allah yang ditunda kematiannya dan masih diberi rejeki. Selain itu beliau diutus untuk memberi pelajaran Makrifat kepada Para Wali, para Sufi, maupun kepada orang yang dengan tekun mendekatkan diri kepada Allah.

Nabi Khidir as mengajarkan ilmu tentang Makrifat, ada yang menyebutkan Nabi Khidir juga mengajarkan ilmu Laduni. Banyak orang yang ingin bertemu dengan Nabi Khidir , terutama para penganut Tarikat, ataupun mereka yang ingin berguru kepada Nabi Khidir . Kesalahan terbesar mereka adalah karena mereka ingin bertemu, seharusnya jangan punya keinginan untuk bertemu, ikhlaskanlah beliau yang menemui kita

Dalam beberapa riwayat, Nabi Khidir memiliki Ciri-ciri fisik yang tidak dimiliki oleh orang lain, yaitu: jempol tangan kanan tidak bertulang, beliau selalu membawa tongkat, perawakan beliau lebih tinggi dari kebanyakan kita.
Al-Khiḍr (Arab:الخضر, Khaḍr, Khaḍer, al-Khaḍir) keterangan mengenai beliau terdapat dalam Al Quran Surah Al-Kahfi ayat 65-82. dan beberapa hadist.
“Mystical Dimensions of Islam”, oleh penulis Annemarie Schimmel, Khidr dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi dalam kisah Islam dikenal sebagai ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau ‘Abadi’. Tiga lainnya adalah Idris , Ilyas , dan Nabi Isa .
Nabi Khidir abadi karena ia dianggap telah meminum air kehidupan.

Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang telah disandang oleh Khidr. Beberapa orang mengatakan Khidr adalah gelarnya; yang lainnya menganggapnya sebagai nama julukan. dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi.
Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain.

Al-Khiḍr secara harfiah berarti ‘Seseorang yang Hijau’ melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut langsung dari sumber kehidupan.” Dalam situs Encyclopædia Britannica, dikatakan bahwa Khidr memiliki sebuah nama, yang paling terkenal adalah Balyā bin Malkān.

Menurut Syaikh Imam M. Ma’rifatullah al-Arsy, Segitiga Bermuda merupakan tempat titik terujung di dunia ini. Ditengah kawasan itu terdapat sebuah telaga yang airnya dapat membuat siapa saja yg meminumnya menjadi panjang umur, ditempat itu pula Khidr bertahta sebagai penjaga sumber air kehidupan tersebut.
Teguran Allah kepada Musa

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khiḍir dituturkan oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-Kahfi ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahwa beliau mendengar nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu beliau ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang shalih itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.
Nabi Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.
Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ tertidur dan ketika terjaga, beliau lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa as Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya.
Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa,
“Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63)

Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.
Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64)
Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khidir. Ada yang mengatakan bahwa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.
Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Khidir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” Khidir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui Tuan supaya Tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada Tuan.”
Khidir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi : 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”
Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69)
Dia (Khidir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)

Nabi Musa mengikuti Nabi Khidir dan terjadilah, peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji bahwa Nabi Musa tidak akan bertanya mengenai sesuatu tindakan Nabi Khidir. Setiap tindakan Nabi Khidir a.s. itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa terperanjat.
Peristiwa ketika Nabi Khidir menghancurkan perahu yang mereka ditumpangi . Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir mengingatkan akan janji Nabi Musa, dan Nabi Musa meminta maaf karena lalai mengingkari janji untuk tidak bertanya mengenai tindakan Nabi Khidir.
Ketika mereka tiba di suatu daratan, Nabi Khidir membunuh bocah yang sedang bermain dengan teman sebayanya. Dan lagi-lagi Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidir. Nabi Khidir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan beliau diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap yang dilakukan oleh Nabi Khidir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khidir.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu Perkampungan. Sikap penduduk Kampung itu tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khidir malah menyuruh Nabi Musa untuk memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak . Nabi Musa tidak kuasa untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khidir ini.
Akhirnya Nabi Khidir menegaskan pada Nabi Musa bahwa beliau tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan bersama dengan Nabi Khidir.
Nabi Khidir menguraikan mengapa beliau melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya.

SUMBER ILMU

Tafsir Surat Al Alaq Ayat 1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Tentang Turunnya Ayat
Ayat ini adalah ayat yang pertama kali di turunkan kepada Rasulullah saw menurut sebagian besar ulama tafsir. Surat ini diturunkan kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril as pada saat nabi sedang berada di gua Hira. Pada awalnya Jibril mengajarkan Nabi saw untuk menghafal lima ayat dari surat ini.

Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra[1] bahwa wahyu yang pertama ditunjukkan kepada Nabi saw adalah ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) datangnya malaikat kepada beliau dan membaca 5 ayat ini.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang diturunkan pertama kali adalah surat al mudatsir[2]. Ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat al fatihah.[3] Namun menurut as suyuthi[4] pendapat pertamalah yang benar, kemudian beliau mengemukakan alasan-alasannya.
Keutamaan Ayat

Permulaan ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw ini memberikan dalil bahwa Allah adalah sumber segala sumber ilmu serta memberikan penilaian tertinggi akan pentingnya membaca dan menulis bagi ummat Islam. Hingga pada saatnya Beliau saw dengan pengajarannya memalingkan wajah kehidupan manusia dari kejahiliyahan khamar, maisir, menumpuk-numpuk harta dengan segala macam cara, dusta dalam berniaga serta syahwat wanita dan kekuasaan kepada kerja besar membangun peradaban dunia yang modern dengan kekuasaan yang berkeadilan, penghormatan akan hak laki-laki dan perempuan, serta kecintaan akan kebaikan yang sesuai fitrah kemanusiaan. Nilai-nilai yang bahkan hingga saat ini menjadi pertanyaan besar bagi budaya materialis yang kering kerontang dari nilai.
Muhammad Abduh[5] menggambarkan dalam tafsirnya betapa pentingnya ayat ini bagi ummat Islam,
فَإنْ لَمْ يَهْتَدُ المُسْلِمُونَ بِهَذَا الهُدَى وَ لَمْ ينبههم النظر فيه الى النهوض الي تمزيق تلك الحجب التى حجبت عن أبصار هم نور العلم و كسر تلك الأبواب التى غلقها عليهم رؤساؤهم و حبسوهم بها في ظلمات من الجهل و إن لم يسترشدوا بفاتحة هذا المكتاب المبين و لم يستضيئوا بهذا لبضياء الساطع فلا أرشدهم الله أبدا

Jika ummat Islam tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak memperhatikan jalan-jalan untuk maju, merobek segala macam hijab yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap cahaya ilmu pengetahuan atau memecahkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik kegelapan, sebab dikunci erat-erat oleh para pemimpin mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan kebodohan. Kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, niscaya tidaklah mereka akan bangkit (mencapai kejayaan) lagi selama-lamanya.
Sumber Ilmu dalam al Qur’an

Berbeda dengan berbagai pemikiran filsafat, Islam menegaskan bahwa Allah adalah sumber ilmu dan kebenaran. Pada ayat-ayat ini Allah menegaskan bahwa dirinya adalah Rabb, pencipta serta pengajar manusia hal-hal yang tidak mereka ketahui.
Allah memerintahkan manusia untuk membaca dengan menyebut nama-Nya. Membaca adalah pembuka cakrawala ilmu pengetahuan. Melalui membaca kegelapan kebodohan akan menjadi terang benderang karena pengetahuan & rahasia-rahasia yang terselubung akan terungkap.
Maha suci Allah yang memerintahkan manusia untuk menyebut nama-Nya ketika membaca, karena Dia lah sumber segala bahan bacaan, Dia lah pencipta semesta. Dengan demikian segala proses membaca — pendekatan, observasi, penelitian dan uji coba — untuk menjalani kehidupan di dunia adalah karena hakikat yang tak terbantahkan manusia yaitu Allah. Inilah iman, ketikakita meyakini bahwa segala sesuatu bermula, berjalan, tertuju dan kembali kepada-Nya.
Sayyid Quthb berkata,[6] “توجه الرسول- صلى الله عليه وسلم- أول ما توجه، في أول لحظة من لحظات اتصاله بالملأ الأعلى، وفي أول خطوة من خطواته في طريق الدعوة التي اختير لها..توجهه إلى أن يقرأ باسم الله” surat ini mengarahkan Rasulullah saw untuk pertama kalinya, pada detik pertama di antara saat-saat hubungannya dengan Sang Penguasa Tertinggi serta pada langkah awal diantara langkah-langkahnya meniti jalan da’wah yang dirinya dipilih untuk mengembannya itu dengan mengarahkannya membaca dengan menyebut nama-Nya.

Inilah awal mula perubahan besar dalam peradaban manusia, pada saatnya kelak sejarah yang menjadi romantisme milik para raja-raja dan bangsawan itu mencatatkan kegemilangan pembangunan peradaban dunia yang modern namun kaya akan nilai-nilai spiritual. Dan itu semua dimulai oleh gerakan yang dipelopori seorang nabi yang ummi dan sekelompok kecil sahabatnya yang miskin dan tertindas pada masa itu. Karena mereka melandasi langkah-langkahnya dengan menyebut nama Allah.

Bacalah dengan menyebut nama Allah, perintah ini mengisyaratkan pula bahwa antara ilmu pengetahuan dan keimanan kepada Allah haruslah seiring. Dr. Yusuf al Qaradhawi[7] menegaskan pula pandangan ini, bahwa iman adalah pembungkus ilmu “أن العلم في الإسلام إنما هو علم في حضانة الإيمان، فالعلاقة بينهما علاقة التواصل والتلاحم ، لا التقاطع والتنافر ، علاقة التكامل، لا علاقة التعارض.” Ilmu dalam Islam terbungkus oleh keimanan, hubungan antara keduanya merupakan hubungan langsung dan senyawa, bukan hubungan yang terputus dan terpisah, juga merupakan hubungan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan.
Sebagai pencipta segala sesuatu, maka Allah adalah Zat pemilik seluruh pengetahuan tentang ciptaan-Nya. Demikian Sayyid Quthb[8] menegaskan dalam tafsirnya,
والله هو الذي خلق. وهو الذي علم. فمنه البدء والنشأة، ومنه التعليم والمعرفة.. والإنسان يتعلم ما يتعلم، ويعلم ما يعلم.. فمصدر هذا كله هو الله الذي خلق والذي علم.
Dialah Allah yang mencipta dan yang mengajarkan. Dari-Nyalah permulaan dan pertumbuhan. Dari-Nyalah pengajaran dan ilmu pengetahuan. Manusia bisa mempelajari apa yang dipelajarinya dan mengajarkan apa yang diajarkannya, namun sumber semuanya adalah Allah yang menciptakan dan mengajarkan.
Sa’id Hawwa mengutip perkataan al wasithy[9] tentang makna kalimat rabb yaitu “هو الخالق ابتداءً و المربّي غذاءً و الغافر أنتهاءً” Rabb adalah Pencipta pada mulanya, Pemelihara setelah itu dan Pengampun pada akhirnya.
Dengan demikian sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pengampun, Dialah sumber awal segala ilmu, karena-Nyalah pengetahuan manusia meningkat secara bertahap. Lihatlah bagaimana pemberitahuan Allah atas penglihatan manusia yang terbatas tentang gunung yang disangkanya diam,
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” An naml 88
Demikian pula koreksi Allah atas fatamorgana kehidupan dunia yang menipu yang manusia sangka adalah hakikat,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” Fathir 5

Karunia Allah atas Manusia
Ayat-ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah telah memuliakan manusia dengan berbagai karunia yaitu, menjadikannya ciptaan yang sempurna dan berakal, berlaku lemah lembut serta memuliakannya dengan melimpahkan kepada manusia ilmu pengetahuan.
Al Qurthubi[10] menjelaskan bahwa maksud penyebutan manusia yang diciptakan dari ‘alaqah adalah wujud karunia Allah kepada manusia. “أَرَادَ أَنْ يُبَيِّنَ قَدْرَ نِعْمَتِهُ عَلَيْهِ، بِأَنْ خَلَقَهُ مِنْ عَلَقَةٍ مَهِينَةٍ، حَتَّى صَارَ بَشَرًا سَوِيًّا، وَعَاقِلًا مميزا” menjelaskan kadar kenikmatan yang diberikan kepada manusia. Dari segumpal darah yang hina, kemudian menjadi manusia yang sempurna, berakal sempurna.
Lebih lanjut al Qurthubi[11] mengutip pendapat al kalby yang menjelaskan bahwa makna kata al akram adalah berasal dari kata al Haliim “الْحَلِيمُ عَنْ جَهْلِ الْعِبَادِ، فَلَمْ يُعَجِّلْ بِعُقُوبَتِهِمْ” yaitu lemah lembut terhadap ketidak tahuan hamba-Nya, hingga mereka tidak disegerakan hukumannya ketika melakukan kesalahan.

Karunia Allah selanjutnya adalah Allah melimpahkan pengetahuan kepada manusia dengan mengajarkan manusia segala yang tidak diketahuinya melalui ilmu penulisan. Al Qurthubi[12] menuliskan dalam tafsirnya tentang keutamaan menulis, “وَلَوْلَا هِيَ مَا اسْتَقَامَتْ أُمُورُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا” tidak bisa tidak bahwa segala perkara kehidupan agama dan dunia tegak diatasnya.
Jika membaca merupakan pembuka cakrawala ilmu pengetahuan maka menulis adalah pengunci pengetahuan tersebut agar tidak hilang dan menjadi dasar pengembangan keilmuan selanjutnya. Bahkan ilmu pengetahuan itu akan bertambah-tambah jika di amalkan, sebagaimana sebuah atsar yang diriwayatkan dari Abdul Wahid bin Zaid,[13] ia berkata,”مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ فَتَحَ اللهُ لَهُ مَا لَا يَعْلَمُ” barang siapa yang mengamalkan ilmunya maka Allah akam bukakan baginya apa-apa yang belum diketahuinya.

Demikianlah ayat-ayat yang diturunkan pertama kali ini merupakan pemberitaan besar akan hakikat Sang Penguasa Tertinggi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ia melimpahkan kasih sayangnya kepada manusia berupa pengajaran ilmu pengetahuan agar mereka selamat menjalani kehidupannya, yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai hamba dan khalifah-Nya.

Rombongan Malaikat Datang, Saat Menjelang Kematian Umar bin Abdul Aziz

Dalam “Al-Bidayah”, Ibnu Katsir menulis, “Umar bin Abdul Aziz shalat Id bersama dengan sejumlah rakyatnya. Selesai shalat, beliau pulang ke rumahnya. Orang-orang menawari beliau kendaraan. Beliau menolaknya seraya berkata, ‘Jauhkan ia dariku, karena aku hanyalah seorang lelaki dari golongan orang-orang muslim’”. Ketika melintasi kuburan, beliau menoleh ke arahnya dan berkata, “Salam bagi kalian, wahai perkampungan kaum mukmin.”

Setelah itu beliau berkata, “Ya Allah, adalah di antara penduduk kubur ini yang masih mempunyai pipi merona? Adakah diantara mereka yang mempunyai mata bercelak?”. Beliau memandang tajam ke arah orang-orang, menteri, dan gubernur di sekelilingnya sambil berkata, “Mengapa mereka tidak terlihat makan bersama orang-orang yang makan? Dan mengapa mereka tidak terlihat minum bersama orang lain? Mengapa mereka tidak merasakan keindahan rumah dan gedung-gedung itu?”. Dengan suara lantang beliau berteriak ke arah kuburan, ‘Wahai kematian, apa yang engkau lakukan kepada kekasih-kekasih kami? Wahai kematian, apa yang engkau lakukan terhadap teman-teman kami?’. Kemudian beliau bertanya kepada orang yang bersamanya, ‘Tahukah kalian apa yang dinamakan kematian?’.

Mereka menjawab, ‘Tidak’.

Beliau berkata sambil menangis sejadi-jadinya, ‘Engkau dianugerahi Allah dua mata, lengkap dengan dua bola mata di dalamnya. Engkau juga diciptakan-Nya bisa menggerakkan dua telapak tanganmu dari kedua hastamu, kedua hasta dari dua lengan, kedua telapak kaki dari kedua betis, dan kedua betis dari kedua lutut’.

Beliau adalah lelaki agung yang sangat bertakwa kepada Allah dan percaya dengan janji-Nya, maka Allah memuliakannya dengan menjadikannya orang yang bisa menikmati kebahagiaan dan ketenangan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Setiap kali namanya disebut, maka ketika itu pula kita mengingat akan jasa-jasa dan keilmuannya.

Oleh karena itu, ketika kematian hampir menjemputnya pada hari raya Idul Fitri, ketika orang-orang keluar rumah dengan baju baru, ia tidak mengenakannya. Orang-orang bertanya, “Apa yang terjadi dengan Engkau?”.

“Aku melihat liang kuburku di hari ini, dan aku merasa akan bertemu dengan Allah Tuhanku sekarang”. Jawab beliau.

Sewaktu istri beliau masuk ke dalam kamar dan orang-orang sedang melaksanakan shalat Id, ia bertanya, “Apa yang engkau lihat, suamiku?”.

Beliau menjawab, “Tolong keluarlah dari rumah ini. Lihatlah ada apa di luar sana. Karena aku merasa ada rombongan yang datang, rombongan yang sepertinya bukan manusia maupun jin.”

Para ulama menafsirkan rombongan tersebut adalah para malaikat. Ketika istri beliau keluar rumah, Allah mencabut nyawa Umar bin Abdul Aziz, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau. [Syahida.com/ ANW]

===

Sumber: Kitab Jangan Takut Hadapi Hidup, Karya: Dr. ‘Aidh Abdullah Al-Qarny, Penerjemah: Masrukhin, Penerbit: Cakrawala Publishing


Kisah Nyata: Allah Tahu yang Terbaik Bagi Kita

Terkadang, seseorang terkena musibah tapi dia tidak tahu bahwa musibah ini sebenarnya baik baginya. Seseorang yang bekerja di kantor kepolisian berkisah: “Suatu hari datang seorang pria tua yang khawatir, ia ingin mengajukan keluhan. Aku bertanya padanya: “Apa masalahnya?”

Dia berkata, “Nak, aku adalah pria miskin. Aku punya 7 putra, dan kesemuanya buta. Suatu hari, aku mengetahui bahwa dua putraku dapat disembuhkan dan aku diberitahu tentang seorang dokter ahli di kotanya lainnya. Tapi aku butuh kurang lebih 2000 dinar untuk operasinya.”

Jadi aku berkata, “Baik, apakah yang terjadi?”

Dia berkata, “Aku telah menyiapkan mobilnya dan di dalamnya ada 2000 dinar. Aku segera menghampiri kedua putraku, sehingga kami dapat berangkat, dan bahagia bahwa mereka dapat melihat. Tapi ketika aku keluar, aku tidak dapat menemukan mobilnya. Mobilnya telah dicuri, begitu juga uangnya!”

Bayangkan pria tua ini menabung setelah waktu yang lama. Dia tidak punya uang, dia terpaksa menabung uang ini untuk pengobatan kedua putranya. Jadi sekarang dia tidak punya mobil, tidak punya uang, dan putranya tidak bisa disembuhkan. Bayangkan kekhawatiran yang menimpanya.

Jadi petugas itu berkata kepada pria itu: “Mungkin ini lebih baik bagimu. Kamu tidak tahu. Mungkin apa yang terjadi baik bagimu. Dan jika Allah memperlihatkan yang ghaib, maka kau akan memilih situasi yang sama bagi dirimu. Lihat situasimu sekarang? Ini adalah situasi terbaik yang dapat kau pilih bagi dirimu sendiri jika Allah menunjukkan padamu yang ghaib.”

Tapi pria itu tidak terlalu mendengarkan apa yang kukatakan, karena kekhawatirannya teramat besar. Dia pergi.

Kami mencari informasi mengenai mobilnya yang dicuri. Setelah 2 minggu, mobilnya ditemukan di gurun dan Alhamdulillah dalam kondisi yang baik. Aku berbicara pada petugas yang menemukannya dan menyuruh mereka untuk mencari 2000 dinar di lacinya. Mereka berkata, “Ya, masih ada.”

Mobilnya ternyata dikendarai oleh beberapa anak yang bermain-main. Mereka mengemudi mobilnya hingga jauh dan ketika bensinnya habis, mereka meninggalkannya di gurun.

Jadi aku langsung menelpon pria tua itu dan dia datang ke kantor polisi. Aku ingin memberikan kabar baik kepadanya, jadi aku berkata, “Aku punya kabar baik untukmu.”

Dia menjawab, “Aku juga punya kabar baik untukmu.”

Aku berkata, “Apa kabar baikmu?”

Dia berkata, “Tidak, kau lebih dulu.”

Aku berkata, “Kami menemukan mobilmu dalam kondisi baik dan alhamdulillah 2000 dinarnya juga ada di dalamnya.”

Tapi dia tampak tidak terlalu terkesan.

Aku bertanya, “Dan apa kabar baikmu?”

Dia berkata, “Kau tahu kedua putraku, yang ingin kubawa ke dokter untuk menjalani operasi mata?”

Aku berkata, “Ya.”

Dia berkata, “Allah telah mengembalikan penglihatan mereka tanpa operasi apapun!”

Alhamdulillah. Tiba-tiba, begitu saja penglihatan mereka kembali normal. Bagaimana? Ini karena Allah! Allah memutuskan agar operasinya ditunda sehingga penglihatan mereka dapat kembali tanpa operasi apapun. Dan mungkin jika operasinya dijalankan maka justru mata mereka akan mengalami gangguan.

Jadi sekarang mobilnya telah kembali dan uang 2000 dinarnya juga! Jadi kau lihat sekarang? Mungkin ini baik bagimu! Kau mungkin melihat musibah sebagai musibah saja, tapi kau tidak pernah tahu; mungkin melaluinya Allah membawa kebaikan padamu. Jadi selalulah katakan, “Mungkin ini baik.”

Selalu katakan, “Mungkin Allah telah menghendaki kebaikan bagiku, keluarga dan hartaku.” Dan tetaplah berbaik sangka kepada Rabbmu. [Syahida.com/ANW]


وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

AGAR HIJRAH TIDAK GAGAL

Berikut kiat-kiat agar “hijrah tidak gagal” dan dapat istiqamah di jalan agama:

1. Berniat ikhlas ketika hijrah

Hijrah bukan karena tendensi dunia atau kepentingan dunia tetapi ikhlas karena Allah. Seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya dan sesuai dengan niat hijrahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍْﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻣَﺎ ﻧَﻮَﻯ . ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﻟِﺪُﻧْﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴْﺒُﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻬَﺎ ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎ ﻫَﺎﺟَﺮَ ﺇِﻟَﻴْﻪِ

Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu..

Bahkan kita tetap harus meluruskan niat ketika telah hijrah agar tetap istiqamah, karena yang namanya hati sering berubah-ubah dan mudah berubah niatnya. Niat dan ikhlas adalah perkara yang berat untuk dijaga agar istiqamah dan sangat membutuhkan pertolongan Allah.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata,

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي ؛ لأنها تتقلب علي

“Tidaklah aku berusaha untuk mengobati sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak-balik”

2. Segera mencari lingkungan yang baik dan sahabat yang shalih

Ini adalah salah satu kunci utama sukses hijrah, yaitu memiliki teman dan sahabat yang membantu untuk dekat kepada Allah dan saling menasehati serta saling mengingatkan. Hendaknya kita selalu berkumpul bersama sahabat yang shalih dan baik akhlaknya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur). (QS. At-Taubah: 119).

Agama seseorang itu sebagaimana agama teman dan sahabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.

Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi ketika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antar sesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar mempunyai teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun ‘alaihissalam. Beliau berkata dalam Al-Quran,

وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku” (QS. Al-Qashash: 34).

Mereka yang “gagal hijrah” bisa jadi disebabkan karena masih sering berkumpul dan bersahabat dekat dengan teman-teman yang banyak melanggar larangan Allah.

NUURUN ‘ALA NUUR

Cahaya di atas cahaya, ini yang disebut dalam surat An-Nuur ayat ke-35.

Maksud cahaya di atas cahaya adalah Al-Qur’an di atas iman, demikian diungkapkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Artinya Al-Qur’an akan lebih bermanfaat bila seseorang memiliki iman.
Maksud ini terlihat jelas jika kita memerhatikan hadits berikut ini.

Dalam hadits Shahihain dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an seperti buah Utrujah, rasa dan baunya enak. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma, rasanya enak walaupun tak ada bau wanginya. Permisalan orang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti buah Rayhanah, baunya wangi, namun rasanya pahit. Permisalan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah Hanzhalah, rasanya pahit dan baunya pun tak wangi

Dari hadits di atas, Ibnul Qayyim—moga dirahmati Allah—membagi manusia menjadi empat:
1- Orang beriman lagi ahli Al-Qur’an, merekalah manusia terbaik.
2- Orang beriman namun tidak membaca Al-Qur’an, yang kedua ini masih di bawah yang pertama. Namun kedua golongan ini masih termasuk orang yang berbahagia.

Orang yang sengsara adalah:
1- Orang yang diberi Al-Qur’an namun tak punya iman, merekalah munafik.
2- Ada juga yang tidak diberi Al-Qur’an, tidak diberi iman.

Setelah menyebutkan pembagian di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, Al-Qur’an dan iman keduanya adalah cahaya yang Allah tanamkan pada hati siapa saja yang Allah kehendaki dari hamba-Nya. Al-Qur’an dan Iman adalah sumber segala kebaikan di dunia dan akhirat. Karenanya, ilmu yang di dalamnya mempelajari Al-Qur’an dan Iman adalah ilmu yang paling utama dan afdal. Tidak ada ilmu yang lebih bermanfaat secara hakiki bagi seseorang selain ilmu Al-Qur’an dan Iman.

وَاللَّهُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah: 213)

Semoga jadi faedah yang bermanfaat. Faedah ini diambil dari kitab berharga yang dibawa saat safar yaitu Miftah Daar As-Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, juz pertama, hlm. 231-233, penerbit Dar Ibnul Qayyim, ditahqiq oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi hafizahullah, Cetakan pertama, Tahun 1433 H.
Rahasia di Balik Sakit

Hidup ini tidak lepas dari cobaan dan ujian, bahkan cobaan dan ujian merupakan sunatullah dalam kehidupan. Manusia akan diuji dalam kehidupannya baik dengan perkara yang tidak disukainya atau bisa pula pada perkara yang menyenangkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, _Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan_.(QS. al-Anbiyaa’: 35). Sahabat Ibnu ‘Abbas yang diberi keluasan ilmu dalam tafsir al-Qur’an menafsirkan ayat ini: “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan,
kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan.” (Tafsir Ibnu Jarir). Dari ayat ini, kita tahu bahwa berbagai macam penyakit juga merupakan bagian dari cobaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Namun di balik cobaan ini, terdapat berbagai rahasia/hikmah yang tidak dapat di nalar oleh akal manusia.

Sakit menjadi kebaikan bagi seorang muslim jika dia bersabar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya *semua urusannya merupakan kebaikan*, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan *jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya*. (HR. Muslim)

Sakit akan menghapuskan dosa

Ketahuilah wahai saudaraku, penyakit merupakan sebab pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah engkau lakukan dengan hati, pendengaran, penglihatan, lisan dan dengan seluruh anggota tubuhmu. Terkadang penyakit itu juga merupakan hukuman dari dosa yang pernah dilakukan. Sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah *disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri*, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. asy-Syuura: 30). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, *melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya*. (HR. Muslim)

Sakit akan Membawa Keselamatan dari api neraka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,” Janganlah kamu mencaci maki penyakit demam, karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan mengahapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi. (HR. Muslim)

Oleh karena itu, tidak boleh bagi seorang mukmin mencaci maki penyakit yang dideritanya, menggerutu, apalagi sampai berburuk sangka pada Allah dengan musibah sakit yang dideritanya. Bergembiralah wahai saudaraku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dari api Neraka (HR. Al Bazzar, shohih)

Sakit akan mengingatkan hamba atas kelalaiannya

Wahai saudaraku, sesungguhnya di balik penyakit dan musibah akan mengembalikan seorang hamba yang tadinya jauh dari mengingat Allah agar kembali kepada-Nya. Biasanya seseorang yang dalam keadaan sehatwal ‘afiat suka tenggelam dalam perbuatan maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, dia sibuk dengan urusan dunia dan melalaikan Rabb-nya. Oleh karena itu, jika Allah mencobanya dengan suatu penyakit atau musibah, dia baru merasakan kelemahan, kehinaan, dan ketidakmampuan di hadapan Rabb-Nya. Dia menjadi ingat atas kelalaiannya selama ini, sehingga ia kembali pada Allah dengan penyesalan dan kepasrahan diri. Allah ta’ala berfirman yang artinya, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri (QS. al-An’am: 42) yaitu supaya mereka mau tunduk kepada-Ku, memurnikan ibadah kepada-Ku, dan hanya mencintai-Ku, bukan mencintai selain-Ku, dengan cara taat dan pasrah kepada-Ku. (Tafsir Ibnu Jarir)

Terdapat hikmah yang banyak di balik berbagai musibah

Wahai saudaraku, ketahuilah di balik cobaan berupa penyakit dan berbagai kesulitan lainnya, sesungguhnya di balik itu semua terdapat hikmah yang sangat banyak. Maka perhatikanlah saudaraku nasehat Ibnul Qoyyim rahimahullah
berikut ini: “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali, -ed). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lampu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qodir Jawas)

Ingatlah saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, Sesungguhnya Allah ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.(HR. Tirmidzi, shohih).
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami keyakinan dan kesabaran yang akan meringankan segala musibah dunia ini. Amin.