Laman

Senin, 20 Oktober 2014

IQRO DENGAN QOLBU


Pardi berkeringat basah pagi itu. Nafasnya ngos – ngosan, seperti baru dikejar raja babi hutan.
“Olahraga kok dipaksa, Di. Kalau ngga kuat istirahat dulu . Jangan langsung lari tiga kilo.. “ sindir Dulkamdi
“Olahraga gundhulmu itu, “ jawab Pardi ketus.
“Terus?”
“ Saya ini cepat –cepat lari kemari, khawatir telat ketemu orang – orang disini, terutama pada Kang Soleh, sebab kabarnya ia mau pergi ke Jakarta “
“Ada apa sih?”
Sambil meredakan nafasnya, Pardi menjawab,
“Semalam saya menghadiri diskusi dikota , Dul. Narasumbernya dari Jakarta dan Surabaya. Ada Penanya yang cukup mengagetkan . dan lebih kaget lagi , narasumbernya tidak tahu jawabannya. “
“Memangnya bertanya apa, Di. Kan biasa dalam diskusi, kalau tidak bisa jawab, ya sudah, kalau berbeda pendapat , ya wajar..”
“ Orang itu menanyakan , kapan thariqat itu dimulai di zaman Rasul? Kapan pula Tasawuf dikembangkan? Nah, saya ikut manggut – manggut saja , ingin mendengarkan bagaimana jawabannnya, soalnya saya juga ngga mengerti, kapan ya thariqat sufi dimaulai di zaman Rasul. Kalau bentuk – bentuk alamiahnya, kita tahu, Dul. Kan banyak di buku – buku . Rupanya pertanyaan ini tidak ada dalam kitab maupun buku, Dul”
“ Bener juga kamu Di. Saya juga baru mendengarnya, Di..”
Rupanya hadirin di kedai Cak San menunggu seseorang , sebab mereka juga tidak tahu, kapan sufi di mulai di zaman Rasul?
“ Nah ini biangnya Kang, saya ngga mau basa – basi. Kapan sih dunia Thariqat sufi dimulai di zaman Nabi Muhammad S.A.W ?” Tanya Pardi tiba – tiba pada Kang Soleh
“ Untuk apa kamu tanyakan itu” sahut Kang Soleh
“ Pokoknya buat kita – kita pentinglah , Kang “
“ Kalau saya beri tahu, biar kamu nanti bisa berdebat begitu?”
“ Bukan begitu Kang . Kita – kita ini juga tidak tahu Kang, kata Dulkamdi juga tidak ada di kitab kuning..”
“ Memang Di, di kitab kuning tidak ada, apalagi kitab putih . Sebenarnya , kalau kita telusuri lebih dalam lagi juga ada. Hanya saja, perlu dijelaskan dengan pandangan – pandangan yang lebih tegas lagi.”
“Betul Kang..” jawab mereka kompak
“ Begini, Singkat saja ya.. Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi yang Sufi dan RAsul yang Sufi. Nubuwah dan Risalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini. Singkatnya, sejak Rasulullah menerima wahyu pertama kali di Gua Hira’ , saat itulah secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan “ Bacalah, dengan nama Tuhanmu.. dst” Rasulullah langsung membacanya.
Maksudnya, Jibril meminta membaca dengan dan bersama Tuhan. Nama Tuhan itu adalah Allah. Allah hanyalah sebuah nama bagi Tuhan. Maka Nabi pun membacanya dengan kalbunya, lalu bergemuruhlah dada Nabi dengan sebutan Allah… Allah.. Allah hingga bertahun – tahun, sampai mengalami istighraq atau jadzab , atau tenggalam dalam lautan Illahi, hingga tubuhnya menggigil. Dzikrullah , sebagai elemen utama Sufi dimulai dalam gua itu, Nah, jelas, kan?” Kata Kang Soleh mengakhiri penjelasannya.
Mereka mendengarkan dengan penuh penyimakan dan persunyian. Rasulullah menyatukan dirinya denga Asma Allah itu dalam hatinya. Artinya Rasulullah membaca dengan kalbunya. Bacaan kalbu beda dengan bacaan lisan. Bacaan kalbu adalah hasrat dan seluruh fakta kebenaran ideal yang terus bergelora.

Mencermati Kondisi Batin:

Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi
Bagi orang beragama, apapun agamanya, ada lima kondisi batin yang perlu dicermati. Pertama, ketika kita sudah mencapai maqam lebih tinggi, kedua, ketika kita sedang mempunyai hajat besar, ketiga, ketika kita sedang ditimpa musibah atau kekecewaan, keempat, ketika kita baru melakukan dosa besar, dan kelima, ketika kita sedang di dalam keadaan normal.
Apa dan bagaimana kiat-kiat yang sebaiknya dilakukan jika kita mengalami salah satu di antara kelima kondisi batin ini, akan diuraikan di dalam lima tulisan bersambung
Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada di Maqam yang Lebih Tinggi
• Tidak gampang mencapai maqam lebih tinggi dalam suluk, pencarian Tuhan. Kalaupun seseorang menggapai maqam lebih tinggi sering kali tidak permanen, kenapa?
• Bagaimana kiat mempertahankan maqam yang sudah dicapai dan senantiasa meningkat terus?
• Bagaimana cara mendapatkan husnul khatimah?
Maqam adalah ibarat sebuah tangga yang mempunyai beberapa anak tangga yang harus dilalui para pencari Tuhan (salik). Dari anak tangga pertama sampai puncak anak tangga memerlukan perjuangan dan upaya spiritual, mujahadah dan riyadhah. Anak-anak tangga (maqamat) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum maqam-maqam tersebut anatara lain: Taubat, shabr, qana’ah, wara’, syukr, tawakkal, ridha, ma’rifah, mahabbah. Tiga maqam terakhir sering dianggap sebagai maqam puncak.
Mujahadah dari akar kata jahada berarti berjuang dan bersungguh-sungguh. Seakar kata dengan kata Jihad berati berjuang secara fisik, ijtihad berjuang secara nalar, dan mujahadah berati berjuang dengan olah batin. Sedangkan riyadhah berasal dari kata radhyiya berarti senang, rela. Seakar kata dengan kata ridhwan berarti kepuasan dan kesenangan. Mujahadah dan riyadhah adalah dua hal yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seorang sufi atau salik.
Mujahadah dan riyadhah bisa mengambil bentuk berupa penghindaran diri dari dosa-dosa kecil (muru’ah), melakukan amalia-amaliah rutin seperti puasa Senin-Kamis dan puasa-puasa sunnat lainnya, tidak meninggalkan shalat-shalat sunnat rawatib (qabliyah dan ba’diyah) dan shalat-shalat sunnat lainnya, mengamalkan zikir dan wirid secara rutin, dan memperbanyak amal-amal sosial dengan penuh keikhlasan, serta meninggalkan nafsu amarah dan cinta dunia berlebihan.
Ketika seseorang dengan konsisten menjalani mujahadah dan riyadhah maka secara otomatis orang itu menapaki anak-anak tangga lebih tinggi. Cepat atau lambatnya perjalanan spiritual seseorang ditentukan bukan hanyaoleh kuantitas tetapi juga kualitas mujahadah dan riyadhah itu. Ada orang yang berhasil mencapai maqam kedua atau ketiga tetapi sulit lagi untuk naik ke maqam berikutnya karena tingkat mujahadah dan riyadhah-nya pas-pasan. Ada juga terus melejit dan tidak terlalu lama berada di dalam anak-anak tangga bawah. Semuanya tergantung konsistensi (istiqamah) seseorang.
Ketika seseorang merangkak naik meninggalkan posisi semula lalu berupaya dengan melakukan mujahadah dan riyadhah maka yang bersangkutan akan melahirkan sejumlah perubahan mendasar di dalam dirinya, yang dilihat dan dirasakan oleh bukan hanya diri yang bersangkutan tetapi juga orang laing, terutama bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Biasanya orang yang sudah memasuki anak tangga salik maka nampaknya banyak yang ketagihan, bahkan semacam ketergantungan, seolah perjalanan hidupnya selama ini kosong tanpa makna. Ia baru merasakan makna hidup yang sesungguhnya. Itulah sebabnya muncul fenomena keagamaan melakukan uzlah dan pengembaraan dari mesjid ke mesjid, dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Mereka meninggalkan keluarga, mengenyampingkan pekerjaan rutinnya di kantor, dan mengganti sahabat lama dengan sahabat spiritual baru.
Akan tetapi tidak sedikit pula orang yang kecewa di dalam pencariannya. Apa yang diharapkan dan diimajinasikan di dalam perjalanan spiritualnya berbeda dengan kenyataan hidup yang dialaminya, sehingga mereka kembali ke dunia lamanya, mungkin jauh lebih setback lagi ke belakang. Kedua kutub ”ekstrim” ini disebabkan oleh kurangnya pengenalan teoritis tentang dunia sufi dan tasawuf. Mereka langsung menjadi practicing tanpa pernah memperoleh introductions dari guru spiritual yang berpengalaman.
Fenomona kehidupan spiritual di masa depan cenderung semakin menyempal. Ini disebabkan oleh semakin luasnya potensi kekecewaan batin di dalam lingkungan kehidupan modern dan bermunculannya kelompok-kelompok pengajian plus. Seolah-olah masa depan itu datang lebih cepat melampaui kecepatan umat mempersiapkan diri. Akibatnya multiple shock sedang melanda umat kita. Bukan hanya cultural shock seperti yang pernah dibayangkan Alfin Toffler dalam karya monumentalnya, The Futur Shock.
Tidak saja terjadi di dalam umat Islam, melainkan juga umat-umat agama lain. Seolah-olah beberapa institusi dan pranata formal keagamaan yang sekian lama hidup di masayarakat dirasakan pemeluknya sudah termakan usia. Dengan demikian terjadi jarak antara ajaran agama dan kecenderungan isi hati dan jalan pikiran pemeluknya. Fenomena seperti ini berpotensi melahirkan sejumlah kekecewaan. Yang perlu dicermati, jangan sampai kekecewaan itu dilampiaskan ke dalam bentuk kegiatan-kegiatan radikal, yang seolah-olah akan berusaha membendung arus zaman. Maraknya terorisme dan kegiatan-kegiatan anarkisme yang bertema agama di sekeliling kita boleh jadi bagian inheren dari kekecewaan massif tadi.
Clifford Geertz dalam bukunya Islam Obeserved pernah mengingatkan kita bahwa manakala pemeluk dan ajaran agama sudah mulai berjarak maka akan lahir situasi yang gamang. Fenomena ini, menurut Geertz, akan melahirkan polarisasi di dalam masyarakat yang cenderung berhadap-hadapan satu sama lain. Akan muncul suatu kelompok moderat bahkan liberal, yang akan mengakomodasi dan memberikan pembenaran keagamaan terhadap perkembangan dunia modern, dengan menciptakan metode-motode modern, di antaranya pendekatan kontekstual, atau metode hermeneutik. Ayat-ayat dan hadis direkayasa sedemikian rupa untuk menjastifikasi kehendak zaman.
Kelompok ini sepertinya sudah pasrah dengan kehendak zaman. Akhirnya seolah-olah Al-Qur’an dan hadis yang harus tunduk kepada zaman modern, buakan lagi Al-Qur’an dan hadis yang harus memandu perkembangan zaman.
Pada saat bersamaan akan muncul kelompok radikal yang seolah-olah ingin menolak kenyataan hidup yang terlalu asing bagi mereka. Mereka merindukan zaman lampau yang pernah menciptakan The Golden Age. Mereka merindukan situasi kenabian (prophetic system) untuk mewadahi kecenderungan emosi keagamaannya. Mereka serta merta menolak gagasan pembaharuan dengan memberinya berbagai macam label, seperti sekuler, liberal, pluralisme, jahiliyah modern, deislamisasi, gerakan zionis, kristenisasi, nasionalis sekuler, westernisasi, dan berbagai label lainnya yang bisa memicu proteksi dan emosi keagamaan umat. Belum lagi atribut-atribut biologis dan pakaian menyerupakan diri dengan kelompok masyarakat (Arab) yang diidealisirnya sebagai komunitas ideal. Padahal, tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi the best muslim. Kita bisa tetap menjadi orang Indonesia tetapi sambil meraih insan kamil, manusia paripurna.
Orang yang sudah mengenal maqam tertentu perlu mencermati kondisi batinnya. Ada dua kondisi yang seriang dialami orang, yaitu hal dan maqam. Hal ialah kondisi sesaat yang dialami orang yang sedang mengalami spiritual moddd, ketika seseorang sedang hanyut dengan suasana batin tertentu, yang biasanya karena dipicu kejadiankejadian tertentu pada dirinya, misalnya ia baru saja ditimpa musibah, sedang kecewa berat, sedang mempunyai hajat dan kebutuhan berat, atau baru saja mengikuti majlis zikir yang mempesonakan dirinya.
Suasana batin orang ini memang merasakan perasaan lapang dada, tawadlu’, syukur, tawakkal, ridha, mahabbah, bahkan merasa begitu dekatnya dengan Tuhan.
Tindakan-tindakan sosialnya juga tiba-tiba berubah dan seolah menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Namun orang ini masih fluktuatif, tergantung mood-nya.
Sedangkan maqam kondisi batin permanen dialami seseorang karena sudah melalui proses pencarian panjang serta riyadhah dan mujahadah yang konsisten. Suasasana batin yang dialaminya bukan karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa khusus melainkan sudah melalui spiritual training yang amat panjang.
Namun tidak mustahil hal bisa menjadi permanen manakala orang itu memahami kiat-kiat khusus. Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing spiritual memang diperlukan dalam hal meningkatkan hal menjadi maqam. Di sinilah tarekat berperan untuk mengorganisir jamaah untuk melakukan mujahadah dan riyadhah secara sistematis.
Sistem setiap tarekat bervariasi, tergantung sang pendiri tarekatnya. Syekh, mursyid, dan tarekat memang besar manfaatnya bagi orang yang akan dengan serius menekuni dunia suluk.
Salik modern tidak mesti harus melakukan perubahan drastis dari berbagai aspek kehidupan. Seorang salik tidak tepat mendramatisir diri sebagai orang yang sangat spesifik, apalagi mengklaim diri sebagai kelompok ”manusia suci”. Sufi atau salik yang sejati ialah mereka yang mampu menyembuyikan diri dan kondisi batin yang dialaminya di depan orang lain.
Jika ada salik yang suka memamerkan ke salik-anya maka sesungguhnya belumlah ia seorang salik sejati. Salik sejati memilih untuk tidak populer dibumi untuk populer di langit (majhul fil ardh ma’lum fis sama’).
Di atas langit masih banyak langit. Seorang salik tidak bisa angkuh dan menganggap orang lain rendah dan kotor, atau menganggap salik selainnya keliru.
Dalam Q.S. al-Kahfi, Tuhan menegur Nabi Musa, sang manusia populer, dan mengunggulkan Khidhir, sang manusia biasa-biasa aja. Oleh karena itu, kitapun harus hati- hati membaca orang, sebab Tuhan Maha Pintar menyembuyikan kekasih-Nya di dalam berbagai topeng penampilan. Hati-hati!
Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda masih harus belajar. Kalau sudah menyalahkan dirinya sendiri berarti sudah sedang belajar. Kalau sudah tidak lagi pernah menyalahkan orang lain berati sudah selesai belajar, karena sudah