Laman

Rabu, 06 Agustus 2014

Tanda-tanda Kalam Yang Diizinkan Allah Swt


”Setiap wacana yang terucap, maka padanya ada pakaian qalbu, yang muncul dari qalbu itu.”
Inilah tanda-tanda wacana yang didahului oleh pencerahan cahaya, sehingga memiliki pengaruh dalam qalbu dan menggetarkan ruh, dan membangunkan rindu rahasia ruh. Sehingga jika kalam itu didengar oleh orang yang alpa, ia langsung sadar. Ketika di dengar oleh orang yang maksiat, ia langsung berhenti. Ketika didengar oleh orang yang ahli ibadah, semakin bangkit semangatnya dan rindunya membumbung. Bahkan ketika didengar oleh orang yang sedang berjalan, sirna kelelahannya. Sedangkan ketika di sengar oleh orang yang sudah wushul, ia semakin kokoh kondisi ruhaninya.
Sebagian kaum arif menegaskan, ”Siapa yang qalbunya dilimpahi ruhani, maka kalamnya penuh makna yang memancar dari hatinya memenuhi atmosfirnya yang begitu luas. Tetapi sebaliknya, siapa yang bicaranya penuh dengan kepentingan nafsu, ucapannya hanyalah ucapan bibir belaka, dan ia pun tidak bicara kecuali hanya dal;am nuansa empirik (lahiriyah inderawiyah), sama sekali tidak ada kedalaman maknanya. Karena itu siapa yang yang hatinya terhijab dunia, ia tidak mendengar dan tidak bisa didengar.”
Menurut Syeikh Ibnu Ajibah al-Hasany dalam syarah al-Hikam, manusia itu ada yang pandai bicara tetapi bodoh hatinya; tandanya adalah lebih memprioritaskan bicara dunia dibanding akhirat, atau bicara yang bersifat lahiriyah dibanding maknawiyah. Anda harus waspada dengan model orang seperti ini, karena hatinya mati, dan semua ucapannya tak lebih dari mayat dan bangkai.
Nabi Saw., bersabda, ”Dunia adalah bangkai, pemburunya hanyalah anjing-anjing.”
Syeikh Zarruq ra, mengatakan, manusia dibagi tiga dalam konteks ini: Orang yang bicara yang didengar; orang yang bicara yang tertolak; orang yang bicara terpadu; yaitu yang petunjuk dan wacananya memberi sariguna manfaat.
Pakaian qalbu yang memancarkan wacana adalah simpul dari Izin Allah Swt. Jika tidak ada IzinNya, maka tidak ada pakaian qalbunya, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Athaillah berikutnya:
“Siapa yang diizinkan (oleh Allah Swt.) untuk mengungkapkan wacana, maka ucapannya difahami oleh telinga-hati orang lain, dan petunjukkanya begitu jelas di hati mereka.”
Tanda-tanda kalam seseorang yang mendapatkan izin dari Allah Swt., maka kalamnya diterima dan difahami oleh qalbu. Begitulah Kalam para Nabi –semoga salam melimpah pada mereka– tak seorang pun mengingkari dari segi substansinya, namun mereka ada yang mengingkari esensinya, dengan kontra terhadap para Nabi.
Karena itu orang-orang musyrik dan kaum munafik terus menentangnya dengan berbagai kalimat seperti: Inilah sihir yang nyata! Sihir yang berpengaruh! Sihir yang berjalan! dsb.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Sang wali senantiasa dipenuhi pengetahuan, di hadapannya ada hakikat-hakikat yang disaksikan, sehingga ketika mengungkapkan kalam, seakan seperti langsung dari izin Allah Azza wa-Jalla padanya.”
Sebaliknya tanda kalam yang tidak mendapatkan izin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary:
”Kadang-kadang hakikat-hakikat itu tampak, namun redup cahayanya, karena itu menunjukkan padamu bahwa hakikat itu tidak diizinkan untuk ditampakkan.”
Hakikat itu muncul dari ilham yang berkait dengan perkara kema’rifatan dari dalam hati, dan ada gambaran dalam jiwa serta wacana yang keluar. Jika cahayanya sempurna maka akan tampak dalam batin dan lahir. Sedangkan ungkapan itu muncul dari cahayanya, yang mempersaksikan pada yang meraih hakikat untuk mewujudkan hakikat itu. Itulah kalam yang diizinkan untuk diungkapkan, dilapisi cahaya dan petunjuk matahati.
Jika tidak demikian, maka yang tampak hanyalah kegelapan, seakan seperti matahari yang terbit namun muncul dengan gerhanaya, sungguh tak bisa dilihat cahaya dan mataharinya.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Kalam yang diizinkan akan mengeluarkan kemanisan hati, keindahan dan pakaian elok. Sedangkan kalam yang tidak diizinkan untuk keluar, adalah kalam yang tertedupkan cahayanya, hingga dua orang yang sedang bicara yang bicara dengan benar terhadap satu hal, yang satu menerima yang satu menolak.”

Hakekat Kaya


Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya " Madarijus Salikin " menjelaskan makna kaya .
Kaya atau berkecukupan adalah salah satu persinggahan suatu perjalanan " Iyyaka na'budu wa iyyaka nastain ". Kaya ada dua macam:
Pertama; Kecukupan karena dari Allah.
Kedua; Tidak membutuhkan selain dari Allah.
Kedua duanya merupakan hakikat kefakiran.

Kaya merupakan sebutan kepada pemilik secara sempurna. siapa yang memiliki di satu sisi tapi tidak memiliki di sisi lain, berarti dia bukan orang yang kaya.Maka sebutan kaya hanya layak diberikan kepada Allah semata, sedangkan selain Nya adalah fakir.
Menurut Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, ada tiga tingkatan kaya, yaitu :
1. Kaya Hati.
Yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum, dan pembebasan dari permusuhan.
Hakikat kaya hati adalah hanya bergantung kepada Allah semata, sedangkan hakikat kefakiran adalah bergantung kepada selain Allah. Jika seorang hamba bergantung kepada Allah, maka dia memperoleh tiga hasil, yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum, dan terbebas dari permusuhan.
Selamat dari sebab artinya tidak bergantung kepada sebab. tapi tempat bergantungnya adalah kepada Pembuat sebab yaitu Allah.
Pasrah kepada hukum ada dua macam, pertama; pasrah kepada hukum agama yang bersifat perintah, yaitu menyesuaikan diri dan tidak menentangnya. Kedua; Pasrah kepada hukum alam yang berdasarkan taqdir, yang terjadi karena bukan pilihanya dan tidak kuasa untuk menolaknya .
2. Kaya Jiwa.
Yaitu istiqomah terhadap Allah, keselamatan dari bagian dan riya'.
Kaya jiwa lebih tinggi dari kaya hati.sebagaimana diketahui perkara hati lebih sempurna dan lebih kuat dari perkara jiwa. Namun di sini ada sentuhan lembut bahwa jiwa termasuk pasukan hati dan yang paling keras penentangnya. Dari jiwa inilah sesuatu bisa masuk. Dari jiwa kecukupan bisa masuk ke dalam hati, dan dari jiwa kefakiran bisa masuk ke dalam hati. Maka kekayaan jiwa ada tiga perkara, yaitu:
- Istiqomah terhadap Allah.
- Keselamatan jiwa dari bagian atau hal hal selain Allah dan tidak bergantung kepadanya.
- Keselamatan dari riya', yaitu kehendak yang ditujukan kepada selain Allah.
3. Kaya karena pertolongan dari Allah.
Dalam hal ini ada tiga tingkatan, yaitu:
- Pengingatan Allah terhadap diri hamba.
- Senantiasa memperhatikan ketetapan yang dibuat Allah.
- Keberuntungan mendapatkan Nya.
Dalam atsar Ilahy disebutkan;
Wahai anak Adam, carilah aku niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu sudah mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu, dan jika Aku membuatmu tidak mendapatkan Aku, maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu. Aku adalah yang paling kamu cintai dari segala sesuatu.
Siapa yang tidak mengetahui makna keberadaanya karena Allah dan keberuntungan mendapatkan Allah, maka lebih baik baginya untuk menaburkan debu dikepalanya dan menagisi dirinya.

Rahasia Anugerah


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Allah swt mengetahui bahwa para hamba itu berhasrat kepada munculnya rahasia pertolongan, maka Allah Swt, berfirman: “Allah mengkhususkan RahmatNya kepada orang yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 105) Dan Dia Tahu, bila mereka dibiarkan (mengetahui rahasianya), maka mereka akan meninggalkan amal itu, karena mengandalkan pada ketentuan Azali. Maka Allah Swt, berfirman ”Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-A’raf: 56)
PARA hamba Allah swt sangat berhasrat mengetahui bagaimana masa depannya, apakah ia dalam kondisi bahagia atau celaka, sehingga para hamba itu ingin tahu rahasia Pertolongan Allah Swt. Lalu mereka berdoa, melakukan berbagai amaliah.
Para keinginan para hamba itu, menurut Syteikh Zarruq, didasari oleh tiga hal:
Ingin mengenal segala sesuatu sampai ke akar-akarnya, yang merupakan naluriyah jiwanya.
Ingin mengenal faktor-faktor penyebab yang menghantar pada keinginannya.
Di dalam nafsunya ada klaim-klaim yang kuat, yang mendorong dirinya untuk mengenal faktor sesuai yang kehendaki.
Disinilah Allah Swt, mengembalikan bahwa segalanya itu atas kehendakNya, bukan kehendak kita. KehendakNya tidak ada yang bisa memaksaNya. Dialah Sang Penimbul, Pemula dan Pembangkit segalanya. TindakanNya tidak dilatarbelakangi oleh faktor tertentu, sedangkan semua faktor penyebab yang ada ini adalah ciptaanNya pula.
Allah Swt juga Mengetahui, jika hambaNya dibiarkan mengetahui rahasia pertolonganNya, dipastikan mereka malah meninggalkan amaliyahnya, karena bersandar saja pada ketentuan Azali.
Mereka akan mengatakan, “Bila di zaman azali ada ketentuan bahwa saya ahli syurga, untuk apa saya beribadah, berdo’a dan berusaha?”
Maka Allah Swt pun berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Amaliyah yang sholeh hanyalah pertanda akan adanya ‘Inayah, walau pun tidak menjadi sebab wajib yang menentukan ‘Inayah itu harus demikian.
Ibnu Athaillah menegaskan berikutnya:
“Segala sesuatu tergantung KehendakNya, bukan KehendakNya bergantung pada segala sesuatu.”
Segala yang ada ini muncul karena kehendak AzaliNya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak memiliki pengaruh apa pun, pada munculnya kehendak para hamba. Semua bergantung pada hukum Azali.
Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Swt, sebagai perwujudan kepatuhan hamba kepadaNya.
Al-Wasithy mengatakan, sesungguhnya Allah Swt tidak mendekati si fakir karena kefakirannya, juga tidak menjauhi si kayak arena kekayaannya. Seluruh makhluk ini tidak memiliki pengaruh, baik sukses maupun gagal, bahkan seandainya dunia adan akhirat anda serahkan sepenuhnya kepada Allah, anda tetap tidak akan sampai kepada Allah Swt, dengan dunia dan akhirat anda. Allah mendekatkan mereka kepadaNya, bukan karena sebab atau faktor tertentu, dan Allah mejauhkan mereka dariNya, juga bukan karena faktor-faktor tertentu. Allah Swt, berfirman: “Siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah baginya, maka ia tidak akan meraih cahaya itu.”
Namun, bila Allah Swt, menghendaki hambaNya untuk meraih anugerahNya, maka si hamba pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal sholeh serta ibadah yang benar, tetapi seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yang mengharuskan turunnya anugerah, namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yang sesungguhnya.

Memandang Yang Tersembunyi


“Allah Ta’ala menampakkan pada segalanya, karena Dia adalah Maha Batin. Dan Dia meliputi segalanya, karena Dia adalah Maha Dzohir (Maha Nyata Jelas).”
Tidak bisa wushul (sampai) mengenalNya kecuali melalui yang tampak dariNya, karena yang tampak itu menunjukkan atas DiriNya. Namun segala sesuatu menjadi sirna jika Dia Tampak, karena WujudNya mengapus segalanya dan ketidak bebasan atas AdaNya.

Maka, hikmah dibalik tampaknya sang makhluk, adalah wujud pengenalan ma’rifat padaNya, selain meraih kema’rifatan karena sirnanya sang makhluk. Maka Maha Sucilah Yang Maha Tampak dan Maha Batin nan Maha Mengetahui.
Karena itu beliau melanjutkan:
“Allah memperkenankan dirimu untuk memandang segala yang tersembunyi dibalik semesta makhluk. Dan Allah swt tidak mengizinkan anda untuk memandang atau berhenti pada wujud dzatnya makhluk. Dalam Al-Qur’an dikatakan, “Katakan, Lihatlah apa yang tersembunyi dibalik langit….,(Yunus 101) “
dan Allah swt tidak berfirman, “Lihatlah langit…!”. Maka Allah swt, akan membuka pintu kefahaman padamu. Allah tidak berfirman, “Lihatlah langit!” agar anda tidak terjebak pada wujud benda-benda.”
Ibnu Athaillah menggunakan kata “memperkenankan”, untuk menunjukkan bahwa memandang dan mencari bukti petunjuk dibalik langit itu tidak wajib hukumnya.
Karena itu ada seorang Syeikh diberi informasi oleh muridnya, bahwa “Ada orang yang mendapatkan bukti akan Ke-esaan Allah swt dengan seribu dalil.” Maka Syeikh itu menjawab, “Hai anakku, jika ia mengenal Allah swt, sama sekali ia tidak akan mencari bukti.”
Kata-kata syeikh itu akhirnya sampai pada sang cendekiawan yang punya seribu dalil, lalu berkata, “Benar gurumu! Karena mereka menyaksikan dengan nyata, sedangkan kami menyaksikan dibalik tirai.”
Ada seorang murid bertanya kepada gurunya, “Hai Ustadz, dimanakah Allah?”
Sang guru menjawab, “Hai! Kamu bisa dihanguskan Allah! Apakah kamu ini mencariNya dengan mata-kepala atas “dimana”?”
Orang yang menikmati keindahan semesta, menurut para sufi dilarang. Yang diperkenankan adalah memandang yang tersembunyi dibalik semesta langit dan bumi. Karena jika memandang isi langit dan bumi, seseorang bisa terjebak pada wujud bendanya, bukan yang ada dibalik benda.
Lalu apa yang ada dibalik benda-benda semesta ini? Yang ada hanyalah Asma’, Af’al dan SifatNya. Sehingga seseorang akan terus menerus musyahadah dan mengingatNya (berdzikir).
(Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)

SIFAT 20 DI BAGI 4







Dzat Allah merupakan perwujudan dari adanya Allah.
Dzat Allah Subhana Wa Ta'ala memiliki sifat-sifat yaitu sifat yang wajib, sifat yang mustahil bagi Allah, dan sifat yang ada pada Dzat Allah.
 




1. NAFSIAH - SIFATNYA PENCIUMAN / NAFAS

Nafsiah satu pasti, hal bagiannya.




1. WUJUD = “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.“ [QS. Al-A’raf: 54]

Wujud artinya ada, bukti adanya nafas, ada nafas tentu saja ada hidup, setiap ada hidup sudah pasti, ada Allah, sebab sifatnya hidup dari Dzat-Nya Sifat-Nya Allah Ta’ala
Keimanan seseorang akan membuatnya dapat berpikir dengan akal sehat bahwa jagat kabir dan jagat shagir ada, karena adanya Allah yang menciptakannya.




2. SALBIAH - SIFATNYA PENGLIHATAN/ MATA


Awasnya mata adalah yang pertama sebab itulah yang membuktikan Sifat Salbiah di mata, ada lima perkara, barangnya yang bukti:
1. Warna putih dari mata
2. Warna hitam dari mata
3. Warna kuning dari mata
4. Warna merah dari mata
5. Beningnya mata
lima barang jadi bersatu, kehendak Allah Ta’ala, setiap bagiannya sudah pasti ada rahasianya.






2. QIDAM = “Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Zhahir dan yang Baathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. “ [QS. Al-Hadid: 3]

Qidam berarti dahulu atau awwal. Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala sebagai Pencipta lebih dulu ada daripada semesta alam dan isinya yang Ia ciptakan.
 
 Qidam artinya permulaan, Syariatnya nyata di jasad manusia, sifatnya mata, awasnya mata paling pertama, karena penglihatan membuktikan sifat, sewaktu manusia masih ghoib, sebelum mengembara ke Alam Dunia. Ibu dan Bapak masih perawan dan bujang, setelah bertemu pandang, hati keduanya menjadi jodoh, setelah menikah “dua rasa menjadi satu” , lahirlah seorang anak, jadi asal mulanya adalah dari mata.
 

3. BAQA = “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. “ [QS. Ar-Rahman: 26-27]

Sifat Allah Baqa’ yaitu kekal. Manusia, hewan ,tumbuhan, dan makhluk lainnya selain Allah akan mati dan hancur. Manusia akan kembali kepada-Nya dan itu pasti. Hanya Allah lah yang kekal. Baqa, artinya adalah langgeng atau kekal, langgeng Dzat Allah/ Nurullah, hidup itu kepunyaan Allah ta’ala.

 
4. MUKHOLAFATU LIL HAWADIST = “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “ [QS. Asy-Syura: 11]

Sifat Allah ini artinya adalah Allah berbeda dengan ciptaan-Nya, Mukhalafatuhu Lilhawadist yaitu, Allah sangat berbeda dengan yang baru , tidak akan ada yang menyamai Allah dengan yang baru. Allah melihat tidak dengan mata, mendengar tidak dengan telinga, berucap tidak menggunakan bibir.  

5. QIYAMUHU BINAFSIHI = “Allah, tidak ada Ilah [yang berhak disembah] melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. “ [QS. Ali-Imran: 2]

Qiyamuhu Binafsihi artinya Allah berdiri sendiri, manusia juga tidak merasa, jasad manusia di buat oleh Ibu dan Bapak, walaupun “bertemu” seorang Bapak dan Ibu, sama sekali tidak punya niat untuk sengaja membuat anak, syariatnya dari Ibu, hakikatnya adalah kehendak Yang Maha Agung, yaitu wenangnya [sifat Jaiz] Allah Ta’ala, sangat wenang sekali Allah untuk menjadikan wenang dan tidaknya, tetapi kematian adalah suatu hal yang wajib.

6. WAHDANIYAH = “Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah, tentulah keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. “ [QS. Al-Anbiya: 22]

Wahdaniah adalah sah Dzat, sah Sifat, sah Asma dan Af’alnya. Wahdaniat menetap di yang empat, di bibir, mata, telinga, hidung, jika di hidung, Dzatnya yaitu penciuman, sahnya adalah pasti, jika yang di cium minyak wangi, tetap wanginya yang di akui, tidak akan tertukar. Dua sah Sifatnya apa yang di cium pasti, ketiga sah Asmanya, baunya, nama wanginya, tidak akan tertukar namanya, bau bangkai dan bau minyak wangi. Keempat sah Af’alnya , sah pekerjaannya, penciuman adalah nyata, tidak mau tertukar, yang bau tetap dengan baunya, yang wangi tetap dengan wanginya. Walaupun di mata sah Dzat itu, awasnya pasti, sah Sifatnya juga nyata, apapun yang dilihat, hitam, merah dan ungu, hanya sifat yang bukti, sah Asmanya dan Sifatnya juga pasti.
 
7. QUDRAT = “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. “ [QS. Al-Baqarah: 20]

Qudrat yaitu kuasa, tetapi kuasanya Allah, tidak memakai perkakas dan perabotan, jika punya maksud seperti mau membangun rumah, sebelum dikerjakan tentu di pikir dulu, gimana kemauan hati, rupa rumah yang akan di bangun, diatur-atur dan dicipta-cipta oleh hati dan pikir, agar rumah yang akan di buat menjadi bagus, pasti selaras dengan hati, sudah tercipta, dan nyatanya jadilah sebuah rumah yang sudah dibangun di dalam hati, rumah yang di buat tanpa memakai perkakas dan perabotan, kuasanya Allah, keterangan Qudrat yang sudah tidak bisa di rubah.





3. MA’ANI - SIFATNYA PENDENGARAN / TELINGA


 Ma’ani, nyata di telinga, tujuh bagiannya: lekuknya telinga tujuh, ke tujuh dengan liangnya, tidak ada yang mubazir, ada lekuk pasti ada sebabnya.






8. IRADAT = “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”
[QS. Hud: 107]

Iradat adalah Allah sifatnya berkehendak, bukti yang tadi, rumah sudah terlihat, ada di dalam hati, sekarang di jadikan kehendak, ingin membangun rumah, hakekatnya sudah terjadi, tinggal syariatnya, membuktikan Iradat. Iradat berarti berkehendak. Manusia hanya dapat berusaha dan berdo’a, namun hanya Allah yang menentukan. Kehendak Allah ini juga atas kemauan Allah tanpa ada campur tangan dari manusia atau makhluk lainnya. jadi iman siang dan malam, mengartikan Qudrat dan Iradat Allah.

9. ILMU = “Katakanlah [kepada mereka]: Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu [keyakinanmu], padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. Al-Hujurât: 16]

Ilmu adalah asalnya dari pengetahuan, dan Hayat adalah terang, pasti bersatu, sebab pengetahuan itu pasti tempatnya terang, Jasad dan Baathin tidak berbeda, jasad di dunia, bagaimana bisa melihat jika tidak ada terang, Baathin juga harus jelas, ‘ainal yakin sampai kepada terangnya, bukan terangnya siang, tapi terangnya Sifat Nur Ilmu Rasulullah di Qolbu, keyakinan tanpa ilmu, bagaikan daun yang jatuh dari pohon, terbang mengikuti angin, tidak mempunyai pijakan yang kokoh.

10. HAYAT = “Allah tidak ada Ilah [yang berhak disembah] melainkan Dia yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus [makhluk-Nya]; tidak mengantuk dan tidak tidur.” [QS. Al-Baqarah: 255]

Sifat Allah Hayat atau Hidup. Namun hidupnya Allah tidak seperti manusia, karena Allah yang menghidupkan manusia. Manusia bisa mati, Allah tidak mati, Ia akan hidup terus selama-lamanya.

11. SAMMA= “Dan Allah-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “ [QS. Al-Maidah: 76]

Allah mendengar, tapi tidak memakai telinga

12. BASHAR = “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi. Dan Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “ [QS. Al-Hujurat: 18]

Bashar Allah melihat tanpa menggunakan mata

13. KALAM = “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. “ [QS. An-Nisa: 164]
 
Kalam Allah berbicara tapi tidak menggunakan bibir.



4. MA’NAWIYAH - SIFATNYA PERKATAAN, memaknai PENCIUMAN, PENGLIHATAN, dan PENDENGARAN

Ma’nawiyah, tujuh pasti, bagiannya bergulung sifat dua puluh tadi, bergulung ke yang empat :
1. Bibir bawah
2. Bibir atas
3. Gusi atas
4. Gusi bawah
5. Langit bawah
6. Langit atas
7. Lidah
Gigi datang setelah manusia lahir ke Alam Dunia






14. QODIRUN [Dzat Yang Maha Berkuasa] = “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. “ 
[QS. Al Baqarah: 20]

Sifat Allah ini berarti Allah adalah Dzat yang Maha Berkuasa. Allah tidak lemah, Ia berkuasa penuh atas seluruh makhluk dan ciptaan-Nya
 

15. MURIDUN [Dzat Yang Maha Berkehendak] = “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki. “ [QS.Hud: 107]

Allah memiliki sifat Muridun, yaitu sebagai Dzat Yang Maha Berkehendak
 

16. ALIMUN [Dzat Yang Maha Mengetahui] = “Dan Alllah Maha Mengetahui sesuatu. “ 
[QS. An Nisa’: 176]

Sifat Allah ‘Alimun, yaitu Dzat Yang Maha Mengetahui. Allah mengetahui segala hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Allah pun dapat mengetahui isi hati dan pikiran manusia.
 
17. HAYYUN [Dzat Yang Maha Hidup] = “Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup kekal dan yang tidak mati. “ 
[QS. Al Furqon: 58].

Allah adalah Dzat Yang Hidup. Allah tidak akan pernah mati, tidak akan pernah tidur ataupun lengah.

18. SAMI’UN [Dzat Yang Maha Mendengar] “Dan kepunyaan Allah-lah segala yang ada pada malam dan siang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. “
[QS. Al Baqarah: 256].
 
Allah mendengar, tapi tidak memakai telinga

19. BASIRUN [Dzat Yang Maha Melihat] = “Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “ 
[QS. Al Hujurat: 18]
 
Allah melihat tanpa menggunakan mata
 
20. MUTAKALLIMUN [Dzat Yang Maha Berbicara] = Allah berkata melalui ayat-ayat Al Quran. Sifat yang dimiliki oleh Allah merupakan Dzat Suci, tidak bisa dibandingkan dengan manusia
Sifat yang dimiliki oleh Allah adalah merupakan bukti adanya Dzat/Nurullah, bukti sifat-Nya di diri manusia adalah, manusia melihat, maka sifat Allah adalah Maha Melihat. Manusia mendengar, maka sifat Allah adalah Maha Mendengar. Manusia berkata-kata, maka sifat Allah Maha Berkata-kata. Manusia mempunyai daya, maka sifat Allah adalah Maha Berkuasa. Manusia hidup, maka sifat Allah adalah Maha Hidup, namun sifat Allah lebih segalanya dan tidak bisa di bandingkan dengan manusia.



KENYATAAN SIFAT MAHA AGUNG, SIFAT MAHA TINGGI, SIFAT MAHA MULIA, SIFAT MAHA SUCI DI DIRI MANUSIA :


  SIFAT MAHA AGUNG
Nyatanya di diri manusia adalah PERKATAAN, tujuh bumi dan tujuh langit, yang begitu besar, kebesaran alam semesta (Jagat Kabir) dan wujud manusia (Jagat Shagir) yang diucapkan oleh semua manusia, sebagian menyebutnya dengan Asma Allah, dilisankan oleh perkataan, itulah tanda ke Agungan-Nya.

SIFAT MAHA TINGGI
Nyatanya, di diri manusia adalah PENGLIHATAN, itu adalah yang paling tinggi, buktinya langit yang tinggi tanpa tiang, bisa di kejar oleh mata, tidak ada yang menghalangi, di atas langitpun pasti terjangkau oleh awasnya mata, pasti bisa disusul ketinggiannya

SIFAT MAHA MULIA
Nyatanya di diri manusia adalah PENDENGARAN, mulianya adalah karena mendengar, tidak pernah sakit, yang ada adalah sakit kuping/telinga, mulia seterusnya.

SIFAT MAHA SUCI

Nyatanya di diri manusia adalah PENCIUMAN, nafasnya di hidung, paling suci, buktinya nafas tidak pernah kotor, biarpun tidak dicuci, nafas tetap bersih.





Syariat dan Hakikat, Tharekat Ma’rifat tidak bisa di pisah-pisah, harus bergulung menjadi satu, baik itu di Agama, apalagi di dalam Ilmu, sebab manusia juga sempurna bisa ada di dunia, tiada lain oleh yang empat, yaitu perkataan, penciuman, penglihatan, pendengaran, jadi jika kurang satu, tidak akan sempurna manusia hidup, apalagi jika kurang dua atau tiga.

Sifat dua puluh adalah jalan untuk tahu kepada Al-Qur’an, Agama samawi, jalan manusia ibadah kepada Allah, untuk mengamankan dunia, agar manusia di alam dhohir, hidupnya bisa rukun dengan sesama, maka jadilah ada Agama, berkat Rahman Rahim-Nya Yang Maha Agung, memuliakan kepada manusia, dari dunia sampai baathin, diunggulkan dari sesama mahluknya. Huruf yang dua puluh, pasti cukup, tidak akan kurang, malah tujuh belas, hakikatnya dengan segitu juga cukup, semua juga tahu, tiga puluh huruf pasti, itu adalah rangkapnya, bibitnya dari dua puluh.

Shalat, sehari semalam tujuh belas raka’at, tidak kurang dan tidak lebih, malah rukunnya juga tujuh belas di dalam ibadah, oleh tujuh belas juga cukup, tharekatnya nyusul yang tiga sifat. disusul oleh tharekat tujuh belas raka’at, adalah satu Dzatnya Allah, Sifatnya, Asmanya Allah Ta’ala.

Asmanya yang satu cukup kepada tujuh bumi, tujuh langit semuanya, itulah yang harus di susul, makanya Al-Qur’an hurufnya hakekatnya tujuh belas, yaitu nyusul yang tadi, Dzat, Sifat, Asma Allah ta’ala, kenyataan huruf yang tiga, yang tidak ada di Qur’an, yaitu huruf Ca yang pertama, ke dua huruf Nya dan huruf Nga yang ke tiga, itulah yang tidak ada di Qur’an tidak di tulis, itulah hakekat Dzat - Sifat - Asma Allah atau Allah - Muhammad - Adam itulah yang di cari, di susul oleh yang tadi yaitu tharekat Agama, yaitu pada waktu yang lima, sehari semalam, raka’atnya yang tujuh belas, rukun syahadatnya ada 9 = sembilan wali

100 - 1 = 99 Nama Allah, yang 1-nya adalah ;
DZAT WAJIBUL WUJUD, Dzat yang wajib adanya.
Sifat 20 adalah merupakan rangkuman dari sifat-sifat Allah yang lain, yang ada di dalam Al-Qur'an


“BARANG SIAPA MENGENAL DIRINYA, MAKA IA AKAN MENGENAL TUHAN-NYA”

Meraih Berkah Kemuliaan

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Rasa senangmu agar makhluk lain melihat keistimewaanmu, menunjukkan bahwa ubidiyahmu tidak benar.”
Bila seseorang memiliki keistemewaan dari Allah Swt, berupa ilmu yang bermanfaat, amal saleh yang banyak, atau pengalaman ruhani yang hebat, lalu ia secara diam-diam ingin diketahui keistemewaannya, maka dipastikan ubudiyah orang tersebut tidak benar.
Salah satu Sufi menegaskan, “Siapa yang senang jika amalnya dilihat manusia, maka ia adalah orang yang riya’, dan siapa yang senang jika pengalaman ruhaninya diketahui orang, maka ia adalah pendusta.”
Kondisi ini berlaku bagi para penempuh, namun untuk para ahli ma’rifat yang telah meraih hakikat dan musyahadah, maka tidak apa-apa jika ia tunjukkan amaliyahnya, menampakkan kebaikan ruhaninya, agar syukurnya benar-benar termanifestasi dan bias diteladani yang lain.
Namun bagi para penempuh ia akan mudah kagum pada diri sendiri, dan merasa cukup serta berakhir dengan takabur. Para pemula harus mewujudkan kefanaannya, hatinya lari dari pandangan makhluk menuju pandanganNya, menyembunyikan amal dan ihwal ruhaninya. Namun bila kefanaannya sempurna dan baqo’nya termaujud dalam hakikatnya, ia senantiasa bersama Allah Swt, maka biula Allah menghendaki untuk menampakkan ia tampakkan, jika Allah menghendaki menyembunyikan, ia sembunyikan. Ia sama sekali tidak berkait dengan soal tampak dan tersembunyi. Semua berkait dengan perintahNya belaka.
Ibnu Athaillah as-Sakandary meneruskan:
“Sembunyikan pandangan makhluk kepadamu dengan melihat pandangan Allah padamu, dan hilangkan penerimaan makhluk padamu, dengan melihat penerimaan Allah swt padamu.”
Maksudnya, jangan menginginkan pujian, diterima dan dihormati oleh manusia atas apa yang ada dalam diri anda, namun lebih konsentrasi kesenangan agar anda lebih diterima oleh Allah Swt.
Bagaimana pandangan makhluk kepadamu bisa merusak hatimu dengan Allah Swt, oleh karena itu rindumu dan rasa sukamu jangan pernah ada kecuali hanya demi pandangan Allah Swt padamu.
Apalagi jika anda berfikir agar citra anda naik di hadapan publik, nama anda agar dikenal, kemampuan anda disegani, ilmu anda dijadikan rujukan, amal anda dinilai besar, justru akan meracuni hatimu. Datangnya public dihadapanmu sebelum anda meraih kesempurnaan, akan melahirkan dampak psikologis yang membayakan hatimu, mulai dari rasa bangga, merasa lebih, terhormat, dan prestisius lain yang bisa merobek keutuhan hatimu kepada Allah Swt.
Sebagian sufi mengatakan, “Orang yang benar adalah yang tidak peduli, jikalau keluar nilai lebih dari yang muncul dari hati para makhluk terhadap kebaikan hatinya, juga tidak suka jika ada seberat atom amalnya dilihat manusia, tidak benci jika amal buruknya dilihat orang lain, karena kebenciannya itu menunjukkan bahwa ia ingin punya nilai lebih di hadapan makhluk. Jelas itu bukan tergolongkan keikhlasan orang yang benar.”