Laman

Selasa, 11 November 2014

Bersabarlah


PARDI mulai puyeng kepalanya. Segalanya terasa judek. Masalahnya seperti tumpukan sampah di depan mata. Sudah berbau menyengat, sepet dipandang. Bahkan lebih dari sekedar sampah.
“Di…Di…kamu ini masih muda, kok stress melulu…”
“Aku nggak stress, Cuma aku lagi jengkel bukan main…”
“Apa bedanya?”
“Beda donk Dul…”
“Bedanya?”
“Kalau stress itu hasilnya jengkel, kalau jengkel itu apinya stress… ha..ha..ha..”
“Nah, gitu donk tertawa… Kamu jengkel kenapa?”
“Saya jengkel pada diri sendiri, dan orang lain…”
“Itu namanya ujian…”
“Saya tahu ini ujian. Tapi ketika saya lagi marah, saya lupa Dul kalau itu ujian… Kalau menurut kamu bagaimana?”
“Saya punya kiat Di… Kalau aku lagi jengkel, sumpek. Saya lemparkan diri saya…”
“Haaaaah…!?”
“Maksudku saya berusaha melemparkan hati saya ke pintunya Allah. Terserah Gusti Allah saja…”
Pardi manggut-manggut dengat kiat Dulkamdi. Lama sekali dua sahabat itu terdiam, hingga kopinya hampir dingin.
“Soal kiat bersabar kan…?” Tiba-tiba dua orang itu bicara serentak lalu tertawa-tawa. “Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas” (Q.s. az-Zumar: 10) Tiba-tiba kang soleh muncul dengan mengutip sebuah ayat. “Kata Al-Junaid – ra himahullah – Sabar adalah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan”.
Sementara Ibrahim al-Khawash – rahimahullah – berkata “Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar. Kemudian mereka berlindung diri pada berbagai sarana (sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya seakan-akan sesuatu yang bisa memberinya”
Ada seseorang datang kepada asy-Syibli dan bertanya, “Sabar yang mana yang sangat berat bebanya bagi orang-orang yang bersabar?”
Asy-Syibli menjawab. “Sabar demi Allah SWT (fillah)” Orangitu berkata, “Tidak!!”
Asy-Syibli menjawab lagi, “Sabar bersama Allah (ma’Allah)”. Ia pun berkata, “Tidak!!”
Akhirnya asy-Syibli marah dan balik bertanya, “celaka kau!! Lalu apa?”
Orang menjawab, “Sabar dari Allah (‘anillah)”. Kemudian asy-Syibli berteriak keras dan hampir ruhnya tercabut.
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Salim di Basrah tentang sabar. Lalu ia menjawab dengan tiga jawaban: Pertama, orang yang berusaha untuk bersabar (mutashabir). Kedua, orang yang sabar (shabir) dan ketiga, orang yang sangat bersabar (shabhar). Maka, orang yang berusaha bersabar adalah orang yang sabar demi Allah SWT (fillah). Suatu saat ia bersabar atas hal-hal yang tidak diinginkan, tapi di saat yang lain ia tak sanggup bersabar.
Tingkatan ini sebagaimana yang pernah ditanyakan kepada al Qannad tentang sabar. Kemudian ia menjawab, “Sabar ialah senantiasa melakukan yang wajib dalam meninggalkan apa yang dilarang dan tekun melakukan apa yang diperintahkan. Orang yang sabar adalah orang yang sabar pada Allah dan karena Allah. Ia tidak pernah gelisah dan tidak memperkenankan ada kesempatan gelisah dan harapan untuk mengeluh”.
Sebagaimana juga dikisahkan dari Dzun-Nun al-Mishri-raimamullah – yang berkata: Saya pernah datang menjenguk orang sakit. Tatkala ia berbicara padaku ia merintih kesakitan. Kemudian saya berkata kepadanya, “Tidak dianggap jujur cinta seseorang jika tidak sabar atas bahaya yang menimpanya”. Kemudian orang yang sakit balik berkata, “Justru tidak bisa dianggap jujur cinta seseorang bila ia belum bisa merasakan nikmatnya bahaya yang menimpanya”.
Sebuah hadist: “Bahwa Nabi Zakaria a.s tatkala gergaji diletakkan diatas kepalanya, maka ia sekali merintih kesakitan. Kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya, “Jika terdengar rintihan darimu sekali lagi, sungguh Aku akan menjungkir-balikan langit dari bumi antara yang satu dengan yang lain”. (diriwayatkan dari Wahb. Ini cerita dari Bani Israel. Tidak benar bila cerita ini dinisbatkan kepada Aabi SAW).
“Apakah kisah-kisah ini bisa membuat kita lebih sabar Kang?” tanya Pardi.
“Membaca kisah-kisah orang tentang kesabaran, akan memancarkan cahaya sabar akan mematikan amarah kita… Di…”

Kedamaian


KANG Soleh berkali-kali merngepuskan asap rokoknya ke angkasa. Kepulan asap itu hampir-hampir membuat Kedai Cak San melayang ke udara. Sesekali ia ucapkan istighfar, lain kali jemari kakinya mengetuk-ngetuk ke arah meja. Kang Soleh stres? Tidak! Sebab, ia tampak sedang mencari-cari sesuatu. Kadang ia tersenyum sendiri, kadang bola matanya mengembangkan genangan air mata. Kadang wajahnya sedikit mendongak ke atas, kadang matanya memandang tajam pada satu objek tertentu.
Cak, tidak berani bertanya. Seringkali hal itu dialami Kang Soleh. Tapi, bagi Pardi dan Dulkamdi, kondisi Kang Soleh seperti itu dianggap sebagai bagian dari tema diskusi. Kalau perlu dijadikan objek kajian di majlis kedai kopi itu.
“Dul, pengetahuan apa yang paling utama diantara sejuta ilmu pengetahuan yang ada?” tanya Pardi.
“Pasti ilmu kedokteran. Sebab ilmu itu diilhami oleh penciptaan Siti Hawa’ dari rusuk Adam, itu kan bagian utama dari teori ilmu bedah,” jawab Dulkamdi.
“Bukan, ilmu teknik dan bangunan!” sela Wakidi,” sebab Allah menciptakan alam raya ini melalui teknologi dan teknik struktur yang dahsyat.”
“Kalau saya pasti ilmu politik, sebab dalam menciptakan jagad raya ini, Allah perlu membuat aturan-aturan hukum. Itu kan konsentrasi dunia politik. Apalagi Allah itu Maha Kuasa…ha..ha…ha…” kata anggota majlis kopi lainnya.
Perdebatan ilmu mana yang paling utama berlanjut seru. Masing-masing membuat argumentasi dan klaim paling benar. Bahkan diskusi itu tiba-tiba berubah menjadi debat kusir yang mengarah pada emosi. Suasana jadi geger.
Merlihat suasana seperti itu, Kang Soleh diam saja. Ia biarkan sampai dimana anggota majlis kopi itu menyelesaikan masalah sekaligus mencari solusi sosialnya.
“Kalian ini seperti anak-anak saja…” kata Kang Soleh menyela perdebatan itu. Mereka lantas terdiam, sambil menghela nafas dalam-dalam. “Ya itu… seperti kalian itu… inilah yang sedang saya pikirkan. Mengapa kedamaian kita tidak pernah terwujud? Saya tahu mengapa tidak terwujud? Tetapi saya masih penasaran, mengapa Sandiwara Ilahiyah tentang arah perdamaian ini, belum kita rasakan? Atau mungkin karena dosa-dosa kita sehingga mata hati kita kabur memandang mosaik kedamaian yang hakiki?”
“Wah, sorry Kang, kita memang kebacut! Tapi pasti ada hikmahnya Kang,” kata Pardi mewakili teman-temannya. “Tapi bagaimana sebenarnya menurut Kang Soleh, apakah prioritas utama atas pengetahuan itu salah, Kang?”
“Semua ilmu itu milik Allah. Karena itu ilmu yang lebih mendekatkan kepada Allah itulah yang harus Anda cermati dulu. Tetapi jangan sampai Anda mengabaikan yang lain, karena ilmu itu semua dari Allah swt.”
Mereka hanya manggut-manggut belaka, memahami wacana Kang Soleh, sembari menghayati dalam hati masing-masing, menurut potensi hati masing-masing, dan menurut situasi pergolakan hati masing-masing.
“Yang dirisaukan Kang Soleh tadi?”
“Saya hanya heran. Setiap hari, sehabis salat, kita baca doa, Allahumma Anta as-Salaam, wa-Minka as-Salaam, wailaika Ya’udus Salam, Fahayyina Rabbanaa bis-Salaam, wa-Adkhilnal Jannata Daaras Salaam…(Ya Allah, Engkaulah kedamaian, dari-Mu-lah kedamaian itu, dan kepada-Mu-lah kedamaian itu berpulang. Maka damaikanlah hidup kami, dan masukkanlah kami ke Syurga penuh damai…). Lha, iya, kok masih terus bengekerengan seperti kamu-kamu ini….”
“Kalau Kang Soleh heran…apalagi kami-kami ini Kang!”
“Ya…,saya dengan kalian, tidak ada bedanya. Sama-sama hamba Allah.
Soal penghayatan, saya yakin Cak San bisa lebih mantap daripada saya. Tapi benar juga ya, barangkali karena orang yang mengucapkan doa tadi tidak disertai zikir dalam hatinya. Sebab, kedamaian itu tidak terletak pada mulut dan anjuran. Palagi setelah dicarikan jalan dan direkayasa, malah nggak damai-damai. Damai itu kan, bermula dari jiwa kita sendiri. Dan jiwa kita bisa damai kalau jiwa kita berzikir, ingat terus menerus kepada Allah. Kalau begitu dusta, orang yang bicara kedamaian tanpa zikrullah!”.
Sambil manthuk-manthuk, Kang Soleh bangkit dari duduknya, tanpa babibu, ngeloyor saja keluar dari kedai.
Dulkamdi dan Pardi, Wakidi dan yang lainnya, saling memandang satu dengan lainnya. Mereka mencoba mengerti apa yang dikatakan Kang Soleh, dan mereka pun tersenyum simpul, kecuali Dulkamdi yang tertawa

Menyebut Nama Allah


Pagi yang dingin, embun turun seperti kapas melambai. Tiba-tiba muncul serombongan orang-orang yang tampaknya berpenampilan religius. Pardi dan Dulkamdi penasaran. Karena mereka banyak sekali bicaranya, dan sedikit-sedikit meneriakan Allahu Akbar…! Masya Allah…! Subhaanallah…!.
Gerangan apa, pikir Pardi yang membuat orang-orang ini mengenal Kedai Cak San? Pardi mengernyitkan jidatnya sampai berlipat-lipat.
“Dul, bagaimana menurutmu?”
“Kamu ini kayak nggak tahu kedai ini saja. Walaupun kecil, terpencil, sederhana, kedai ini hampir seterkenal KFC dan McDonald, nggak usah heranlah…”
Mereka pun memesan kopi dan makan kecil pagi itu, sambil berdiskusi sendiri, tanpa menghiraukan hadirnya Pardi dan Dulkamdi. Suara mereka cukup keras, karena setiap pembicaraan selalu diiringi kata-kata yang menyebut nama Allah dengan keras dan lantang.
Pardi tampak gregetan. Ia gelisah. Bukan karena nama Tuhan disebut berkali-kali, tapi cara mereka menyebutkannya seakan-akan sebegitu “murah” nama Tuhan itu, hanya sebagai bunyi-bunyian basa-basi. Bukan muncul dari cahaya hatinya. Tapi muncul dari busa-busa mulutnya.
“Hai Dul!” tiba-tiba Pardi berteriak memanggil Dulkamdi.
“Apa…?”
“Gusti Allah tidak butuh kamu. Tidak butuh kau sebut-sebut nama-Nya… Tidak butuh kau sembah…”
“Tenag Di… tenag…” kata Dulkamdi.
Pardi rupanya berakting juga. Aktingnya membuat terperanjat orang-orang itu. Di antara mereka ada yang bermuka merah padam, menahan amarah.
“Bung… jaga mulutmu ya…” kata salah satu dari mereka.
“Oh, ya… Mulutku selalu saya jaga dengan kebenaran. Apa ada yang salah…?” timpal Pardi.
Suasana jadi agak merisaukan. Kedai Cak San akan berubah jadi kafe yang penuh dengan pemabuk yang hendak berantem satu sama lain.
Tiba-tiba, ada sosok gembel memasuki kedai itu. Rambutnya agak keperak-perakan, tetapi tidak ada bau di badannya walaupun pakainnya lusuh. Matanya tajam menghujam siapa pun yang di pandangnya. Sosok setengah baya itu mengejutkan hadirin yang mau bertengkar dan meredakan suasana tiba-tiba.
Kenapa? Rupanya lelaki itu membawa golok putih mengkilap yang tajam. Ia tancapkan di meja kedai itu, sambil berdehem-dehem dengan sorot mata tajam menyapu seisi kedai. Semua orang gemetar, termasuk Pardi dan Dulkamdi, kecuali Cak San yang tenang-tenang saja. Pardi memberanikan diri mendekati sosok itu.
“Kenalkan, saya Pardi Pak…”
“Hmm…”
“Pedangnya bagus dan tajam Pak…”
“Hmmmmm…”
“Asli dari mana Pak?”
“Dari Dia…”
“Tujuan?”
“Dia…”
“Sekarang?”
“Bersama Dia…”
Pardi langsung mencium tangan orang itu berkali-kali. Sebuah pemandangan yang aneh bagi orang-orang yang sedari tadi mau bertengkar dengan Pardi.
“Sekarang mau apa Pak?”
“Sekarang sama mau jadi jagal. Tahu Jagal?”
“Jagal sapi Pak?”
“Ya Jaga sapi yang mengaku manusia, atau manusia yang sesungguhnya sapi…!”
Pardi terhenyak!
“Maaf, maksud Bapak?”
“Kamu ini goblok! Sudah lama jadi pelanggang warung ini, kok semakin goblok!”
“Maaf Pak…”
“Ya! Saya akan penggal leher orang yang mengobral nama Allah, menyebut-nyebut nama-Nya…?”
Kalimat itu membuat gentar seluruh isi ruangan kedai itu. Mereka pun juga saling berbisik, hendak lari saja dari warung itu…
“Kenapa? Ada yang salah…?”
“Nama Allah itu agung, quddus, suci, luhur, tinggi, tak ada yang menandingi. Kalau nama-Nya disebut-sebut dengan jiwa yang kotor, hati yang ruwet, nafsu yang berkobar, jiwa yang penuh riak, berarti itu sama dengan menghina Allah. Akan saya penggal lehernya! Apalagi nama Allah di jadikan basa-basi… Awas…! Saya tidak main-main!” bentaknya sambil menggebrakkan pedang itu ke meja kedai.
Suasana jadi menggetarkan dan sangat mencekam. Tiba-tiba serombongan orang-orang tadi yang menyebut-nyebut Masya Allah, Allahu Akbar, Subhanallah… bersungut-sungut, satu per satu keluar dari kedai itu. Rupanya mereka ketakutan jika ancaman orang “gila” ini benar-benar terjadi.
Sekelebat orang itu berdiri menghadap ke luar, ia tersenyum. Rupanya Kang Soleh datang. Dan dua orang itu berpelukan erat, lama sekali pelukan mereka tak lepas. Pardi dan Dulkamdi yang geleng kepala. Dua oring gila bertemu….

SANG ZAHID


Seorang kiai yang perlente, dengan celana bermerk sangat mahal, baju yang necis, dan sepatu mengkilat, tiba-tiba jadi bahan diskusi di majlis kedai kopi Cak San. Pasalnya, kemarin sang kiai yang sangat dihormati itu baru saja bertemu dengan sejumlah kiai lain di Muktamar NU, tetapi tidak digolongkan oleh para muktamirin sebagai kiai Khos, atau kiai
dengan dunia metafisika khusus yang memiliki kelebihan batin.
“Bagaimana dengan muktamar para kiai kemarin, Di….punya kesan-kesan khusus?” tanya Dulkamdi pada Pardi.
“Wah, soal kesan khusus ada Dul. Tapi saya ini kan penggembira. Saya juga hanya senang beramai-ramai, nguping sana, nguping sini, sambil mencari berkah. Siapa tahu saya nanti bisa menjadi pengganti Gus Dur yang sebenarnya…haaa..ha…ha…”
“Kamu jadi Banser saja Di!”
“Maksudmu banserep atau banseser.”
“Wah, jangan mentang-mentang ada anak PMII yang menuntut pembubaran Banser, kamu menghina singkatan Banser. Kalau nggak
ada Banser, Indonesia ini bisa berbahaya Di…” ucap Dulkamdi sedikit emosi.
“Iya, deh. Saya hanya bercanda. Tapi ketahuilah wahai umat manusia, saya benar-benar menyaksikan suatu teater yang sangat menyedihkan. Kisah-kisah pahit dan kezaliman, yang mengingatkan tragedi perang Uhud di masa lalu…”
Pardi yang semula bicara sambil cengengesan itu tiba-tiba jadi serius dan suaranya terputus-putus seperti nyantol di kerongkongan. Ia sulit mengungkapkan bahasa kepahitan, kecuali hanya bisa dirasakan sendiri, ketika luka-luka hatinya harus tergores lagi oleh duri yang masih mengganjal dalam dagingnya.
“Maksudmu bagaimana Di…”
“Banyak pelajaran yang kita terima di sana Dul. Bayangkan, ada model banyak kiai menurut istilah muktamirin, tetapi menurut hati saya tidak demikian. Kiai yang perlente yang sedang kita bicarakan itu, sebenarnya malah menjadi mbahnya kiai Khos, tetapi karena soal penampilan para muktamirin mengabaikan.
Mereka juga masih ada yang mengagungkan keangkeran, jubah, jenggot dan atribut yang berbau religius. Saya nggak tahu, dunia para kiai pun bisa keblinger, apalagi dunia awam seperti kita….”
Kang Soleh sedari tadi yang mengepulkan asap-asap rokoknya saja, sambil memperhatikan Cak San yang asyik menggiling kopinya di pagi itu. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Pardi, dan bagaimana seharusnya bersikap terhadap tragedi kemunafikan hati itu sendiri…
“Bagaimana sih Kang, saya malah jadi sumpek melihat wolakwaliking zaman ini…” tanya Pardi kepada Kang Soleh.
“Nggak usah gelisah. Kita harus bisa berdamai dengan diri sendiri dan berbaik sangka kepada Tuhan. Memang Allah masih menakdirkan kondisi hati para kiai seperti itu kok, kita mau apa. Kalau kita susah, itu berarti kita ikut campur urusan Tuhan. Soal hidayah itu urusan Tuhan. Bukan urusan kita-kita ini.”
“Ya, tapi mestinya, mereka ini kan menjadi pemuka umat…”
“Itu kan karepmu, tapi karepe Gusti Allah tidak begitu, kok…”
“Jadi bagaimana dong…:”
“Ya, kita mulai dari diri sendiri. Allah memberi petunjuk kepada kita, untuk meneladani hati seseorang. Bukan pada penampilannya. Kiai perlente yang jadi pembicaraan kita itu, sebenarnya, hatinya lebih perlente di hadapan Allah.
Sepatu, jas, dasi, pakaian yang sangat mahal dan bermerk itu, sama sekali tidak berpengaruh pada hatinya. Nilainya sama dengan suwal bodol dan kolor dobol kamu… Itulah Zuhud yang sebenarnya…”
“Nah, itu yang saya tunggu Kang!” potong Dulkamdi. “Kita ini kadang tertipu oleh penampilan seseorang. Coba, banyak umat kita terpedaya hanya karena popularitas kehebatan seseorang dengan jubah ahli hikmah, ahli batin, dan kehebatan atau pun kharisma. Lalu umat berbondong-bondong mencari berkah. Padahal….”
“Ya, tapi kamu tidak boleh emosi menghadapi kenyataan seperti itu. Yang penting harus kita pegang bersama, bahwa yang disebut Zuhud dalam tasawuf itu bukan berarti kita tinggalkan dunia ini, lalu kita jadi jembel, kita terlantarkan keluarga dan masyarakat kita, kita abaikan hiruk pikuk dunia dini. Tidak. Zuhud yang hakiki adalah lahiriyah kita tetap dalam gerak gerik duniawi, fisik kita tetap di kandang babi, tapi hati kita bersemai damai di Rumah Ilahi sana, di Arasy sana, tanpa peduli dengan gejolak atau tragedi, sekalipun kemunafikan menimpa para tokoh umat kita.”
Kang Soleh lalu diam. Wajahnya juga tampak duka. Tidak jelas apakah ia juga turut bersalah diri karena berduka atas kenyataan Ilahi yang ditakdirkan pada para tokoh umat ini, atau sekadar tidak mampu menahan haru melihat kepedulian teman-temannya di kedai itu. Wallahu A’lam.

Maqom Para Hamba


Ada kalangan yang diposisikan Allah untuk berkhidmah (bakti) kepada-Nya, dan ada kalangan yang oleh Allah dikhususkan mencintai-Nya. “Kesemuanya Kami anugerahi mereka, dan mereka itu mendapatkan anugerah dari Tuhanmu, dan anugerah Tuhanmu tidaklah terhalang”.
Tiba-tiba Kang Soleh berpidato layaknya Kyai saja. Ia kutib dawuhnya Ibnu Athaillah.
Para hamba Allah ada yang masih dalam tahap sebagai hamba yang penuh berikhtiar untuk melakukan perjuangan dan pengabdian. Mereka ini adalah para Muridin, yaitu para hamba yang terus berharap agar bisa wushul kepad Allah Ta’ala.
Mereka ini terdiri atas tiga golongan: Pertama, kaum ‘Ubbad, yaitu ahli ibadah. Kedua, A-Zuhad, yaitu para ahli zuhud yang disebut sebagai para Zahid. Kaum yang berusaha menepiskan dunia dari hatinya. Ketiga, kaum ahli Thaat, yaitu ahli kebajikan.
Kaum ‘Ubbad adalah mereka yang selama ini tekun beribadah dengan tujuan agar menghasilkan suatu balasan dari Allah atas ibadahnya
Sedangkan kaum Zahid alah mereka yang lari dari kepentingan duniawi, membuang hasrat duniawi demi konsentrasi jiwa pada Allah agar kelak jiwanya bersih dari dunia dan dunia hanya ada dalam akal, pikiran dan indera fisiknya belaka. Mereka terus menekuni dzikrullah pagi hingga sore hari, sore hingga pagi hari.
Ahli Tha’at adalah mereka yang berusaha menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya, terus menerus berbuat kebajikan agar apa yang dilakukan benar-benar selaras dengan perintah dan kehendak-Nya. Mereka harus berbuat ketaatan, karena mereka akan merasa tersiksa manakala terlempar dari kepatuhan pada Allah Ta’ala.
Ketiga kalangan di atas menempuh jalur maqomat aubudiyah.
“Stop Kang…Stop… !! aku mumet. Jangankan mencari posisiku, memahami saja pidatomu itu sudah mbrodoli rambutku. Gampangnya gimana gitu…” protes Pardi menghangatkan suasana pagi.
“Sebentar Di…, saya ini belajar pidato, kamu ndengarin atau tidak, bukan urusan saya. Saya sedang pidato dengan angina, pada daun-daun, pada kompor dan pada sungutmu itu….”
“Wah… kalah pildacil. Kenapa nggak ikutan lomba sekalian Kang…?”
“Itu kan tontonan. Saya lagi gremengan menurut saya sendiri untuk saya sendiri. Kalian tinggal dengarkan, kan beres…”
“Terus Kalau begitu Kang…”
“Sementara para hamba yang diposisikan secar istimewa melaui jalan Cinta, juga terdiri dari tiga golongan:
Pertama Al-Muhibbun (para pecinta Allah). Seorang pecinta, tandanya akan senantiasa mempriotaskan yang dicintai, di atas segalanya. Seorang pecinta diliputi kerinduan yang dahsyat untuk memadu kasih dengan-Nya, agar ia sendiri siap memanggil dan bermunajat dengan-Nya. Dengan panggilan Wahai Kekasihku… Dan kelak ketika ia menemukan Kekasih Yang Hakiki, ia meraih tahap yang disebut dengan Al-Mahmbubin, yang dicintai-Nya. Tahap agung tiada tara
Kedua, Al-‘Arifun (para ahli ma’rifat). Seorang hamba yang ma’rifat kepada Allah Ta’ala, akan senantiasa menyaksikan Allah dimana-mana, dalam segala yang ada, diatas yang ada, di bawah yang ada, sesudah dan sebelum yang ada semesta ini. Kaum ‘Arifun senantiasa Musyahadah (menyaksikan Allah) dalam apa pun, dan puncak musyahadah itulah ma’rifat yang sesungguhnya. Musyahadah itu ada dalam jiwa, bukan dalam wacana dan akademika. Karena itu jika seseorang merasa ma’rifat tetapi tidak ada musyahadah, maka ma’rifatnya bisa fatamorgana.
Banyak juga yang mengklaim atau diklaim telah ma’rifat hanya karena seseorang mengetahui yang ghaib dan tersembunyi. Klaim itu tidak benar sama sekali, karena orang yang ma’rifat tidak punya kepentingan dengan yang tersembunyi, rahasia sesuatu, kecuali yang disaksikan hanya Allah belaka.
Ketiga Al-Wahilun (orang-orang yang sudah sampai kepada Allah). Pertemuan Allah dengan hamba bukanlah pertemuan dzat dengan dzat. Bukan pula pertemuan dua hal yang berbeda seperti imajinasi kita. Pertemuan itu tidak memberikan peluang kepada apapun, karena “apapun” itu tidak pernah ada, kecuali yang ada hanya Allah Ta’ala. Ia tidak butuh apapun. Al-Washilun adalah kaum teristimewa dari sebelumnya (lihat Asy-Syuura: 13).
Allah menganugrahi derajat ruhani menurut kehendak-Nya tanpa ada yang menghalangi, mencegah sesuatu menurut kehendak-Nya tanpa didahului sebab akibat. Semua dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Oleh sebab itu kita semua harus belajar memandang semuanya sebagai anugerah, keutamaan dan rahmat-Nya. Begitu…. Saudaraku…”
Tepuk tangan menggemuruhi kedai Cak San. Dasar Kang Soleh kadang seperti kanak-kanak, kadang lebih tua dari kakek-kakek. Dasaaar……

Ikhlas Dalam Ramai Dalam Sunyi


Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany
Orang yang beriman adalah orang yang hijrah dari nafsunya, lalu berguru kepada seorang Syeikh yang bisa mendidiknya memberikan pengetahuan, dan terus belajar dari kecil hingga mati. Kemudian terus membaca Al-Qur’an, kemudian mendalami Sunnah Rasulullah Saw, maka ia akan mendapatkan taufiq dari Allah Swt. Karena ia mengamalkan apa yang diketahui menuju kepada Allah azza wa-Jalla.
Sepanjang ia mengamalkan ilmunya, ia akan diberi ilmu oleh Allah yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Hatinya teguh dalam berpijak, dan ikhlas dalam melangkah menuju Allah azza wa-Jalla.
Bila anda mengamalkan ilmu anda, tetapi tidak membuat anda dekat pada Allah azza wa-Jalla, anda pun tidak menemukan indahnya ibadah dan kemseraan denganNya, ketahuilah bahwa anda sesungguhnya belum mengamalkannya, karena anda telah terhijab oleh cacat-cacat dalam amal anda. Apa cacat-cacat itu?
Riya’, kemunafikan dan keta’juban pada diri sendiri. Wahai orang yang beramal, ikhlaslah! Jika tidak, anda jangan berpayah-payah dalam Muroqobah pada Allah azza wa-Jalla ketika khalwat maupun ketika berada dalam keramaian. Karena orang munafiq malah senang pamer ketika dalam keramaian, dan orang yang ikhlas tidak peduli apakah dalam ramai atau dalam sunyi, sama saja.
Bila anda melihat orang yang sangat pesolek atau wanita pesolek, pejamkan mata nafsumu, hawa nafsumu dan nalurimu, lalu ingatlah pada pandangan Allah Azza wa-Jalla kepadamu, bacalah:
“Dan kamu tidak berada dalam suatu keadaan…” (Q.S. Yunus:61)
Waspadalah pada pandangan Allah azza wa-Jalla dan pejamkan kedua matamu dari memandang yang diharamkan. Ingatlah pada Dzat yang anda tidak bisa menhindari pandangan dan pengetahuanNya. Bila anda sudah tidak membantah dan kontra pada Allah azza wa-Jalla maka ubudiyah anda padaNya sempurna dan anda menjadi hamba yang benar-benar hambaNya, tergolong orang-orang yang disebutkan:
“Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu (Iblis) tidak bisa menguasai (menggodanya).” (Q.S. Al-Hijr:42)
Bila syukurmu benar-benar terwujud pada Allah azza wa-Jalla, Allah mengilhami makhluknya untuk berterimakasih padamu, menyayangimu, pada saat itulah tidak ada peluang lagi bagi syetan dan kroninya.
Anda jangan sampai meninggalkan berdoa sebagai prinsip, jangan sampai sibuk berdoa hanya untuk mencari dispensasi. Doa itu adalah ketenggelaman jiwa dan pembebasan bagi yang tertahan sampai mendapatkan jalan keluar dari tahanannya dan masuk dalam Sang Maha Diraja.
Jadikan akal sehat anda , bahwa meninggalkan doa itu tidak baik sama sekali. Namun anda berdoa, anda butuh niat dan akal sehat serta pengetahuan dan mengikuti jejak orang yang berpengetahuan. Anda tidak memikirkan apa yang datang dari Allah Azza wa-Jalla dan apa yang ada pada diri orang-orang yang shaleh, dan karena itulah prasangka anda buruk pada mereka. Janganlah anda berilusi dengan pangkal agama dan perilaku ruhanimu pada mereka, jangan sampai anda kontra dengan mereka dalam semua aktivitasnya sepanjang mereka tidak kontra dengan aturan syariat, karena mereka berada di sisi Allah azza wa-Jalla baik secara lahir maupun batin.
Hati mereka tidak akan tenang sebelum meraih keselamatan dari Allah azza wa-Jalla. Karena itu kemarilah wahai hamba Allah Azza wa-Jalla di muka bumi. Wahai ahli zuhud kalian mengetahui sesuatu tetapi kalian tidak meraih kebaikan. Masuklah kemari mempelajari kitabku, sampai anda saya ajari tentang suatu hal yang tak pernah anda temukan selama ini. Dalam hati ada kitab, dan dalam rahasia batin juga ada kitab, dalam nafsu kita juga ada kitab, serta dalam tubuh kita juga ada kitab, semuanya merupakan derajat-derajat dan maqom serta langkah-langkah yang berbilang.
Langkah pertama saja anda tidak benar, bagaimana anda melangkah ke tahap kedua? Islam anda saja tidak benar, bagaimana anda sampai pada iman? Iman anda pun tidak benar bagaimana anda bisa sampai pada Iiqon (yaqin)? Iiqon anda juga tidak benar bagaimana sampai kema’rifatan dan kewalian?
Berakal sehatlah anda, tapi anda tidak menggunakannya. Masing-masing anda ingin menjadi pemimpin, tetapi anda tidak memiliki pirantinya? Anda baru bisa jadi pemimpin jika anda sudah bisa zuhud dari dunia, zuhud dari nafsu, kesenangannya, watak dan hasratnya. Kepemimpinan itu turun dari langit bukan dari bumi. Kewalian itu datang dari Allah azza wa-Jalla bukan datang dari makhluk. Jadilah diri anda sebagai pengikut, bukan yang diikuti, dan jadilah kalian sebagai sahabat bukan yang disahabati. Bumikan dirimu dalam kehinaan dan kesembunyian.
Bila anda meraih sesuatu di hadapan Allah azza wa-Jalla berbeda dengan Dari harapanmu, maka pada saatnya Dia mendatangimu. Maka pasrahkanlah dirimu padaNya, tinggalkan merasa bisa atas upayamu, kekuatanmu, kontramu dan sahabatmu dan nafsumu.
Bersahabatlah dengan ubiyah-mu, yaitu melaksanakan smeua perintah dan menjauhi laranganNya, serta bersabar atas bencana-bencana.
Dasar perkara seperti itu adalah tauhid dan kekokohannya, dan asasnya adalah amal yang sholeh. Namun, betapa tidak kokohnya bangunan anda, niat anda saja tidak benar bagaimana anda bicara? Sedangkan diammu pun juga tidak benar, bagaimana bicaramu benar pada orang lain, sebagai pengganti para Rasul? Karena para Rasul adalah para penceramah, ketika para Rasul wafat maka Allah azza wa-Jalla menetapkan para Ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mereka dijadikan sebagai pewarisnya.
Siapa yang ingin berada di maqom sebagai pengganti Rasul harus menjadi manusia paling suci di zamannya, yang paling mengenal aturan dan ilmunya Allah azza wa-Jalla.
Namun mereka menganggap masalah ini sepele, hai orang-orang bodoh terhadap Allah azza wa-Jalla dan rasulNya, wali-waliNya yang shaleh dari para hambaNya!
Wahai orang yang bodoh pada dirinya, pada watak, dunia dan akhiratnya, celakalah kalian ini! Diamlah kalian ini sampai datangnya orang yang ilmunya mengalahkan nafsunya, berbicara dan menghidupkan jiwa kalian, menegakkan dan membangkitkan kalian.
Itulah ilmu yang bermanfaat. Bagaimana tidak demikian, karena ia telah menutup pintu makhluk dan membuka Pintu Allah azza wa-Jalla, yaitu Pintu Agung. Jika penutupan pintu dan pembukaan pintu ini benar pada seorang hamba, maka ia akan kehilangan dukungan manusia, namun ia akan khalwat, lalu datanglah pakaian dalam hatinya, datang pula kunci-kunci yang mampu menyingkap kulit-kulit dan yang ada adalah isi.
Pintu hawa nafsu tertutup, lalu ia menang dalam pergumulan jiwa, lalu terbukalah jalan menuju Allah azza wa-Jalla, lalu muncullah ketekunan atas hasratnya yang selaras dengan ketekunan pendahulu-pendahulunya dari para Nabi dan Rasul Saw, serta para WaliNya. Ketekunan itu tidak lain adalah ketekunan bersih tanpa kotoran, ketekunan tauhid tanpa syirik, ketekunan pasrah total tanpa kontra padaNya, ketekunan jujur tanpa dusta, ketekunan pada Allah azza wa-Jalla, bukan pada makhluk, ketekunan pada Sang Penyebab, bukan pada akibat.
Ketekunan-ketekunan inilah yang digapai oleh para pemimpin agama, raja-raja ma’rifat, yang disebut sebagai Rjalul Haq Azza wa-Jalla, para kaum terpilihNya, parakekasihNya, yang senantiasa sebagai pembela agamaNya dan mereka adalah pecinta agamaNya.
Celakalah kalian, bagaimana anda mengklaim mengikuti thariqah kaum sufi sedangkan anda musyrik dengan lainNya? Anda ini tidak punya iman, sedangkan di muka bumi ini masih ada yang anda takuti dan anda harapkan. Anda tidak bisa zuhud di dunia selama di dunia masih ada yang kau harapkan. Anda tidak bertauhid selama anda masih memandang yang lainNya dalam perjalananmu menuju kepada Allah azza wa-Jalla.
Orang yang ‘arif senantiasa asing di dunia dan akhirat dan zuhud dari dunia dan akhirat, serta zuhud dari segala hal selain Allah azza wa-Jalla secara total, karena tak ada yang kesenangan sedikit pun selain padaNya.
Hai kaumku… Dengarkan sesuatu dariku, jangan sampai ada prasangka buruk dalam hatimu. Bagaimana tidak, kalian berprasangka dan menggunjingku, padahal aku sangat sayang pada kalian, aku memikul beban kalian, menjahit amal-amal kalian yang compang camping dan memohonkan syafa’at untuk kalian pada Allah azza wa-Jalla, memohonkan ampunan dosa-dosa kalian?
Siapa yang kenal aku, ia tidak akan berpaling dariku sampai mati, kesenangan dan kenikmatan, makan dan minumnya serta pakaiannya pun, tidak ada yang mengalahkan kesenangannya bersamaku.
Anak-anak sekalian… Bagaimana kalian tidak mencintaiku, akulah yang sangat berkehendak untuk kebahagiaanmu, bukan untuk kepentinganku! Aku ingin kemanfaatan ada dalam hidupmu, kebersihan dirimu dari kekuasaan dunia yang mematikan dan penuh tipudaya itu, sampai kapan terus mengikuti jejak dunia? Sebentar lagi dunia berpaling dari kalian dan membnuh kalian. Sedangkan Allah azza wa-Jalla tidak membiarkan kekasihNya bersama dunia bahkan tak sejenak pun. Dia tidak menginginkan kekasihNya merasa aman dengan dunia, tidak membiarkan bersama dunia dan yang lainnya.
Justru Dialah bersama mereka dan mereka bersamaNya. Selamanya hati mereka hanya untukNya, berdzikir di sisiNya, hadir. Sedangkan pada yang lainNya, ia menolak hanya kepadaNya ia menghadap.

Wudlu’ Kaum Sufi


Wudlu’ kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudlu’ diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam
Wudlu’lah segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.
Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa memiliki Wudlu’ secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…”
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudlu’ jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.
Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki “Sholat” hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.
Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.
Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut kita adalah mulut syetan.
Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, betapa berlimpah ruahnya fatwa amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena yang mendorong amar ma’ruf nahi mungkarnya bukan Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.
Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah Kuasa Yang Menolongku.
Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.
Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…
Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.
Selanjutnya:
“Basuhlah wajah-wajahmu…”
Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu’ membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah, tidak “Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…” (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta’ala? Ini semua karena kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan ma’rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.
Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita, flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.
Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.
Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah musuhMu.
Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…
“Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…”
Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.
Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.
Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma’rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.
Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…
Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.
Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada Allah Ta’ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.
Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali, tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan mendongak.
Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh, Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…
Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?
Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama hamba-hambaMu yang baik.
Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.
Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:
Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.
Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa, pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A’lam.

Seekor Singa Bernama Christian


Bertemu dengan seseorang yang kita sayangi tentu saja menyenangkan. Apalagi jika telah lama berpisah. Sejarah kebersamaan, suka derita, yang telah beku dalam kerinduan seketika mencair. Wajarlah jika kemudian kebahagiaan tumpah dalam haru. Namun bagaimana kiranya jika yang disayangi itu bukan manusia, tapi hewan? Mungkinkah bisa terjalin ikatan emosional antara hewan dan manusia?
Saya pernah melihat adik saya menangis di tepi liang yang sedang saya gali untuk kucingnya yang tewas dilindas mobil. Saya berusaha menenangkannya dengan mengatakan yang tewas itu cuma seekor kucing. Mendengar kata ‘cuma seekor kucing’, malah ia makin sedih. Saya tak memahami kesedihan itu.
Ada fenomena lain yang baru-baru ini menggelitik pemahaman saya, dan sebelumnya pernah mengguncang dunia maya setelah videonya diunggah ke Youtube, kalau tak salah tahun 2010 (benar, saya tahunya telat sekali).
Mulanya pada tahun 1969, di London. Waktu itu ada seekor anak singa dipajang toko Harrod untuk dijual. Ia terlihat murung dalam kurungan sempit. Mendapati pemandangan itu, John Rendall dan Anthony Bourke prihatin. Mereka memutuskan untuk membeli anak singa itu lalu memberinya nama Christian.
Sejak tinggal bersama Rendall dan Bourke di ruangan apartemen yang tentunya lebih lapang daripada kurungan toko Harrod, Christian mulai lincah bermain-main. Watak bangsa kucing (felidae) memang tak jauh beda, mau yang jenisnya kecil (genus felis, diantaranya kucing rumahan, macan akar, dsb) maupun yang nyaris sebesar lembu (genus panthera, meliputi harimau, singa, leopard, dan jaguar). Rendall dan Bourke juga mengajak Christian kalau mereka pergi ke resto, pantai, bahkan sekedar jalan-jalan sore di kota London dengan sedan Bentley atap terbuka. Christian telah menjadi singa kota.
Christian jalan-jalan di kota London
Bulan demi bulan, Christian berangsur-angsur tumbuh besar. Cukup besar sampai Rendal dan Bourke mempertimbangkan kembali niat mereka untuk mempertahankannya di London. Akhirnya mereka meminta bantuan George Adamson, seorang pegiat konservasi singa di Kenya, untuk memperkenalkan kembali Christian ke habitat aslinya di savana Afrika.
George Adamson, pegiat konservasi singa di Kenya
Christian lahir di kebun binatang. Seumur hidupnya belum pernah melihat Afrika. Tak mudah bagi Adamson untuk melatih seekor singa kota agar bisa bertahan hidup di alam liar Afrika. Namun ia tak menyerah. Setahun kemudian, Adamson mengirimkan kabar baik ke London. Christian telah berhasil beradaptasi di habitat aslinya. Sebagaimana singa yang merupakan satu-satunya jenis kucing yang memiliki struktur sosial, Christian membangun keluarga bersama dua singa betina. Bahkan mereka telah memiliki anak, dan telah sembilan bulan tidak pulang ke pusat konservasi. Artinya Christian telah mandiri dari pengawasan Adamson.
Mendengar kabar demikian, Rendall dan Bourke mengutarakan keinginannya untuk mengunjungi Kenya. Mereka ingin melakukan pertemuan terakhir dengan Christian, katakanlah perpisahan. Adamson memperingatkan bahwa Christian telah menjadi singa liar. Buas. Mungkin Christian tidak mengenali mereka lagi. Menemuinya bisa berakibat fatal. Namun Rendal dan Bourke bersikeras. Dengan tekad bulat, mereka terbang ke Kenya.
Pada malam sebelum kedatangan Rendall dan Bourke, Christian tiba-tiba pulang ke pusat konservasi membawa serta keluarganya. Menurut Adamson, Christian menunggu kedatangan Rendall dan Bourke. Adamson dan isterinya Joy memang sering bercerita bahwa singa memiliki kemampuan telepatis untuk berkomunikasi dengan manusia. Kepada Daily Mail ia menuturkan bahwa suatu hari nanti sains akan membuktikan itu.
Esoknya, Rendall dan Bourke bertemu dengan Christian tak jauh dari pusat konservasi. Mulanya Christian hanya menatap mereka lekat-lekat. Rendall memanggilnya. Christian mendekat ragu-ragu. Sampai ia yakin bahwa itu tuan yang dahulu membesarkannya di London, Christian berlari. Ia memeluk Rendall, memeluk Bourke, sebagaimana bertemunya sahabat yang telah lama berpisah. Semua yang hadir saat itu terharu.
Reuni Rendall dan Bourke dengan Christian di Kenya

Ridha Allah


LELAKI gagah berjubah dan membawa seuntai tasbih, sambil komat-kamit. Wajahnya pucat menampakan style religius yang kuat. Jidatnya hampir gosong, entah kenapa. Mungkin terlalu banyak bersujud atau karena sengaja dihitam-hitamkan. Tiba-tiba nyeletuk pada si Pardi di kedai itu.
”Mas, yang sampean cari dalam hidup ini apa?”
”Apa ya? Saya juga nggak tahu. Saya hanya pengin jadi hamba Allah yang benar saja. Kalau sampean yang dicari apa?” Tanya Pardi.
Lelaki itu agak kaget.
”Saya harus memperbanyak ibadah, perbanyak pahala, perbanyak ganjaran biar kita nanti hebat di akhirat…” jawab lelaki itu.
”Kalau saya nggak butuh itu…”
”Haahhh…!” Ia semakin kaget.
”Apa nggak kebaretan pahala nanti di akhirat sampean ini. Kok pahala terus yang dipikir. Kelihatannya sampean nggak percaya pada janji yang Punya Pahala ya…?”
“Lho kok begitu ! Saya percaya pada Allah, percaya sekali. Karena itu saya totalkan hidup saya agar dapat imbalan diakhirat nanti”
“Apa sampean ini pedagang akhirat kok mencari laba melulu, imbalan terus, nanti sampean jadi konglomerat begitu, disana?”
“Wah, Mas… ikut saya aja… jalan keliling supaya banyak dapat pahala. Kita nanti kaya raya di akhirat…”
“Ada yang lebih kaya Mas dari sampean…”
“Siapa?”
“Saya!”
“Kok bisa?”
“Lha iya. Saya berada di sisi Yang Maha Kaya. Sampean masih memburu kekayaan pahala. Hayooo…”
Lelaki itu bingung dan mulai sebel pada Pardi.
“Terus yang sampean cari apa kalau begitu?”
“Kalau Gusti Allah Tanya saya, ya saya mencari ridha-Nya saja sudah cukup dan saya diridhai untuk jadi hamba-Nya, sudah lebih dari cukup…”
Lelaki itu kegerahan. Ia gunakan Koran untuk dijadikan kipas-kipas. Belum sempat ia minum kopi lalu ngeloyor pergi.
Usai kepergian itu Kang Soleh muncul. Lalu menegur Pardi.
“Kamu sudah tahu apa itu ridha Di…?”
“Lhadhalah… Baru saja saya mengenalkan ridha kepada tukang ibadah Kang…!”
“Kamu gak boleh sombong begitu…!”
“Katanya menyombongi orang sombong itu sedekah Kang. Ngomong-ngomong ridha itu apa sih Kang?”
“Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, rida hanyalah bahwa engkau tidak keberatan terhadap hukum dan qadha Allah SWT”.
Kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Allah SWT yang telah diperintahkan agar ia ridha dengan-Nya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau boleh rida dengan qadha tersebut, misalkan kemaksiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar, “Keridhaan adalah gerbang Allah SWT yang terbesar”. Maksud mereka adalah, bahwa barang siapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut sambutan paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi”.
Seorang murid bertanya kepada gurunya, apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?’ Sang guru menjawab, ‘Tidak’, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya ghaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! Jika aku mendapati hatiku ridha kepada Allah SWT, maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku’. Maka sang guru lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda’.
“Yang penting aku hanya ingin ridha-Nya dan kelak dapat cinta-Nya , Kang…”
“Keinginanmu seperti itu sudah lebih dari segalanya, Di…”
Pardi menghela nafas dalam-dalam dan secangkir kopi Cak San sudah di depannya.

Dzikir Qolbu


Dzikir kalbu disebut juga dzikir tersembunyi, dzikr khafi, yaitu zikir yang tersembunyi di dalam hati, tanpa suara dan kata-kata.
Zikir ini hanya memenuhi kalbu dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya napas. Keluar masuknya napas yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa kalbu itu hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah. Sebaliknya, orang yang lupa mengingat Allah menunjukkan kalbunya mati, karena tidak ada komunikasi dengan Yang Mahahidup. Dalam literatur sufisme di Barat, zikir kalbu sering dilukiskan sebagai living presence—hidup dengan merasakan kehadiran Tuhan. Di dalam Alquran, Yang Mahahidup itu digambarkan sebagai Cahaya langit dan bumi. Maka, ketika tidak ada hubungan dengan sumber cahaya itu, kalbu pun tidak mendapat pancaran ca¬haya, sehingga gelap dan mati.
Alquran menggunakan istilah qalb (hati) sebanyak 132 kali. Makna dasar kata ini adalah membalik kembali, pergi maju-mundur, berubah, bolak-balik, naik-turun, mengalami perubahan. Rasulullah saw. mengatakan bahwa qalb— karena sifat berubah-ubahnya—bagaikan selembar bulu di gurun pasir; angin membolak-baliknya dari atas ke bawah. Salah satu istri Nabi meriwayatkan bahwa dia sering berdoa, ” Wahai Dia Yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu!” Pendek-nya, qalb bukan sesuatu yang konstan, melainkan bisa mengalami pasang-surut dan berubah-ubah dari satu ke-adaan ke keadaan yang lain.
Imam Jafar al-Shadiq menye-butkan perubahan hati itu ada empat.
Pertama, hati yang tinggi. Tingginya hati ini ketika zikir kepada Allah Swt. Kalau orang senantiasa berzikir kepada Allah, hatinya akan naik ke tempat yang tingi.
Kedua, hati yang terbuka. Hati ini diperoleh apabila kita rida kepada Allah Swt.
Ketiga, hati yang rendah, yang terjadi ketika kita disibukkan oleh hal-hal yang selain Allah,
Keempat, adalah hati yang mati atau hati yang berhenti. Hati ini terjadi ketika seseorang melupakan Allah SWT sama sekali
Oleh karena itu, untuk menjaga agar hati kita selalu hidup, maka ingatlah kepada Allah SWT. Dzkir kalbu mempunyai dampak yang jelas dalam meneguhkan hati (qolbuO agar memiliki keyakinan, kekuatan dan kemantapan iman kepada Allah serta melahirkan perbuatan yang baik amal sshaleh dalam hubugnan vertikal kepada Allah maupun hubungan horizontal dengan sesama manusia
Mereka itu adalah orang-orang yang beriman, yang hati-nya menjadi tenteram dengan mengingat (dzikr) Tuhan. Ingatlah, hanya dengan mengingat Tuhan sajalah maka hati menjadi tenteram (Q.S. al-Ra’d [13]: 28).
Allah meneguhkan keimanan orang-orang beriman dengan ucapan yang teguh (al-qawl al-tsabit) dalam kehidupan dunia dan akbirat, dan Allah menyesatkan orang yang berbuat aniaya. Dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki (Q.S. Ibrahim [14]: 27).
Makna “ucapan yang teguh” (al-qawl al-tsdbit) adalah kalimah thayyibah atau zikir yang menghunjam di dalam kalbu. la seperti sebuah pohon, akar tunjangnya menghunjam ke bumi sedangkan dahan, ranting, dan dedaunannya menjulang ke langit, sebagaimana digambarkan pada Q.b. Ibrahim [14]: 24.
Iman tumbuh di dalam hati,sementara petiunjuk mengalihkan hati menuju arah yang benar. Dengan cara yang sama, hati adalah pusat keraguan (Q.S At-Taubah (9);45), penyangkalan (Q.S An-Nahlu (16);22), kekafiran dan penyelewengan dari jalan yang lurus. Disinilah setan mengarahkan perhatiannya, berusaha menanamkan kesesatan.
Dzikir kalbu berfungsi sebagai benteng pertahanan dari dalam untuk membendung bisikan setan yang bersumpah akan menggoda manusia dari berbagai penjuru.
Iblis berkata, “Ya Allah, karena Engkau telah menghukumku sesat, aku benar-benar akan menghalanghalangi mereka (manusia) dari jalan yang lurus. Kemudian akan mendatangi mereka dari depan, belakang, sebelah kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati mayoritas mereka bersyukur” (Q.S. al-A’raf [7]: 16-17).
Nabi berkata, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah, maka aku khawatir bahwa dia akan memasukkan kejahatan dalam hatimu” (Bukhari, bab al-Kbalq, 11).
Alquran juga menegaskan bahwa zikir bermanfaat bagi kehidupan orang yang beriman, dan bahwa zikir menen-teramkan hati dan pikiran (Q.S. al-Ra’d: 28).
Hakim al-Tirmidzi, seorang sufi dari Termez, Uzbekistan, sebagai-mana dikutip oleh Abu Nu’aim al-Ashfahani dalam kitab Hilyab al-Auliya\ menggambarkan hubungan zikir dengan ketenteraman hati sebagai berikut:
Dengan mengingat Allah [yang diresapkan ke dalam kalbu], hati seseorang akan menjadi lembut. Sebaliknya, hati yang lupa kepada Allah dan dipenuhi oleh rekaman tentang [berbagai dorongan nafsu] dan kelezatan hidup semata, akan menjadi keras dan kering. Kalbu seseorang tidak berbeda dengan sebatang pohon. Pohon akan segar, rimbun dan penuh dengan dedaunan yang menyejukkan apabila ia menyerap air yang cukup. Apabila sebatang pohon tumbuh di tempat yang tidak berair, maka dahan dan ranting pohon itu akan kering kerontang dan dedaun-annya pun akan berguguran. Demikian pula hati kita. Zikir merupakan mata air kehidupan. Hati yang kosong dari zikir kepada Allah berarti kekurangan mata air ke¬hidupan. Hati akan kering, gersang, keras, dan penuh dengan bara hawa nafsu dan syahwat, dan akhirnya men¬jadi enggan berbakti kepada Allah. Jika terus dibiarkan, hati akan pecah berkeping-keping; yang hanya pantas menjadi bara api neraka. Sebenamya, kelembutan hati dan ketenteramannya merupakan rahmat Allah. Allah-lah yang memantulkan cahaya kedalam hati seseorang karena dzikir kepada Allah dengan kasih sayangnya.
Uraian Hakim At Tirmidzi ini merupakan penjabaran dari firman Allah SWT :
Apakah orang-orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah untuk menerima al-Islam, kemudian mendapat pancaran cahaya dari Tuhannya sama dengan orang-orang yang hatinya membatu? Maka malapetaka besar bagi mereka yang hatinya membatu [karena engganj berzikir kepada Allah, Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Q.S.ai-Zumar [29]: 22).
Barangsiapa yang [hatinya] berpaling dan zikir kepada Allah Yang Maha Pengasih, Kami sertakan setan kepada-nya, sehingga setan itu menjadi teman dekatnya. (Q.S. al- Zukhruf [431: 36). |
Dzikir kalbu (khafi), menurut kaum sufi, mem-punyai efek-efeknya sendiri yang mencerahkan: ia menyulut api kerinduan kepada Allah, membina kecintaan kepada Allah dalam hati, melahirkan perenungan, melahirkan ekstase dalam diam, menimbulkan ketidaksukaan untuk terjerembab dan tenggelam dalam urusan-urusan duniawi, serta memungkinkan dzakir (pezikir) lebih mengutamakan Allah Swt. ketimbang segala sesuatu selain-Nya.