Laman

Jumat, 12 Juni 2015

PRAHARA KEMATIAN


Pada zaman dahulu kala diceritakan ada seorang guru sufi memiliki enam puluh murid. Karena kedekatannya, sang guru pun hafal benar dengan kamampuan masing-masing muridnya. Pada suatu sore sang guru merasa bahwa saatnya untuk melakukan pengembaraan (safar) sudah tiba bagi murid-muridnya.
Lalu sang guru sufi mengumpulkan semua murid-muridnya. Dia ingin menyampaikan rencananya untuk melakukan tahapan pengembaraan.
“Sekarang saatnya kita harus melakukan pengembaraan jauh. Akan ada sebuah kejadian disepanjang perjalanan yang akan menimpa kita. Aku sendiri tidak tahu, apa itu. Dan kalian aku pikir sudah cukup paham untuk memasuki tahapan –maqam- ini,” demikian urai sang guru sufi, “Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat, yakni perkataan ini: ‘Aku harus mati demi sang sufi’. Bersiaplah untuk meneriakkannya pada waktunya nanti. Dan aku akan mengangkat tanganku sebagai tanda,” lanjut sang guru sufi.
Para murid mulai berbisik-bisik satu sama lain. Mereka begitu heran dan khawatir, apa maksud dari perkataan gurunya? Ada kecurigaan menyelimuti mereka.
“Guru tahu bahwa kelak akan terjadi peristiwa tragis, dan dia siap mengorbankan kita semua. Guru tidak ingin mengorbankan dirinya sendiri,” kata seseorang dari mereka.
Salah seorang yang lain mencoba berani berkata: “Guru mungkin membuat rencana jahat. Boleh jadi itu sebuah pembunuhan. Saya tidak akan melakukan syarat yang dikatakannya.”
Namun, akhirnya pengembaraan pun segera dijalankan. Satu demi satu muridnya bergerak. Dan setapak demi setapak pengembaraan terus dijelang.
Setelah berhari-hari melakukan pengembaraan, tibalah sang guru bersama murid-muridnya disebuah kota. Ketika sampai di kota itu, kota selanjutnya sudah dikuasai oleh seorang raja zalim.
Raja kejam dengan pasukannya yang kuat menangkapi semua orang yang masuk ke kota itu. Dan siapa pun harus dipenggal karena dianggap melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.
Raja kejam itu ketika melihat rombongan sang guru sufi kemudian memerintahkan pasukannya agar menangkap mereka, “Tangkap orang yang lemah lembut itu dan bawa dia untuk diadili di tengah-tengah alun-alun kota. Aku ingin menghukumnya sebagai seorang penjahat”.
Tidak ada kalimat yang terucap, kecuali: “siaa…ap, paduka raja!” Mereka kemudian menangkapi orang-orang yang ada di jalanan. Salah seorang murid guru sufi kemudian tertangkap.
Namun kemudian sang guru sufi mengikuti muridnya yang dibawa oleh tentara itu menuju rajanya. Genderang ditabuh; suasana riuh. Dan orang-orang penduduk kota pun semua berkumpul. Mereka paham kalau genderang yang didengar adalah isyarat kebiadaban dan kematian.
Lalu sang murid itu dilempar ke hadapan sang raja, dan sang raja berkata: “Sebagai contoh, kamu akan saya hukum sebagai seorang penjahat, agar penduduk tahu kalau saya tidak akan membiarkan pemberontakan dan pelarian.”
Namun, tiba-tiba sang guru berteriak dengan suara lantang: “Terimalah hidupku, wahai raja yang mulia, sebagai pengganti hidup pemuda yang tidak bersalah ini! Aku lah yang sebenarnya harus dihukum, karena aku lah yang mengajak dia mengembara!”
Pada waktu yang bersamaan, sang guru sufi itu mengangkat tangan kanannya. Lalu pekik menyahut membahana, seperti yang sudah diajarkan sebelumnya: “Izinkan kami saja yang mati sebagai ganti guru sufi kami itu”
Raja menjadi kaget dan keheranan. Lalu dia berpaling ke arah penasihat dan bertanya: “Orang macam apa mereka? Kenapa mereka berebut kematian? Jika ini yang dimaksud kepahlawanan, apakah ini tidak berarti sedang memprovokasi penduduk untuk melawan aku? Beri tahu aku penasehat, Apa yang harus aku lakukan?” tanya sang raja, dicekam kebingungan.
“Wahai raja, kalau ini dianggap sebagai kepahlawanan, maka kita harus bertindak kejam agar penduduk takut dan hilang keberaniannya! Tapi, saya kira tidak salah kalau saya lebih dahulu bertanya kepada guru mereka,” kata sang penasehat kepada raja.
Dan ketika ditanya, sang guru sufi menjawab: “Baginda yang mulia, telah diramalkan bahwa seorang manusia akan mati hari dan di sini. Orang itu akan mati dan hidup lagi. Lalu dia akan hidup abadi. Makanya aku dan murid-muridku ingin sekali menjadi orang itu.”
Lalu tiba-tiba kerakusan dalam diri sang raja pun berbisik dalam hatinya: “Kenapa harus orang lain yang mendapatkan keabadian? Kenapa aku membiarkan orang lain untuk mendapatkan keabadian itu! Bodoh sekali aku.”
Dan entah bagaimana sejenak kemudian raja memerintahkan pengawalnya agar segera membunuh dirinya untuk menyongsong keabadian itu. Akhirnya raja yang zalim dan rakus akan kekuasaan itu harus mati demi keabadian.

Cahaya Ditengah Kegelapan


Senja di atas Indonesia teramat merah jingga, ketika syetan-syetan berkelebat memenuhi cakrawala. Lalu Nabi saw, menyabdakan agar kita menutup pintu-pintu rumah, menutup kendil dan makanan-makanan, menyuruh
anak-anak supaya segera masuk ke dalam rumah.
Sebab ketika senja menjelang surupnya, syetan berkeliaran di mana-mana.
Apa yang terjadi ketika musim senja tiba? Sebuah fakta, bahwa kita segera memasuki kegelapan malam. Jubah-jubah hitam membungkus bumi. Angin wabah menusuk jantung. Hanya hati kita yang bergantung di langit, bersama bintang-bintang, bahkan bersama siraman cahaya purnama. Hati kita.
Kita sedang istirah dalam doa-doa malam. Kita ditunggu Allah di sepertiga terakhirnya. Kita lampiaskan segala keluh kesah dan kekesalan atas kezaliman. Kita sampaikan pula segumpal darah yang menyelinap di dalam dada kita. Hati yang kita pasrahkan kepadaNya. Kita gemuruhkan tabuhan-tabuhan tasbih, sholawat dan permohonan ampunan. Kita gali sungai airmata dari mata air kemahaindahanNya (Jamaliyah-Nya). Sebab, Fajar Kehidupan menunggu masa depan kita.
Itulah awalnya. Ketika, kita bangun pagi, tiba-tiba di depan kita, negeri ini, adalah reruntuhan. Ia dihadapkan pada kenyataan, betapa bangsanya hanyut dalam mimpi 32 tahun, dan begitu bangun segalanya telah musnah. Dengan tertatih-tatih bersama sisa-sisa waktu, ada seorang pemimpin membangkitkan lagi semangat, menyalakan lagi api, meniupkan lagi nafas-nafas masa depan, mengumpulkan kembali sisa-sisa bangunan, dan mengaduk kembali mana yang bisa dipakai, mana yang harus dibuang, sembari membawa bahan-bahan baru yang mengokohkan bangunan rumah bangsa ini.
Dulu rumah bangsa ini runtuh karena dikuasai oleh hantu-hantu politik, hantu-hantu koruptor, hantu-hantu mafioso. Hantu itu beranak pinak, sampai menghuni seluruh sudut rumah bangsa, dan berjuta-juta penghuni rumah itu mengikuti kegelapan demi kegelapan hantu itu. Maka, ketika seorang Kiai menyalakan lilin dan menyiramkan cahaya, hantu-hantu mulai gentayangan kembali mencari celah-celah untuk mematikan lampu-lampu dan lilin-lilin itu. Kiai itu terjengah bukan main, setiap kali ia menyalakan lampu dan lilin, ada badai meniupnya, ada nafas-nafas malam yang kotor menyebulnya. Lalu sekuat tenaga ia kobarkan cahaya, tetapi badai kegelapan juga sangat berbahaya, bahkan mereka bagai siluman saling mengoyak, saling berebut untuk meniup cahaya-cahaya itu.
Istana yang dulu dihuni oleh hantu, dipenuhi oleh siluman negerinya, mulai sedikit bercahaya. Tetapi sayang sekali, cahayanya tidak sampai menembus di Gedung Rakyat yang gelap gulita, di wilayah Senayan sana. Sebab pesta kegelapan tak juga berakhir, sedangkan gedung itu adalah milik rakyat yang merindukan cahaya-cahaya masa depan.
Tak bisa dihindari akhirnya, sebuah pertempuran dahsyat antara cahaya dan kegelapan, antara benderang hati dan gelapnya nafsu, antara amanah-amanah yang harus dipikul dengan ambisi-ambisi yang ingin merebutnya, antara ruang-ruang peradaban melawan lorong-lorong mengerikan, antara mereka yang membawa kilat cakrawala dengan kemunafikan-kemunafikan yang menutup mata hatinya, menyumpal telinga jiwanya, membungkam lisan kebenarannya.
Tiba-tiba jarum jam sejarah berputar cepat memasuki empat belas abad silam. Ketika Nabi dengan para sahabatnya bertempur melawan angkara murka kafir-kafir Quraisy di lembah dan bukit-bukit Uhud. Kemenangan hampir-hampir di tangan, tiba-tiba kemunafikan menyelimuti sejumlah pasukannya, lalu mereka tersungku dalam perebutan jarahan perang, dan akhirnya mereka raih kekalahan.
Perang Uhud adalah kemenangan pasukan kegelapan, pasukan kemunafikan, pasukan kefasikan, pasukan yang memberhalakan duniawi, pasukan-pasukan berhala. Perang Uhud adalah kemenangan syetan dan Iblis, kemanangan asap hitam yang menyesakkan seluruh dada penghuni bumi, kemenangan siluman dengan sejuta topeng politiknya. Itulah hebatnya kafir-kafir, ketika ia terdesak dalam kekalahannya, tiba-tiba ia melemparkan umpan agar segera dijarah oleh hipokrit-hipokrit, sampai mereka lupa diri, dan setelah itu dihancurkan.
Saya memasuki kembali dunia normal saat ini. Di negeri ini, di alam nyata ini. Saya melihat melihat harapan ketika memangkan sebuah pertempuran melalui komitmen moral di padang pertempuran Badar Nusantara, dimana kekuatan minoritas kebenaran hendak mengalahkan mayoritas kemungkaran. Tak disangka, dalam membawa pasukan bangsa ini, kita harus melewati apa yang disebut Perang Uhud Nusantara. Di bukit dan lembah-lembah Uhud Nusantara, sesungguhnya strategi sudah dicanangkan, kemenangan sudah di tangan, tetapi tiba-tiba kemunafikan mengoyak-ngoyak kita semua. Konspirasi nafsu kita telah mengalahkan dan meniup cahaya kebenaran.
Sebuah bahaya besar mengguncang dari dalam tubuh bangsa ini, ketika kapal besar bangsa ini menyeberangi bahtera menuju benua impian, dan siap melawan bajak-bajak laut yang bertopeng mengerikan, tiba-tiba dari dalam kapal muncul pemberontakan yang disulut oleh segelintir manusia yang tidak menginginkan sang nakhoda dan wakil nakhoda bersatu menuju benua itu. Pertempuran melawan bajak-bajak laut itu tengah berkecamuk, dan kemenangan demi kemenangan diraihnya, tiba-tiba di saat hendak lari dari samudera kebangsaan, bajak laut itu melempar pundi-pundi agar diperebutkan para penunggang kapal besar bangsa ini.
Maka, bisa dibayangkan, betapa riuh rendahnya suara berebut dalam kapal besar itu. Melihat kenyataan seperti itu, bajak-bajak laut menyerang kembali, dan merobek kapal besar itu. Gemrincing pertempuran semakin seru, dan sungguh, kapal besar itu mulai tergenang gelombang samudera, pelan-pelan mulai tenggelam.
Para bajak laut dan kaum hipokrit itu mulai merayakan kemenangannya. Mereka berpesta, bahwa pasukan-pasukan kebenaran telah kalah, dan mereka angkat wakil Nakhoda itu menjadi pemimpin barunya, dengan kapal baru, dimana seluruh teknologi kapal itu sudah dikuasai para pembajak itu. Sehingga nakhoda baru itu hanya bisa mengikuti apa yang diperintahkan mereka.
Nakhoda dan seluruh bangsa yang masih mengikutinya, mulai ditenggelamkan oleh koyakan gelombang demi gelombang. Gelombang yang digerakkan oleh badai kejahatan. Tiba-tiba Lautan Putih muncul di permukaan, menarik kapal besar yang hendak tenggelam itu. Dan kapal itu pun bersandar pada pulau kebenaran di dalam samudera. Pulau itu adalah pulau Khidhir, dimana ada bangunan masjid yang dibangun dengan mutiara-mutiara hikmah dan pengetahuan, menaranya menjulang sampai ke Baitul Ma’mur sana. Betapa indah dan eloknya bangunan masjid itu, betapa agung dan megahnya ruang-ruang besar di dalamnya. Di luar bangunan masjid Khidhir ada bangunan-bangunan peradaban, bangunan Kota Ilahi yang dihuni oleh para Sufi. Nakhoda itu bersandar di sana, dan seluruh bangsa yang telah dibersihkan dari kemunafikannya.
Sementara para bajak laut dan kaum munafiq, menganggapnya, bahwa Nakhoda dengan kapal besarnya telah ditelan samudera, menjadi santapan hiu ganas, menjadi bangkai yang tak akan pernah hidup lagi.
Lebih baik mereka menyangka demikian. Biarkanlah, lebih baik mereka terus berpesta. Lebih baik mereka terus membagi-bagi tugas kemenangan yang diraihnya. Lebih baik mereka terus melaju dengan kapal hipokrianya. Lebih baik mereka terus melajukan kapalnya menuju sebuah benua, bukan benua masa depan, tetapi benua masa lalu tanpa hatinurani. Benua penyesalan.
Sebuah benua yang dituju oleh nakhoda itu, sesungguhnya bukanlah benua impian Dan benar ketika warna merah adalah merah senja yang jingga, bertepatan ketika kapal itu sampai di dekat benua. Gerbangnya adalah tengkorak-tengkorak manusia, sungainya adalah keringat rakyat, minumnya adalah darah, makanan-makanannya adalah aspal jalan raya dan hutan-hutan kayu yang dulu pernah rimbun penuh anugerah, pestanya adalah intrik-intrik politik, kata-katanya adalah kotoran, bangunan-bangunannya adalah hasil perampokan, menara-menara yang menjulang hanya sampai pada mendung hitam yang menggantung di cakrawala. Bahkan matahari pun tak pernah menembuskan cahayanya. Mengerikan.
Apa pun pesta yang sedang diselenggarakan itu, apa pun foya-foya kegembiraan yang disebar-sebar itu, apa pun bendera-bendera yang dikibarkan itu, masa lalu hanyalah sebuah penyesalan. Kita tidak ingin mengecewakan bangsa ini, dengan trauma-trauma, dengan darah dan kekerasan, dengan intrik, korupsi, kolusi, nepotisme dan segala hal yang terus menerus berselingkuh di balik celah-celah rumah bangsa.
Ayo! Kita berangkat! Menuju benua impian kita, menuju demokrasi yang sesungguhnya, menuju cahaya kebenaran yang dinyalakan oleh kalbu-kalbu kita. Jangan takut dan jangan gelisah, karena kekasih-kekasih Tuhan itu tidak pernah takut dan tidak pernah gelisah. Kita akan menaiki Kapal Jiwa bersama Allah, sebab, Allah menyertai kita.
Saya merekam seluruh peristiwa itu. L;alu saya tulis dengan tinta Lautan Khidhir dan gerak-gerik pena kefanaan jemari kehambaan. Saya tulis di atas kertas dari Cahaya Lauhul Mahfudz, agar kelak dibaca dan didengar oleh mereka yang sedang menyaksikan peradilan sejarah bangsa ini, siapa sesungguhnya yang benar, siapa sesungguhnya yang merekayasa, siapa sesungguhnya yang menjadi alat-alat, siapa sesungguhnya yang berselingkuh dalam kemunafikan, siapa sesungguhnya lawan yang sesungguhnya.
Saya mencoba menahan keharuan yang mengembang di atas kelopak mata. Tetapi dada telah basah oleh airmata. Terkadang yang tampak di depan mata saya adalah Sayyidina Al-Husein yang dikhianati dan dizalimi, terkadang yang tampak adalah pemuka Syuhada’ Sayyidina Hamzah yang jadi korban kemunafikan di lembah Uhud. Kadang yang tampak adalah senyum Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang miskin, kadang yang tampak adalah kegagahan Sholahuddin Al-Ayyubi. Kadang yang tampak adalah peristiwa kekalahan, lalu yang mengembang dari putik melati adalah aroma moral sejati seorang negarawan. Kadang yang tampak adalah Sayyidina Ali yang ditikam oleh intrik kemunafikan, kadang yang tampak adalah keelokan Yusuf yang dirobek bajunya dari belakang oleh nafsu Zulaikha.
Mungkin saja membuat anda muak, ketika nafsu anda bergerak membuka lembar demi lembar kebenaran. Mungkin saja jantung anda tertusuk, ketika darah hitam duniawi membisul dalam segumpal jantung anda. Mungkin saja bibir anda menyungging ke arah sudut paling sinis, ketika ambisi dan keangkuhan anda yang membaca. Bahkan tulisan ini menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan mengusir nurani anda, ketika anda membaca dengan kacamata kemunafikan.
Bacalah dengan mata hati dan kalbu kehambaan: Jika tulisan ini terasa pahit, biarlah jadi penyembuh duka anda. Jika terasa manis, semoga jadi penghangat kebekuan anda. Jika terasa asam, semoga pengejut kealpaan hati anda. Jika terasa pedas, jadikanlah sambal hidangan makanan jiwa anda. Jika terasa asin, itulah memang sari lautan yang mentralisir kebingunan anda. Selebihnya, Wallahu A’lam bish-Shawab.

Wudlu' Kaum Sufi


Wudlu' kita sehari-hari, ternyata tidak sekadar membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudlu' diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam
Wudlu'lah segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT.
Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para Sufi senantiasa memiliki Wudlu' secara abadi, menjaganya dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal Wudlu, langsung mengambil Wudlu seketika.
Mari kita buka jendela hati kita. Disana ada ayat Allah, khusus mengenai Wudlu.
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu sampai kedua mata kaki…"
Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudlu' jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya.
Ia harus bangkit dan hadlir di hadapan Allah, memasuki "Sholat" hakikat dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.
Sebelum membasuh muka, kita mencuci tangan-tangan kita sembari bermunajat:
Ya Allah, kami mohon anugerah dan barokah, dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan dan kehancuran.
Lalu kita masukkan air untuk kumur-kumur di mulut kita. Mulut kita adalah alat dari mulut hati kita. Mulut kita banyak kotoran kata-kata, banyak ucapan-ucapan berbusakan hawa nafsu dan syahwat kita, lalu mulut kita adalah mulut syetan.
Mulut kita lebih banyak menjadi lobang besar bagi lorong-lorong yang beronggakan semesta duniawi. Yang keluar dan masuknya hanyalah hembusan panasnya nafsu dan dinginnya hati yang membeku.
Betapa banyak dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits, betapa berlimpah ruahnya fatwa amar ma'ruf nahi mungkar, tetapi karena keluar dari mulut yang kotor, hanyalah berbau anyir dalam sengak hidung jiwa kita. Karena yang mendorong amar ma'ruf nahi mungkarnya bukan Alllah, tetapi hasrat hawa nafsunya, lalu ketika keluar dari jendela bibirnya, kata-kata indah hanyalah bau anyir najis dalam hatinya.
Sesungguhnya mulut-mulut itu sudah membisu, karena yang berkata adalah hawa nafsu. Ayo, kita masuki air Ilahiyah agar kita berkumur setiap waktu. Bermunajatlah ketika anda berkumur:
Oh, Tuhan, masukkanlah padaku tempat masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku di tempat keluar yang benar, dan jadikanlah diriku dari DiriMu, bahwa Engkau adalah Kuasa Yang Menolongku.
Oh Tuhan, tolonglah daku untuk selalu membaca KitabMu dan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan tetapkanlah aku dengan ucapan yang tegas di dunia maupun di akhirat.
Baru kemudian kita masukkan air suci yang menyucikan itu, pada hidung kita. Hidung yang suka mencium aroma wewangian syahwat dunia, lalu jauh dari aroma syurga. Hidung yang menafaskan ciuman mesra, tetapi tersirnakan dari kemesraan ciuman hakiki di SinggasanaNya.
Oh, Tuhan, aromakan wewangian syurgaMu dan Engkau melimpahkan ridloMu…
Semburkan air itu dari hidungmu, sembari munajatkan
Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari aroma busuknya neraka, dan bau busuknya dunia.
Selanjutnya:
"Basuhlah wajah-wajahmu…"
Dengan menyucikan hatimu dengan air pengetahuan yang manfaat yang suci dan menyucikan, baik itu bersifat pengetahuan syariat, maupun pengetahuan hakikat, serta pengetahuan yang bisa menghapus seluruh penghalang-penghalang, hijab, antara dirinya dan Allah.
Faktanya setiap hari kita Wudlu' membasuh muka kita, tetapi wajah-wajah kita tidak hadir menghadap Allah, tidak "Fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullah…" (kemana pun engkau menghadap, wajah hatimu menghadap arah Allah).
Kenapa wajah dunia, wajah makhluk, wajah-wajah kepentingan nafsu kita, wajah-wajah semesta, wajah dunia dan akhirat, masih terus menghalangi tatapmuka hati anda kepada Allah Ta'ala? Ini semua karena kebatilan demi kebatilan, baik kebatilan dibalik wajah batil maupun kebatilan dengan selimut wajah kebenaran, telah membatalkan wudlu jiwa kita, dan sama sekali tidak kita sucikan dengan air pengetahuan ma'rifatullah dan pengetahuan yang menyelamatkan dunia akhirat kita.
Hijab-hijab yang menutupi wajah jiwa kita untuk melihat Allah, sudah terlalu tua untuk menjadi topeng hidup kita. Kita bertopeng kebusukan, bertopeng rekayasa, bertopeng kedudukan dan ambisi kita, bertopeng fasilitas duniawi kita, bertopeng hawa nafsu kita sendiri, bahkan bertopeng ilmu pengetahuan kita serta imajinasi-imajinasi kita atau jubah-jubah agama sekali pun.
Lalu wajah kita bopeng, wajah ummat kita penuh dengan cakar-cakar nafsu kita, torehan-torehan noda kita, flek-flek hitam nafsu kita, dan alangkah bangganya kita dengan wajah-wajah kita yang dijadikan landskap syetan, yang begitu bebas menarikan tangan-tangannya untuk melukis hati kita dengan tinta hitam yang dipanggang di atas jahanam.
Karena wajah kita lebih senang berpaling, berselingkuh dengan dunia, berpesta dalam mabuk syetan, bergincu dunia, berparas dengan olesan-olesan kesemuan hidup, lalu memakai cadar-cadar hitam kegelapan semesta kemakhlukan.
Banyak orang yang mata kepalanya terbuka, tetapi matahatinya tertutup. Banyak orang yang mata kepalanya tertutup, matahatinya terbuka. Banyak orang yang matahatinya terbuka tetapi bertabur debu-debu kemunafikan duniawinya. Banyak orang yang sudah tidak lagi membuka matahatinya, dan ia kehilangan Cahaya Ilahi, lalu menikmati kepejaman matahatinya dalam kegelapan, yang menyangka ia dalam kebenaran dan kenikmatan.
Oh, Allah, bersihkan wajahkku dengan cahayaMu, sebagaimana di hari Engkau putihkan wajah-wajah KekasihMu. Ya Allah janganlah Engkau hitamkan wajahku dengan kegelapanMu, di hari, dimana Engkau gelapkan wajah-wajah musuhMu.
Tuhan, sibakkan cadar hitamku dari tirai yang membugkus hatiku untuk memandangMu, sebagaimana Engkau buka cadar para KekasihMu…
"Dan basuhlah kedua tanganmu sampai kedua siku-sikumu…"
Lalu kita basuh kedua tangan kita yang sering menggapai hasrat nafsu syahwat kita, berkiprah di lembah kotor dan najis jiwa kita, sampai pada tahap siku-siku hakikat kita dan manfaat agung yang ada di sana.
Tangan kita telah mencuri hati kita, lalu ruang jiwa kita kehilangan khazanah hakikat Cahaya hati. Tangan nafsu kita telah mengkorupsi amanah-amanah Ilahi dalam jiwa, lalu kita mendapatkan pundi-pundi duniawi penuh kealpaan dan kemunafikan.
Tangan-tangan kita telah merampas makanan-makanan kefakiran kita, kebutuhan hati kita, memaksa dan memperkosa hati kita untuk dijadikan tunggangan liar nafsu kita. Tangan-tangan kita telah memukul dan menampar wajah hati yang menghadap Allah, menuding muka-muka jiwa yang menghadap Allah, merobek-robek pakaian pengantin yang bermahkotakan riasan indah para Sufi.
Maka basuhlah tanganmu dengan air kecintaan, dengan beningnya cermin ma'rifat, dari mata air dari bengawan syurga.
Basuhlah tangan kananmu, sembari munajat:
Oh, Allah..berikanlah Kitabku melalui tangan kananku, dan hitanglah amalku dengan hitungan yang seringan-ringannya.
Basuhlah tangan kririmu dengan munajat:
Oh, Allah, aku berlindung kepadaMu, dari pemberian kitabku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku…
Lalu, mari kita usap kepala kita:
Karena kepala kita telah bertabur debu-debu yang mengotori hati kita, memaksa hati kita mengikuti selera pikiran kira, sampai hati kita bukan lagi menghadap kepadaNya, tetapi menghadap seperti cara menghadap wajah di kepala kita, yaitu menghadap dunia yang hina dan rendah ini.
Pada kepala kita yang sering menunduk pada dunia, pada wujud semesta, tunduk dalam pemberhalaan dan perbudakan makhluk, tanpa hati kita menunduk kepada Allah Ta'ala, kepada Asma-asmaNya yang tersembunyi dibalik semesta lahir dan batin kita, lalu kepala kita memalingkan wajah hati kita untuk berpindah ke lain wajah hati yang hakiki.
Mari kita usap dengan air Cahaya, agar wajah hati kita bersinar kembali, tidak menghadap ke arah remang-remang yang menuju gelap yang berlapis gulita, tidak lagi menengok pada rimba duniawi yang dipenuhi kebuasan dan liar kebinatangannya.
Kepala-kepala kita sering menunduk pada berhala-berhala yang mengitari hati kita. Padahal hati kita adalah Baitullah, Rumah Ilahi. Betapa kita sangat tidak beradab dan bahkan membangun kemusyrikan, mengatasnamakan Rumah Tuhan, tetapi demi kepentingan berhala-berhala yang kita bangun dari tonggak-tonggak nafsu kita, lalu kita sembah dengan ritual-ritual syetan, imajinasi-imajinasi, kebanggaan-kebanggan, lalu begitu sombongnya kepala kita terangkat dan mendongak.
Mari kita usap kepala kita dengan usapan Kasih Sayang Ilahi. Karena kepala kita telah terpanggang panasnya neraka duniawi, terpanaskan oleh ambisi amarah dan emosi nafsu syahwati, terjemur di hamparan mahsyar duniawi.
Sembari kita mengusap, masti munajat:
Oh Allah, payungi kepalaku dengan Payung RahmatMu, turunkan padaku berkah-berkahMu, dan lindungi diriku dengan perlindungan payung ArasyMu, dihari ketika tidak ada lagi paying kecuali payungMu. Oh, Tuhan….jauhkan rambutku dan kulitku dari neraka…Oh…
Usap kedua telingamu. Telinga yang sering mendengarkan paraunya dunia, yang anda kira sebagai kemerduan musik para bidadari syurga. Telinga yang berbisik kebusukan dan kedustaan, telinga yang menikmati gunjingan demi gunjingan. Telinga yang fantastik dengan mendengarkan indahnya musik duniawi, lalu menutup telinga ketika suara-suara kebenaran bersautan. Amboi, kenapa telingamu seperti telinga orang-orang munafik?
Apakah anda lebih senang menjadi orang-orang yang tuli telinga hatinya?
Munajatlah:
Oh Tuhan, jadikan diriku tergolong orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar dan mengikuti yang paling baik. Tuhan, perdengarkan telingaku panggilan-panggilan syurga di dalam syurga bersama hamba-hambaMu yang baik.
Lalu usaplah tengkukmu, sembari berdoa:
Ya Allah, bebaskan diriku dari belenggu neraka, dan aku berlindung kepadaMu dari belenggu demi belenggu yang merantai diriku.
Lalu basuh kaki-kakimu sampai kedua mata kaki:
Kaki-kaki yang melangkahkan pijakannya kea lam dunia semesta, yang berlari mengejar syahwat dan kehinaan, yang bergegas dalam pijakan kenikmatan dan kelezatan pesonanya.
Kaki-kaki yang sering terpeleset ke jurang kemunafikan dan kezaliman, terluka oleh syahwat dan emosinya, oleh dendam, iri dan dengkinya, haruslah segera dibasuh dengan air akhlaq, air yang berumber dari adab, dan bermuara ke samudera Ilahiyah.
Basuhlah kedua kakimu sampai kedua matakakimu. Agar langkah-langkahmu menjadi semangat baru untuk bangkit menuju Allah, menapak tilas Jalan Allah, secepat kilat melesat menuju Allah. Basuhlah dengan air salsabila, yang mengaliri wajah semesta menjadi jalan lurus lempang menuju Tuhan.
Selebihnya, Wudlu’ adalah Taubat, penyucian jiwa, pembersihan batin, di lembah Istighfar. Jangan lupakan Istighfar setiap basuhan anggota wudlu’mu.
Wallahu A'lam.