Laman

Jumat, 08 April 2016

kalimah thayyibah

Ungkapan dzikir atau kalimah thayyibah "Subhanallah" sering tertukar dengan ungkapan "Masya Allah". Ucapkan "Masya Allah" kalau kita merasa kagum. Ucapkan "Subhanallah" jika melihat keburukan!
SELAMA ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah), tertukar dengan ungkapan Masya Allah (Itu terjadi atas kehendak Allah).
Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanallah. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Allah yang bermakna “hal itu terjadi atas kehendak Allah”
Ungkapan Subhanallah tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanallah (Mahasuci Allah dari keburukan demikian).
Ucapan Masya Allah
Masya Allah artinya “Allah telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Allah dan ciptaan-Nya yang indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Allah”.
Ungkapan Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya.
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “Maasya Allah laa quwwata illa billah” (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).
Ucapan Subhanallah
Saat mendengar atau melihat hal buruk/jelek, ucapkan Subhanallah sebagai penegasan: "Allah Mahasuci dari keburukan tersebut".
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Saw berjalan bersama para sahabat, lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah Saw. Beliau bersabd :‘Wahai Abu Hurairah, mengapakah engkau malah pergi ketika kami muncul?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah Saw bersabda:Subhanallah, sesungguhnya mukmin tidak najis” (HR. Tirmizi).
“Sesungguhnya mukmin tidak najis” maksudnya, keadaan junub jangan menjadi halangan untuk bertemu sesama Muslim.
Dalam Al-Quran, ungkapan Subhanallah digunakan dalam menyucikan Allah dari hal yang tak pantas (hal buruk), misalnya:
“Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan”, juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik." (QS. 40-41).
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: ”Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikatitu menjawab: “Mahasuci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS. Saba’: 40-41).
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau (dari menciptakan hal yang sia-sia), maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran:109).
Jadi, kesimpulannya, ungkapan Subhanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, bukan yang baik-baik atau keindahan.
Dengan ucapan itu, kita menegaskan bahwa Allah Swt Mahasuci dari semua keburukan tersebut. Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah karena keindahan atas kuasa dan kehendak Allah Ta'ala.
Lalu, apakah kita berdosa karena mengucapkan Subhanallah, padahal seharusnya Masya Allah dan sebalinya?
Insya Allah tidak. Allah Maha Mengerti maksud perkataan hamba-Nya. Hanya saja, setelah tahu, mari kita ungkapkan dengan tepat antara Subhanallah dan Masya Allah.
Wallahu a’lam bish-shawabi.

DALIL TABARRUK


(Para Sahabat Bertabarruk Dengan Segalanya Yang Berkaitan Rasulullah SAW)
Daripada 'Amir ibn Abdullah ibn Zubair mengisahkan ayahnya pernah menceritakan kepadanya bahawa dia pernah datang kepada nabi ketika baginda sedang dibekam.
Setelah selesai dibekam, Baginda SAW bersabda: "Wahai Abdullah (ibn Zubair)! Pergilah kamu dengan membawa darah ini dan buanglah ia di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat kamu."
Setelah meninggalkan Rasulullah SAW, dia mengambil darah itu, lalu meminumnya. Apabila kembali semula, Rasulullah SAW bertanya: "Apakah yang telah kamu lakukan dengan darah itu?" Dia menjawab: "Aku telah sorokkannya di tempat yang sangat tersorok, yang aku tahu ia sememangnya tersembunyi daripada orang ramai."
Baginda SAW bersabda: "Boleh jadi engkau telah meminumnya?" Dia menjawab: "Ya".
Nabi SAW bersabda: "Kenapa kamu minum darah itu? Celakalah manusia daripada kamu dan terselamatlah kamu daripada manusia." (riwayat Al-Hakim, al-Bazzar, Al-Isobah dan oleh Al-Haithami dalam Majma')
Abu Musa mengatakan bahawa Abu 'Asim berkata: "Mereka (para sahabat) berpendapat bahawa kekuatan yang terdapat pada Abdullah ibn Zubair itu disebabkan keberkatan darah tersebut."
Dalam riwayat Imam al Dar Qutni daripada hadis Asma' binti Abu Bakar juga seperti itu. Dalam hadis tersebut dinyatakan: "Dan kamu tidak akan disentuh api neraka".
Dalam kitab al Jauhar al-Maknun fi Zikr al-Qaba'il wa al-Butun disebutkan, bahawa setelah Abdullah ibn Zubair meminum darah Rasulullah SAW, meruap bau wangi kasturi daripada mulut Ibnu Zubair dan bau itu kekal di mulutnya sehingga dia disalib (syahid). (Dalam Al-Mawahib, al-Quatallani, 1:284)
Imam Tabrani meriwayatkan daripada Safinah r.a katanya: Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW berbekam. Setelah itu, baginda bersabda: "Ambillah darah ini dan tanamlah ia daripada (dilihat) oleh binatang, burung dan manusia". Lalu, aku pun menyembunyikannya dan meminumnya. Kemudian, aku memberitahu hal itu kepada Rasulullah SAW, maka baginda pun ketawa. (Al-Haitami dalam Majma' mengatakan bahawa rijal Al-Tabrani adalah thiqah. 8:270)
Dalam Sunan Sa'id ibn Mansur melalui jalan 'Amru ibn Sa'ib disebut: "Telah sampai berita kepadanya bahawa Malik ibn Sinan r.a, bapa Abu Sa'id al Khudri, tatkala muka Nabi Muhammad SAW luka dalam peperangan Uhud, dia menghisap darah baginda SAW sampai bersih dan nampak putih bekas lukanya."
Nabi SAW bersabda: "Muntahkan darah itu!" Malik r.a menjawab: "Aku tidak akan memuntahkannya selama-lamanya." Bahkan, dia menelannya.
Nabi SAW bersabda: "Barang siapa ingin melihat seorang dari ahli syurga, maka lihatlah kepada orang ini." Ternyata, dia gugur syahid dalam peperangan Uhud.
Imam Tabrani juga meriwayatkan hadis seperti itu. Antara lain, disebutkan bahawa Rasulullah SAW bersabda: "Sesiapa yang mencampurkan darahku dengan darahnya, nescaya tidak akan disentuh api neraka". (Al-Haithami mengukuhkan hadis ini dalam Majma'nya, 8:270)
Berkata al-Hafiz Ibnu Hajar: "Telah meriwayatkan Abdul Razzaq daripada Ibnu Juraij, beliau berkata: Aku diberitahu bahawa nabi pernah buang air kecil ke dalam sebuah bekas yang diperbuat daripada tembikar. Kemudian, baginda meletakkannya di bawah katilnya."
Apabila baginda hendak mengambilnya kembali, ternyata bekas itu tidak mengandungi apa-apa. Rasulullah SAW bertanya kepada seorang perempuan yang bernama Barakah, pembantu Ummu Habibah yang datang bersamanya dari Habsyah: "Di manakah air kencing di dalam bekas itu?" Dia menjawab: "Aku telah meminumnya."
Rasulullah SAW bersabda: "Semoga engkau beroleh kesihatan, wahai Ummu Yusuf!" Dia memang digelar dengan gelaran Ummu Yusuf. Selepas peristiwa itu, dia tidak pernah sakit, kecuali sakit yang mengakibatkan kematiannya. (Ibnu Hajar, al-Talkhis al Habir fi Takhrij Ahadith al-Syarh al-Kabir, (2: 32))
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Nasaei secara ringkas. Berkata al Hafiz al-Suyuti: "Ibnu Abdil Bar telah menyempurnakan penulisan hadis ini di dalam al-Isti'ab." Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW bertanya Barakah tentang air kencing yang terdapat di dalam bekas tersebut. Lalu Barakah berkata: "Aku telah meminumnya, wahai Rasulullah!" Seperti yang disebut oleh hadis. (Al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasaei, 1:32).
Dalam Bukhari dan Muslim: Para sahabat berebut mendapatkan sisa air wudhu’ Nabi sall-Allahu álayhi wasallam untuk digunakan membasuh muka mereka.Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya akan perlakuan para sahabat dalam bertabarruk dengan air bekas wuduk Junjungan Nabi SAW. Demikian dahsyat dan bersungguh-sungguhnya mereka bertabarruk dengannya sehingga Imam al-Bukhari meriwayatkan yang mereka seolah-olah hampir saling berbunuh-bunuhan kerana berebut-rebut mendapatkan bekas jatuhan air wuduk dan air ludah baginda SAW.
Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim berkata: “riwayat-riwayat ini merupakan bukti/hujjah untuk mencari barokah dari bekas-bekas para wali” (fihi al-tabarruk bi atsar al-salihin).
Anas berkata: “Nabi sall-Allahu álayhi wasallam tinggal bersama kami, dan begitu beliau tidur, ibuku mulai mengumpulkan air peluhnya dalam suatu botol kecil. Nabi sall-Allahu álayhi wasallam terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim, apa yang kau lakukan?” Dia (Umm Sulaim) menjawab, “Ini adalah air peluhmu yang akan kami campur dalam minyak wangi kami dan itu akan menjadikannya minyak wangi terbaik.” (Hadits Riwayat Muslim, Ahmad). Perbuatan tersebut tidak dilarang oleh Rasulullah SAW.
Ibnu al-Sakan meriwayatkan lewat Safwan ibn Hubayra dari ayah Safwan: Sabit al-Bunani berkata: Anas ibn Malik berkata kepadaku (di tempat tidurnya saat menjelang wafatnya): “Ini adalah sehelai rambut Rasulullah sall-Allahu álayhi wasallam. Aku ingin kau menempatkannya di bawah lidahku.” Thabit melanjutkan: Aku menaruhnya di bawah lidahnya, dan dia (Anas) dikubur dengan rambut itu berada di bawah lidahnya.”
Ibnu Sirin (seorang tabi’in) berkata: “Sehelai rambut Nabi sall-Allahu álayhi wasallam yang kumiliki lebih berharga daripada perak dan emas dan apa pun yang ada di atas bumi maupun di dalam bumi.” (riwayat Bukhari,Baihaqi dalam Sunan Kubra, dan Ahmad)
Hafiz al-’Ayni berkata dalam ‘Umdat al-Qari, Vol. 18, hlm. 79: “Ummu Salamah memiliki beberapa helai rambut Nabi dalam sebuah botol perak. Jika orang jatuh sakit, mereka akan pergi dan mendapat barokah lewat rambut-rambut itu dan mereka akan sembuh dengan sarana barokah itu. Jika seseorang terkena penyakit mata atau penyakit apa saja, dia akan mengirim isterinya ke Ummu Salamah dengan sebuah bekas air, dan dia (Ummu Salamah) akan mencelupkan rambut itu ke dalam air, dan orang yang sakit itu meminum air tersebut dan dia akan sembuh, setelah itu mereka mengembalikan rambut tersebut ke dalam jiljal.”
[ Ust Iqbal ]

ORANG ZUHUD

ORANG ZUHUD itu mempunyai 3 Syarat :
1. Sedikit sekali menggemari dunia,
sederhana dalam menggunakan segala
miliknya, menerima apa yang ada, juga
tidak merisaukan segala sesuatu yang
tidak ada, akan tetapi giat dalam bekerja,
kerana bekerja adalah mencari rezeki,
sedangkan mencari rezeki, suatu
kewajiban.
2. Pujian dan celaan adalah hal yang sama,
tidak bergembira bila mendapat pujian,
juga tidak bersedih jika mendapat celaan
atau hinaan.
3. Mengutamakan redha Allah swt dari pada
redha manusia atau merasa tenteram
jiwanya bersama Allah swt dan merasa
bahagia sebab dapat mentaati semua
tuntutannya.
IMAM HASSAN BASRI
"Engkau harus berlaku Zuhud, sesungguhnya zuhudnya orang yang zuhud itu lebih baik dari perhiasan yang ada pada tubuh wanita yang menawan.
IMAM SYAFI'E
“Siapa yang merasa bahawa dalam dirinya terkumpul 2 cinta, cinta dunia dan cinta kepada Penciptanya, maka ia telah berdusta.”
IMAM SYAFI'E
“Ketahuilah bahwa orang yang jujur kepada Allah swt, ia akan selamat. Barangsiapa yang bersemangat dengan Agamanya, ia pun akan selamat dari kerusakan, dan barangsiapa yang berlaku zuhud dengan urusan dunianya, niscaya kelak pahala Allah swt, akan nampak indah di matanya.”
IMAM SYAFI'E
“Berlakulah zuhud dalam menjalani hidup di dunia, dan cintailah kehidupan akhirat dan barangsiapa harum bau (badan)nya, maka kecerdasannya akan semakin bertambah.”
IMAM SYAFI'E
“Sangat jauh jika bermaksud memaknai sehat atau kenyang tanpa mengalami sendiri rasa sehat atau kenyang. Mengalami mabuk lebih jelas daripada hanya mendengar tentang arti mabuk, meskipun yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar teori mabuk. Maka mengetahui arti dan syarat-syarat zuhud tidak sama dengan bersifat zuhud.”
IMAM AL GHAZALI
“Kehidupan seorang Muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna, kecuali mengikuti jalan Allah SWT yang dilalui secara bertahap. Tahapan-tahapan itu antara lain : Taubat, Sabar, Faqir, Zuhud, Tawakal, Cinta, Makrifat dan Redha. Kerana itu seseorang yang mempelajari Tasawwuf wajib mendidik jiwa dan akhlaknya. Sementara itu, hati adalah cermin yang sanggup menangkap Makrifat. Dan kesanggupan itu terletak pada hati yang suci dan jernih.
IMAM AL GHAZALI
”Tidaklah keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Allah swt, sedangkan perjumpaan dengan Allah swt itu adalah seperti kerdipan mata, atau lebih cepat dari itu. Di antara ciri orang yang akan berjumpa dengan Tuhannya adalah tidak terdapat sesuatu yang bersifat fana pada dirinya sama sekali. Sebab keabadian dan fana adalah dua sifat yang saling bertolak belakang.”
SHEIKH ABDUL QADIR AL JILANI
”Makhluk adalah tabir penghalang bagi dirimu, dan dirimu adalah tabir penghalang bagi Tuhanmu. Selama kamu melihat makhluk, selama itu pula kamu tidak melihat dirimu, selama itu pula kamu tidak melihat Tuhanmu.”
SHEIKH ABDUL QADIR AL JILANI
“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan kurnia Allah swt. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya. Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, kerana aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja."
IMAM QUTB IRSYAD HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD
“Cabutlah ketajaman dari sarung pedang tabiatmu yang membelah akar cinta dari asalnya. Taburilah tanah dengan benih pohon-pohon kezuhudan, hingga menghasilkan Qurb (kedekatan) kepada Allah swt, air telaga dari celah Wishal ( Persatuan dengan Allah swt ), dan pengetahuan pada puncak tujuan.”
[ Imam Qutb Al-Arif billah Habib Ali
bin Muhammad Al-Habsyi ]