Laman

Kamis, 16 Maret 2017

Perjalanan jiwa 4

Reinkarnasi = “Kembali kedalam bentuk manusia,”
(Re=Kembali, In=kedalam Kar=bentuk Nasi=Manusia)
Dalam agama Budha ada Punabbava, dalam agama Hindu ada Karma pala, dalam mitologi china dan jepang ada “phoenix” yang melambangkan kebangkitan, …..
Kalau saja kita yang “memandang miring” terhadap mereka saja bisa memahaminya, lalu bagaiman kita yang katanya “memandang lurus” t
erhadp agama kita?
Coba-lah kita buka dan kaji kembali ke-dalam kitab suci kita masing-masing, nanti-nya kita akan mendapatkan “sinyalemen” yang meng-indikasikan kearah itu.
Bahwa pengetahuan Reinkarnasi ini sifatnya UNIVERSAL. Ingat..! Pembahasan ini hanya satu dari sekian banyak sudut pandang yang ada…
Surah Al-Maidah ayat 60 :
Sesungguhnya orang-orang yang Aku marahi itu maka Aku jadikan mereka itu Kera, Aku jadikan mereka itu Babi dan aku jadikan mereka itu penyembah-penyembah Berhala maka itulah seburuk-buruknya jalan kembali.
Dalam ayat-ayat yang lain : Taha:53, Al fathir:27, Ibrahim:32, Al-An’aam:99, An-Nur:43, Al A’raf:57, Ar-Rum:48, Qaaf:9, Al-Hajj:63, Lukman:10, Al-A’raaf:153, Az-Zumar:21, Al-Baqarah:22 ….. silahkan cari lagi “sinyalemen-sinyalemen” yang lainnya…>
“Aku tumbuhkan kamu dari bumi sebagai Tumbuh-tumbuhan, Kami jadikan kamu Batu, kami jadikan kamu Tumbuh-tumbuhan yang telah dipetik… “
…………..
“Proses Perjalanan Jiwa”
Reinkarnasi 1 s/d 7 = Mineral s/d Manusia = Hidup terikat grafitasi Bumi = Lingkaran Hukum Alam.
Reinkarnasi 8 s/d 11 = Jalur Gaib = Rijalul Gaib = Hidup berteman dengan Maut = (keputusannya=keputusanNya)
Inilah golongan yang disebut dengan ”Tanazzalul malaaikatu warruhu….”
Sesungguhnya para wali-wali Allah itu tidak-lah mati, tingkatan ini adalah untuk mereka yang ditugaskan membantu pekerjaan Allah s.w.t.
Reinkarnasi 12 s/d 13 = Gaibul Gaib = Rijalullah = Maqom Al-Ikhlas “Qul Huallahu Ahad” (Maksudnya : Katakanlah, “Hua/Rijalullah” = DIA = Rahasia Allah Yang Esa)
“Tingkatan ini adalah pengembalian Rahasia kepada Empunya Rahasia”
Akhirul kalam
Mari-lah kita ber-evolusi untuk tetap menjadi manusia, karena kalau tidak menjadi manusia lalu mau jadi apa lagi?
Salam

Perjalanan jiwa 3

Musibah atau bencana di bumi adalah dari manusia untuk manusia, dan merupakan suatu pelajaran agar manusia dapat menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan Tuhan.
Perhatikan Surah Al-Rûm ayat : 41 sampai dengan 45,
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) per
buatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). 42. Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”
43. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam) sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya): pada hari itu mereka terpisah-pisah.
44. Barangsiapa yang kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan),
45. agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar.
Simak kembali ke lima ayat dalam surah Al-Rum diatas, lalu perhatikan penjabaran dibawahnya,
Ayat (41) :
Ketika ayat ini diturunkan, daratan dan laut telah mengalami kerusakan, dan dinyatakan dengan tegas bahwa kerusakan itu akibat perbuatan manusia, bukan disebabkan oleh perilaku hewan atau yang lainnya.
Bahwa ternyata kerusakan di darat dan laut itu dibiarkan oleh Allah agar manusia (yang melakukan kerusakan itu) merasakan sebagian dari akibat perbuatannya.
Untuk apa?
Agar yang pernah melakukan kerusakan itu mendapat pelajaran untuk kembali kepada jalan yang benar. (maksudnya : yang akan merasakan akibat perbuatannya adalah yang pernah hidup pada masa lampau dan yang pernah berbuat kerusakan, bukan orang yang baru pertama kali dilahirkan di muka bumi ini)
Bukankah Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak merugikan manusia sedikitpun?
Tidak mungkin manusia yang tidak tahu apa-apa dan tidak berbuat suatu kesalahan dikenakan azab oleh Allah, itu suatu tuduhan yang “keji” dan sifat itu sangat mustahil dimiliki Tuhan..
Sebaliknya, dengan sifat Rahman dan RahimNya, maka manusia yang jelas-jelas sudah melakukan “kerusakan di muka bumi” ketika dibangkitkan lagi hanya merasakan sebagian saja dari akibat perbuatannya.
Manusia itu tidak merasakan seluruh akibat perbuatan buruknya.
Hal semacam inilah yang disebutkan pada ayat lain bahwa Tuhan itu memaafkan sebagian besar kesalahan manusia.
Ayat (42)
Bahwa, manusia diperintah Tuhan untuk melakukan perjalanan di muka bumi.
Pada ayat ini kita diperintah untuk memperhatikan akibat perbuatan buruk orang-orang yang hidup pada masa lalu.
Apa kata ayat tersebut?
Bahwa : banyaknya kerusakan di darat dan laut itu ternyata dilakukan oleh orang-orang Musyrik. orang-orang yang menyekutukan Tuhan.
Orang yang menyekutukan Tuhan = Orang yang membuat kerusakan di bumi
Orang yang menyekutukan Tuhan bukanlah orang yang beribadah dan menyembah patung
“Karena kemusyrikan terkait erat dengan amal perbuatan manusia”.
Jika amalan itu merusak bumi, maka itu namanya tindakan “Syirik”.
Jika perusakan bumi itu merupakan perilaku seseorang, maka orang itu disebut sebagai orang “Musyrik” = menyekutukan Tuhan.
Agar tidak terjerumus ke jurang kemusyrikan maka manusia diperintah untuk menghadapkan dirinya kepada Agama (cara hidup yang benar), yaitu : jalan hidup yang lurus yang tidak menimbulkan kerusakan dan merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Jalan hidup yang demikian inilah yang disebut “ISLAM”
(Maksudnya : Islam adalah jalan selamat dunia + akhirat, jalan ini sifatnya universal jadi siapa saja orangnya yang mengunakan jalan ini dalam kehidupan aktual termasuk dia itu Yahudi = mau Kristen = mau Hindu = mau Buddha dia itu Islam jua)
Ayat (43)
Bahwa : manusia harus berusaha berada di jalan yang lurus.
Dalam ayat lain disebut sebagai orang yang Bertakwa.
Usaha ini harus ditempuh sebelum datangnya hari dari Allah yang disebut sebagai “hari yang tidak dapat ditolak”.
Hari apa gerangan?
Itulah hari Kematian dan sekaligus Kebangkitan bagi seseorang.
Seandainya dalam satu hari ini orang yang mati itu banyak, maka yang dibangkitkan/yang dilahirkan juga banyak, hal ini harus berjalan seimbang demi kelangsungan bumi ini.
Semua sudah tersedia dari awalnya, tidak di-kurangi dan tidak di tambah-tambah lagi, itu-itu juga dari awalnya…
Yang mati = yang bangkit
Yang bangkit bisa jadi manusia juga..
Yang bangkit bisa jadi malaikat
Yang bangkit bisa jadi hewan
Yang bangkit bisa jadi tumbuh-tumbuhan
Yang bangkit bisa jadi mineral = gentayangan
Inilah adalah pilihan-pilihan, silahkan memilih sendiri….
Di mana dibangkitkan?
Ya, di bumi ini!
Lihat kembali QS 7:25.
“Manusia dibangkitkan melalui kelahiran melalui ibunya masing-masing”
Dalam ayat ini mereka disebut menjadi terpisah-pisah.
Ayat (44)
Dan, disebutkan pada ayat ini bahwa, mereka yang kafir akan menanggung perbuatan kekafirannya, yaitu, dilahirkan ditempat “yang sengsara”, sedangkan yang dahulunya berbuat amal saleh, maka akan dilahirkan di tempat yang penuh anugerah Tuhan.
Sekarang perhatikan kata Musyrik dan Kafir, pada ayat (44) diatas…
Kalau yang dirujuk itu sikap hidup, maka namanya “Musyrik”,. tapi, kalau yang dirujuk itu keyakinan dan tindakannya yang mengingkari kebenaran, maka namanya “Kafir”. Jadi, kafir itu tak ada kaitannya dengan agama yang dipeluk.
Agama apa saja yang dipeluknya, kalau ia mengingkari kebenaran dan melakukan kerusakan maka ia termasuk orang kafir!
Ayat (45)
Allah tidak mencintai orang-orang yang ingkar.
Perhatikan pernyataan “tidak mencintai” = “Lâ Yuhibbu”
Ayat ini tidak boleh diterjemahkan menjadi tidak menyukai. Berbeda!
Allah tidak terlibat dalam suka atau tidak suka. Allah juga tidak terlibat dalam soal membenci atau tidak membenci.
Allah itu bersifat Mahabbah, mencintai hamba-Nya. Tetapi, kalau si hamba itu mengingkari-Nya, maka Dia tidak mencintainya.
Apa bedanya “tidak mencintainya” dengan “membenci”?
Benci adalah perasaan tidak suka.
Jadi, kalau Tuhan membenci berarti dalam diri Tuhan itu terkandung perasaan tidak suka, hal ini tentu saja berlawanan dengan sifat-Nya yang Rahman dan Rahim.
Jelas, tidak mungkin terjadi sifat yang saling berlawanan pada diriNya. Sifat Tuhan adalah Cinta. Oleh karena itu para ahli Tasawuf menyebut Tuhan itu sendiri “Cinta”.
Cinta itu bukan suka!
Cinta mengandung makna karunia. Artinya, sesuatu yang dicintai niscaya mendapat perhatian atau karunia dari yang mencintai.
Kalau Tuhan mencintai seorang hamba, maka hamba itu akan mendapatkan cucuran rahmat dan karunia dari-Nya. misalnya, sang hamba yang dicintai Tuhan itu akan mendapatkan perlindungan, pertolongan dan kenikmatan.
Kalau Tuhan “tidak mencintai” orang kafir, artinya Tuhan akan membiarkan si kafir itu menerima akibat perbuatan-Nya.
Jadi, apa yang kita harapkan?
Tentu saja, rahmat dan perlindungan-Nya,
Dengan rahmat dan perlindungan-Nya, maka seorang manusia dapat terus-menerus berusaha di jalan yang benar.
Salam

Menemui Allah

“Hai manusia, sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menemui Tuhan-mu, sampai engkau bertemu dengan-Nya” (QS Al Insyqaq 84 : 6)
Berjumpa dengan Tuhan adalah dambaan setiap manusia dan itu merupakan impian tertinggi yang selalu dicita-citakan oleh semua orang. Ketika berbicara tentang “Berjumpa dengan Tuhan” maka yang terbayang pada semua orang adalah Kematian, Setelah manusia meninggal dunia (nafas berhenti) barulah ada peluang berjumpa dengan Tuhannya. Berjumpa dengan Tuhan setelah kematian itu sifatnya spekulatif, (bisa ya bisa juga tidak) lalu bagaimana kalau setelah meninggal kita tidak pernah berjumpa dengan Tuhan?
Kenikmatan tertinggi bagi penduduk Surga adalah melihat wajah Tuhan, artinya ada kemungkinan orang yang di surga tidak bisa melihat Tuhan, tentu saja mustahil bagi orang yang tidak masuk surga bisa berjumpa dengan Allah.
Andai nanti kita tidak berjumpa dengan Tuhan di akhirat, lalu mau kemana kita? Mau balik ke dunia???
Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa proses perjumpaan dengan Tuhan itu berlangsung di dunia dan proses situ harus kita selesaikan di dunia ini juga sehingga di akhirat kita tidak lagi mengalami kesulitan menemui Allah. Yang diperlukan adalah kesungguhan kita untuk semaksimal mungkin berusaha menemui-Nya.
“Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemui-nya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemui-nya” (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Firman Allah dalam hadist qudsi di atas memberi gambaran kepada kita bahwa Allah ingin sekali ditemui namun terkadang hamba-Nya yang lalai dengan kesibukannya sendiri.
Menemui Allah, ya berjumpa dan memandang wajah-Nya itulah kenikmatan yang paling tinggi yang dirasakan oleh para pecinta-Nya.
Kalau di dalam shalat anda tidak merasakan kehadiran-Nya berarti anda belum berjumpa dengan-Nya, maka anda harus belajar lagi sampai anda bermakrifat kepada-Nya.
Saya menutup tulisan singkat ini dengan mengutip dialog antara saya dengan seseorang 7 tahun lalu tentang berjumpa dengan Allah. Suatu hari saya bertanya kepada seorang yang baru menekuni Tarekat (baru 3 hari),
“Andai anda berjumpa dengan Allah, apa yang akan anda sampaikan kepada Allah?”
Dia sepertinya terkejut dengan pertanyaan saya yang tiba-tiba dan pertanyaan tersebut belum pernah ditanyakan se umur hidupnya, dia diam tidak bisa menjawab apa2. Kemudian saya membantu dia dengan pertanyaan berikut :
“Kalau anda selesai shalat apa doa anda kepada Allah?”
Dia jawab dengan cepat, “bla bla bla…”
Dengan senyum dan dengan suara pelan saya katakan pada dia, “Berarti selama ini dalam shalat anda tidak pernah berjumpa dengan Allah?”. Dia menganguk dengan malu.
Syukur Alhamdulillah berkat Syafaat Rasulullah dan bimbingan Guru Mursyid, sahabat saya tersebut akhirnya benar-benar mengenal Allah dengan sebenar kenal dan selalu merasakan perjumpaan dengan Allah.
Mudah-mudahan tulisan ini memberikan gairah kepada para pencari dan membangkitkan rindu kepada para pecinta-Nya, salam

SEPUTAR MASALAH MELIHAT ALLAH

Melihat Tuhan bukan hal yang asing bagi para pengamal tasawuf yang telah mendapat bimbingan Guru Mursyid Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin dan telah mencapai maqam Ma’rifat. Sebagian besar tulisan yang ditampilkan di sufimuda tentang tasawuf adalah hal-hal yang berkenaan dengan Ma’rifat, kalau anda baca Melihat Allah, Mimpi Berjumpa Rasulullah SAW, Surat Untuk Allah, Do’a Sufimuda adalah ungkapan-ungkapan betapa manisnya buah yang dihasilkan dari pohon Ma’rifat, disini kita tidak lagi membicarakan dalil-dalil bagaimana pohon itu tumbuh, cara merawatnya, pupuk apa yang cocok dan bibit mana yang bisa cepat menghasilkan buah yang manis dan ranum, kita hanya membicarakan tentang “rasa” dan pengalaman “merasakan”. Karena tasawuf adalah dunia rasa, sebagaimana ungkapan mereka, “ Tidak tahu kalau tidak merasakan ”. Kami tidak perlu tahu siapa Guru Mursyid yang membimbing anda, yang kami yakini adalah bahwa anda telah mencapai tahap ma’rifat, dan mari kita duduk bercengkerama di Surau Sufimuda membicarakan tentang buah ma’rifat yang amat manis dan harum, hanya bisa dirasakan oleh orang yang telah memiliki buahnya, dan tidak akan mungkin bisa dirasakan dengan membaca walau ditulis ribuan lembar, tetaplah tidak akan bisa mewakili manis dan nikmatnya buah ma’rifat.
Bagi anda yang belum pernah mendapat bimbingan dari seorang Guru Mursyid, akan tetapi punya keinginan untuk menemukan kebenaran lewat tasawuf silahkan anda membaca dalil-dalil yang berhubungan dengan thariqat di : 7 tanya jawab tentang thariqat, 7 tanya jawab tentang thariqat (lanjutan) , definisi tasawuf , Berguru kepada Mursyid ,
Berwasilah kepada Mursyid dan Rabithah Mursyid dan silahkan bertanya kepada orang yang ahli dibidangnya.
Bagi anda yang sangat awam tentang thariqat, mungkin juga anti thariqat sebagaimana kami dulu, kami sangat memahami kondisi anda, apalagi selama ini mungkin anda telah membaca tulisan-tulisan dari orang-orang yang sangat benci kepada Tasawuf, seperti Borok-Borok Sufi karya ulama Wahabi, atau buku-buku yang menyerang tasawuf yang rata-rata ditulis bukan atas dasar keilmuan akan tetapi lebih kepada propaganda untuk menghancurkan Tasawuf guna menghambat orang-orang yang ingin menemukan kebenaran. Silahkan anda baca disini , disini dan
disini
Setelah kami tampilkan tulisan Bisakah Melihat Allah?, banyak sekali komentar-komentar yang masuk baik yang mendukung maupun yang mengingkari dan mempertanyakan, mungkinkah kita bisa melihat Allah didunia? Dan tentu orang-orang yang tidak meyakini bahwa Allah bisa dilihat didunia ini juga mempunyai dalil yang sangat mendukung, oleh karena itu kuranglah bijak rasanya kalau kami tidak menampilkan semua dalil, baik dari kalangan yang mendukung maupun yang mengingkari, kami mengutip tulisan tentang melihat Allah dari buku :
Jalan Menuju Ma’rifatullah dengan tahap (7M) karya ust. Asrifin S.Ag Penerbit “Terbit Terang Surabaya” (hal 259-268) , semoga bermanfaat untuk kita semua.
Ma’rifat yang sebagai upaya seorang hamba untuk mengenal secara hakiki kepada tuhannya, maka dalam permasalahan ma’rifat ini ada suatu persoalan seputar “Bisakah seorang hamba itu melihat dengan matanya kepada Allah? Bisakah manusia yang bersifat fana itu melihat kepada Dzat Qodim? Walau dengan mata hatinya, bisakah manusia yang selalu terjerat dalam lingkaran keihsanan itu melihat Allah yang memang secara dzatnya itu berbeda?”
Ada tiga pendapat mengenai masalah melihat Tuhan ini yaitu:
1. Allah tidak dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat
Pendapat yang demikian ini terutama diwakili oleh satu golongan yang ada dalam golongan teologi (ilmu kalam) yaitu golongan mu’tazilah. Golongan ini menandaskan bahwa Tuhan tak akan pernah mungkin bisa dilihat. Ketidakbisaan Tuhan dilihat oleh manusia baik kelak di akhirat, apalagi di dunia. Golongan inimemberikan satu alasan bahwa selagi manusia itu masih dalam lingkaran keihsanan tidak akan pernah mungkin untuk melihat satu Dzat yang “Laisa kamislihi sya’un”. Golongan ini selalu beralasan pada firman Allah sendiri yang menyatakan sebagai berikut:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103).
Selalu, ayat tersebut dijadikan sebagai argumentasi untuk memperkuat pendapat bagi kaum mu’tazilah dan tanpa melihat lagi atau mengkaji dan membanding-bandingkan dengan ayat lain yang menerangkan kebalikannya. Mungkin masalah melihat Tuhan ini terlalu irasional bagi mereka yang sejak semula memang selalu mengandalkan akal, sehingga mereka pun selalu meyakini bahwa mustahil Allah itu dapat di lihat oleh manusia di akhirat kelak, apalagi di dunia. Ada satu sindiran yang disampaikan oleh Syekh Allamah Al-Qori menanggapi pendapat kaum mu’tazilah tersebut yaitu:
“Orang mukmin melihat Tuhannya, tanpa bentuk tanpa umpama. Nikmat lain tiada arti, dibanding melihat Ilahi Rabbi, kaum mu’tazilah yang rugi seribu rugi.”
2. Allah dapat dilihat di akhirat
Satu pendapat yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat kelak di akhirat adalah berdasarkan ayat dan hadits-hadits sebagai berikut:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu, mereka pada melihat Tuhannya.”
Dalam sebuah hadits diterangkan:
“Dari Abu Hurairah ra. Seungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya, “ya, Rasulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita pada hari kiamat?” maka Rasulullah menjawab, “Sulitkah kamu melihat bulan di malam bulan purnama?”
Para sahabat berkata, “Tidak, ya Rasulullah.” Rasul berkata lagi, “Apakah kamu sulit melihat matahari di waktu tanpa awan? Sesungguhnya kamu akan Melihat Tuhan seperti itu.”
Dalam sebuah riwayat yang lain, yaitu dari Imam Turmudzi, dari Umar ra., bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya kedudukan surga yang paling rendah adalah penghuni surga yang melihat surganya, istrinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni surga yang paling tinggi di antara mereka adalah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Kemudian Rasulullah membaca, “Wajah-wajah di hari itu penuh keceriaan memandang Tuhannya.”
3. Allah dapat dilihat di dunia dan di akhirat
Pendapat yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di dunia maupun di akhirat, pertama-tama menandaskan pada landasan ajaran Nabi tentang “ihsan”, yaitu:
“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”
Sabda Nabi tentang teori ihsan ini bila dilacak dari segi ilmu bahasa akan mempunyai pengertian sebagai berikut: perkataan “KAANNA” sesungguhnya terdiri dari dua unsur kata, yaitu “KA” dan “ANNA”. Dalam teori bahasa “KA” disebut
harfut tamtsil (huruf yang berfungsi untuk kata perumpamaan). Sedangkan kata “ANNA” adalah huruf yang berfungsi untuk menguatkan (lit ta’kid ) yang dalam arti bahasa Indonesia diartikan dengan “sungguh/sesungguhnya”. Dengan demikian jika kata tersebut “KAANNA” digabung menjadi satu, maka akan berarti “ seperti sungguh-sungguh”. Perkataan Nabi “seperti sungguh-sungguh engkau melihat-Nya” bukan menunjukkan arti hanya “seakan-akan” yang tidak punya kemungkinan untuk melihat, tetapi sebaliknya perkataan itu malah menunjukkan kemungkinan bahwa Allah bisa dilihat. Hal yang senada pun ditegaskan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya sembahyang itu memang berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yaitu mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada Tuhannya.”
Selain ajaran tentang ihsan tersebut, argumentasi lain yang dijadikan sebagai landasan pendapat bahwa Allah itu dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat adalah pada masalah kisah Nabi Musa yang menginginkan melihat Tuhannya, dimana kisah tersebut telah diabadikan dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat Al-A’raf, ayat 143 sebagai berikut:
“Dan ketika Musa datang untuk munajat pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, maka berkatalah Musa, “Ya, Tuhanku, nampaklah diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “kamu tidak akan dapat melihat-Ku tetapi lihatlah bukit itu, maka bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti sedia kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku. “tatkala Tuhan tajalli/nampak pada bukit itu, kejadian itu menjadikan bukit hancur dan Musa pun pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama kali beriman (percaya).” (QS. al-A’raf: 143).
Kisah tentang permintaan Nabi Musa untuk bisa melihat Tuhannya sebagaimana diabadikan dalam ayat tersebut, bila diteliti lebih mendalam sesungguhnya mempunyai kesamaan dengan kasus cerita yang dialami Nabi Ibrahim ketika memohon kepada Tuhannya untuk berkenan diperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan seseorang yang sudah mati. Menanggapi permintaan Ibrahim tersebut Allah menjawab dengan satu perkataan, “Afalam tu’min (apakah kamu tidak percaya) ?” Seakan-akan Allah ragu dengan keimanan dan kepercayaan Ibrahim bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha segala-galanya, yang sanggup untuk menghidupkan kembali sesuatu yang telah mati. Apa jawaban Ibrahim pada waktu itu adalah “ Liyathma’inna qalbi”, yang seakan-akan Ibrahim berkata, “tidak Tuhanku. Bukannya aku tidak iman dan mempercayai-Mu. Tetapi permintaan ini aku lakukan supaya lebih mantap keimanan dan kepercayaanku kepada-Mu”, maka Allah pun mengabulkan permohonan Ibrahim.
Permintaan Ibrahim sesungguhnya mempunyai kesamaan dengan permintaan Musa. Jika Ibrahim meminta kepada Allah agar Dia berkenan menunjukkan bagaimana cara menghidupkan orang mati, maka Musa meminta kepada Allah agar Dia sudi menampakkan diri supaya Musa dapat melihat-Nya. Memang, Allah tidak mengatakan “Afalam tu’min” kepada Musa sebagaimana yang pernah Dia firmankan kepada Nabi Ibrahim. Tetapi Allah malah menyuruh Musa untuk melihat sebuah bukit. Jika bukit tersebut masih tetap sedia kala, maka Musa akan dapat melihat kepada-Nya.
Sama halnya dengan permintaan Ibrahim yang langsung dikabulkan oleh Allah, maka demikian pula pada permintaan Musa untuk bisa melihat Tuhannya. Dalam kisah Nabi Musa, memang dia tidak mengatakan “Liyathma’inna qalbi” yang artinya Musa memohon kepada Allah untuk dapat melihat Tuhannya itu supaya Musa lebih mantap keimanan dan kepercayaannya kepada Allah. Tetapi setelah kejadian itu, dimana Allah telah tajalli/menampakkan diri kepada Musa yang menjadikan bukit hancur dan Musa sendiri pingsan, maka setelah dia sadar dari pingsannya, baru dia mengatakan “Ana awwalulmu’minin”, saya orang pertama beriman. Beriman disini mempunyai arti percaya. Percaya kepada apa ? Yaitu percaya bahwa Allah itu benar-benar maujud dan Allah itu telah menampakkan diri-Nya dan mempercayai bahwa Allah bisa dilihat.
Sehubungan dengan masalah kisah Nabi Musa sebagaimana di atas, ada beberapa pendapat yang mencoba untuk memberikan penafsiran tentang hal itu yang di antaranya adalah dari Qurthubi yang mengatakan :
“Melihat Allah SWT. Di dunia adalah dapat diterima oleh akal, kalau sekiranya tidak bisa, maka tentulah permintaan Musa. as. Untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi musa tidak meminta hal ini , ini pun bisa terjadi dan bukan suatu hal yang mustahil.” (Al-Jami’ul Ahkamul Qur’an).
Selanjutnya, Ibnu Qoyyim pun berkata:
“Bahwa sesungguhnya permintaan Nabi Musa akan melihat Allah adalah menunjukkan atas kemungkinan. Karena sesungguhnya seorang yang berakal, apalagi seorang Nabi tidak akan meminta hal-hal yang mustahil.”
Selain kedua pendapat tersebut, dalam kitab Kawasyiful Jilliyah disebutkan sebagai berikut:
“Adapun firman Allah SWT.: ‘Tatkala Tuhan tajalli/tampak nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur.’ Maka apabila Allah bisa tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, maka kenapa tak mungkin Allah tajalli pada Rasul-rasul-Nya dan Wali-wali-Nya?”
Satu hal yang perlu ditandaskan di sini, sebelum satu argumentasi lagi disebutkan untuk mendukung pendapat yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di dunia maupun di akhirat, adalah yang dimaksud dengan Allah dapat dilihat di sini adalah bukan dengan pandangan mata telanjang tetapi dengan pandangan mata batin. Sebagaimana keterangan pada bab-bab yang terdahulu, sesungguhnya pandangan mata indera sangatlah terbatas sehingga dengan demikian sudah tentu tak akan sanggup untuk bermusyahadah kepada Allah. Hanya mata batinlah yang mempunyai kesanggupan untuk bermusyahadah kepada-Nya. Dan hal ini adalah merupakan kesepakatan kebanyakan ulama tasawwuf. Umumnya mereka berpendapat tentang mata batin ini sebagaimana berikut:
“Apabila ruhaniyah telah menguasai bashirah, maka mata indera akan berlawanan dengan mata batin, mata indera tidak akan dapat melihat, kecuali pengertian-pengertian yang hanya terlihat oleh mata batin.”
Dari keterangan di atas, ketika mata indera tidak mempunyai kesanggupan untuk menjangkau pandangannya, maka mata batinlah yang nanti mempunyai kesanggupan untuk menembusnya. Berhubungan dengan masalah mata batin ini pula sebagian ulama tasawwuf pun ada yang mempunyai pendapat bahwa dalam mimpi pun ternyata seseorang bisa bermusyahadah dengan Allah. Mengenai hal ini terdapat satu keterangan dalam kitab Shirajut Thalibin sebagai berikut:
“Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian ulama sufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan.”
Terlepas dari permasalahan dalam mimpi melihat Tuhan atau tidak, yang jelas satu argumentasi lagi yang perlu dikemukakan untuk memperkuat pendapat bahwa Allah dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat adalah pada kisah Isra’ Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW. Di mana pada saat Nabi Isra’ Mi’raj Nabi benar-benar melihat Allah, sehingga seorang sahabat, yaitu Hasan bin Ali berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas yang oleh Imam Nawawi diterangkan sebagai berikut:
“Kesimpulannya, sesungguhnya rajih (alasan yang paling kuat) menurut sebagian besar ulama bahwa Rasulullah melihat Tuhannya dengan nyata/mata pada malam Isra’ Mi’raj berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas dan lain-lain.”
Dari beberapa argumentasi dan bukti-bukti baik dari Al-Qur’an maupun Hadits dan pendapat ulama yang dijadikan sebagai landasan atas pendapat yang terakhir ini, Ibnu Taimiyah, seorang yang dikenal sebagai pembaharu islam yang mengikuti aliran rasionalis yang juga banyak memberikan kritikan terhadap dunia tasawwuf memberikan satu kesimpulan dalam bentuk satu Qa’idah sebagai berikut:
“Dan dari persoalan tentang melihat, sesungguhnya tiap-tiap yang maujud itu sah dilihat.”
Berdasarkan satu Qa’idah tersebut dapat dijelaskan bahwa semua apa yang bersifat maujud (ada) sesungguhnya masih dapat dan sah untuk dilihat, sedangkan Allah sendiri adalah Wajibul Maujud (wajib ada), maka sudah barang tentu masih membuka kemungkinan untuk bisa dilihat. Wallahu a’lam

Wanita yang Aduannya Didengar Allah dari Langit Ketujuh

Beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Auf. Suaminya adalah saudara dari Ubadah bin Shamit, yaitu Aus bin Shamit bin Qais. Aus bin Shamit bin Qais termasuk sahabat Rasulullah yang selalu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan, termasuk perang Badar dan perang Uhud. Anak mereka bernama Rabi’.
Suatu hari, Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya sedang menghadapi suatu masalah. Masalah tersebut kemudian memicu kemarahannya terhadap Khaulah, sehingga dari mulut Aus terucap perkataan, “Bagiku, engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar dan duduk-duduk bersama orang-orang. Beberapa lama kemudian Aus masuk rumah dan ‘menginginkan’ Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam (yaitu dhihaar). Khaulah berkata, “Tidak… jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”
Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan dengan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.” Sesudah itu Khaulah senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu tentang peristiwa yang menimpa diriku.” Tiada henti-hentinya wanita ini ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan ayat Al-
Qur’an tentang dirimu dan suamimu.” kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat…..” sampai firman Allah: “Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mujadalah:1-4)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihaar, yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu memerdekakan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut atau jika masih tidak mampu berpuasa maka memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.
Inilah wanita mukminah yang dididik oleh islam, wanita yang telah menghentikan khalifah Umar bin Khaththab saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka saya akan mengerjakan shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga selesai keperluannya.”
Alangkah bagusnya akhlaq Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan hanya kepada Allah Ta’ala. Beliau berdo’a tak henti-hentinya dengan penuh harap, penuh dengan kesedihan dan kesusahan serta penyesalan yang mendalam. Sehingga do’anya didengar Allah dari langit ketujuh.
Allah berfirman yang artinya, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdo’a) kepada–Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi itu Maha Malu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika hamba-Nya mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).” (HR.
Abu Dawud , At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hikmah
Tidak setiap do’a langsung dikabulkan oleh Allah. Ada faktor-faktor yang menyebabkan do’a dikabulkan serta adab-adab dalam berdo’a, diantaranya:
1. Ikhlash karena Allah semata adalah syarat yang paling utama dan pertama, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Al-Mu’min: 14)
2. Mengawali do’a dengan pujian dan sanjungan kepada Allah, diikuti dengan bacaan shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diakhiri dengan shalawat lalu tahmid.
3. Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do’a serta yakin akan dikabulkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khaulah binti Tsa’labah radhiyallahu ‘anha.
4. Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo’a, tidak terburu-buru serta khusyu’ dalam berdo’a.
5. Tidak boleh berdo’a dan memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah semata.
6. Serta hal-hal lain yang sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain hal-hal di atas, agar do’a kita terkabul maka hendaknya kita perhatikan waktu, keadaan, dan tempat ketika kita berdo’a. Disyari’atkan untuk berdo’a pada waktu, keadaan dan tempat yang mustajab untuk berdo’a. Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang penting bagi terkabulnya do’a. Diantara waktu-waktu yang mustajab tersebut adalah:
1. Malam Lailatul qadar.
2. Pertengahan malam terakhir, ketika tinggal sepertiga malam yang akhir.
3. Akhir setiap shalat wajib sebelum salam.
4. Waktu di antara adzan dan iqomah.
5. Pada saat turun hujan.
6. Serta waktu, keadaan, dan tempat lainnya yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah memberikan kita taufiq agar kita semakin bersemangat dan memperbanyak do’a kepada Allah atas segala hajat dan masalah kita. Saudariku, jangan sekali pun kita berdo’a kepada selain-Nya karena tiada Dzat yang berhak untuk diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah kita berputus asa ketika do’a kita belum dikabulkan oleh Allah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Zikir Meliputi Perkataan, Perbuatan Dan Perasaan

Sesungguhnya Aku adalah Allah! Tidak ada Tuhan melainkan Aku! Dan dirikanlah sembahyang bagi mengingati Aku! ( Ayat 14 : Surah Taha )
Sembahyang mengandungi perbuatan anggota zahir, perkataan yang dilafazkan
dan penyertaan hati yang benar menghadap kepada Allah s.w.t dengan sepenuh jiwa raga. Mengingati Allah s.w.t melalui sembahyang merupakan zikir yang paling sempurna. Perbuatan menjadi zikir, perkataan menjadi zikir dan perasaan menjadi zikir. Sekalian maujud berada dalam suasana zikir. Zikir dalam sembahyang menggabungkan pengakuan bahawa yang diingatkan itu adalah Allah s.w.t; bahawa Allah s.w.t yang diingati itu adalah Tuhan; bahawa tiada Tuhan melainkan Dia; bahawa Allah adalah Tuhan yang disembah; bahawa menyembah Allah s.w.t adalah dengan perkataan, perbuatan dan perasaan; bahawa apa sahaja yang dilakukan adalah kerana mentaati-Nya dan kerana ingat kepada-Nya.
Zikir yang di dalam sembahyang menjadi induk kepada zikir-zikir di luar sembahyang. Menyebut nama-nama Allah s.w.t adalah zikir. Perkataan yang baik-baik diucapkan kerana Allah s.w.t adalah zikir. Nasihat menasihati kerana Allah s.w.t adalah zikir. Menyeru manusia ke jalan Allah s.w.t adalah zikir. Semua itu merupakan zikir perkataan. Zikir perbuatan pula meliputi segala bentuk amalan dan kelakukan yang sesuai dengan syarak demi mencari keredaan Allah s.w.t. Berdiri, rukuk dan sujud dalam sembahyang adalah zikir. Melakukan pekerjaan yang halal kerana Allah s.w.t, kerana mematuhi peraturan yang Allah s.w.t turunkan, adalah zikir. Mengalihkan duri dari jalan kerana Allah s.w.t adalah zikir. Apa juga perbuatan yang tidak menyalahi peraturan syariat jika dibuat kerana Allah s.w.t maka ia menjadi zikir. Tidak melakukan apa-apa pun boleh menjadi zikir. Orang yang menahan anggotanya, lidahnya dan hatinya daripada menyertai perbuatan maksiat sebenarnya melakukan zikir jika dia berbuat demikian kerana Allah s.w.t. Semua itu menjadi zikir jika dibuat kerana Allah s.w.t, kerana mematuhi perintah-Nya, kerana mencari keredaan-Nya dan kerana ingat kepada-Nya. Jadi, perbuatan dan perkataan terikat dengan amalan hati untuk menjadikannya zikir. Ia hanya dikira sebagai zikir jika ada zikir hati iaitu hati ingat kepada Allah s.w.t, ikhlas dalam melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya Tanpa zikir hati tidak ada zikir-zikir yang lain, kerana setiap amalan digantungkan kepada niat yang lahir dalam hati.
Zikir adalah mengingati Allah s.w.t sebaik dan seikhlas mungkin. Mengingati nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah zikir. Melihat matahari, bulan dan bintang di langit sambil mengenang kebijaksanaan Allah s.w.t merupakan zikir. Melihat kilat memancar dan mendengar guruh berdentum sambil mengenangkan keperkasaan Allah s.w.t adalah zikir. Melihat fajar subuh, melihat dan mencium bunga yang indah lagi harum sambil mengenang keelokan Allah s.w.t adalah zikir juga namanya. Jadi, zikir adalah pekerjaan sepanjang masa, setiap ketika, semua suasana, pada setiap sedutan dan hembusan nafas dan pada setiap denyutan nadi. Kehidupan ini merupakan zikir daim (zikir berkekalan) jika mata hati sentiasa memerhatikan sesuatu tentang Allah s.w.t.
Misalkan seorang sedang melakukan zikir hati dan perkataan; menyebut dan mengingati nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t. Tiba-tiba datang seorang kanak-kanak di hadapannya. Anak kecil itu memegang sebotol racun. Anak kecil mahu meminum racun tersebut. Pada ketika itu ahli zikir tadi berkewajipan meninggalkan pekerjaan zikir yang sedang dilakukannya dan berpindah kepada zikir menyelamatkan anak kecil yang mahu meminum racun itu. Perpindahan perbuatan tidak memutuskan zikir atau ingatannya kepada Allah s.w.t. Dia menyebut nama Tuhan kerana ingat kepada Tuhan. Dia menyelamatkan anak kecil itu kerana mentaati perintah Tuhan. Tuhan yang mentakdirkan anak kecil itu mahu meminum racun di hadapannya. Tuhan juga mengadakan syariat yang mewajibkan membuang kemudaratan. Taat kepada perintah Tuhan dan reda dengan takdir Tuhan yang datang serta bertindak menurut peraturan syariat Tuhan merupakan zikir yang sangat mulia pada sisi Tuhan. Zikir yang begini termasuk di dalam golongan zikir yang berkekalan atau zikir daim.
Zikir daim sukar diperolehi. Kebanyakan manusia melakukan pekerjaan yang baik-baik yang seharusnya menjadi zikir tetapi dilakukan tanpa ingatan kepada Allah s.w.t dan bukan dengan penghayatan mematuhi syariat-Nya. Kekuatan dalaman perlu ditambah bagi memperolehi zikir daim. Bagi tujuan tersebut perlulah dilakukan zikir sebutan iaitu zikir nafi-isbat (ucapan kalimah “La ilaha illa Llah ”) dan zikir nama-nama serta sifat-sifat-Nya. Zikir yang seperti ini memberi kesan kepada menguatkan rasa kecintaan dan ingatan kepada Allah s.w.t. Ia membuka kesedaran-kesedaran dalaman seperti yang telah dinyatakan pada tajuk yang membicarakan perjalanan Latifah Rabbaniah. Kekuatan kesedaran dalaman mendorong seseorang melakukan sesuatu dengan ikhlas kerana Allah s.w.t yang dicintainya, yang hampir dengannya. Zikir nafi-isbat dan sebutan nama-nama serta sifat-sifat-Nya menjadi jalan kepada zikir dalam bentuk mentaati peraturan-Nya tanpa lupa kepada-Nya. Jadi, perlu dilakukan zikir secara sebutan untuk memudahkan zikir secara amalan atau perbuatan dan kelakuan. Mudah-mudahan terhasillah zikir yang berkekalan.
Zikir atau mengingati Allah s.w.t haruslah dilakukan menurut kadar kemampuan masing-masing. Zikir yang paling baik diucapkan adalah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah s.a.w dengan sabda baginda s.a.w yang bermaksud: “Ucapan zikir yang paling baik adalah yang aku dan sekalian nabi-nabi bawa. Itulah ucapan kalimah ‘La ilaha illa Llah ’ .”
Orang yang tidak pernah berzikir adalah orang yang sangat keras hatinya dan kuat dikuasai oleh syaitan, hawa nafsu dan dunia. Cahaya api syaitan, fatamorgana dunia dan karat hawa nafsu membaluti hatinya sehingga tidak ada ingatannya kepada Allah s.w.t. Seruan, peringatan dan ayat-ayat Tuhan tidak diterima oleh hatinya. Beginilah keadaan orang Islam yang dijajah oleh sifat munafik. Orang yang masih mempunyai kesedaran perlu memaksakan dirinya untuk berzikir, sekalipun hanya berzikir dengan lidah sedangkan hatinya masih lalai dengan berbagai-bagai ingatan yang selain Allah s.w.t. Pada tahap pemaksaan diri ini, lidah menyebut Nama Allah s.w.t tetapi hati dan ingatan mungkin tertuju kepada pekerjaan, harta, perempuan, hiburan dan lain-lain. Beginilah tahap orang Islam biasa. Orang yang berada pada tahap ini perlu meneruskan zikirnya kerana jika dia tidak berzikir dia kan lebih mudah dihanyutkan di dalam kelalaian. Tanpa ucapan zikir syaitan akan lebih mudah memancarkan gambar-gambar tipuan kepada cermin hatinya dan dunia akan lebih kuat menutupinya. Zikir pada peringkat ini berperanan sebagai juru ingat. Sebutan lidah menjadi sahabat yang memperingatkan hati yang lalai. Berlakulah pertembungan di antara tenaga zikir dengan tenaga syaitan yang menutupi hati. Tenaga syaitan akan mencuba untuk menghalang tenaga zikir daripada memasuki hati. Tindakan syaitan itu membuatkan orang yang ingin berzikir itu menjadi malas dan mengantuk. Oleh yang demikian perlulah dilakukan mujahadah, memerangi syaitan yang menghalang lidah daripada berzikir itu. Zikir yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh akan berjaya melepasi benteng yang didirikan oleh syaitan. Tenaga zikir yang berjaya memasuki hati akan bertindak sebagai pencuci, menyucikan karat-karat yang ada pada dinding hati. Pada peringkat permulaannya zikir masuk ke dalam hati sebagai Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan yang diucapkan. Apabila karat pada dinding hati sudah berkurangan ucapan zikir akan disertai oleh rasa kelazatan. Hati yang sudah merasai nikmat zikir itu tidak perlu kepada paksaan lagi. Lidah tidak perlu lagi berzikir. Zikir sudah hidup dalam hati secara diam, jelira dan melazatkan. Perhatian bukan sekadar kepada nama-nama dan sifat-sifat yang diingatkan malah ia lebih tertuju kepada Yang Empunya nama dan sifat. Inilah kedudukan orang yang beriman.
Zikir yang lebih mendalam membawa hati berhadap kepada Hadrat Tuhan, menyaksikan Tuhan pada setiap masa dan suasana. Apa sahaja yang dilihat dan dibuat memperingatkannya kepada Tuhan. Inilah peringkat zikir daim yang dikurniakan kepada mereka yang beriman dan bersungguh-sungguh mengabdikan diri kepada Allah s.w.t. Kehidupan mereka dipenuhi oleh zikir sepanjang masa. Tidur mereka juga menjadi zikir.
Zikir yang diucapkan dengan perkataan membantu hati mengingati Tuhan. Bagi sebahagian manusia berzikir secara kuat lebih memberi kesan daripada berzikir secara perlahan, terutamanya bagi mereka yang baharu memulakan amalan zikir. Zikir secara senyap di dalam hati adalah pergerakan perasaan. Hati menghayati apa yang dizikirkan dan terbentuklah alunan perasaan sesuai dengan apa yang dihayati. Pada tahap yang lebih mendalam zikir bukan lagi sebutan atau ingatan kepada Nama, tetapi hati menyaksikan Keperkasaan dan Keelokan Tuhan. Bila hati sudah boleh menyaksikan Keelokan dan Keperkasaan Tuhan, itu tandanya seseorang itu sudah ada hubungan semula dengan roh suci yang mengenal Tuhan. Pancaran cahaya makrifat daripada roh suci membuat hati dapat melihat kenyataan sifat-sifat Tuhan.
Pada tahap kesedaran yang lebih mendalam, ucapan serta ingatan dan perhatian yang berhubung dengan Tuhan menimbulkan keghairahan atau zauk. Zauk itu terjadi kerana kuatnya tarikan Hadrat Tuhan kepada hati. Ingatan dan penyaksian terhadap Hadrat Tuhan akan memberi kesan yang sangat kuat kepada hati. Hati yang menyaksikan Hadrat Tuhan Yang Maha Perkasa boleh menyebabkan seseorang itu menjadi pengsan kerana takutnya hati kepada keperkasaan Allah s.w.t. Hati yang menyaksikan Hadrat Tuhan Yang Maha Lemah-lembut akan mengalami rasa kenikmatan dan kebahagiaan yang amat sangat.
Pada tahap kesedaran yang lebih mendalam, hati diperkuatkan lagi supaya mampu menerima ‘sentuhan’ Hadrat Tuhan itu. Penyaksian terhadap Hadrat Tuhan tidak lagi melahirkan keghairahan atau zauk atau kegoncangan kepada hati. Hati mengalami suasana Hadrat Tuhan dalam keadaan damai dan sejahtera. Pada tahap ini hati akan mengenali Tuhan sebagai Raja Yang Maha Berkuasa. Berada pada sisi Raja tersebut membuat hati merasakan kesejahteraan dan keselamatan yang tidak terhingga, hilang rasa takut dan dukacita.
Pada tahap kesedaran yang paling dalam hati berhadap kepada Hadrat Tuhan yang bernama Allah s.w.t, yang menguasai semua Hadrat, yang melampaui segala nama dan sifat, segala kenyataan dan ibarat. Hati sampai kepada tahap jahil setelah berpengetahuan. Ilmu gagal menghuraikan tentang Allah s.w.t. makrifat gagal memperkenalkan Allah s.w.t. Apa sahaja yang terbentuk, tergambar, terfikir, yang disaksikan dengan mata luar dan juga mata dalam dan segala-galanya tersungkur di hadapan Hadrat Allah s.w.t, yang tiada Tuhan melainkan Dia, Maha Perkasa. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menyamai Allah s.w.t, Dia Maha Esa. Hati yang berhadapan dengan Hadrat Allah s.w.t benar-benar mengalami dan mengenali maksud keesaan Allah s.w.t. Hati pun tunduk, menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t, Tuhan Maha Mencipta. Baharulah sempurna penyerahannya, baharulah lengkap perjalanan Islamnya.
Setelah itu rohnya menjadi seakan-akan roh yang baharu, seumpama baharu lahir. Roh yang baharu itu adalah Roh Islam yang telah mengenal Allah s.w.t yang melampaui segala sesuatu tetapi memiliki Hadrat-Nya, Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat-Nya, menyata kepada Roh Islam, iaitu Roh yang lebih tulen dan seni daripada semua roh-roh yang lain. Itulah roh yang telah menemui Kebenaran Hakiki. Pada roh tersebut bercantum tahu dengan tidak tahu, kenal dengan tidak kenal, nafi dengan isbat. Roh Islam itulah yang benar-benar mengerti maksud nafi dan isbat pada Kalimah Tauhid: “La ilaha illa Llah”.
Dia turunkan Roh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki daripada hamba-hamba-Nya untuk memberi peringatan tentang hari pertemuan. ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min
Roh Islam yang mengenderai hati Islam dan memiliki nafsu Islam, akal Islam dan pancaindera Islam kembali kepada kehidupan dunia untuk mengajak dan membimbing orang lain kepada Yang Haq, Kebenaran Hakiki. Roh Islam mengeluarkan yang Islam sahaja. Jiwanya Islam, perkataannya Islam, perbuatannya Islam, diamnya Islam, tidurnya Islam dan segala-gala yang mengenainya adalah Islam. Roh Islam yang paling sempurna adalah roh Nabi Muhammad s.a.w. Baginda s.a.w merupakan contoh tauladan Islam yang paling sempurna, paling baik.
Zikir memainkan peranan yang penting dalam melahirkan Roh Islam. Bagi orang yang inginkan kebenaran dan melihat kebenaran, menjadi kewajipan baginya mengingati Allah s.w.t sebanyak mungkin.
Lantas apabila kamu telah selesaikan sembahyang (sembahyang di waktu perang ) itu, maka hendaklah kamu ingat kepada Allah s.w.t sambil berdiri, dan sambil duduk, dan sambil (berbaring) atas rusuk-rusuk kamu. Tetapi apabila kamu telah tenteram, maka hendaklah kamu dirikan sembahyang (seperti biasa), kerana sesungguhnya itu adalah bagi Mukminin satu kewajipan yang ditentukan mwaktunya. ( Ayat 103 : Surah an-Nisaa’ )
Yang mengingati Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring, dan memikirkan tentang kejadian langit-langit dan bumi (sambil berkata): “Wahai Tuhan kami! Engkau tidak jadikan (semua) ini dengan sia-sia! Maha Suci Engkau. Lantaran itu peliharakanlah kami daripada seksa neraka”. ( Ayat 191 : Surah a-Li ‘Imran ) Setiap Muslim seharusnya mencari kehidupan berzikir; berzikir sambil duduk dan sambil berbaring; bekerja di dalam berzikir; berehat di dalam berzikir dan tidur di dalam berzikir. Lidah berzikir, anggota tubuh berzikir dan hati berzikir. Tentera Islam yang sedang berperang dengan musuh pun dituntut berzikir, apa lagi kaum Muslimin yang berada dalam suasana aman. Muslim sejati sentiasa berzikir, mengingati dan mentaati Allah s.w.t.