Laman

Rabu, 22 Maret 2017

Engkau Wahai Guruku…


Dulu, aku hanyalah seorang anak muda putus asa akibat patah hati, hidup tidak punya arah dan nyaris ingin mengakhiri hidup, kemudian aku datang kepadamu menyerahkan diri untuk dibimbing menjadi orang yang berguna. Datang dengan niat untuk mengobati luka hati yang tercampakkan oleh dunia yang kejam. Masih aku ingat malam itu, Engkau wahai Guruku membentakku dengan keras karena aku tidak setuju dengan Tarekat karena bagiku Tarekat itu sebuah kata yang tabu, sebuah aliran yang penuh bid’ah dan kesesatan. Hampir saja Engkau mengusirku dan syukur sekali malam itu aku bertahan dan tidak keluar dari Suraumu. Mengingat kenangan itu, aku ingin selalu menangis, air mataku mengalir tanpa bisa tertahan, syukur kepada Tuhan yang Maha Pemurah telah memperkenalkan dirimu wahai Guruku, kekasih Allah dimuka bumi. Sungguh, andai malam itu aku merajuk dan keluar dari suraumu, saat ini aku tidak tahu menjadi apa. Menjadi hamba setan dan Yang pasti aku menjadi orang yang menyembah Tuhan tanpa pernah kenal dengan Tuhan yang disembah. Seperti sindiranmu kepadaku, “menyembah tuhan kira-kira”.
Aku datang kepadamu, wahai Guruku, dengan kubangan dosa dan masih tersisa lumpur-lumpur kenistaan. Aku tahu jubahmu terpecik oleh kenistaanku dan yang membuat aku selalu menangis karena Engkau berkenan menerima diri hina ini. Menerima manusia yang sakit jasmani dan rohani. Ampuni aku Wahai Guruku, karena malam itu aku berbohong padamu. Karena ketika engkau bertanya, “apakah niat kamu menempuh jalan ini karena Allah?”. Aku jawab, “Iya”, padahal jujur wahai Guru, niat aku malam itu hanya untuk berobat saja. Maka aku bisa menerima bentakanmu karena niatku memang tidak tulus.
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Tinggi, yang telah memperkenalkan dirimu Wahai Guruku, karena kemudian setelah Allah berkenan membukakan hijabnya, ternyata aku baru sadar bahwa engkau adalah Guru Sejati, Wali Qutub, pemimpin para Wali dan cuma ada satu orang disetiap zaman. Sungguh syukur yang tidak terhingga karena engkau yang sungguh teramat mulia berkenan menerima aku sebagai muridmu. Maka disetiap langkah hidup ini, ketika ada yang menanyakan kepadaku apa kebahagiaan dan kemulyaan paling tinggi didunia ini? Tanpa ragu aku jawab, “kebahagiaan dan kemulyaan tertinggi bagiku adalah diterima menjadi murid wali, diterima menjadi muridmu wahai guruku”.
Wahai Guruku teramat mulia, sungguh dirimu adalah kekasih yang disembunyikan Allah sehingga manusia akan terhijab oleh kesederhanaanmu. Manusia pastilah mencari Guru yang jenggotnya panjang, jubahnya meriah sampai ke tanah dan surbannya tebal serta bahasa Arabnya lebih fasih dari orang Arab. Orang pasti mencari kekasih Allah dalam wujud orang yang suka pamer ilmu dan pamer ayat bahkan tanpa sadar menjual ayat-ayat Tuhan.
Engkau wahai Guruku, benar-benar sosok yang selalu menjaga kesucian jiwa, tidak ingin disanjung dan dihormati oleh manusia. Engkau hadir ditengah-tengah manusia layaknya mereka sehingga kami selalu merasa damai bersamamu. Engkau benar-benar sosok yang kami kenal, bukan sosok suci yang menjauh dari kehidupan duniawi.
Engkau Wahai Guruku, mengingatkan aku akan Rasulullah SAW, junjungan alam, yang dalam dirinya tersempunyi Nur Allah yang lewat Beliau para sahabatnya bisa berhubungan dengan Allah SWT. Dalam dirimu aku temukan getaran itu. Getaran yang membuat roh ini melayang sampai kehadirat Allah SWT.
Engkau wahai Guruku, mengingatkan aku akan Imam Para Sufi, Saidina Abu Bakar As-Shiddiq yang sangat dermawan yang seluruh harta dan hidupnya diserahkan untuk kejayaan Islam. Dirimu wahai Guruku mengabdi 50 tahun kepada jalan kebenaran ini tanpa memperdulikan harta bahkan selama puluhan tahun engkau tidak mempunyai tempat tinggal sama sekali sampai engkau menjadi Guru Sejati.
Engkau wahai Guruku, mengingatkan aku kepada kemegahan Islam, Saidina Umar bin Khattab yang gagah berani mempertahankan agama Islam. Dalam dirimu aku temukan keberanian Umar, yang tidak pernah mengenal kata menyerah dan putus asa.
Engkau Wahai Guruku, mengingatkan aku akan Sang Corong Ilmu, Saidina Ali bin Abi Thalib Karamalluhu wajhah. Setiap kata yang kau ucapkan penuh makna dan sarat dengan hakikat ketuhanan. Belum pernah engkau tidak bisa menjawab pertanyaanku bahkan sebelum aku bertanyapun telah engkau jawab.
Engkau wahai Guruku, mengingatkan aku akan Syekh Abu Yazid Al-Bisthami yang sempurna wahdatul wujudnya dan setiap ucapannya bisa membuat orang awam geram dan menuduh sesat. Dalam dirimu aku temukan sosok Abu Yazid, karena setiap ucapanmu tidak lain keluar dari mulutmu yang telah menyatu dengan Allah SWT.
Engkau wahai Guruku, mengingatkan aku akan kisah Syekh Amir Kulal yang masa mudanya gagah berani, tidak pernah kalah dalam bermain gulat sampai bertemu dengan Syekh Muhammad Baba Samasi. Engkaupun di masa mudamu gagah perkasa tak tertandingi.
Engkau wahai Guruku, mengingatkan aku kepada Syekh Bahauddin Naqsyabandi yang selalu disalahkan oleh teman-teman seperguruan dan dijauhkan dari pergaulan sampai Guru Beliau menganjurkan Bahauddin muda untuk keluar dari tempat wiridnya untuk menyenangkan hati khalifah-khalifah yang lain. Dirimu wahai Guruku yang selalu menjunjung amanah Guru sehingga membuat orang lain iri dan benci kepadamu.
Engkau Wahai Guruku, mengingatkan aku akan Maulana Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi, akan keteguhan hati dalam berdakwah tanpa peduli sakit dan terus semangat. Dalam dirimu aku temukan itu Guruku, karena dalam sakitpun engkau tetap membesarkan nama Tuhan.
Engkau wahai Guruku, junjunganku, pujaan hatiku, dalam dirimu bersemayam Nur Muhammad karena itu namamu menjadi Muhammad pula,
Engkau wahai Guruku adalah MUHAMMAD yang selalu pandai Ber-SYUKUR

Jangan Kau Potong Besi Memakai Dzikir!

Ilmu di dunia ini bersifat universal artinya siapapun dengan sungguh-sungguh menekuni akan mencapai hasil sesuai dengan tujuan ilmu tersebut. Fakultas Kedokteran hadir untuk mencetak manusia menjadi dokter sedangkan fakultas Teknik dibuat untuk mencetak manusia menjadi seorang Insyiur, ahli teknologi. Akan keliru jika orang bercita-cita menjadi dokter masuk ke Fakultas Teknik, sesunguh apapun usahanya tidak akan membuat dia menjadi seorang dokter. Pernah suatu hari sambil guyon Guru berkata, “Jangan kau potong besi memakai dzikir!”.
Seorang murid dengan polos bertanya, “Kenapa Guru besi tidak boleh dipotong memakai dzikir?”
Guru tertawa, “Memang bisa putus besi kamu potong dengan dzikir? Besi dipotong dengan gergaji besi sedangkan dzikir untuk membersihkan hati”
Maksud Guru sebenarnya adalah segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya, digunakan menurut fungsi masing-masing. Karena ilmu bersifat universal maka siapa saja yang memenuhi rukun syarat dalam menuntut ilmu akan memperoleh hasil yang sama, siapapun orangnya.
Ada sebuah guyonan dari Almarhum KH, Hasyim Muzadi “Ilmu itu universal, bukan soal agama. Kristen belajar kedokteran ya jadi dokter. Orang NU gak belajar, ya jadi dukun.” Apa yang Beliau sampaikan ada benarnya seperti saya kemukakan di awal tulisa tadi bahwa ilmu itu bersifat universal. Anda rajin belajar akan menjadi pandai sedangkan tidak rajin akan menjadi bodoh, tidak ada hubungan dengan ibadah yang anda lakukan.
Orang rajin ibadah tapi malas bekerja maka hukum alam membuat dia menjadi miskin atau hidup dibawah rata-rata, sedangan orang rajin bekerja dan berusaha andai dia seorang yahudi pun akan menjadi kaya dan sukses. Coba perhatikan orang-orang sukses di dunia, kebanyakan dari kalangan non muslim, bukan faktor agamanya tapi karena kesungguhan. Seorang muslim yang sukses juga banyak, kaya raya juga banyak, mereka mencapainya bukan lewat ibadah dan keshalehan tapi lewat ketekunan.
“Tuhan tidak pernah mau melanggar hukum-Nya” begitu Guru menasehati saya. Tuhan menciptakan hukum yang kita sebut sunatullah, lewat hukum tersebut maka keadilan Tuhan terlaksana dengan seadil-adilnya di dunia ini. Tuhan memberi ilham tentang Hukum Gravitasi kepada Newton, hal yang belum pernah terfikirkan oleh manusia sebelumnya, meskipun berulang kali orang menyaksikan apel jatuh, ini tidak ada hubungan dengan ketaatan.
Kita bangga memiliki Harun Yahya yang sangat tekun menemukan ayat-ayat tentang apapun rahasia alam. Kalau anda nanya ke Harun Yahya tentang dalil komputer di al-Qur’an pasti dia punya ayatnya. Tapi saya pribadi berpendapat bahwa tidak semua fenomena alam harus bisa dijelaskan memakai dalil-dalil karena keduanya memiliki fungsi berbeda. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia, jalan kepada-Nya, sebagai sumber kebaikan universal, tidak harus disana memuat segala keinginan dan kebutuhan kita, terutama bidang teknologi. Kalau anda cari dalil tentang handphone, laptop, pesawat, internet dan teknologi terbaru lainnya di al-Qur’an, nanti anda hanya sekedar mencocok-cocokkan saja ayatnya, sesuai persepsi anda.
Masyarakat kita terbiasa dengan dalil-dalil tapi terkadang melupakan esensinya. Kebanyakan dari kelompok yang suka membid’ahkan amalan orang lain suka mencari dalil tapi bukan dalil untuk beribadah tapi dalil agar ibadah menjadi ringan atau mencari dalil agar ibadah orang lain menjadi salah. Gus Dur adalah sosok yang suka membicarakan esensi bukan dalil. Ketika ditanya kenapa demikian, dengan santai Beliau bilang “ngapain? lha kok kayak orang Arab saja dikit-dikit ndalil”.
Ketika saya menulis esensi di sufimuda.net ada orang bertanya dimana ayat dan hadistnya? Giliran saya tulis hadist mereka nanya hadis shahih gk? Giliran saya cantumkan hadist Bukhari Muslim yang menurut mereka sangat shahih, mereka kembali ngeyel, “Ah maksud hadits bukan seperti itu”. Makanya saya tidak terlalu meladeni orang-orang yang masih sibuk dengan dalil-dalil.
Imam al-Ghazali berkata, “Kitab ibarat tongkat untuk membantu orang bisa berjalan, ketika sudah pandai berjalan maka tongkat itu akan menjadi penghalang dalam perjalanan”. Maksud imam al-Ghazali, dalil itu berfungsi sebagai langkah awal seorang untuk menempuh jalan kebenaran ketika sudah paham maka yang dilakukan adalah melaksanakannya bukan terlena dengan dalil-dalil.
Pada level terendah sebagai pelaksana, seorang Polantas sangat hapal dengan ayat-ayat KUHP berhubungan dengan pelanggaran di jalan. Ketika anda tidak memakai helm, tanpa membuka buku panduan langsung Pak Polantas berkata,“Mohon Maaf, anda telah melanggar Undang-Undang Pasal 291 ayat 1”. Begitu juga kerja seorang ustad, menghapal dalil-dalil diluar kepala, hanya sampai disitu yang bisa dia lakukan. Seorang prof hukum tidak lagi berbicara tentang pasal-pasal KUHP, dia sudah berbicara esensi dari hukum tersebut. Hukum helm dibuat agar melindungi pengendara dari benturan, menghindari gegar otak, hukum helm suatu saat tidak diperlukan jika kesadaran masyarakat meningkat, itu esensi dari hukum memakai helm, hal yang tidak harus dipahami oleh seorang petugas Kepolisian.
Maka ada sebuah sindiran dikalangan sufi, “Keledai yang membawa tumpukan kitab tetap akan menjadi seorang keledai”. Kalau anda tidak memahami hakikat sesuatu maka dalil-dalil tidak memberikan manfaat kepada anda. Sebagaimana halnya ada ingin membuat kue, dalil-dalil dan petunjuk berguna agar anda bisa membuat kue, tapi kalau anda hanya membaca buku itu berulang-ulang walau seribu kali tanpa mempraktekkan, sampai kiamat pun kue tidak akan pernah terwujud.
Karena ilmu bersifat universal maka ikutilah rukun syarat yang ditetapkan oleh ilmu tersebut. Kalau anda ingin menemukan Allah, selalu beserta dengan Allah, bukan dalil yang diperlukan, tapi seorang pemandu yang telah berjalan bolak-balik kehadirat-Nya, dengan cara itu akan menemukan kepastian. Sebagaimana hadist Nabi, “…Jika engkau belum beserta Allah, jadikanlah dirimu beserta orang yang telah beserta Allah, niscaya dialah yang mengantarkan engkau kehadirat Allah”.
“Ikutilah orang yang tiada meminta upah kepada mu itu, karena mereka mendapat pimpinan yang benar” (Q.S Yasin, 23)
“Mereka itulah orang yang telah diberi Allah petunjuk, maka ikutilah Dia dengan petunjuk itu”. (QS. Al-An Am, 90)
“Dan kami jadikan mereka menjadikan ikutan untuk menunjuki manusia dari perintah Kami dengan sabar serta yakin dengan keterangan Kami” (QS. Asajadah, 24).
Ayat-ayat diatas adalah petunjuk tentang Ulama Pewaris Nabi, dengan bimbingan Beliau maka manusia akan berhampiran kepada Allah SWT, dalil itu akan tetap menjadi dalil dan tidak memberikan manfaat sama sekali kepada anda, sampai anda menemukan Pembimbing Jalan Kepada-Nya.

Pentingnya seorang Guru

“Barang siapa yang menuntut ilmu tanpa bimbingan Syekh (Guru Mursyid) maka wajib setan Gurunya” (Abu Yazid al-Bisthami).
Ucapan tokoh besar sufi diatas di khususkan untuk yang berhubungan dengan kerohanian, mistik dimana jika kita belajar tanpa ilmu maka setan akan mudah menyusup dalam setiap ilmu yang kita pelajari. Tidak ada Guru menyebabkan tidak ada yang menegur, membimbing dan mengarahkan agar kita agar tetap berada di jalan yang benar.
Betapa banyak orang menerima ilmu gaib dari sumber-sumber yang tidak jelas, baik Guru maupun asal ilmu. Ada orang menerima ilmu sakti dari mimpi, didatangi sosok yang mengaku sebagai wali Allah kemudian diajarkan ilmu tertentu dan biasanya berupa ayat-ayat yang harus diamalkan, kemudian dia menjadi sakti.
Kesaktian yang diperolehnya tersebut kemudian dibungkus dengan ibadah-ibadah, penampilan yang shaleh, untuk memikat banyak orang agar mau mengikuti jalannya yang keliru. Lebih parah lagi, dia tidak menyadari kalau yang diamalkan itu berasal dari setan.
Ada juga orang yang pengetahuan agamanya luas, karena ingin Nampak ‘keramat”, hebat dan disegani orang, kemudian dia mencari ilmu gaib dari sumber-sumber yang dilarang oleh agama. Bertapa di gunung atau menyendiri di pinggir laut sehingga kemudian dia menjadi orang sakti mandraguna.
Setan sangat mudah memperdaya manusia dengan menawarkan kehebatan-kehebatan karena sifat dasar manusia ingin selalu hebat dan lebih dari yang lain. Setan membuat jebakan-jebakan gaib yang diawalnya Nampak benar tapi akhirnya membawa kita kepada kesesatan.
Manusia suka cepat, instan, tidak perlu bersusah payah langsung ingin dapat hasil. Karena itu setan menawarkan bukan yang instan juga, tidak perlu bersusah payah zikir di tarekat tapi langsung menawarkan kepada makrifat. Makrifat yang instan itu perlu dipertanyakan kebenarannya. Jangan anda silap, Iblis sebagai mantab malaikat bukan hanya bisa keluar masuk surga tapi bahkan dia bisa mengcopy paste bentuk surga dan kemudian menawarkan kepada manusia.
Ada yang memperoleh kesaktian dari amalan-amalan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti mengamalkan Ayat Kursi dan lain-lain. Apakah kehebatan yang dia peroleh tersebut murni? Atau kekuatan yang diperolehnya melalui setan?
Disinilah pentingnya kita mempunyai Guru Pembimbing, yang sudah mencapai tahap Makrifatullah, seorang Guru yang Arifbillah, sudah sangat berpengalaman melewati jalan kepada Tuhan sehingga bisa memberikan kepada kita pentunjuk agar bisa selamat sampai ke tujuan. Tidak cukup hanya dengan mambaca AL-Qur’an dan menghapal hadist serta memiliki kecerdasan untuk bisa berkenalan dengan Allah SWT. Untuk membuktikan bahwa Allah ada diperlukan dalil Aqli (Akal) dan Dalil Naqli (Ayat-ayat) akan tetapi untuk bisa sampai kehadirat-Nya tidak cukup hanya dengan dalil, anda memerlukan pembimbing rohani yang akan membimbing anda agar sampai kehadirat-Nya.
Itulah sebabnya kenapa orang yang hanya belajar dari bacaan akan memperoleh hasil berupa bacaan pula. Sementara orang yang belajar dari seorang Guru yang Ahli akan memperoleh hasil yang berwujud, sesuai dengan apa yang telah dijanjikan Allah di dalam Al-Qur’an.
Jangankan ilmu berkomunikasi dengan Allah, ilmu makrifatullah yang sangat halus dan tak terhingga hebatnya, ilmu biasapun anda harus mempunyai Guru yang ahli. Anda bisa mempelajari ilmu ekonomi dari bacaan akan tetapi anda tidak akan bisa menjadi seorang sarjana ekonomi hanya dengan membaca. Anda memerlukan Guru (Dosen) yang akan membimbing, menguji, sehingga anda diakui sebagai seorang Sarjana. Begitu juga dengan ilmu kedokteran, anda bisa memperoleh ilmu-ilmu tentang kedokteran dengan cara membaca buku-buku yang diajarkan di fakultas kedokteran, akan tetapi anda tidak akan pernah bisa menjadi dokter atau diakui sebagai dokter jika anda tidak mempunyai Guru (dosen) yang akan membimbing dan menguji anda. Kalau anda memaksakan diri menjadi dokter (tanpa menuntut ilmu dari yang ahli) maka anda akan menjadi dokter gadungan yang akan menyusahkan banyak orang.
Orang yang mengatakan bisa makrifatullah (mengenal Allah) hanya dengan membaca saja dan kemudian mengingkari posisi penting Guru Mursyid tidak lain karena kesombongannya semata. Memang anda akan mengetahui banyak ilmu tentang ayat-ayat, dalil-dalil, teori-teori akan tetapi anda tidak akan bisa memperoleh “rasa” bertuhan hanya dengan sekedar membaca.
Guru Mursyid yang akan membimbing anda adalah orang yang telah memperoleh pengakuan dari Guru sebelumnya, dan Guru sebelumnya telah memperoleh juga pengakuan dari Guru sebelumnya, secara sambung menyambung sampai kepada Rasulullah SAW. Hakikatnya, Rasulullah SAW lah atas izin Allah yang memberikan ijazah kepada Guru Mursyid untuk mengajar para murid-muridnya diseluruh dunia agar bisa mengenal Allah dengan sebenar kenal sebagaimana Rasulullah membimbing ummat di zaman ketika Beliau masih hidup.
Terakhir, anda bisa mengetahui tentang riwayat hidup Rasulullah SAW dengan membaca hadist-hadist dan sejarah hidup Beliau yang banyak ditulis oleh para ahli, akan tetapi untuk bisa berhampiran, akrab dan mesra dengan Rasulullah, rohani anda harus ada yang menuntun berhampiran dengan rohani Rasulullah yang hidup disisi Allah, sehingga setiap saat Rasul begitu dekat dengan anda, mengisi hidup anda dan selalu dihati anda walaupun jarak antara kita dengan Rasulullah dipisah berabad-abad.

LEBIH NIKMAT DARI SURGA

Kecintaan kaum sufi kepada Allah, bukan sebab takut akan siksa-Nya, atau kerena ingin surga-Nya, akan tetapi karena rindu dendam merasakan kelezatan cinta-Nya. Juga karena Allah adalah yang paling berhak dicintai. Itulah idealnya dalam bercinta, yang tidak dikenal oleh selain mareka yang menjadi pilihan Allah. Nikmat terbesar yang mereka harap-harapkan hanyalah ridha dan berjumpa dengan Dia. Sementara siksa yang paling mereka takuti adalah jauhnya dari memperbincangkan soal keindahan kedamaian-Nya, juga dari tempat berkomunikasi dengan-Nya. Mereka terhalang dari sinar Dzat yang Maha Mulia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa maqam tertinggi yang bisa dicapai oleh pengamal ilmu zahir (syri’at) adalah wukuf dipadang Arafah, menunggu terbukanya pintu rahmat dan karunia Allah SWT dan pada hakikatnya adalah menunggu kehadiran Allah. Apakah selamanya kita harus menunggu, dan apakah menunggu itu hanya di Padang Arafah? Seluruh ritual Haji sebagaimana ibadah lain tentu saja mempunyai aspek zahir dan bathin. Pada hakikatnya orang yang melaksanakan haji adalah memenuhi panggilan Allah, menjadi manusia mulia sebagai tamu Allah dan tentu saja sebenarnya setiap yang menunaikan ibadah haji sudah pasti berjumpa dengan yang punya rumah, jumpa dengan yang mengundang yaitu Allah SWT. Dalam ilmu zahir (syariat), Ihsan merupakan puncak pencapaian spiritual dan tidak ada lagi maqam setelah itu. “ Shalatlah kamu seolah-olah kamu melihat Allah dan jika kamu tidak melihat Allah yakinlah Allah akan melihat kamu” inilah dasar dari Ihsan. Menurut kaum sufi tentu saja maqam ini masih spekualitif, masih seolah-olah dan tidak ada kepastian disana. Siapapun yang bersikukuh pada syariat tidak akan bisa melanjutkan perjalanan ke maqam berikut yaitu Makrifatullah, berpandang-pandangan dengan Allah dan inilah kenikmatan puncak dari para penempuh jalan spiritual melebihi apapun, bahkan kenikmatannya melebihi surga . Abu Yazid al-Bisthami ketika berada dalam puncak kegembiraan, dia berbisik, “ Apakah itu surga? Surga hanyalah mainan dan kesukaan anak-anak. Aku hanya mencari Dzat Allah. Bagiku surga bukanlah kenikmatan yang sejati. Dzatnya menjadi sumber kebahagiaanku, ketentraman yang menjadi tujuanku. ” Mengenai ucapan Abu Yazid yang agung ini, Ibnu Arabi pernah ditanya seseorang. Jawabnya, “ Tidak masalah. Rasulullah pernah berkata dalam do’anya , “ Wahai Tuhan kami…! Aku mohon kepada-Mu kelezatan melihat DzatMu. Aku rindu ingin bertemu dengan-Mu ”. Setiap hamba yang ingin berjumpa dengan Allah terlebih dahulu dititipkan rasa rindu dan cinta membara dihatinya, dengan itulah dia mampu bermujahadah melawan hawa nafsu dan berbagai rintangan untuk sampai kepada tujuannya yaitu menemukan cinta sejati dan berjumpa dengan yang dicintainya. Konon An-Nuri bertanya kepada Rabi’ah al-Adawiyah, katanya, “ Setiap hamba punya syarat. Setiap iman punya hakikat, apakah hakikat iman anda? ” Rabi’ah menjawab, “ Saya menyembah Allah bukan lantaran takut Dia. Karena dengan persepsi demikian, aku seperti budak hina yang bekerja hanya karena takut. Tidak pula lantaran ingin surga, agar tidak seperti budak hina yang diupah. Akan tetapi aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya. ” Sa’id bin Yazid berkata: “ Barang siapa beramal karena Allah atas dasar cinta kepada-Nya, itu lebih mulia dari pada beramal atas dasar ketakutan. ” Selanjutnya dia berkata, “Andaikan diberikan kepadaku do’a yang mustajab, aku tidak akan minta Firdaus, akan tetapi aku hanya akan memohon ridha-Nya.” Katanya pula,” Lupa kepada Allah itu lebih menyiksa dari pada masuk neraka” Kalau memang memandang wajah Allah itu merupakan nikmat yang melebihi surga, kenapa kita tidak berusaha mencari jalan untuk bisa memandang wajah-Nya? Para Nabi dan orang-orang sufi mengatakan bahwa memandang wajah Allah itu bisa di dunia dan tentu bisa juga di akhirat, kalau memang bisa melihat-Nya di dunia ini kenapa kita harus menunggu sampai datang kiamat? Bukankah kalau wajah-Nya bisa dilihat di dunia sudah pasti di akhirat juga wajah itu tidak berubah dan sudah pasti bisa dilihat juga, kalau di dunia tidak bisa melihat Allah, di akhirat?!?

Tujuh Tingkatan Zikir

Imam ash-Shadiq as berkata, “ Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’),
Zikir Jiwa (Dzikr al-Nafs) itu kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana’), Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’), Zikir Kalbu itu pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’), Zikir Akal itu pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’), Zikir Ma’rifat itu penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’), Zikir Sirr (Dzikr al-Sirr) itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’) ” 1]
TINGKATAN PERTAMA : ZIKIR LISAN
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’) .
Pertama-tama yang mesti dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan latihan zikir, adalah membiasakan lidahnya untuk selalu berzikir.
Ia harus senantiasa berzikir tanpa henti di mana pun ia berada dan kapan pun keadaannya. Pada tingkatan ini, zikir diwujudkan oleh lisan dalam bentuk pujaan dan pujian yang ditujukan hanya kepada Allah SwT.
Kata “ al-Hamd – segala puji-” yang diucapkan lidahnya muncul dari persaksian atas Karunia Allah kepada sang hamba. Sang hamba mesti bersaksi dan mulai benar-benar menyadari bahwa Dia-lah yang telah melimpahkan semua karunia yang diterimanya. 2] Oleh karena itu, sang hamba mesti selalu mentaati-Nya di mana pun dan kapan pun ia berada.
TINGKATAN KEDUA : ZIKIR JIWA (DZIKR AL-NAFS)
Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Jiwa itu adalah mewujudkan kesungguhan (al-juhd ) dan kemauan yang keras (al-‘ana )”.
Pada tingkatan Dzikr al-Nafs ini, sang pezikir mesti mulai melatih untuk menguatkan jiwanya dengan kesungguhan dan kemauan yang keras agar selalu terjaga dari alpa dan kelalaian. Nafs sang hamba mesti senatiasa terjaga dalam kondisi zikir dan mengingat-Nya. Dengan kesungguhan dan kemauan yang kuat, sang hamba harus menundukkan nafs (diri) –nya untuk tetap berzikir (baca : ta’at) kepada Tuhannya.
Seseorang yang berpikir bahwa dirinya akan dapat menyingkap rahasia-rahasia dan mencapai Hakikat-Nya tanpa bermujahadah (kesungguhan) maka dia hanyalah berangan-angan. Karena awal perjalanan ruhani itu adalah mujahadah.
Barangsiapa yang tidak memiliki kesungguhan (mujahadah) di jalan-Nya niscaya tidak akan memperoleh Cahaya dari-Nya. 3]
Kehendak dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan kriteria kebebasan manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan perbedaan tingkat kehendak dan kesungguhan masing-masing manusia. 4]
Dengan kata lain tingkat kemanusiaan (insaniyyah ) seseorang dapat diukur dari kuat lemah kesungguhan dan kemauan diri (nafs)-nya untuk tidak lalai dan senantiasa mengingat-Nya di dalam mencapai peringkat-peringkat ruhani di jalan-Nya.
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh)
di jalan Kami niscaya benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik (ihsan)”
(QS 29 : 69)
TINGKATAN KETIGA : ZIKIR RUH
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Ruh itu takut (al-khauf ) dan harap (al-raja’ )”.
Tingkatan Zikir Ruh adalah Tingkatan ketika Ruh berzikir kepada-Allah sampai muncul hasil dari zikirnya itu rasa takut kepada Allah Swt yang sedemikian rupa sehingga seorang hamba merasa jika ia datang kepada-Nya dengan kebajikan (birr) dari 2 dunia (jin dan manusia), dia merasa akan tetap dihukum oleh-Nya dan pada saat yang bersamaan muncul pula rasa harap yang sedemikian rupa sehingga jika ia datang ke hadapan-Nya dengan dosa 2 dunia, maka Dia akan tetap mengasihinya (dengan ampunan-Nya) 5]
Sesungguhnya tingkatan (maqam) “khauf dan raja’” ini merupakan tingkatan ruhani yang cukup tinggi. Karena tidak akan muncul rasa takut di dalam hati seseorang melainkan karena kesempurnaan pengetahuannya tentang Tuhan. Al-Qur’an Yang Mulia mengatakan, ” Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu ” (QS 35 : 28).
Hanya mereka yang memiliki ilmu yang bermanfaatlah yang memperoleh rasa takut kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa.
Namun rasa takut tidaklah hanya terungkap di dalam kata-kata atau munajat, tetapi juga mewujud di dalam setiap amal perbuatan dan ibadah-ibadahnya.
Imam Ali as berkata, ”Aku heran dengan orang yang (mengaku) takut pada siksa (Neraka) tetapi ia tidak menahan diri (dari dosa). Dan aku heran dengan orang yang mengharapkan ganjaran pahala (tsawaab) namun ia tidak bertaubat dan melakukan amal shalih.” 6]
Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kedudukkan Tuhannya
dan menahan dirinya dari hawa nafsu
maka Surga-lah tempat tinggalnya
(QS 79 : 40-41)
TINGKATAN KEEMPAT : ZIKIR KALBU (DZIKR AL-QALB)
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Kalbu itu pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’) ”.
Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda, ”Janganlah kamu melihat shalat-shalat mereka, puasa-puasa mereka dan banyaknya hajji dan kebaikan mereka, bahkan ibadah malam mereka. Tetapi hendaklah kamu lihat (sejauh mana) kebenaran kata-kata dan penunaian amanat (mereka) .” 7]
Jangan sampai kita tertipu karena kita hanya mengandalkan amalan lahiriyah kita (fiqih ) namun melupakan amalan batiniyah (akhlaq ). Banyak kita lihat orang-orang yang rajin melakukan shalat, berpuasa bahkan pergi hajji berkali-kali ke Baitullah namun ternyata mereka adalah para pendusta, penipu, koruptor dan para pengkhianat bangsa dan agama. (Kita berlindung dari amalan yang seperti itu).
Syahadat yang kita ucapkan di dalam shalat kita, sudah semestinya tidak hanya diucapkan dengan lidah saja, syahadat juga mesti diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Ali as mengatakan di dalam khutbahnya, ” Pokok pangkal agama itu adalah mengenal Allah, dan kesempurnaan dari ma’rifat kepada-Nya adalah pembenaran atas-Nya, dan kesempurnaan dari pembenaran atas-Nya adalah meng-Esakan-Nya dan kesempurnaan peng-Esa-an-Nya adalah mengikhlashkan (pengabdian) kepada-Nya, dan kesempurnaan dari pengikhlashan kepada-Nya adalah menafikan semua sifat yang dinisbatkan kepada-Nya .” 8]
Zikir Kalbu ini adalah pembenaran atas ke-Esa-an-Nya, yaitu ketika sang pezikir sudah mencapai maqam musyahadah (penyaksian). Sang pezikir menyaksikan dengan mata batinnya akan Wujud-Nya Yang Tunggal sehingga ia pun membenarkan Sang Realitas seraya membersihkan hatinya dari penisbatas sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
“Maha Suci Tuhanmu Yang Memiliki Keperkasaan
dari apa yang mereka sifatkan (kepada-Nya)”
(QS Al-Shâffât 37 : 180)
TINGKATAN KELIMA : ZIKIR AKAL (DZIKR AL-AQL)
Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Akal itu pengagungan (at-ta’zhim ) dan malu (al-haya’ )”.
Agaknya maksud akal di dalam hadits ini bukanlah sekadar akal rasional, namun akal ke’arifan. Di dalam sebuah hadits lainnya, Imam Ali as berkata, ” Perumpamaan akal di dalam hati (al-qalb) adalah seperti lampu di tengah-tengah sebuah rumah.” 9]
Akal yang berada dalam hati ini hanya bisa bercahaya dan menyinari alam syuhud dan alam ma’nawi jika ‘digosok’ dan ‘dipoles’ dengan tadzakkur dan
tafakkur .
Cahaya akal ini akan menyingkap tabir-tabir kegelapan yang menutupi diri sang pejalan ruhani dari Al-Haqq sehingga ia dapat menyaksikan Keagungan (al-Jalal )-Nya dan Keindahan( Al-Jamal )-Nya dan terpancarlah rasa pengagungan (ta’zhim ) kepada-Nya.
Sebiji mata yang melihat
lebih baik ketimbang ratusan tongkat orang buta.
Mata dapat membedakan
permata dari kerikil
(Rumi, Matsnawi VI : 3785)
TINGKATAN KEENAM : ZIKIR MA’RIFAT
Imam al-Shadiq as mengatakan, ” Zikir Ma’rifat itu penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’) ”. Zikir ini lebih tinggi dari Zikir Akal. Setelah tadzakkur dan tafakkur muncullah ma’rifat. Ma’rifat kepada-Nya inilah yang membuatnya terdorong untuk berserah diri secara total (taslim ) dan rela atas segala tindakan dan keputusan-Nya atas dirinya.
Imam al-Shadiq as berkata, ” Sesungguhnya manusia yang paling mengenal Allah adalah mereka yang ridha akan Qadha (ketentuan) Allah ‘Azza wa Jalla. ” 10]
Di dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Musa as : “ Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan mampu mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai ketimbang sikap ridha dengan Ketentuan (Qadla’)–Ku ” 11]
Dan melalui penyingkapan–diri-Nya di dalam pancaran cahaya,
Dia menunjukkan keterbatasan kemampuan (penglihatan) mata
serta kekuatan rasional,
menjadikannya melampaui kekuatan (penglihatan) mata
Jadi, segala sesuatu memiliki keterbatasan,
hanya Tuhan yang memiliki Kesempurnaan Esensi
(Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah II : 632.29)
TINGKATAN KETUJUH : ZIKIR SIRR
Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Sirr itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’) ”.
Inilah tingkatan zikir yang paling tinggi! Tapi apakah sebenarnya Sirr itu? Sebagian kaum ‘urafa menyebut Sirr (Rahasia) sebagai Habb, yang secara harfiah berarti biji. Sirr atau Habb ini merupakan inti dari
Lubb . Dan Lubb ini adalah inti dari Qalb (hati) 12]
Jadi, Sirr adalah bagian yang terdalam dan terhalus dari hati. 13] . Habb atau Sirr inilah tempat bersemayamnya Cinta yang bersifat ruhani. (Hubb)
Adapun Zikir Sirr adalah Zikir yang muncul setelah tahapan Zikir Ma’rifat terlampaui. Jika seorang pezikir telah sepenuhnya berserah diri dan ridha kepada semua Qadla-Nya maka sampailah ia pada tahapan memandang Yang Terkasih setelah berjumpa (liqa’ )dengan-Nya, yang kemudian Cinta (Mahabbah ) pun bersemi.
Imam Ali al-Murtadha as bermunajat:
Ya Allah, Tuhanku…
Engkaulah yang paling terpaut pada pencinta-Mu
Dan yang paling bersedia menolong orang-orang
yang bertawakkal kepada-Mu.
Engkau melihat,
Engkau menguji rahasia-rahasia (saraa-i-rihim) mereka,
dan mengetahui apa yang bersemayam dalam kesadaran mereka,
dan menyadari sampai ke tingkat penglihatan batin mereka.
Akibatnya rahasia-rahasia mereka terbuka bagi-Mu,
dan kalbu-kalbu mereka memuji-Mu
dalam kerawanan yang sungguh-sungguh.
Dalam kesunyian, teman dan pelipur lara mereka
adalah dengan berzikir kepada-Mu
dan penderitaan, bantuan-Mu adalah pelindung mereka. 14]

Bertaubatlah, sekarang juga!

Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari segera bertaubat. Dan Allah bentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di waktu malam hari segera bertaubat. Sampai matahari terbit dari tempat tenggelamnya.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/26] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku akan dimaafkan kecuali orang yang melakukan dosa secara terang-terangan. Termasuk perbuatan dosa yang terang-terangan yaitu apabila seorang hamba pada malam hari melakukan perbuatan (dosa) lalu menemui waktu pagi dalam keadaan dosanya telah ditutupi oleh Rabbnya, namun setelah itu dia justru mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam saya melakukan ini dan itu’. Padahal sepanjang malam itu Rabbnya telah menutupi aibnya sehingga dia pun bisa melalui malamnya dengan dosa yang telah ditutupi oleh Rabbnya itu. Akan tetapi pagi harinya dia justru menyingkap tabir yang Allah berikan untuk menutupi aibnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/225] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Sabar, Dunia hanya sebentar
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/214] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi oleh perkara-perkara yang terasa tidak menyenangkan, sedangkan neraka diliputi oleh perkara-perkara yang terasa menyenangkan hawa nafsu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/101] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, tiada kehidupan yang sejati melainkan kehidupan akherat…” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/260] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H).
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berusaha menjaga kehormatannya maka Allah pun akan mengaruniakan iffah/terjaganya kehormatan kepadanya. Barangsiapa yang melatih diri untuk bersabar maka Allah akan jadikan dia penyabar. Barangsiapa yang melatih diri untuk senantiasa merasa cukup maka niscaya Allah akan beri kecukupan untuk dirinya. Tidaklah kalian diberikan suatu karunia yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/343] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Jangan tertipu oleh dunia!
Amr bin Auf radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kemiskinan yang kukhawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi sesungguhnya yang kukhawatirkan menimpa kalian adalah ketika dunia dibentangkan untuk kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian sehingga kalian pun berlomba-lomba untuk meraupnya sebagaimana dahulu mereka berlomba-lomba mendapatkannya. Dan dunia mencelakakan kalian sebagaimana dulu dunia telah mencelakakan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/216] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003 dan Fath al-Bari [11/274] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan, “Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal tiba di Madinah tidak pernah sampai merasakan kenyang karena menyantap hidangan gandum halus selama tiga malam berturut-turut sampai beliau meninggal.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/327] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan, “Keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memakan dua jenis makanan dalam sehari kecuali salah satunya pasti kurma kering.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/329] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Ikhlaslah!
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama dengan diri-Ku maka akan Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/232] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, kaya jiwanya (merasa cukup), dan tersembunyi (tidak suka menonjol-nonjolkan diri, pent).” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/220] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan yang sejati itu kekayaan yang berupa melimpahnya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan di dalam hati -merasa cukup dengan pemberian Allah, pent-.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/306] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
Kenikmatan tiada tara menanti di sana…
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku telah persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang soleh kenikmatan yang belum pernah dilihat mata, belum pernah terdengar telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati manusia.’.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/102] cet. Dar Ibnu al-Haitsam Tahun 2003)
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang masuk surga maka dia akan selalu senang dan tidak akan merasa susah. Pakaiannya tidak akan usang dan kepemudaannya tidak akan habis.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/110] cet. Dar Ibnu al-Haitsam tahun 2003)
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila para penduduk surga telah memasuki surga dan para penduduk neraka pun telah memasuki neraka maka didatangkanlah kematian hingga diletakkan di antara surga dan neraka, kemudian kematian itu disembelih. Lalu ada yang menyeru, ‘Wahai penduduk surga, kematian sudah tiada. Wahai penduduk neraka, kematian sudah tiada’. Maka penduduk surga pun semakin bertambah gembira sedangkan penduduk neraka semakin bertambah sedih karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/120-121] cet. Dar Ibnu al-Haitsam tahun 2003)
Saudariku, jangan kau seperti mereka!
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua kelompok manusia calon penghuni neraka yang belum pernah kulihat keduanya. Suatu kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukuli manusia. Dan kaum perempuan yang berpakaian tapi telanjang, yang menyimpang dan mengajak orang lain untuk ikut menyimpang. Kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga, dan tidak akan mencium baunya. Padahal baunya akan bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim li an-Nawawi [9/124] cet. Dar Ibnu al-Haitsam tahun 2003)
Istiqomahlah!
‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan, “Amal yang paling disenangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang dikerjakan secara terus menerus oleh pelakunya.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/332] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)
‘Aisyah radhiyallahu’anha meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbuatlah sebaik dan selurus mungkin dan lakukan apa yang paling mendekati ideal. Ketahuilah sesungguhnya bukan amal kalian semata yang bisa memasukkan kalian ke surga. Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu walaupun hanya sedikit.” (HR. Bukhari, lihat Fath al-Bari [11/335] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H)

NUR DI ATAS NUR

Ilahi Anta Maqshudi
Dalam praktik-praktik keruhanian Tasawuf, selalu ada unsur-unsur yang tidak memberi ruang yang bisa dijangkau akal-rasional. Karena dimensi “operatif” dari Tasawuf ini sebagian besar berlangsung di wilayah batin yang tidak berurusan dengan dimensi empiris, maka akal-rasional, pada level tertentu, tidak bisa dijadikan dasar untuk memverifikasi kebenaran suatu doktrin Sufi. Artinya, walaupun pada taraf tertentu akal tetaplah harus hidup dan dipakai, tetapi ada masa-masa ketika akal dan nalar-rasional harus diistirahatkan sepenuhnya, dan beralih secara bertahap ke penggunaan “mata hati yang bercahaya” atau qalb. Sebab, seperti firman Allah dalam hadis qudsi, “hanya hati (qalb) orang beriman yang mampu menampung-Ku, alam semesta tidak bisa.” Juga, “Allah tidak melihat pada bentukmu, tetapi pada hati-Mu.”
Dari ungkapan ini setidaknya ada dua hal penting. Karena tujuan utama dari Sufi adalah Allah, yang dikatakan “bertahta” di dalam hati (qalb), maka perhatian utama dari Sufi adalah pada hati sebagai organ spiritual yang memendam misteri-misteri ilahi. Dan dalam hati inilah berlangsung perjalanan menuju kesempurnaan diri, sebagai sebuah diri yang utuh.
Hati itu perangainya tidak tetap, sebab ia bisa condong kepada kebaikan atau kepada kejahatan—”Hati putra Adam berada di antara dua jari Yang Mahakuasa.” Hati berada di antara dua kekuatan, ruh yang suci dan ilahiah, dan jiwa (nafs) yang rendah dan kotor—Demi jiwa dan penyempurnaannya, lalu Tuhan mengilhamkan setiap jiwa keburukan dan kebaikan (QS. 91:7-8).
Ketika hati mendekati ruh, maka ruh akan mengalahkan jiwa. Sebagai “Tahta” Tuhan, hati memiliki bentuk dan realitas (hakikat). Bentuk lahiriahnya adalah segumpal daging yang terdapat di dada kiri. Sedangkan realitas sejatinya adalah kelembutan ilahi (lathifah rabbaniyyah). Pada kelembutan (lathifah) inilah zikir Sufi difokuskan . Zikir Sufi dimaksudkan untuk memperkuat cahaya ruh, agar bisa mengalahkan jiwa “yang menyeru kepada kejahatan” (nafs al-amarah) dan bisa membangkitkan potensi cahaya ruh dalam setiap lathifah rabbaniyyah yang berhubungan dengan Allah, sehingga mencapai jiwa yang tenang (nafs al-muthmainah).Ketika pikiran dan keinginan duniawi muncul dalam diri kita, maka hati akan bergerak ke jiwa rendah sehingga memperkuat nafs al-amarah. Mereka akan memunculkan hijab yang menyelimuti lathifah rabbaniyah yang bening bercahaya dan suci. Dosa akan menyebabkan muncul noda hitam di cermin hati, demikian nabi pernah bersabda. Seperti sampah, jika tak bersihkan setiap hari, noda itu akan makin banyak dan tebal. Karenanya Cahaya ilahi itu hanya menyala di lubuk hati saja, dan hati menjadi gelap. Dan inilah awal dari tabir pemisah antara Allah dengan manusia.
hati yang berkarat, atau bernoda, bisa dibersihkan dengan zikir. Nabi saw berkata bahwa “pembersih hati adalah zikir.” Melakukan zikir adalah seperti menggosok cermin yang buram hingga bisa bening dan terang, sehingga mampu memantulkan bayangan dengan jelas. Zikir adalah cahaya. Ia adalah seperti pelita ilahi yang menerangi ruang-ruang hati yang gelap, sehingga dengan cahayanya itu tampaklah semua “isi” hati. Dengan zikir, cahaya ilahi yang tersimpan dalam lathifah-lathifah akan menyala dan membawa hati “masuk” ke realitas Tahta hati itu sendiri, yang darinya ia akan masuk ke wilayah-wilayah dunia yang tak terlihat oleh indra eksternal. Dengan kata lain, dengan zikir, misteri dari hati, yakni rahasia-rahasia ilahi, akan kelihatan dengan jelas.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan rahasia dari efek zikir ini dalam sebuah surat yang menjadi pembuka salah satu kitab karyanya yang luar biasa, Sirrul Asrar. Penjelasan ini berkaitan dengan tafsir “ayat cahaya” dalam Surah An-Nur: 35:
Hatimu adalah cermin. Bersihkan cermin itu dari debu yang menabirinya, sebab cermin itu ditakdirkan untuk memantulkan cahaya rahasia ilahi. Ketika cahaya dari Allah (Dzat) yang merupakan Cahaya langit dan bumi mulai menyinari wilayah hatimu, maka pelita hati akan menyala. Pelita hati itu ada dalam kaca; kaca yang laksana bintang yang bersinar terang … Kemudian di dalam hati muncul sinar makna yang bukan muncul dari Timur dan juga dari Barat, yang menyala berkat pohon zaitun yang diberkati … yang memancarkan cahaya menerangi pohon pencerahan, begitu jernihnya sehingga bersinar walau tak disentuh oleh api. Lalu menyalalah pelita kearifan. Mana mungkin pelita itu tak menyala bila cahaya rahasia Allah menyinarinya? … Langit-langit gelap ketidaksadaran akan jadi terang berkat kehadiran ilahi dan kedamaian serta keindahan purnama yang akan muncul dari cakrawala yang memancarkan cahaya di atas cahaya.
Menurut kaum Sufi, seseorang tak bisa mencapai Allah tanpa mengingat-Nya (zikir) terus-menerus. Zikir adalah langkah dasar dalam Tasawuf, dan bahkan paling penting. Seorang wali Allah adalah hamba yang paling utama, yang oleh Rasulullah disebut “hamba yang paling banyak berzikir”. Hati yang kosong dari mengingat Allah tidak akan memiliki “magnet” spiritual untuk menyerap cahaya ilahi. Allah berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian” (QS. 2: 152).
ayat ini menunjukkan adanya hubungan timbal-balik antara zikir dengan Allah. Allah adalah Cahaya, dan karenanya menyebut atau mengingat Nama-Nya akan memunculkan “kandungan” cahaya yang ada dalam setiap Asma atau ayat Al-Quran yang dibaca dan disebut-sebut. Ketika orang berzikir maka ia akan mengeluarkan cahaya dari lathifah rabbaniyah yang meliputi dirinya, mempengaruhi hati, dan menerangi dirinya. Menurut seorang ahl al-kasyaf yang pernah penulis temui, cahaya yang memancar dari pezikir bukan sekadar metafora, tetapi “nyata” dari sudut pandang mukasyafah. Bagi banyak orang yang sudah kasyaf, baik itu yang sudah sampai kedudukan wali atau belum, mereka bisa melihat perubahan cahaya dalam diri sang pezikir. Tetapi cahaya ini harus dibedakan dari “aura” sebab cahaya zikir lebih halus dan dalam, karena bersumber dari lubuk hati yang suci (sirr). Bahkan seorang wali yang telah mencapai kedudukan tinggi tanpa diberi tahu lewat lisan bisa mengetahui zikir macam apa yang diamalkan seorang murid hanya berdasarkan cahaya yang memancar dari lathaif (bentuk jamak dari lathifah) di dalam dirinya. Semakin intens seorang berzikir sehingga melampaui semua tahapan dalam berzikir, semakin terang cahayanya dirinya.
Orang mesti melewati beberapa tahap agar cahaya dirinya bisa menarik cahaya ilahi. Pertama orang berzikir dengan lisan, kemudian meningkat menjadi zikir qalb (kalbu). Saat lisan seseorang berzikir, maka ia melakukan zikir seperti benda-benda mati—nabi bersabda bahwa batu juga berzikir, tetapi kita, orang awam, tidak bisa mendengarkannya. Inilah tahap awal zikir. Kemudian dia berzikir dengan qalb, maka seseorang meningkat ke zikir alam semesta (makhluk bernyawa dan tak bernyawa). Tetapi zikir qalb masih ada lanjutannya, yakni zikir nafs, kemudian zikir ruh, dan zikir sirr. Masing-masing tingkatan akan membuat seorang pezikir menyadari bahwa zikirnya selalu diiringi oleh alam yang bertingkat-tingkat. Alam semesta, zikir malaikat, zikir makhluk di alam arwah, arasy, dan akhirnya yang tertinggi, sirr. Ini adalah tahap ketika singgasana (arasy) bergetar akibat zikir seseorang dan ikut berzikir mengiringi zikir orang itu. Tetapi ketika zikir itu sampai ke zikir sirr yang paling tersembunyi (akhfa al-khafi) atau mendekati sempurna, maka zikir itu tak bisa didengar lagi bahkan oleh malaikat sekalipun. Sebab, ketika arasy bergetar maka zikir seseorang akan langsung tersambung dengan Dzat Allah. Ketika segala sesuatu telah “menyentuh” pada taraf Dzat-Nya, yakni pada tahap ahadiyyah, yang tak bisa dipahami , sesuatu itu akan sirna di dalam Tuhan. Demikian pula zikir itu akan gaib dari pendengaran malaikat, bahkan dari perasaan dan pemahaman si pezikir itu sendiri.
Pada saat inilah proses kimiawi ruhani, yang menyalakan sumber cahaya dalam hati, mencapai puncaknya. Cahaya si pezikir bukan lagi aspek eksternal dari seorang pezikir, tetapi menjadi substansinya sendiri, yang muncul dari dalam dirinya, sebab ia telah bersambung dengan Dzat Sumber Segala Cahaya. Hati sepenuhnya berubah menjadi cahaya.
Karena diri seorang pezikir telah “menjelma” menjadi sumber cahaya, maka pancaran cahayanya tidak akan pudar, selama ia istiqamah dalam berzikir, dan cahaya itu terus melesat ke langit menyongsong sumber dari segala sumber dari cahaya itu, yakni Allah karena Dialah Cahaya langit dan bumi. Pada saat inilah substansi cahaya pezikir akan sama dengan substansi dari Yang Maha Bercahaya. Lalu dalam seketika substansi cahaya di langit (Allah) itu akan merindukan cahaya dari hati hamba-hambanya—”ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian.” Maka, cahaya hati dari hamba melesat naik, dan Cahaya dari Arasy melesat turun ke bawah. Kedua cahaya saling menyongsong—cahaya dari atas (Tuhan) menyongsong cahaya dari bawah (hamba)—dan jadilah cahaya di atas cahaya! (QS. 24: 35

Keutamaan Sholat Malam

Riyadhus Shalihin : Keutamaan SHolat Malam
1. Dari ‘Aisyah ra., ia berkata : “Nabi saw, berdiri salat malam, hingga pecah-pecah kedua telapak kaki beliau. Saya bertanya kepada beliau : “Untuk apakah engkau berbuat ini, wahai Rasulullah, sedangkan engkau telah benar-benar diampunidosa-dosamu yang telah lewat dan yang akan datang?” Rasulullah saw, bersabda : “tak bolehkan aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.”(H.R Bukhari dan Muslim)
2. Dari Al Mughirah, seperti hadis tersebut di atas, yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
3. Dari Ali ra, bahwasanya pada suatu malam ketika ia tidur bersama Fatimah, tiba-tiba Nabi saw, mengetuk pintu serta bersabda : “Kenapa kalian tidak mengerjakan salat?”(H.R Bukhari dan Muslim)
4. Dari Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab ra, dari ayahnya dari Nabi saw, bersabda : “Sebai-baik orang adalah Abdullah, seandainya ia suka mengerjakan salat malam.” Salim berkata : “Maka sesudah itu Abdullah hanya tidur sebentar pada waktu malam.”(H.R Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, ia berkata Rasulullah saw, bersabda : “Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan di mana dia bangun pada waktu malam, tetapi tidak mau mengerjakan salat sunnat pada waktu malam.”(H.R Bukhari dan Muslim)
6. Dari Ibnu Mas`ud ra, ia berkata : “Pernah di hadapan Nabi saw. Diceritakan tentang seseorang yang tidur pada waktu malam sampai pagi (tidak bangun pada waktu malam), kemudian beliau bersabda : “Itu adalah orang yang kedua di telinganya dikencingi oleh setan.” Atau beliau bersabda : “Di telinganya.”(H.R Bukhari dan Muslim)
7. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda :
“Setan mengikat tengkuk kepala salah seorang di antara kalian sewaktu tidur dengan tiga ikatan. Pada masing-masing ikatan itu setan berkata : “Tidurlah lagi, malam masih panjang.” Apa bila orang itu bangun kemudian zikir kepada Allah Ta`ala maka lepaslah satu ikatan. Apabila ia berwudhu, maka lepaslah satu ikatan lagi. Dan apabila ia salat, maka lepaslah semua ikatan itu, sehingga pada waktu pagi ia akan
tangkas dan tenang jiwanya, sedang kalau tidak, maka ia akan lesu dan malas.”(H.R Bukhari dan Muslim)
8. Dari Abdullah bin Salam ra, bahwasanya Nabi saw, bersabda :
“Wahai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam, berikanlah makanan, dan salatlah kalian pada waktu mala sewaktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk
surga dengan selamat.” (H.R Turmudzi)
9. Dari Abu Jurairah ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda :
“Puasa yang paling utama selain puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram dan salat yang paling utama sesudah salat fardhu adalah salat malam (Tahajjud)(H.R
Muslim)
10. Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Nabi saw. bersabda :
“Salat malam itu dua rakaat. Apabila kamu khawatir kedahuluan Subuh ,maka witirlah dengan satu rakaat.”(H.R Bukhari dan Muslim)
11. Dari Ibnu Umar ra, ia berkata : “Adalah Nabi saw. melakukan salat malam dua rakaat dan salat witir dengan satu rakaat.”(H.R Bukhari dan Muslim)
12. Dari Anas ra, ia berkata : “Rasulullah saw, sering berbuka (tidak puasa) dalam suatu bulan, sehinggga kami menyangka beliau tidak pernah puasa dalam bulan itu, dan
beliau sering berpuasa, sehingga kami menyangka beliautidak pernah berbuka sedikitpun dalam bulan itu. Demikian pula apabila kamu melihat beliau salat pada waktu malam, niscaya kamu dapat melihatnya, dan apabila kamu ingin melihat beliau tidur niscaya kamu dapat melihatnya.”(H.R Bukhari)
13. Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw, biasa salat sebelas rakaat pada waktu malam, di mana dalam setiap beliau sujud, lamanya kira-kira sama dengan seorang membaca lima puluh ayat, dan itu beliau belum mengangkat kepala. Beliau salat dua rakaat sebelum salat Subuh, kemudian beliau berbaring pada pinggang kanannya, sehingga muazin mengumandangkan iqamat untuk salat Subuh.”(H.R Bukhari)
14. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata : “Rasulullah saw, tidak pernah salat malam lebih dari sebelas rakaat baik itu pada bulan Ramadhan maupun pada bulan lainnya, di mana beliau salat empat rakaat yang cukup lama dan sempurna, kemudian beliau salat empat rakaat yang sama lama dan sempurna khusuknya, kemudia beliau salat tiga rakaat. Saya
bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak tidur sebelum salat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah sesungguhnya kedua mataku terpejam, tetapi hatiku tidak
tidur.”(H.R Bukhari dan Muslim)
15. Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw, biasa tidur pada permulaan malam dan bangun pada akhir malam, kemudian mengerjakan salat.”(H.R Bukhari dan Muslim)
16. Dari Ibnu Mas`ud ra, ia berkata : “pada suatu malam saya salat bersama-sama dengan Nabi saw, dan beliau lama sekali berdiri sehingga timbul niat yang tidak baik dalam diri saya.” Ada seorang yang menanyakan : “Niat apakah itu?” ia menjawab : “Saya bermaksud ingin duduk dan meninggalkan salat bersama beliau.”(H.R Bukhari dan Muslim)
17. Dari Hudzaifah ra, ia berkata : “Pada suatu malam saya salat dengan Nabi saw, setelah membaca Al Fatihah, beliau membaca surat Al Baqarah , dalam hati saya berkata : “mungkin beliau akan rukuk setelah mendapat seratus ayat.”
Setelah beliau mendapat seratus ayat, beliau melanjutkan bacaannya, maka dalam hati saya berkata: “Mungkin beliau akan mengkhatamkan (menghabiskan) surat Al Baqarah
dalam satu rakaat.” Selesai membaca surat Al Baqarah, dalam hati saya berkata : “Sekarang mungkin beliau akan melakukan rukuk.” Tetapi beliau mulai membaca surat An
Nisa’ dan dibacanya samapi selesai, kemudian beliau membaca surat Ali Imran dengan sangat hati-hati dan jelas.Apabila beliau membaca ayat yang di dalamnya ada perintah
tasbih, maka beliau membaca tasbih. Apabila beliau membaca ayat yang di dalamnya ada perintah untuk memohon, maka beliau memohon. Apabila beliau membaca ayat yang di
dalamnya ada perintah untuk berlindung diri, maka beliau berlindung diri. Kemudian beliau ruku dengan membaca: SUBHAANA RABBIYAL ‘AZHIIM, lamanya rukuk hampir sama
dengan lamanya berdiri. Kemudian beliau membaca :SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA LAKAL HAMDU. Kemudian beliau berdiri yang lamanya hampir sama dengan lamanya rukuk, kemudian sujud dan membaca : SUBHAANA RABBIYAL A’LAA. Lamanya sujud hampir sama dengan lamanya berdiri.”(H.R Muslim)
18. Dari Jabir ra, ia berkata : Rasulullah saw, pernah ditanya: “manakah yang paling utama di dalam salat?” Beliau menjawab : “Lamanya berdiri.”(H.R Muslim)
19. Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra, bahwasanya Rasulullah saw, bersabda : “Salat yang paling disenangi oleh Allah adalah cara salatnya Nabi Dawud, dan puasa yang paling disenangi oleh Allah adalah cara puasanya Nabi Dawud, dimana beliau tidur setengah malam dan bangun pada sepertiganya serta tidur seperenam malam, beliau puasa sehari dan berbuka sehari.” (H.R Bukhari dan Muslim)
20. Dari Jabir ra, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda : “Sesungguhnya pada waktu malam terdapat satu saat, apabila seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala baik berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat, niscaya Allah mengabulkan permohonannya. Dan saat yang demikian itu ada pada setiap malam.” (H.R Muslim)
21. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw., bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan salat pada waktu malam hendaklah ia memulainya dengan dua
rakaat yang ringan. ”(H.RMuslim)
22. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata : “Apabila Rasulullah saw, mengerjakan salat pada waktu malam, beliau memulainya dengan dua rakaat yang ringan.”( H.R Muslim)
23. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata : “Apabila Rasulullah saw, tidak dapat mengerjakan salat pada waktu malam karena sakit atau karena sesuatu yang lain, maka beliau
mengerjakan salat sebelas rakaat pada waktu siang.”(H.R Muslim)
24. Dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : “Barangsiapa tertidur tidak mengerjakan kebiasanya atau melaksanakannya antara salat Subuh dan
Dhuhur, maka dicatatkan baginya seolah-olah ia membaca atau melaksanakannya pada waktu malam.”(H.R Muslim)
25. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : “Allah sangat mengasihani orang laki-laki yang bangun pada waktu malam, kemudian mengerjakan salat dan mau membangunkan istrinya.. Apabila istrinya enggan bangun, maka ia menyiramkan air pada muka istrinya itu.Allah sangat mengasihani seorang perempuan yang bangun
pada waktu malam, kemudian mengerjakan salat dan mau membangunkan suaminya. Apabila suaminya enggan bangun, maka ia menyiramkan air pada muka suaminya itu.”(H.R Abu
Dawud)
26. Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id ra, mereka berkata :
Rasululllah saw, bersabda : “Apabila seorang laki-laki membangunkan istrinya pada waktu malam, kemudian keduanya salat dua rakaat, maka masing-masing dicatat dalam glongan orang-orang yang selalu zikir kepada Allah
Ta’ala .”
27. Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw, bersabda :
“Apabila salah seorang di antara kalian mengantuk dalam mengerjakan salat, maka hendaklah ia tidur sehingga rasa kantuknya hilang. Sebab, jika salat sambil mengantuk, bisa jadi ia bermaksud memohon ampun tetapi malah mengutuk

Rintihan Hati

Ada orang menyangka ibadah itu sekadar rukuk dan sujud di tikar sembahyang. Atau mengalunkan ayat-ayat Al Quran dengan penuh khusyuk dan tawadhuk. Atau menggentel biji tasbih dengan berzikir dan bertahmid.
Atau sekadar membahagi-bahagikan harta kepada fakir miskin.
Ibadah itu luas pengertiannya. Seluas lautan yang tak bertepi. Ibadah tidak terbatas pada sembahyang sunat berpuluh-puluh rakaat. Ia tidak terbatas pada puasa sunat seperti puasa Nabi Daud; sehari berpuasa sehari berbuka. Pun tidak dikhususkan kepada membayar zakat, menunaikan haji dan sebagainya.
Ibadah adalah pengabdian diri kepada Allah. Dan antara bentuk pengabdian diri yang tidak ketara dan tidak perlu mengeluarkan tenaga ialah ingatan hati dan rintihan hati kepada Allah. Ia merupakan ibadah yang besar nilainya di sisi Allah. Mudah tetapi tidak ramai yang mampu melakukannya.Mengingati Allah dikira ibadah kerana ia menandakan seorang hamba itu benar-benar berhati hamba. Hamba yang tak punya apa-apa. Yang sewaktu datang ke dunia, tak membawa walau seurat benang di tubuh. Justeru hati sentiasa ingat kepada Yang Maha Pencipta, sentiasa mengharap bantuan-Nya dan sentiasa bergantung kepadaNya. MengingatiNya menimbulkan rasa syukur atas segala nikmat kurniaanNya.
Namun berapa kerat di antara kita yang ingat akan Allah. Ramai yang lalai dan lupa. Dalam sembahyang, fikiran menerawang entah ke mana. Apatah lagi di luar sembahyang. Renungilah sabda kekasihNya dalam sebuah hadis Qudsi yang bermaksud:
“Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepadaKu, Aku juga tetap ingat kepadamu. Dan jika engkau lupa kepadaKu, Aku masih ingat terus kepadamu. Apabila engkau taat kepadaKu, maka pergilah ke mana saja yang engkau suka, di tempat engkau mematuhiKu dan Aku
mematuhimu, dan engkau mengikhlaskan kecintaanKu kepadamu, kemudian engkau memalingkan diri daripadaKu, sedang Aku tetap mengambil berat terhadapmu. Siapakah
yang memberimu makan sewaktu engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku tetap menguruskan segala keperluanmu dengan baik, sehingga terlaksana semua
takdirKu terhadapmu. Apabila Aku lahirkan engkau ke alam dunia, engkau lalu membuat maksiat. Bukan begini sewajarnya balasanmu terhadap siapa yang berbuat baik
kepadamu.”
Memang wajar kita mengingati Allah yang telah banyak memberi nikmat kepada kita. Allah yang sentiasa ingat akan kita. Yang terus saja memerhatikan kita. Yang terus mengasihani kita. Yang terus memberi rezeki kepada kita walaupun Dia seringkali diderhakai.
Dengan apa patut kita balas nikmat Allah yang terlalu banyak itu. Ibarat orang yang sedang bercinta, cukuplah asal dikenang atau diingati orang yang dicintai. Begitu juga dengan Allah. Ingatlah Dia kemana kita pergi. Ingat akan Allah bukan semestinya di tikar sembahyang saja. Biar tubuh bersama manusia tetapi hati bersama Allah. Agar setiap detik kita sentiasa dalam ibadah. Rasulullah bersabda yang maksudnya:
“berfikir sesaat itu lebih baik daripada sembahyang sunat seribu rakaat (yang tidak khusyuk).”
Demikian keutamaan bagi orang yang sentiasa berfikir tentang kebesaran Allah. Akal yang berfikir akan meruntun hati agar sentiasa ingat kepada Allah.
Apabila hati selalu mengingatiNya, terasa betapa hampirnya Allah dengan kita. Hati akan selalu
bermunajat dengan Allah; menginsafi kelemahan diri, lantas mengharap belas kasihan Allah kepada kita yang terlalu banyak berbuat dosa. Hati merintih dan mengharap rahmat Allah yang maha luas itu. Datanglah perasaan betapa hinanya diri yang berasal dari setitik
air mani. Tanpa rahmatnya tinggallah kita dalam kehinaan selama-lamanya.
Rintihan hati inilah tanda kita hamba yang tak punya kuasa apa-apa untuk menghalang kudrat dan iradahNya. Tak berupaya menepis Qadak dan QadarNya. Hanya belas kasihan Allah yang diharapkan dapat menjauhkan diri daripada segala bala bencana. Hati yang tidak pernah
ingat, apalagi merintih kepada Allah, adalah hati seorang tuan.
Adakalanya segaja Allah timpakan ujian yang berat ke atas hambaNya. Ketika itu hati si hamba akan merintih walaupun bibir boleh mengukir senyum. Kadang-kadang ujian datang silih berganti; seolah-olah Allah tidak mendengar rintihan hati hambaNya.
Sebenarnya, Allah rindu untuk mendengar rintihan hati si hamba. Tanpa ujian, hati tidak ingat Allah dan ia berasa tenteram, hingga hilanglah rasa kehambaan daripada dalam diri. Lalu kerana itu, Allah datangkan ujian silih berganti agar rintihan hati si hamba tidak terputus kepada Tuhannya.
Hukama berkata: “Allah lebih suka mendengar rintihan hamba yang berdosa (termasuk rintihan hati) daripadaseorang abid yang duduk beribadah.”
Demikian tingginya nilai rintihan hati seorang hamba dibandingkan dengan ibadah lahir. Ibadah lahir belum tentu melahirkan rasa kehambaan, kerana boleh jadi seorang yang beribadah itu berasa selamat denganibadahnya.
Ingatan hati dan rintihan hati seorang insan terhadap Tuhannya datang daripada rasa kehambaan yang tulen. Rasa kehambaan inilah tanda seorang insan telah
mendapat nikmat iman yang tinggi nilainya. Tiada sesuatu yang lebih berharga daripada nikmat iman. Beruntunglah mereka yang dianugerahi nikmat ini. hanya hamba-hambaNya yang terpilih saja yang akan dikurniairasa kehambaan.
Seorang hamba yang hatinya sentiasa ingat dan merintih kepada Allah tidak bangga dengan nikmat, tidak gelisah dengan bala, tidak rasa tenang dengan pujian, dan tidak menderita dengan kejian. Hati sentiasa merasa serba kekurangan dan amat memerlukan Allah dalam semua keadaan. Inilah yang dikatakan hati yang hidup, yang sentiasa dalam beribadah. Apatah lagi jika ditambah dengan banyaknya ibadah lahir seperti sembahyang, puasa, sedekah dan sebagainya; makin tinggilah darjatsi hamba di sisi Khaliqnya.

APA TANDA KITA DEKAT DENGAN TUHAN?


Ketika suluk berakhir, seorang Khalifah Senior (umur Beliau lebih kurang 65 tahun) duduk diantara para peserta suluk dengan gaya santai setelah selesai bergotong-royong membersihkan surau baik di bagian dalam maupun bagian luar. Selaku orang yang baru dalam Tarekat, pengalaman-pengalaman murid-murid senior dari Guru sangat menyenangkan untuk didengar dan banyak sekali pelajaran yang bisa diambil karena yang mereka ceritakan bukan hasil dari bacaan tapi merupakan pengalaman nyata. Dalam suasana penuh keakraban, khalifah senior bertanya kepada khalifah yang lain, “ Abang-abang sekalian, apa tanda kita dekat dengan Tuhan? ”.
Demikian khalifah senior bertanya kepada kami yang masih muda dan memang di surau sangat dijaga hadap (sopan santun) walaupun usia kita lebih tua tetap memanggil Abang kepada saudara seperguruan. Pertanyaan sederhana itu tidak ada yang bisa menjawab, semua diam dan memperhatikan dengan seksama wajah dari khalifah senior tersebut. Saya hadir disitu dan peristiwa itu lebih kurang 10 tahun yang lalu. Khalifah Senior dengan senyum berkata, “ Semakin dekat kita dengan Tuhan maka semakin kita tidak bisa meminta kepada-Nya, seorang yang dekat dengan Tuhan ibarat seorang bayi dipangkuan ibunya, dia tidak pernah berprasangka buruk kepada ibunya, apakah ibunya memberikan makan atau tidak, membiarkan dia haus atau bahkan ibu membuangnya begitu saja, dia tetap pasrah dalam pangkuan ibunya”
Kata-kata Khalifah Senior itu sangat berbekas dalam hati saya dan kata-kata ini memberikan sebuah kesadaran kepada saya bahwa sampai saat ini saya belum dekat dengan Tuhan karena begitu banyak permintaan dalam doa, begitu banyak pula hasrat untuk menggengam dunia ini. Keluhan kalau mengalami sakit dan derita menandakan kita belum dekat dengan Tuhan. Mungkin kita telah mengenal-Nya, telah bersimpuh dikaki-Nya, telah merasakan betapa nikmat memandang wajah-Nya namun kita masih tergolong orang-orang yang dekat dihati-Nya.
Lalu bagaimana dengan ucapan Nabi bahwa kita harus selalu meminta kepada Tuhan dan orang yang tidak mau meminta digolongkan kepada orang-orang yang sombong? Bagi orang yang jauh dari Tuhan maka dia akan selalu meminta untuk kepentingan dirinya, tidak pernah dia mau berdoa untuk orang lain.
Khalifah Senior tersenyum diantara kebingungan para jamaah suluk, kemudian saya memberanikan diri bertanya, “ Abangda, kalau ukuran dekat dengan Tuhan tidak bisa meminta kepada-Nya, bagaimana dengan Guru kita yang selalu mendo’akan kita, bukankah Beliau juga meminta kepada Tuhan? Dan yang saya tahu Guru kita sangat dekat dengan Tuhan ”
Masih dengan senyum yang khas Beliau berkata, “ Anak Muda, Seorang yang dekat dengan Tuhan itu tidak bisa meminta untuk dirinya tapi doanya sangat makbul untuk orang lain dan dia selalu berdoa untuk orang lain, seperti Guru kita. Guru kita hanya memikirkan murid-muridnya, mana pernah Beliau berdoa agar diri nya kaya? Sudah puluhan tahun saya mengikuti Beliau dan saya tahu persis bahwa yang Beliau doakan hanya muridnya, ya… kita-kita ini yang selalu menjadi beban Beliau dan terkadang tidak tahu diri…. ” Ucapan terakhir tidak lagi disertai senyum namun dengan wajah sedih dan linangan air mata.
Beliau melanjutkan, “ Kita ini lah yang harus mendoakan Guru kita, agar semua cita-citanya dikabulkan Tuhan, itulah bukti rasa cinta dan kasih kita kepada Beliau…. ”
“ Berulang kali saya berbuat kesalahan kepada Beliau, tapi selalu Beliau memaafkannya …. ”
Kemudian Khalifah Senior melanjutkan nasehatnya, “ Jangan pernah abang-abang sekalian durhaka kepada Guru kita karena kalau durhaka kepada Guru tidak akan beruntung selama-lamanya… ”
Setelah saya memahami hakikat Ketuhanan dan kebenaran dari Tariqatullah dan saya meyakini bahwa betapa hebatnya Ilmu zikir yang dapat mengantarkan orang kepada Allah, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Guru, “ Guru, begitu hebatnya ilmu zikir dalam tarekat ini, kenapa tidak semua manusia mau mengikuti jalan ini? ”
Guru tersenyum dan berkata, “ Hanya sedikit orang yang bisa bersyukur…. ”
Saat itu saya tidak begitu paham dengan apa yang beliau sampaikan baru sekarang saya memahaminya, bahwa begitu banyak karunia diberikan oleh Allah kepada manusia namun sedikit sekali yang mau menyembah-Nya dengan cara yang benar, sedikit sekali orang yang sungguh-sungguh mencari jalan untuk kembali kepada-Nya, sedikit sekali orang yang bersyukur. Saya jadi ingat kisah Nabi yang shalat semalaman dan ketika ditanya oleh Aisyah kenapa Beliau shalat begitu banyak sampai kaki bengkak padahal Beliau sudah dijamin masuk surga dan nabi menjawab, “ Aku ingin menjadi ABDAN SYAKURA (hamba yang pandai bersyukur) ”